Bagaimanapun alangkah tidak senangnya ketika seseorng tidak menyukai sikapnya. Demikian juga dengan Dinda.
Tadinya senang-senang saja ketik Adhit merayunya, tapi ketika Adhit mengatakan tidak suka padanya karena dia begini begitu, tak urung Dinda cemberut juga.
"Eh, kok cemberut..," goda Adhit yang kemudian menjalankan kembali mobilnya.
Tadi ia hanya tak tahan memeluk Dinda hanya karena menyadari mereka adalah saudara seayah. Bahagia rasanya memiliki adik sepeti Dinda, dan cinta yang ada didalam hatinya menjadi cinta yang sifatnya berbeda.
"Hei.... cantik.. kenapa cemberut ?"
"Aku kesel sama mas Adhit.."
"Emang aku salah apa?"
"Tadi bilang nggak suka sama aku karena aku manja, kolokan..." Dan Adhit terbahak karenanya.
"Mas Adhit jelek deh... "
"Iya, mas Adhit memang jelek, tapi kan kamu cantik.."
"Tapi aku manja.. kolokan.. seenaknya sendiri..."
"Lhaaa.. tapi itu menyenangkan buat mas Adhit.."
"Bener.."
"Bener lah, kalau nggak mengapa juga aku susah-susah nyemperin kamu cuma mau ngajakin makan."
Akhirnya Dindapun tersenyum. Senyum itu masih mengembang ketika mobil Adhit memasuki area parkir sebuah rumah makan.
"Haa.. ayam goreng kesukaan aku nih mas."
"Kan memang mas pengin membuat kamu senang."
"Oh ya..."
Mereka turun dan memasuki rumah makan yang mulai sepi karena hari menjelang sore dan waktu makan siang hampir terlewat.
Mereka duduk berhadapan dan memesan makan dan minum pilihan mereka.
"Apa kabarnya bapak sama ibu mas?' tanya Dinda sambil menunggu pesanannya.
"Baik, mereka berpesan, Dinda harus nurut sama mas Adhit..."
"Huh, kalau itu pasti bohong."
"Iya.. kok tau..?"
"Ya tau lah, "
Sementara itu minuman dan makanan yang mereka pesan telah tersaji. Dinda makan dengan sangat lahap.
"Kelihatan ya kalau aku lapar? Tapi nggak masalah, emang kenapa kalau aku makan banyak?" katanya yang kemudian dijawabnya sendiri.
"Iya lah, aku tau, anak kost biasanya telat makan lalu ketika ada kesempatan makan, jadi gembul deh makannya."
"Biarin, mumpung ada yang traktir." Adhit tersenyum dan mengangguk-angguk
"Apa saja yang kamu mau, mas akan berikan."
"Eh mas, mau nggak aku kenalin sama teman Dinda?" tiba-tiba kata Dinda.
"Apa?" Adhit menghentikan menyuap nasinya yang sudah hampir sampai ke mulut.
"Ada teman Dinda, cantik, namanya Anggi. Itu sahabat Dinda, banyak orang bilang kalau wajah kami mirip. Lalu mengira kami ini saudara."
"Mengapa kamu mau ngenalin teman kamu sama mas Adhit?"
"Siapa tau mas Adhit suka. Dia itu belum punya pacar, hatinya baik, dan....ehem.. Dinda pengin mas Adhit jadi pacarnya dia."
"Apa?"
"Iya Dinda serius. Dengar ya mas, mas Adhit itu sudah terlalu tua..."
"Hm... mulai lagi deh ngatain aku tua..." kata Adhit sambil cemberut.
"Memang iya. Sudah tua nggak laku-laku. Kasihan deh."
"Kalau duduk kita berdekatan, pasti aku cubit bibir kamu."
"Mas, Dinda serius deh. Besok, Anggi akan Dinda ajak ke kantor mas Adhit."
"Apa?"
Dinda hanya tersenyum, lalu melanjutkan menghabiskan makanannya.
***
"Mas lama bener perginya, kemana aja sih?"
"Cuma ngajakin Dinda makan... kelamaan ya?"
"Untuk ukuran orang makan, kelamaan. Tapi untuk ukuran orang pacaran.. belum terlalu lama." ujar Ayud sambil cemberut.
"Kok pacaran sih, siapa yang pacaran?"
"Mas masih mau nekat pacaran sama Dinda?"
"Tuh, ngaco kan... siapa yang pacaran, Dinda tuh yang mau nyariin pacar buat mas Adhit." kata Adhit meluncur begitu saja.
Ia ingin mengalihkan tuduhan Ayud bahwa dia ingin memacari Dinda, padahal kan sudah tidak? Ayud tidak mengerti, dan Adhit juga tak ingin mengatakan apapun tentang hubungan darah itu.
"Mas... itu benar?"
"Benar..."
"Seperti apa dia, cantik? Mas suka?"
"Orang belum ketemu orangnya. Sudah, ayo bicara so'al pekerjaan saja, malah ngelantur ke mana-mana kamu nih."
"Jadi mas mengurungkan niyat untuk ...."
"Sudah, jangan bicara so'al itu lagi, mas hanya menyayangi Dinda seperti adik, bukan untuk memacari dia."
"Tuh, dulu bilang begitu.."
"Sekarang sudah beda. "
"Besok aku mau lihat, seperti apa yang mau dikenalin Dinda sama mas, apakah dia cantik? Baik hati?"
"Mas kan bilang belum ketemu, lagian mas belum mikirin pacar, itu kan kemauan Dinda. Dasar anak bawel dia tuh."
"Siapa tau cocok."
"Kalau dia temannya Dinda, berarti masih anak-anak donk."
"Mas, sudah mahasiswa berarti sudah remaja. Mas Adhit itu jangan terlalu me milih-milih donk, nanti bener-bener bisa jadi perjaka tua."
"Ini kok topiknya jadi nggak berubah, sudah.. ayo kerja.."
"Huh. biasa deh, kalau lagi diajak ngomong so'al jodoh pasti penginnya lari aja. Ya sudah, ini berkas yang sudah disiapkan sekretaris mas, diteliti aja dulu."
Adhit menerima berkas itu, tapi diam-diam tergoda oleh kata-kata Dinda. Temannya bernama Anggi, katanya wajahnya mirip Dinda? Penasaran Adhit jadinya. Apakah Adhit mulai tertarik memiliki pacar?
***
Siang itu Dewi mampir ke kantor Adhit, setelah menjemput Bima.
"Ma'af Dhit, apa aku mengganggu?"
"Tidak Wi, aduh.. sejak kemarin aku menelpon kamu, nggak bisa nyambung, menelpon kerumah, Mirna yang menerima, dan menerimanya kayak orang gugup, begitu."
"Oh ya, mungkin gugup karena berbicara dengan bekas bos nya yang ganteng," jawab Dewi sambil tertawa.
"Kamu bisa aja."
"Ada apa menelpon aku ?"
"Nggak apa-apa, cuma ingin tau perkembangan kasusnya Aji. Sudah ada berita?"
"Belum, kok kemarin nggak nanya aja langsung sama Mirna?"
"Aku nggak tega bicara lama-lama sama dia, kayak orang bingung begitu."
"Oh gitu ya, belum ada berita dari kantor polisi, tapi nanti kalau Mirna harus datang sebagai saksi, biar aku temani dia."
"Syukurlah, kasihan dia."
"Tampaknya kamu perhatian sekali sama Mirna, tertarik?"
"Apa? Kamu nih ada-ada saja, kan kamu yang kemarin dulu minta tolong supaya aku membantu Mirna. Ya aku jalankan donk. Kamu kan sahabat baik aku, apa yang enggak buat kamu?"
"Iya sih, tapi aku kasihan sama dia, barangkali kamu tertarik, aku akan menyampaikan sama dia."
"Jangan, aku cuma membantu kamu Wi, nggak lebih."
"Ya sudah, terimakasih kalau begitu. Ini aku cuma mampir, setelah menjemput Bima."
"Oh iya, sampai Bima om diamkan saja, hallo Bima, salam dulu sama om donk."
Bima yang semula menggelendot ke tubuh ibunya lalu mendekati Adhit dan menyalami lalu mencium tangannya.
"Anak baik, sekolah yang pintar ya?"
Bima mengangguk, lalu kembali menggelendoti ibunya.
"Anak ini agak pemalu, nggak banyak bicara, tapi syukurlah dia memiliki nilai bagus disekolahnya."
"Aku ikut senang, jadikan dia anak baik, pintar dan bisa menjadi kebanggaan keluarga."
"Do'akan aku ya Dhit. Ya sudah, aku nggak berani lama-lama mengganggu. Salam buat Ayud ya?"
"Nanti aku sampaikan, dia sudah pulang agak awal. Aku yang nyuruh, perutnya sudah semakin besar, jangan sampai dia kecapean."
"Iya, benar Dhit. Ayo Bima, kita pulang. "
***
Sore hari itu Adhit mampir ke rumah kost Dinda. Entah mengapa ia penasaran ingin melihat foto Anggi yang dijanjikan Dinda akan ditunjukkan kalau Adhit pulang kerja.
Dilihatnya Dinda sudah mandi, berdndan cantik, dan menyambut Adhit dengan suka cita.
"Mas Adhit belum mandi kan?"
"Ya belum, dari kantor aku langusng kesini, kamu yang minta kan?"
"Hm, untung baunya masih wangi, kalau bau asem Dinda akan suruh mas Adhit mandi dulu."
"Enak aja, aku cuma kucel, tapi tetap wangi donk."
"Iya benar," kata Dinda sambil menggerak -gerakkan hidungnya, yang kemudian dipencet oleh Adhit dengan gemas.
"Aauuw, mas Adhit... sakit tau !!"
"Syukurin. Ayo, mana foto itu?"
"Oh, mas Adhit penasaran kan? Oke, Dinda ambilkan dulu ya..."
Dinda setengah berlari masuk kedalam, Adhit melihatnya sambil ter senyum-senyum. Ia agak heran kepada dirinya sendiri, mengapa sangat tertarik dengan kata-kata Dinda tentang gadis bernama Anggi itu.
Apakah hatiku mulai terbuka untuk memikirkan seorang gadis? Pikir Adhit sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Benar, aku sudah tua, kata Ayud, kalau aku begini terus bisa menjadi perjaka tua. Tapi memangnya kenapa kalau perjaka tua? Adhit membolak-balikkan pikirannya sendiri. Ia masih ragu dengan perasaannya. Benarkah ia mulai tertarik untuk melihat seorang gadis cantik?
"Hayo... ngelamun !!" tiba-tiba Dinda sudah ada didepannya, mengejutkannya.
"Anak nakal. Mana foto itu?"
"Nggak sabaran amat. Ini... lihatlah," kata Dinda sambil memperlihatkan ponselnya, yang sudah menampakkan sesosok wajah.
Adhit memandanginya, lalu memelototkan matanya.
"Ini foto emak-emak," teriaknya kesal.
==========
Dinda melongok kearah ponselnya yang dibawa Adhit lalu tertawa ngakak.
"Bukan itu mas.. itu foto ibunya.. kok bisa geser sih. Sebentar... nah.. ini diaaa."
Adhit memandangi foto di ponsel Dinda. Gambar seorang gadis dengan rambut ikal. Matanya bulat bening, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Wajahnya bulat oval.. hidungnya mancung.
Adhit merasa gadis itu memang mirip Dinda terutama mata dan hidungnya. Sejenak ada rasa terpesona.
"Heiii.. bagaimana? Cantik bukan? Besok Dinda kenalin ya?"
Adhit tersenyum tipis.
"Boleh. Jam makan siang ada kuliah?" Kata Adhit sambil mengangsurkan ponselnya kearah Dinda.
"Jam satu siang aku sudah pulang. Nanti aku ajak Anggi ya."
"Okey.. tapi sekarang mas mau pulang dulu ya."
"Ya udah pulang aja. Kan mas Adhit belum mandi?"
"Iya, sekalian mau mampir kerumah Raka. Pengin tau keadaan Ayud. Kayaknya tadi ke kantor cuma sebentar. Kamu mau nitip apa?"
"Nggak nitip apa-apa. Nitip salam aja. Mbak Ayud nggak sakit kan?"
"Nggak. Cuma sekarang lebih sering cepat lelah.. maklum.. perutnya sudah semakin buncit.."
"Iya.. kasihan mas.. sebaiknya cuti dulu tuh.. kasihan mbakku.."
"Iya. Habis ini biar saya suruh cuti aja. Oke Dinda, sampai besok ya."
Ketika Adhit pergi, Dinda sempat berfikir, mengapa sepulang dari Medan Adhit tak lagi mengeluarkan kata-kata rayuan seperti biasanya kalau ketemu. Bukan suka sih.. cuma merasa heran.
***
"Gila kamu Din. Nggak mau ah.. masa aku mau dikenalin sama seorang bos besar," kata Anggi ketika Dinda mau mengenalkannya dengan Adhit.
"Iih.. kamu tuh.. katanya pengin punya pacar.. Aku kenalin sama kakakku.. siapa tau cocok."
" Tapi kenapa sama orang yang sudah jadi bos. Tua dong!"
"Enak aja. Kakakku itu.. biar bos tapi masih muda.. ganteng.. hmm.. pokoknya menarik deh. Taruhan ya.. kalau kamu sampai nggak jatuh hati sama dia.. aku traktir kamu kemana kamu mau."
"Hm.. sok yakin kamu," kata Anggi sambil tersenyum.
"Mau aku tunjukin fotonya? Ah.. nggak deh.. nanti aja kalau ketemu kan kamu bisa lihat langsung."
"Itu kakak kandung kamu?"
"Bukaan.. kakak kandung aku menikah dengan adiknya dia. Ya sudah aku anggap saja dia sebagai kakakku."
"Kenapa bukan kamu aja yang jadi pacarnya? Boleh kan pacaran sama ipar?"
"Nggak lah.. aku tuh entah kenapa.. nggak bisa jatuh cinta sama dia. Rasanya seperti kakak aja. Itu sebabnya aku ingin kamu bisa jadi pacarnya. So'alnya dia tuh nggak bisa cari pacar sendiri."
"Masa sih ?"
"Katanya susah buat dia untuk jatuh cinta."
"Wah.. alamat gagal jadi pacarnya dong."
"Makanya... rayu dia.. jatuhkan hatinya.. "
"Waduhh.. memangnya aku tuh tukang rayu apa?"
"Ya bukan tukang, tapi cobalah untuk menundukkan hatinya."
"Jadi penasaran aku."
"Nanti habis kuliah dia akan menjemput ke kampus. Aku bilang jam 1 siang."
***
"Mas.. aku istirahat dulu hari ini ya.. agak nggak enak badanku," kata Ayud siang itu.
"Kamu pulang aja dulu, biar aku antar sekalian. Setelah ini kamu boleh cuti sampai melahirkan."
"Mas nggak apa-apa kalau aku cuti lama?"
"Ya nggak apa-apa.. sudah ada orang lain yang bisa menangani semuanya, jadi kamu nggak usah khawatir. Kalau mas masih minta kamu terus bekerja, bisa-bisa bapak sama ibu marah sama masmu ini."
"Terimakasih ya mas.. "
"Ayo pulang sekarang saja. Ini sudah hampir jam satu."
"Mas janjian sama seseorang?"
"Sama Dinda.."
"Sama Dinda lagi? Katanya sudah nggak mau.. "
"Kemarin kan Dinda bilang mau ngenalin aku sama temannya dia. Aku belum cerita ya?"
"Nggak nyangka kalau mas Adhit serius."
"Baru mau ketemu. Nggak tau aku bisa suka nggak nanti."
"Mas jangan terlalu kaku.. jangan terlalu me milih-milih.. "
"Iya.. coba aja nanti."
"Aku siap-siap dulu ya mas.. tungguin."
"Ya, agak cepat. Aku janji jam satu sampai kampus."
Baru saja Adhit selesai bicara, ponselnya sudah berdering. Dinda menelpon.
"Hallo Din.. ini baru nungguin kakakmu siap-siap. Sekalian mas antar pulang."
"Mbak Ayud sakit?"
"Nggak.. mas suruh sekalian cuti saja supaya nggak kelelahan."
"Oh. Baguslah kalau begitu."
"Kamu sudah selesai? Katanya jam satu?"
"Sudah.. dosennya nggak datang, ini aku ada dirumah Anggi."
"Lhoh... lalu bagaimana?"
"Mas kerumah Anggi saja. Dinda tunggu ya.."
"Dimana rumahnya?"
"Nanti Dinda kirim lewat WA.. "
"Baiklah..."
Tapi ketika alamat itu dikirimkan, Adhit terkejut. Alamat rumah Anggi tak jauh dari toko Dewi.
***
Sebelum tiba dirumah Anggi, Adhit berhenti didepan toko Dewi karena melihat Dewi sedang berdiri didepan. Dewi langsung mendekati mobil Adhit.
"Kamu mau ketemu aku ?"sapa Dewi heran karena Adhit hanya membuka kaca mobil depannya.
"Nggak, aku mau kerumah no 27."
"Itu rumah bu Susan.. yang punya salon kecantikan. Kamu mau rebonding atau apa?"canda Dewi.
"O.. itu salon kecantikan?"
"Iya. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ada yang namanya Anggi?"
"Kamu kenal?"
"Nggak, baru mau kenalan."
"Ouh.. gitu, cantik anaknya. Dia itu anaknya bu Susan. Tau dari siapa?"
"Dia teman kuliah adikku.."
"Ayud? Enggaklah.. dia baru masuk kuliah tahun ini. "
"Bukan Ayud. Tapi Dinda.."
"Oh.. itu.. adik iparnya Ayud kan"
"Iya benar. Aku mau dikenalin sama temannya. Dinda sudah ada dirumah Anggi."
"Oh.. ya sudah.. tapi hati-hati kalau mau serius sama dia."
"Memangnya kenapa?"
Dewi tampak berfikir sejenak. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
"Ada apa Wi?"
"Nggak... sudah sana.. kenalan saja dulu.."
"Ayolah Wi, katakan ada apa?" tanya Adhit yang merasa penasaran.
"Nggak ada apa-apa.. sudahlah."
Tapi Adhit urung mendesaknya lagi karena tiba-tiba Dinda muncul disana bersama seorang gadis cantik.
"Kok mas Adhit ada disini? kamu tungguin mas Adhit dari tadi."
"Iya, tiba-tiba ketemu teman .. pemilik toko ini. "
"Ooh.. itu kan mbak Dewi," seru Dinda.
"Iya Dinda. Ternyata kamu temannya Anggi?"
"Iya mbak. Oh ya mas.. kenalkan.. ini Anggi."
Adhit mengulurkan tangannya yang disambut Anggi dengan tersipu. Benar kata Dinda, Adhit ganteng sekali. Ehem.. berdebar juga Anggi ketika tangannya berjabat erat.
"Kok kamu kemari Din? Karena melihat mobil mas?"
"Eeh.. nggaak.. Anggi mau beli es krim .. aku yang minta."
Adhit tertawa. Okelah, Anggi memang cantik. Tapi mengapa Dewi memintanya untuk ber hati-hati?
"Bukan itu mas.. itu foto ibunya.. kok bisa geser sih. Sebentar... nah.. ini diaaa."
Adhit memandangi foto di ponsel Dinda. Gambar seorang gadis dengan rambut ikal. Matanya bulat bening, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Wajahnya bulat oval.. hidungnya mancung.
Adhit merasa gadis itu memang mirip Dinda terutama mata dan hidungnya. Sejenak ada rasa terpesona.
"Heiii.. bagaimana? Cantik bukan? Besok Dinda kenalin ya?"
Adhit tersenyum tipis.
"Boleh. Jam makan siang ada kuliah?" Kata Adhit sambil mengangsurkan ponselnya kearah Dinda.
"Jam satu siang aku sudah pulang. Nanti aku ajak Anggi ya."
"Okey.. tapi sekarang mas mau pulang dulu ya."
"Ya udah pulang aja. Kan mas Adhit belum mandi?"
"Iya, sekalian mau mampir kerumah Raka. Pengin tau keadaan Ayud. Kayaknya tadi ke kantor cuma sebentar. Kamu mau nitip apa?"
"Nggak nitip apa-apa. Nitip salam aja. Mbak Ayud nggak sakit kan?"
"Nggak. Cuma sekarang lebih sering cepat lelah.. maklum.. perutnya sudah semakin buncit.."
"Iya.. kasihan mas.. sebaiknya cuti dulu tuh.. kasihan mbakku.."
"Iya. Habis ini biar saya suruh cuti aja. Oke Dinda, sampai besok ya."
Ketika Adhit pergi, Dinda sempat berfikir, mengapa sepulang dari Medan Adhit tak lagi mengeluarkan kata-kata rayuan seperti biasanya kalau ketemu. Bukan suka sih.. cuma merasa heran.
***
"Gila kamu Din. Nggak mau ah.. masa aku mau dikenalin sama seorang bos besar," kata Anggi ketika Dinda mau mengenalkannya dengan Adhit.
"Iih.. kamu tuh.. katanya pengin punya pacar.. Aku kenalin sama kakakku.. siapa tau cocok."
" Tapi kenapa sama orang yang sudah jadi bos. Tua dong!"
"Enak aja. Kakakku itu.. biar bos tapi masih muda.. ganteng.. hmm.. pokoknya menarik deh. Taruhan ya.. kalau kamu sampai nggak jatuh hati sama dia.. aku traktir kamu kemana kamu mau."
"Hm.. sok yakin kamu," kata Anggi sambil tersenyum.
"Mau aku tunjukin fotonya? Ah.. nggak deh.. nanti aja kalau ketemu kan kamu bisa lihat langsung."
"Itu kakak kandung kamu?"
"Bukaan.. kakak kandung aku menikah dengan adiknya dia. Ya sudah aku anggap saja dia sebagai kakakku."
"Kenapa bukan kamu aja yang jadi pacarnya? Boleh kan pacaran sama ipar?"
"Nggak lah.. aku tuh entah kenapa.. nggak bisa jatuh cinta sama dia. Rasanya seperti kakak aja. Itu sebabnya aku ingin kamu bisa jadi pacarnya. So'alnya dia tuh nggak bisa cari pacar sendiri."
"Masa sih ?"
"Katanya susah buat dia untuk jatuh cinta."
"Wah.. alamat gagal jadi pacarnya dong."
"Makanya... rayu dia.. jatuhkan hatinya.. "
"Waduhh.. memangnya aku tuh tukang rayu apa?"
"Ya bukan tukang, tapi cobalah untuk menundukkan hatinya."
"Jadi penasaran aku."
"Nanti habis kuliah dia akan menjemput ke kampus. Aku bilang jam 1 siang."
***
"Mas.. aku istirahat dulu hari ini ya.. agak nggak enak badanku," kata Ayud siang itu.
"Kamu pulang aja dulu, biar aku antar sekalian. Setelah ini kamu boleh cuti sampai melahirkan."
"Mas nggak apa-apa kalau aku cuti lama?"
"Ya nggak apa-apa.. sudah ada orang lain yang bisa menangani semuanya, jadi kamu nggak usah khawatir. Kalau mas masih minta kamu terus bekerja, bisa-bisa bapak sama ibu marah sama masmu ini."
"Terimakasih ya mas.. "
"Ayo pulang sekarang saja. Ini sudah hampir jam satu."
"Mas janjian sama seseorang?"
"Sama Dinda.."
"Sama Dinda lagi? Katanya sudah nggak mau.. "
"Kemarin kan Dinda bilang mau ngenalin aku sama temannya dia. Aku belum cerita ya?"
"Nggak nyangka kalau mas Adhit serius."
"Baru mau ketemu. Nggak tau aku bisa suka nggak nanti."
"Mas jangan terlalu kaku.. jangan terlalu me milih-milih.. "
"Iya.. coba aja nanti."
"Aku siap-siap dulu ya mas.. tungguin."
"Ya, agak cepat. Aku janji jam satu sampai kampus."
Baru saja Adhit selesai bicara, ponselnya sudah berdering. Dinda menelpon.
"Hallo Din.. ini baru nungguin kakakmu siap-siap. Sekalian mas antar pulang."
"Mbak Ayud sakit?"
"Nggak.. mas suruh sekalian cuti saja supaya nggak kelelahan."
"Oh. Baguslah kalau begitu."
"Kamu sudah selesai? Katanya jam satu?"
"Sudah.. dosennya nggak datang, ini aku ada dirumah Anggi."
"Lhoh... lalu bagaimana?"
"Mas kerumah Anggi saja. Dinda tunggu ya.."
"Dimana rumahnya?"
"Nanti Dinda kirim lewat WA.. "
"Baiklah..."
Tapi ketika alamat itu dikirimkan, Adhit terkejut. Alamat rumah Anggi tak jauh dari toko Dewi.
***
Sebelum tiba dirumah Anggi, Adhit berhenti didepan toko Dewi karena melihat Dewi sedang berdiri didepan. Dewi langsung mendekati mobil Adhit.
"Kamu mau ketemu aku ?"sapa Dewi heran karena Adhit hanya membuka kaca mobil depannya.
"Nggak, aku mau kerumah no 27."
"Itu rumah bu Susan.. yang punya salon kecantikan. Kamu mau rebonding atau apa?"canda Dewi.
"O.. itu salon kecantikan?"
"Iya. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ada yang namanya Anggi?"
"Kamu kenal?"
"Nggak, baru mau kenalan."
"Ouh.. gitu, cantik anaknya. Dia itu anaknya bu Susan. Tau dari siapa?"
"Dia teman kuliah adikku.."
"Ayud? Enggaklah.. dia baru masuk kuliah tahun ini. "
"Bukan Ayud. Tapi Dinda.."
"Oh.. itu.. adik iparnya Ayud kan"
"Iya benar. Aku mau dikenalin sama temannya. Dinda sudah ada dirumah Anggi."
"Oh.. ya sudah.. tapi hati-hati kalau mau serius sama dia."
"Memangnya kenapa?"
Dewi tampak berfikir sejenak. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
"Ada apa Wi?"
"Nggak... sudah sana.. kenalan saja dulu.."
"Ayolah Wi, katakan ada apa?" tanya Adhit yang merasa penasaran.
"Nggak ada apa-apa.. sudahlah."
Tapi Adhit urung mendesaknya lagi karena tiba-tiba Dinda muncul disana bersama seorang gadis cantik.
"Kok mas Adhit ada disini? kamu tungguin mas Adhit dari tadi."
"Iya, tiba-tiba ketemu teman .. pemilik toko ini. "
"Ooh.. itu kan mbak Dewi," seru Dinda.
"Iya Dinda. Ternyata kamu temannya Anggi?"
"Iya mbak. Oh ya mas.. kenalkan.. ini Anggi."
Adhit mengulurkan tangannya yang disambut Anggi dengan tersipu. Benar kata Dinda, Adhit ganteng sekali. Ehem.. berdebar juga Anggi ketika tangannya berjabat erat.
"Kok kamu kemari Din? Karena melihat mobil mas?"
"Eeh.. nggaak.. Anggi mau beli es krim .. aku yang minta."
Adhit tertawa. Okelah, Anggi memang cantik. Tapi mengapa Dewi memintanya untuk ber hati-hati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel