"Om Raharjo masih di kantor ya tante?"
"Iya, ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan, sini duduklah dekat tante, ada yang mau tante ceritain sama Adhit."
"Yang ada hubungannya dengan berita yang dibawa om Raharjo?"
"Ya... ada lah, ayu duduklah deka tante sini, sambil menunggu om mu pulang."
Adhit duduk mendekat seperti pinta Retno. Ada senyuman yang dirasa aneh pada wajah wanita setengah tua yang masih tampak cantik itu. Senyuman itu membuatnya ber debar-debar. Apakah berita baik yang dibawa Raharjo itu benar-benar baik bagi hubungannya dengan Dinda?
"Adhit, ada sahabat tante ketika puluhan tahun yang lalu menjalin cinta dengan seorang teman wanitanya."
Adhit heran dengan pembukaan cerita Retno, tapi ia berusaha terus mendengarnya.
"Mereka masih muda, masih merasa bahwa dunia ini milik mereka berdua. Ahaa... itu kan kisah cinta remaja ya Dhit? Kamu kan bisa maklum, bagaimana rasanya dimabuk cinta, apalagi cinta pertama," lanjut Retno sambil terus menatap Adhit.
Dalam hati Retno meyakini, bahwa Adhit memang darah daging Raharjo. Banyak miripnya kok, cuma sebelumnya dia tak pernah memperhatikannya. Tubuhnya yang tegap, mata tajamnya, hidungnya.. itu semua milik Teguh Raharjo.
"Dalam suatu kesempatan, terkadang ada setan mengipasi hati-hati para pecinta. Ada yang bisa berteguh hati, tapi ada yang begitu lemah sehingga terjerumus kedalam hubungan yang sesungguhnya terlarang. Itu kita bisa memaklumi kan Dhit?"
Adhit mencoba mencerna semua kata-kata Retno. Itu cerita sebuah kisah cinta yang pastinya menjurus kearah hubungan terlarang. Ya, sering hal itu terjadi, kemudian dia teringat Dewi sahabatnya juga menjadi korban cinta terlarang, tapi yang kemudian menyadari bahwa tak ada cinta di hati laki-laki yang telah meneteskan benih dirahimnya.
Ada apa dibalik cerita tante Retno nya ini? Adhit masih belum mengerti.
"Ketika sepasang remaja itu terlena oleh indahnya cinta terlarang itu, mereka tiba-tiba dipisahkan oleh sesuatu. Orang tua si gadis tidak setuju bermenantukan laki-laki yang dicintai puterinya. Lalu dilarikannya si gadis kesebuah kota besar, dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tuanya."
"Kasihan si laki-laki itu.." gumam Adhit tak sengaja.
"Ya, kasihan, dan tak menyadari bahwa kekasihnya pergi membawa benih. Beruntung laki-laki suami si gadis itu sangat baik dan mau menerima bayi yang dikandung isterinya, disayanginya dicintainya bagai darah dagingnya sendiri."
"Oh, syukurlah, lalu bagaimana dengan laki-laki yang ditinggalkannya?"
"Dia tak pernah menyadari bahwa seorang anak muda ganteng yang sudah tumbuh dewasa itu adalah darah dagingnya, karena memang tidak tau bahwa ketika dibawa pergi.. kekasihnya sudah membawa benih dalam rahimnya. Benihnya, benih cintanya."
"Kasihan.."
"Tuhan mempertemukan laki-laki itu dan suami dari kekasihnya pada suatu hari, tapi kemudian mereka bersahabat. Tapi adanya si anak yang sesungguhnya darah daging sahabatnya itu, tetap menjadi rahasia, sampai si anak dewasa."
"Mungkin Tuhan merasa bahwa rahasia itu harus terbuka. Si orang tua harus mengetahui siapa darah dagingnya. Lalu si anak itu tanpa tau apapun tentang hubungan darah itu, jatuh cinta pada anak dari orang yang sesungguhnya juga orang tuanya."
Retno menghentikan ceritanya, dipandanginya Adhit lekat-lekat, agar dia tau apakah Adhit merasa bahwa dirinyalah yang ada didalam cerita itu.
Adhit menatap Retno, ada sesuatu yang dirasakannya. Tentang cinta seseorang kepada anak orang tuanya sendiri...
Retno Menepuk bahu Adhit, menatapnya lembut.
"Kamu tau siapa yang tante ceritakan?"
Adhit tak menjawab, ia mulai mengerti, ia merasa, lalu hatinya luluh, lunglai.
"Tante sedang menceritakan kisah cinta puluhan tahun lalu dari seorang sahabat tante, yang sekarang menjadi suami tante, yaitu om mu Raharjo."
"Oh... lalu...?"
"Gadis itu adalah Putri, ibu kamu..."
"Dan anak itu.. adalah saya?" gemetar ketika Adhit mengucapkannya. Dilihatnya Retno mengangguk.
"Dan Dinda adalah adik kamu satu ayah, itulah sebabnya terlarang bagi kamu kalau kamu ingin menikahinya."
Adhit terdiam, matanya ber kaca-kaca, Begitu terlenanya dia pada sepenggal kisah puluhan tahun silam, dan ternyata dirinya ada didalamnya.
"Adhit.. sekarang kamu tau mengapa kamu dilarang mencintai Dinda? Kisah ini begitu rumit, dan menjadi rahasia keluarga Galang selama puluhan tahun. Om Raharjo baru tau ketika ke Jakarta kemarin, dan tante juga baru tau ketika om mu mengatakannya. Kamu bisa mengerti? Apa kamu marah? Menyesal? Sedih?"
Adhit tak menjawab, terbayang wajah cantik kenes yang selalu bermanja terhadap dirinya, mata bening yang selalu menatapnya tanpa sadar bahwa mereka sedarah, lalu Adhit menyadari bahwa perasaan cintanya adalah dorongan dari hatinya yang paling dalam, cinta saudara, yang diterimanya sebagai cinta kepada seorang lawan jenis.
Ternyata nurani Dinda lebih tajam menerima sinyal itu, ia tak pernah menganggapnya sebagai pacar, ia selalu menganggapnya seperti kakak, dan ternyata memang kakaknya.
Adhit mengusap air matanya. Ketika itu suara mobil memasuki halaman. Raharjo turun dari mobil, menatap Retno penuh tanda tanya. Retno mengangguk, dan mempersilahkan Raharjo masuk dan duduk diantara mereka.
"Adhit menunggu bapak," katanya singkat.
Raharjo sempat melihat Adhit mengusap air matanya. Didekatinya anak muda itu, lalu dipeluknya erat.
Retno melihatnya dan terharu. Kisah yang begitu pelik terjadi puluhan tahun silam, Dulu alangkah indahnya kisah cinta itu, alangkah pedihnya ketika harus dipisahkan, dan kini, alangkah bahagianya ketika dipertemukan.
"Ma'afkanlah bapak... ma'afkanlah bapak.. Adhit.."
Adhit tak menjawab, ia memeluk "bapaknya" erat erat.
"Kalian seperti pinang dibelah dua.." bisik Retno terharu.
==========
Hari itu Adhit melangkahkan kakinya memasuki halaman rumahnya di Jakarta, dengan perasan aneh. Aneh karena ternyata dia bukan anak kandung Galang yang selama ini dianggap sebagai orang tuanya. Apakah ia menganggap bahwa dirinya adalah orang asing? Terbayang ketika Raharjo memeluknya erat dan memohon ma'af, terbayang ketika wajah tampan setengah tua itu berlinangan air mata, seperti juga dirinya. Dan tiba-tiba Adhitama merasa seperti baru saja terlahir didunia ini. Semuanya menjadi seperti asing.
Tapi ketika semakin mendekati teras, ia mencium aroma melati, bunga kesukaan ibunya, dan mawar-mawar cantik tertata diatas meja bisa dilihatnya jelas. Apakah semua ini untuk menyambut dirinya? Seorang asing yang sedang akan bertamu? Tiba-tiba dilihatnya Galang dan Putri keluar dari dalam, menatapnya dengan wajah berseri. Ia mendekat, dan Galang membuka kedua tangannya, siap memeluknya. Luluh hati Adhit. Tak sampai pelukan itu ke tubuhnya, Adhit sudah menjatuhkan tubuhnya, memeluk kedua kaki Galang sambil terisak.
"Bapak... bapak... terimakasih telah mencintai Adhit selama puluhan tahun...," isaknya memelas.
Galang mengangkat tubuh Adhit, menjatuhkannya kedalam pelukannya, erat dan hangat.
"Anakku, mengapa kamu berkata seperti itu? Adakah orang tua yang tidak mencintai anaknya?"
Adhit luluh dalam pelukan ayahnya, ayah yang mencintainya sejak dirinya berada dalam kandungan ibunya.
"Bapak...."
"Sudah, jangan berkata apapun, tak ada yang berubah disini. Ini adalah rumahmu, aku.. bapakmu.. ini.. ibumu.. apa yang membuatnya berbeda?" kata Galang sambil menatap wajah Adhit penuh kasih sayang. Lalu diusapnya pipi Adhit yang basah oleh air mata.
"Sekarang peluk ibumu," kata Galang sambil melepaskan pelukannya.
Adhit pun menghambur kearah ibunya yang kemudian juga memeluknya dengan tangisan.
"Ma'afkan ibu Adhit.. ma'af ya nak.."
"Tidak ada yang perlu dima'afkan ibu, Adhitlah yang meminta ma'af karena telah membuat ibu dan bapak bersedih."
Tak perlu banyak kata, pandang mata cerah dan bahagia itu telah mewarnai rona pada masing-masing wajah mereka. Adakah yang melebihi bahagia selain cinta tulus dari nurani anak dan orang tua?
***
"Bukankah kamu akan tinggal agak lama di Jakarta le?" tanya Putri ketika malam harinya sedang duduk bersama.
"Mungkin hanya dua hari ibu, kasihan Ayud mengurus perusahaan sendiri. Apalagi perutnya sudah semakin membesar."
"Iya kamu benar, pada suatu hari nanti kami lah yang akan datang ke Solo agak lama, biar ibumu puas berkangenan dengan anak-anaknya," kata Galang.
"Benar bapak, pasti Ayud akan senang sekali. Lagipula Adhit sudah ingin sekali bertemu Dinda," kata Adhit dengan senyum menggoda.
"Haaa... awas ya, jangan sampai lupa siapa dia," canda Galang.
"Adhit itu kan sukanya mengganggu mas, bukan hanya kepada kita, tapi juga kepada adiknya. Ketika dia bertemu Dinda nanti, pasti perasaannya sudah berbeda."
"Iya bu, jangan takut, rasa cinta itu pasti sudah berbeda."
"Jadi sekarang kamu harus mulai melihat kedepan, terutama ingat bahwa kamu sudah semakin tua, sudah sa'atnya memiliki isteri."
"Ah, bapak..." kata Adhit tersipu.
"Bapak juga ingin segera punya cucu dari anak laki-laki bapak."
"Ingat Adhit.. pikirkan kata bapak ibu," sambung Putri.
"Kamu ganteng, gagah.. wanita mana yang akan menolak kamu? Ayo,, pilih menantu paling cantik buat bapak."
Adhitama sudah melupakan galau yang semula mengusiknya. Ia tau bapak Galangnya amat mencintainya, apa lagi yang membuatnya ragu? Tak ada yang berubah..bukan?
"Jangan diam saja, dengar kata bapak, kalau kamu nggak bisa mencari sendiri, nanti ibu sama bapak akan ikut mencarikan isteri buat kamu," kata Putri menimpali.
Adhit tertawa.
"Jangan bu, nanti Adhit akan menemukannya sendiri."
Namun tak seorang gadis manapun yang terbayang di kepalanya ketika mengatakannya. Susah ya jatuh cinta? Atau susahkah menemukan gadis yang bisa dicintai? Adhit memang tak mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, itu adalah cintanya kepada darah dagingnya
Lalu Adhit tersenyum mengingatnya. Tersenyum mengingat mata bening yang berkedip manja dan bibir tipis yang suka cemberut setiap kali dia menggodanya. Dan rindu ingin segera bertemu segera menyergapnya.
"Kenapa senyum-senyum..?" tegur Galang
"Ingat Dinda pak.."
"Lhaaah.. Dinda lagi?"
"Dinda itu kalau sama Adhit manjanya setengah mati. Tapi dia selalu marah kalau Adhit bilang suka sama dia. Rupanya dia lebih peka akan perasaan itu. Di hatinya yang paling dalam sudah ada sinyal bahwa tak selayaknya membalas cinta Adhit. Adhitlah yang kurang peka menerima sinyal itu."
"Adhit, kalau tidak sangat terpaksa, ada baiknya Dinda tak usah tau tentang hal itu," pesan Putri.
"Iya bu, Adhit mengerti."
***
"Mirna, mengapa buru-buru masuk kerja? Apa kamu sudah merasa sehat ?" tegur Dewi ketika melihat Mirna sudah datang ke tokonya pagi itu.
"Sudah mbak, saya baik-baik saja. Lagian sendirian dirumah dan nggak ada pekerjaan.. jadi lebih baik saya bekerja."
"Baiklah, tapi jangan terlalu dipaksakan ya, kalau ingin istirahat ya istirahat saja, jangan sungkan. Ada kamar kosong disitu yang sudah pernah aku tunjukkan kemarin dulu."
"Iya mba, terimakasih banyak."
Mirna bekerja sangat rajin. Ia menata semua barang dengan rapi, melayani pembeli dengan sangat ramah, dan mencatat semuanya dengan sangat teliti. Dewi senang melihat semangatnya dan itu membuatnya semakin menyukai Mirna.
"Hari ini aku mau belanja, terus langsung menjemput Bima .. kalau ada apa-apa kamu bisa menelpon aku ya Mir."
"Baik mbak.."
Mirna mulai menekuni pekerjaannya dengan suka cita. Ini yang terbaik yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan hidupnya. Walau sudah ternoda, tapi itu bukan hina. Ia bersedia menikah dengan harapan bisa membahagiakan ayahnya. Ayahnya sebaliknya ingin membuat Mirna bahagia, namun apa yang terjadi, semua diluar harapan mereka.
"Ya, sudahlah.. tak ada gunanya disesali," bisiknya lirih.
Ia sedang mengusap air matanya ketika tiba-tiba terdengar dering telepone dimeja Dewi. Mungkin Dewi menelponnnya, atau ada yang ingin bertemu Dewi. Mirna bergegas menghampiri dan mengangkatnya.
"Hallo.." sapanya.
"Lhoh, ini bukan Dewi?" tanya sara dari seberang sana.
Gagang telephone itu hampir terlepas ketika Mirna mendengar suara itu. Suara orang yang sangat dikenalnya, yang selalu membuat semakin cepat debar jantungnya. Aduhai..
"Hallo.." suara itu lagi, dan dengan gugup Mirna menjawabnya.
"Haa..hall..hallo.." jawabnya.
"Kamu Mirna ya?"
Ya Tuhan, bagaimana dia bisa tau bahwa itu aku? Apakah suaraku masih selalu diingatnya? Hm.. Mirna ber andai-andai.. atau mungkin juga bermimpi...
"Hallo..." suara itu lagi..
"Oh,, eh,, ya.. saya Mirna... "jawabnya dan dipegangnya gagang telephone dengan kedua tangannya karena tiba-tiba ia merasa tangannya gemetaran.
"Mirna, ada apa kamu ini..?"
"Oh, ssayaa.. dd..dari mana bapak tau.. bahwa itu.. ss..saya?"
"Mirna, aku ini Adhit. Bukankah Dewi pernah mengatakan bahwa kamu bekerja ditokonya?"
Oh, rupanya Mirna terlalu pede.. Adhit tau dirinya Mirna karena ia juga tau bahwa ia bekerja ditokonya Dewi. Bukan karena selalu ingat akan suaranya.
"Oh.. iy..iya.. pak Adhit, ma'af.. mm.. ada yang.. bisa saya bantu?"
"Mirna, mengapa nafasmu seperti ter engah-engah begitu?"
Wadhuh, kedengaran ya ? Pikir Mirna lalu merasa sedikit malu.
"Oh.. ini .. baru saja.. menarik.. mm.. kursi.. eh.. meja.. berat.. ma'af.."
"Hati-hati menarik barang berat, kamu kan baru selesai operasi?"
"Iy.. iya.. "
"Mana Dewi, aku menelpon ponselnya tapi tidak diangkat."
"mBak Dewi.. sedang.. belanja pak."
"Oh, baiklah... nanti aku menelpon lagi. Oh ya, bagaimana keadaanmu?"
"Baik.. pak.."
"Syukurlah, jangan memikirkan apapun, kalau ada apa-apa Dewi pasti membantumu."
"Ya pak, terimakasih."
Ketika telepone itu ditutup, Mirna jatuh terduduk di kursi.
"Mengapa aku ini," keluhnya pelan. Suara itu, sapaan itu..
"Ada apa mbak?"
Mirna terkejut, pembantu yang baru saja mengusung galon aqua kedalam toko melihat Mirna duduk sambil me mijit-mijit kepalanya.
"Oh, nggak apa-apa dik.. sedikit pusing," jawab Mirna perlahan.
"Saya ambilkan minum kebelakang?"
"Nggak usah, aku nggak apa-apa dik, biat aku ambil sendiri saja," jawab Mirna sambil bangkit dan melangkah kebelakang. Memang ia perlu minum air dingin, untuk mengendapkan gejolak darahnya.
"Ya Tuhan, aku tidak bisa selamanya begini. Mimpi ini harus segera berakhir. Ini hanya akan menyakitiku.." keluhnya sambil meneguk segelas air dari dalam kulkas.
***
"Terimakasih telah mengurus perusahaan dengan baik, adikku sayang," kata Adhit ketika sudah berada dikantornya.
Ayud mencibir mendengar pujian kakaknya.
"Iya lah.. aku gitu lhoh. Tapi terkadang aku kesal, mas Adhit akhir-akhir ini seperti tak perduli apapun."
"Hei, kata siapa aku tak perduli? Buktinya sekarang aku ada disini, memeriksa semua berkas-berkas, meneliti semua yang sudah kamu kerjakan, dan aku senang kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik."
"Huh, cuma dipuji aja dari tadi, coba dikasih hadiah, pasti aku senang .." kata Ayud masih dengan bibir cemberut.
"Oh, hadiah itu pasti. Ada kabar gembira buat kamu, dan ini hadiah terbaik setelah aku pergi beberapa hari lalu."
"Apa tuh?"
"Bapak sama ibu akan datang ke Solo, kangen sama kamu katanya."
"Haaa, apa itu benar?"
"Ya benar lah, masa aku bohong?"
"Terus, sebenarnya ada apa mas Adhit ke Medan, terus ke Jakarta, lalu setelah pulang kelihatan begitu gembira? Sudah dapat restu dari bapak tentang perasaan mas Adhit sama Dinda?"
"Eiitt... jangan ngaco kamu... nggak ada itu, mas nggak lagi punya keinginan itu."
"Maksudnya... keinginan melamar Dinda?"
"Nggak ada... aku sama Dinda kayaknya nggak pantes, nggak serasi."
"Apa?" tanya Ayud keheranan.
"Ya sudah, jangan tanya lagi, sekarang mas mau kerumah Dinda, eh nggak.. dia kuliah, aku akan menjemput di kampusnya," kata Adhit sambil berdiri.
Ayud memandangnya tak mengerti, dan Adhit tak perlu mengatakan apapun. Biarlah rahasia itu dia sendiri yang mengetahuinya.
***
"Heiii... mas Adhit sudah datang? Kok tiba-tiba menjemput Dinda kemari?" tanya Dinda sambil setengah berlari mendekati Adhit yang menunggu disamping mobilnya.
"Kan aku sudah tanya, apa hari ini kamu kuliah? Kamu bilang kuliah, jadi aku menjemput kemari."
"Oh, gitu ya, kirain cuma nanya doang."
"Ayo masuk ke mobil," perntah Adhit sambil membukakan pintu disamping kemudi.
"Kemana kita?" tanya Dinda sambil masuk kedalam dan menutup pintu.
Adhit menjalankan mobilnya sambil tersenyum.
"Kemana mas?" tanya Dinda penasaran.
"Ya ngajakin kamu makan lah, kelihatan lhoh, anak kost itu kalau pulang kuliah pasti kelaparan."
"Asyiik, makan nih ?" tanya Dinda gembira.
Adhit terus menjalankan mobilnya, ia ingin melakukan sesuatu, tapi ditahannya. Ketika melalui jalanan sepi, tiba-tiba Adhit menghentikan mobilnya.
"Kok berhenti?"
"Dinda, aku ingin memeluk kamu," kata Adhit tiba-tiba yang langsung memeluk Dinda erat sekali.
"Eeeh... maaas, ada apa ini? Uh.. aku nggak bisa nafas nih. Maas.. kok sepulang dari Medan mas Adhit bersikap begini? Jangan bilang mas Adhit benar-benar melamar aku, lalu bapak sama ibu mengijinkan." kata Dinda sambil mendorong tubuh Adhit pelan.
"Waahahaa... siapa melamar kamu? Siapa juga yang mau menjadi suami kamu?"
"Apa?"
"Mas Adhit nggak mau melamar kamu, kamu nggak cocok buat mas Adhit."
"Apa?" Dinda penasaran.
"Kamu kolokan, manja, semaunya... iih... aku nggak mau punya isteri kayak kamu."
"Mas Adhiiiiit.... jahat dehh!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel