Pertemuan itu berlanjut dirumah Anggi yang mungil dan ada salon kecantikan milik ibunya disana. Bu Susan, ibunya Anggi menyambutnya dengan ramah. Mereka duduk dihalaman yang teduh, dibawah pohon tanjung yang rindang, dan menebarkan aroma harum yang menyejukkan rasa.
Anggi melayani tamunya dengan senyuman yang menebar disetiap pertemuan mata dengan Adhit. Gdis cantik itu tampak sedikit canggung, namun tampak sekali bahwa dia mengagumi ketampanan Adhit.
Adhit menerima keramahan itu dengan senang hati. Memang benar Anggi cantik, menawan, tampak tak ada cacat celanya, tapi Adhit terus terngiang kata-kata Dewi bahwa dia harus ber hati-hati. Ada apa dengan gadis ini ?
"Mas, kok nggak cerewet kayak biasanya sih?" tegur Dinda karena Adhit lebih banyak tersenyum dan mendengarkan ocehannya.
"Aku harus ngomong apa, kan sudah bagus aku menjadi pendengar yang baik." jawab Adhit sambil tersenyum.
Sesungguhnya memang agak terasa canggung berbicara dengan anak-anak remaja seumuran Dinda. Lalu Adhit merasa, apakah memang dirinya sudah terlalu tua?
Pembicaraan itu memang berkutat disekitar teman-teman kampus mereka, dosen-dosen mereka, suka duka ketika masih sekolah SMA.. ah.. apa yang harus Adhit katakan?
Ketika pulang sambil mengantar Dinda pulang ke tempat kost nya, Dinda mengomel tak henti-hentinya.
"Mas itu kelihatan sombong tadi," omel Dinda.
"Sombong bagaimana?"
"Habis.. nggak mau ikutan bicara, hanya senyam senyum nggak jelas begitu."
"Aku harus ngomong apa, kalian bicara so'al kampus, so'al dosen-dosen.. so'al.. apa lagi tuh.. aku nggak bisa dong nyambungnya."
"Baiklah, lalu bagaimana kesan mas ketika bertemu Anggi? Menarik kah dia?"
"Biasa aja..."
"Biasa bagaimana?" tanya Dinda yang mulai merasa kesal.
"Dia cantik... menarik.. apakah itu tidak biasa? Mas sudah sering ketemu gadis-gadis cantik, itu sebabnya mas bilang itu biasa."
"Jadi.. mas nggak tertarik sama sekali?"
"Tertarik atau suka itu kan membutuhkan proses.. bukan ketemu lalu aku boleh bilang suka."
"Benar kata mbak Ayud, bahwa mas Adhit sangat susah jatuh cinta."
"Bukan susah... kamu ini gimana ta Din, masa baru ketemu sekali lalu aku harus sudah bilang suka. Nggak lah..."
"Anggi itu dalam mata kuliah memang nggak begitu pintar. Tapi dia baik hati. Pada suatu hari mengeluh pengin punya pacar, lalu Dinda kenalin deh sama mas Adhit, siapa tau cocog."
"Iya.. tapi kalau baru pertama kali bertemu kan nggak bisa bilang cocog."
"Berarti mas Adhit mau dong, ketemu di hari-hari berikutnya nanti."
"Nggak apa-apa, kapan kamu mau, mas Adhit akan datang. Tapi jangan memaksa untuk mas lalu suka sama dia. Harus ada proses.. mungkin butuh waktu lama."
Dinda terdiam. Ia tau tampaknya Adhit tak tertarik. Tapi sebenarnya Adhit sedang memikirkan apa yang dikatakan Dewi sebelum bertemu Anggi. Mengapa dia harus berhati hati? Apakah Anggi itu terkenal sebagai cewek matre? Suka gonta ganti pacar? Atau apa?
***
Tanpa diduga sore itu Anggi datang ke toko Dewi. Ibunya menyuruh belanja beberapa barang. Mirna sebelum pulang melayaninya.
Dewi yang ada disana ingin sekali tau kelanjutan perkenalan Adhit dan Anggi. Ia mengetahui sesuatu dan harus mencegah Adhit mendekati Anggi.
"Sampai jam berapa tadi mas Adhit main kerumah Nggi?" tanya Dewi menyelidik.
"Cuma sebentar kok mbak, paling satu jam an, lalu mereka pulang."
"Sudah lama kenal mas Adhit?"
"Baru ketemu sekali mbak, tapi Dinda adiknya itu teman kuliah Anggi."
"Kayaknya cocog nih," anncing Dewi.
"Ah, entahlah mbak, Anggi sebenarnya tkut."
"Kenapa takut?"
"mBak kan tau, Anggi punya penyakit.. setahun lalu pernah operasi kan?"
"Bagaimana kalau Adhit bisa menerima?"
"Ah, nggak tau mbak.. yang ada hanya rasa takut. Oh ya, berapa belanjaann saya tadi?" tanya Anggi mengalihkan pembicaraan.
"Mirna, sudah dibuat notanya?" teriak Dewi kepada Mirna.
"Oh.. eh.. ya.. sebentar mbak," jawab Mirna gugup, karena is mendengar sedikit perihal Anggi dan Afhit.
Ia heran, mengapa Dinda yang dicintai Adhit malah mengenalkannya dengan temannya yang juga cantik ini? Dengan gugup ia kemudian menulis belanjaan Anggi disebuah nota.
"Kirain sudah sekalian buat Mir.." tegur Dewi.
"Ma'af mbak... ini.. sebentar, tinggal menjumlah.."
"Sebentar ya Nggi, duduk dulu..."
"Nggak usah mbak, nanti kelamaan ditunggu mama.."
"Ini belanjaannya, sebentar notanya..."
Anggi menerima belanjaannya .. lalu Mirna mengulurkan notanya.
"Ini dik.."
Anggi membayar semua belanjaan. Mereka sebenarnya sudah lama kenal karena Anggi sering belanja di toko Dewi, dan Mirna lah yang melayani. Tapi siapa kira ada cerita yang ada hubungannya dengan Adhit yang dipujanya.
Hm, siapalah aku ini, mengapa masih saja bermimpi? Pikir Mirna yang kemudian berkemas untuk pulang setelah Anggi pergi.
"Kasihan sebenarnya Anggi, Tampaknya sebenarnya dia tertarik sama Adhit," gumam Dewi.
"Bukankah pak Adhit itu pacarnya Dinda?" tiba-tiba Mirna terpaksa mengucapkan kata itu terdorong oleh rasa keingin tahuannya.
"Tadinya aku juga mengira begitu, tapi Dinda itu kan iparnya Ayud. Mungkin Adhit sadar akan hal itu, jadi lebih baik mencari psangan lain saja.Mungkin lho, aku juga nggak begitu tau secara pasti."
"Mengapa mbak Dewi merasa kasihan? Tampaknya mereka pasangan yang cocog," kata Mirna memancing.
"Anggi itu kira-kira setahun lalu kan habis operasi."
"Oh, sakit apa?"
"Rahimnya harus diangkat, karena ada miom yang diduha ganas disana."
"Oh... jadi..."
"Dia tak akan punya anak... aku tak yakin kalau Adhit suka, bisakah dia menerima?"
Mirna terkejut. Itu sangat parah, kasihan kalau sampai Adhit terlanjur jatuh cinta, lalu kecewa karena tak akan bisa memiliki keturunan.
"Aku akan bicara sama Adhit, agar nanti jangan kecewa setelah terlanjur."
Mirna meng angguk-angguk. Ia tak mungkin memiliki Adhit, tapi dalam hati ia berharap, agar bos gantengnya bisa hidup bahagia.
***
"Gimana mas, sudah ketemuan sama gadis itu?" tanya Ayud ketika sore itu Adhit mampir kerumahnya.
"Namanya Anggi.. cantik.. " jawab Adhit seperti bergumam.
"Wah.. kayaknya masku jatuh hati nih.." goda Ayud..
"Nggaaaak... terlalu cepat itu.." bantah Adhit sambil duduk bersandar dikursi.
"Tapi setidaknya mas tau bahwa dia cantik kan?"
"Gadis cantik kan banyak.."
"Mas mas nggak tertarik sedikitpun? Jangan gitu dong mas, mas terlalu me milih-milih.. nanti mas bisa jadi perjaka tua."
"Entahlah, baru ketemu sekali, dan tampaknya biasa saja."
Ayud ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya ketika mendengar ponsel Adhit berdering.
"Ya Wi.." sapa Adhit. Rupanya Dewi menelpone.
"Dhit, aku ingin ketemu kamu. Bisa kerumah?"
"Iya, aku juga sedang berfikir mau kerumah kamu, ada yang ingin aku tanyakan."
"Aku tau, tentang Anggi kan? Nggak enak ngomong di telephone, sebaiknya kamu datang kerumah."
"Baiklah, ini aku lagi dirumah Ayud, aku menunggu suaminya pulang, setelah ini aku kerumah kamu."
"Baiklah, aku tunggu Dhit."
"Ada apa dengan mbak Dewi?" tanya Ayud begitu Adhit menutup ponselnya.
"Aku mau kerumahnya sekarang. Ternyata dia itu tetangganya Anggi."
"Oh, mas Adhit mau mencari informasi tentang Anggi dari mbak Dewi?"
"Dewi bilang aku harus ber hati-hati, ada apa dengan pesan itu? Dewi belum mengatakannya, aku penasaran, ingin tau."
"Itu tandanya mas juga tertarik pada Anggi, walau baru sedikit."
"Kamu suka ngarang ya, aku belum tau perasaanku, apalagi dia itu kan masih remaja, penginnya gadis yang sudah dewasa."
"Lhoh, dulu ketika mas bilang suka sama Dinda, mas juga bilang akan sabar menunggu.."
"Itu berbeda, sudahlah... beri aku mkinum, kamu itu, ada tamu nggak segera dikasih minum, gimana sih."
"Oh iya sampai lupa, mas mau minum apa? Dingin atau panas?" tanya Ayud sambil tertawa.
"Teh panas saja, jam segini enaknya minum yang anget-anget kan.
***
"Bagaimana kesanmu tentang Anggi?" tanya Dewi begitu Adhit duduk diruang tamunya.
"Dia baik, cantik... "
"Kamu suka?
"Setiap orang bertanya dengan pertanyaan yang sama. Dinda.. Ayud.. kamu.."
"Itu pertanyaan wajar kan Dhit."
"Aku tuh nggak gampang tertarik sama orang, dan itu sebabnya sampai sekarang aku nggak laku-laku."
"Iya sih, itu aku tau. Lalu bagaimana dengan Anggi?"
"Ini belum ke masalah suka atau tidak, aku ingin tau, apa maksudmu kamu berpesan supaya aku ber hati-hati, Itu membuat aku penasaran."
"Ya Dhit, sebagai sahabat, aku ingin mengingatkan kamu. Boleh saja sekarang kamu belum merasa suka, tapi nanti, kalau rasa itu tumbuh, kamu harus berfikir dua kali untuk melanjutkannya. Ini masalah penting."
"Baiklah, sekarang katakan masalah itu apa."
"Setahun yang lalu dia dioperasi."
"Punya penyakit gawat?"
"Bukan? Ada miom dirahimnya, lalu harus diangkat.."
"Apa?"
"Selamanya dia tak akan punya anak. Apa kamu siap menerimanya?"
"Ya Tuhan, itu pasti sangat berat."
"Kasihan dia.."
Adhit terpana oleh berita itu. Seorang gadis cantik, tak akan bisa melahirkan seorang anakpun. Sesuatu yang didambakan hampir setiap pasangan.
Apakah selamanya dia akan dijauhi oleh laki-laki? Tidak, dia juga berhak memiliki rasa bahagia dalam hidupnya.
Tapi kalau setiap laki-laki menjauhinya karena dia tak akan bisa menjadi seorang ibu yang sempurna...?
Mata Adhit menerawang jauh. Ada rasa iba mendera perasaannya. Gadis cantik bermata bening, sebening mata Dinda, tiba-tiba sangat meng haru biru hati nuraninya.
"Dhit, ma'af ya, bukannya aku ingin menghalangi niyat kamu seandainya kamu suka sama dia. Tapi hal terburuk harus sudah kamu ketahui pada awal perkenalan kamu, supaya kamu bisa melangkah sesuai nurani kamu."
"Tidak ada yang perlu dima'afkan Dewi, aku berterimakasih karena kamu telah memberi tahu."
"Jadi pikirkanlah masak-masak atau kamu akan menyesal nanti."
Adhit mengangguk. Tapi dalam perjalanan pulang dari rumah Dewi, terbersit keinginan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Tertarik, tidak, gadis cantik.. banyak.. tapi gadis yang penuh derita dalam hatinya.. harus dikasihani.. baru kali ini ditemukannya.
Harus ada seorang laki-laki yang bersedia menjalani hidup bersamanya, walau tanpa anak sekalipun, dan laki-laki itu adalah dirinya.
==========
Setibanya dirumah, Adhit langsung menghempaskan tubuhnya ditempat tidur. Matanya menerawang keatas, membayangkan wajah Anggi yang cantik, tapi sebenarnya menyimpan derita dalam hatinya. Pasti banyak haraoan yang dilukiskannya dalam angan. Mencintai dan dicintai lelaki, lalu hidup bahagia lalu memiliki anak-anak yang luucu, membesarkannya bersama, sampai tumbuh menjadi dewasa.
Tapi apakah semua mimpi itu bisa menjadi kenyataan? Barangkali semua pasangan menginginkan adanya seorang anak. Dan kenyataan yang dihadapi Anggi jauh dari semua itu. Apakah selamanya Anggi tak akan memiliki pacar.. lebih--lebih suami?
Rasa trenyuh tiba-tiba mengusik hati Adhit. Hati kecilnya yang penuh welas asih memaksanya untuk menerima Anggi.
Buah cinta itu belum tumbuh sa'at pertama kali betemu, tapi memberikan kebahagiaan bagi orang lain bukankah perbuatan mulia?
Tiba-tiba pintu kamarnya yang tidak terkunci diketuk dari luar, dan seseorang muncul dipintu yang terkuak.
"Adhit..." suara lombut itu datang dari neneknya.
"Ya eyang," jawab Adhit sambil buru-buru bangkit. Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Adhit masih berpakaian serapi ketika tadi berangkat kerja.
"Eyang sudah ber kali-kali bilang, sepulang dari bepergian, selalu ganti pakaian, cuci kaki tangan, bukan langsung tiduran seperti itu," tegurnya sambil tersenyum.
Adhit tersipu, ia merasa telah membuat kesalahan. Dengan sigap ia melompat dari ranjang dan melepas pakaiannya.
"Ma'af eyang.."
"Kamu capek?"
"Sedikit.."
"Segera mandi dan ganti baju, eyang tunggu diruang tengah, ada kopi kesukaan kamu, dan goreng pisang yang masih hangat."
"Siap eyang.." jawab Adhit yang kemudian melangkah ke kamar mandi.
"Makanya, cepat cari isteri, biar ada yang mengurus kamu," kata bu Broto sambil memungut pakaian Adhit yang terserak dilantai dan memasukkannya kedalam keranjang pakaian kotor.
Sebelum menutup pintu kamar mandi Adhit sempat meninggalkan senyumnya untuk sang nenek.
"Ya eyang, do'akan Adhit segera mendapatkannya."
***
Ketika istirahat siang itu, Dinda mendapati Anggi sedang melamun dibawah sebuah pohon rindang yang tumbuh di halaman kampus.
"Heiiii... aku cari kamu di kantin, ternyata lagi ngelamun disini," pekik Dinda yang langsung duduk disamping Anggi.
"Lagi nggak lapar.. kamu udah makan?"
"Belum, nyariin kamu supaya ada temannya."
"Aku nanti aja, belum lapar.."
"Ada apa ? Kamu lagi memikirkan sesuatu? O, pasti memikirkan kakak aku yang ganteng, ya kan?"
"Ah, kamu tuh..."
"Iya atau enggak?"
"Aku sedang memikirkan hidup aku..."
"Wouww... begitu beratkah ?"
"Sangat..." kata Anggi lirih, dan Dinda menangkap nada pilu disana.
"Ada apa sebenarnya?" mata Dinda menatap tajam kearah wajah Anggi.
"Dulu aku pernah bilang pengin punya pacar, itu setelah aku menjauhi beberapa laki-laki yang mencoba mendekati aku. Tapi begitu kamu kenalkan aku dengan mas Adhit, aku justru sedih."
"Kenapa? Mas Adhit kan tidak menolak kamu? Kalian baru sekali ketemu."
"Bukan itu."
"Kamu nggak suka sama mas Adhit?"
"Bukan itu, justru karena aku suka, lalu aku jadi takut sendiri."
"Haa, ini berita bagus, jadi kamu suka sama mas Adhit?" tanya Dinda sambil memegangi erat lengan Anggi.
"Tunggu Dinda, ada yang kamu tidak tau, dan mas Adhit juga tidak tau."
"So'al apa?"
"Aku ini cacat."
"Apa? Cacat apanya? Kamu cantik, sempurna.. cacat apa?" tanya Dinda heran.
"Aku tak akan bisa melahirkan seorang anakpun.."
"Apa?"
"Aku .. karena suatu penyakit, rahimku harus diangkat."
Dinda melepaskan pegangannya, ditatapnya mata bening yang sekarang tampak ber kaca-kaca. Ada duka tersimpan di telaga itu, jauh didasarnya.
"Anggi, benarkah ?"
"Tak akan ada seorang lelaki pun yang mau sama aku Dinda, itulah sebabnya, begitu aku merasa tertarik pada mas Adhit, aku jadi ketakutan sendiri."
"Anggi.. kamu..." Dinda memeluk sahabatnya dengan rasa terharu, Iapun tenggelam dalam sedh seperti yang dirasakan Anggi.
"Tolong jangan ajak mas Adhit ketemu sama aku lagi," bisik Anggi.
***
"Adhit, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo," kata Galang ketika menelpon Adhit pagi itu.
"Oh ya, bapak..jam berapa , biar Adhit jemput ke bandara.
"Kami pakai penerbangan terpagi, biar bisa lebih lama ketemu sama anak-anak bapak."
"Senang sekli bapak, nanti bapak kabari kalau bapak sudah berangkat ya."
"Baiklah, ada pesan dari ibu nih.."
"Apa itu?"
"Sediakan serabi notosuman buat ibu."
"Oh, iya bapak, beres lah, " jawab Adhit sambil tertawa..
"Dari siapa Dhit, kok kamu kelihatan gembira sekali begitu?"
"Dari bapak, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo."
"Oh ya? Biar eyang suruh yu membersihan kamarnya," kata bu Broto gembira.
"Adhit akan memberi tau Ayud .. supaya besok ikut menjemput ke bandara. Diapasti senang sekali."
"Kamu benar, kabari adikmu supaya dia senang."
Namun setelah itu Adhit justru menelpon Dinda.
"Hallo mas, ada apa, Dinda baru mau mandi nih.."
"Nanti pulang kulian jam berapa?"
"Memangnya kenapa?"
"Mas mau ajak kamu sama Anggi makan siang.."
"Oh. itu..."
Dinda terdiam, ia ingat pesan Anggi bahwa dia tak ingin ketemu mas Adhitnya lagi. Apa yang harus dijawabnya?
"Dinda... kamu masih disitu?"
"Eh.. iya.. iya mas.."
"Ada apa? Mengapa diam?"
"Mm.. anu mas, Dinda belum tau jadualnya, baru meng ingtat-ingat.." jawab Dinda sekenanya.
"Sekarang sudah ingat?"
"Mm.. kalau dosennya datang.. ya.. jam satu lah.."
"Oke, nanti mas jemput ke kampus."
Bu Broto yang masih duduk didekat cucunya sambil menikmati teh panas, mendengarkan pembicaraan Adhit.
"Itu bukan Ayud kan?"
"Bukan eyang, Adhit baru menelpon Dinda."
Bu Broto mengerutkan keningnya.
"Ada apa dengan Dinda?"
"Iya eyang, Dinda mengenalkan Adhit dengan temannya yang cantik..."
"Oh ya? Kamu suka?" tanya bu Broto, wajahnya mendadak berseri.
"Mungkin suka eyang, kan dia cantik.. nanti Adhit mau ketemuan lagi."
"Bagus lah, tapi kamu jangan main-main. Kamu itu sudah dewasa, waktunya mencari iateri, bukan mencari pacar."
"Baiklah eyang, pokoknya eyang jangan khawatir."
"Ya sudah, sekarang telephone adikmu dulu biar dia senang bapak ibunya mau datang."
"Siap eyang.."
***
Namun siang itu tak ada Anggi bersama Dinda. Ketika mobil Adhit datang, Dinda ber lari-lari mendekat.
"Mana Anggi?"
"Dia sudah pulang duluan." kata Dinda yang dengan enteng kemudian membuka pin tu samping kemudi lalu duduk sambil sedikit ter engah-engah.
"Kamu habis lari berapa kilo, sampai ter engah-engah begitu?"
"Iya, dari kelas, langsung lari keluar, begitu melihat mobil ini."
"Anggi kemana? Mengapa pulang duluan?"
"Katanya mau mengantar ibunya pergi kemana... gitu, nggak tau aku."
"Yaaaah...." jawab Adhit kecewa, lalu menjalankan mobilnya pelan.
"Mas Adhit serius ingin mendekati Anggi?"
"Kan kamu yang minta?"
"Katanya mas Adhit belum merasa tertarik.. katanya biasa saja..."
"Kan baru ketemu sekali? Itu belum cukup bagi mas untuk mengatakan suka."
"Ya sudah mas, Dinda carikan yang lain saja ya?"
"Lhoh, kamu itu ngomong apa? Nggak ah, baru sekali ketemu terus ganti yang lain."
Dinda terdiam, kata-kata Anggi untuk tidak mempertemukan dirinya dengan Adhit masih terngiang ditelinganya, tapi mengapa mas Adhitnya tampak ingin mengejarnya?
"Ada apa sebenarnya Din?"
Dinda merasa, Adhit mencurigai sikapnya. Apa dia harus mengatakan tentang keadaan Anggi yang sebenarnya?
"Dinda, aku ingin bertemu Anggi, aku ingin mendekati dia, lebih jauh."
Dinda terkejut. Ungkapan ini datangnya tiba-tiba, sementara kemarin-kemarin masih tampak ragu-ragu.
"Mas Adhit serius?"
"Serius lah.. aku ini bukan anak kecil, aku bukn sedan mencari pacar tapi mencari isteri."
Tuh kan, ini gawat. Dinda merasa harus mengatakan semuanya.
"Jangan mas, nanti Dinda carikan yang lain saja"
"Kamu ini kenapa Dinda?"
"Mas nanti akan kecewa."
"Karena dia tidak akan bisa melahirkan seorang anak pun?"
Dan Dinda tercengang.
"Mas sudah tau?"
Adhit mengangguk.
"Dan mas justru mengejarnya?"
"Ya..."
"Tapi....
"Sekarang juga kita kesana, dan ajak dia makan siang ber sama-sama," kata Adhit tandas, dan Dinda pun tak bisa menolaknya.
***
Ketika akhirnya berhasil megajak makan siang itu, Anggi lebih banyak diam. Senyum yang diebarkan ketika pertama kali bertemu tak begitu banyak disunggingkannya. Ada perasaan aneh dan debar yang membuatnya gugup ketika Adhit menatapnya.
Ya Tuhan, jangan biarkan perasaan apapun tumbuh dihatiku. Aku tak pantas untuknya. Bisik batin Anggi ketika menghirup minuman di gelasnya.
"Aku mau ke toilet sebentar ya mas," tiba-tiba kata Dinda sambil berdiri, lalu pergi meninggalkan Adhit berdua saja bersama Anggi.
Adhit tau, -pasti Dinda sedang memberinya kesempatan untuk bicara.
"Dari tadi kok diam Nggi?" tanya Adhit sambil menatap Anggi yang sibuk mempermainkan sendok di gelasnya.
"Nggak tau harus ngomong apa.." jawabnya masih tak berani menatap wajah priya ganteng dihadapannya.
"Anggi, boleh nanya sedikit ?"
"Apa?"
"Kamu sudah punya pacar?"
Anggi terkejut. Kali ini ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah ganteng yang sedari tadi tak pernah melepaskan pandangan kearahnya.
"Jawablah Nggi, sudah punya belum?"
"Nggak ada yang mau.."
"Masa..? Kamu kan cantik ?"
Anggi tampak menghela nafas. Adhit menyesal karena tiba-tiba pertanyaannya membuat ada telaga bening menggenang dimatanya.
"Anggi, ada apa?"
Adhit menatapnya dengan trenyuh, pasti sangat sakit menahan derita yang mungkin akan disandangnya seumur hidup. Adhit mengulurkan tangannya, memegang kedua tangan Anggi yang terkulai dimeja.
"Apa aku membuatmu sedih? Ma'af ya.." kata Adhit lembut.
Anggi menggeleng. Ia membuarkan kedua tangannya digenggam Adhit, menikmati getar-getar yang mengusik aliran darahnya, lalu ia ketakutan sendiri. Tidak, ini tak boleh terjadi. Lalu tiba-tiba Anggi menarik tangannya, meletakkannya dipangkuannya.
"Bagaimana kalau aku melamar kamu?"
Anggi merasa tempat duduk yang didudukinya bergoyang. Ucapan yang seperti mimpi itu didambakannya sejak lama, tapi sungguh ia tak berani menerimanya.
"Aku serius, maukan kamu menjadi isteriku?"
"Tidaaaak..." kata Anggi setengah berteriak, dan bulir-bulir air mata mulai berjatuhan dipipinya.
"Mengapa Anggi? Kamu menolak aku?"
"Jangan mas.. aku bukan wanita sempurna, mas akan kecewa."
"Aku akan menemani kamu, hidup bersama, walau kamu tak akan melahirkan seorang anakpun untuk aku."
Anggi menatap Adhit, tak percaya.
Tapi apakah semua mimpi itu bisa menjadi kenyataan? Barangkali semua pasangan menginginkan adanya seorang anak. Dan kenyataan yang dihadapi Anggi jauh dari semua itu. Apakah selamanya Anggi tak akan memiliki pacar.. lebih--lebih suami?
Rasa trenyuh tiba-tiba mengusik hati Adhit. Hati kecilnya yang penuh welas asih memaksanya untuk menerima Anggi.
Buah cinta itu belum tumbuh sa'at pertama kali betemu, tapi memberikan kebahagiaan bagi orang lain bukankah perbuatan mulia?
Tiba-tiba pintu kamarnya yang tidak terkunci diketuk dari luar, dan seseorang muncul dipintu yang terkuak.
"Adhit..." suara lombut itu datang dari neneknya.
"Ya eyang," jawab Adhit sambil buru-buru bangkit. Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Adhit masih berpakaian serapi ketika tadi berangkat kerja.
"Eyang sudah ber kali-kali bilang, sepulang dari bepergian, selalu ganti pakaian, cuci kaki tangan, bukan langsung tiduran seperti itu," tegurnya sambil tersenyum.
Adhit tersipu, ia merasa telah membuat kesalahan. Dengan sigap ia melompat dari ranjang dan melepas pakaiannya.
"Ma'af eyang.."
"Kamu capek?"
"Sedikit.."
"Segera mandi dan ganti baju, eyang tunggu diruang tengah, ada kopi kesukaan kamu, dan goreng pisang yang masih hangat."
"Siap eyang.." jawab Adhit yang kemudian melangkah ke kamar mandi.
"Makanya, cepat cari isteri, biar ada yang mengurus kamu," kata bu Broto sambil memungut pakaian Adhit yang terserak dilantai dan memasukkannya kedalam keranjang pakaian kotor.
Sebelum menutup pintu kamar mandi Adhit sempat meninggalkan senyumnya untuk sang nenek.
"Ya eyang, do'akan Adhit segera mendapatkannya."
***
Ketika istirahat siang itu, Dinda mendapati Anggi sedang melamun dibawah sebuah pohon rindang yang tumbuh di halaman kampus.
"Heiiii... aku cari kamu di kantin, ternyata lagi ngelamun disini," pekik Dinda yang langsung duduk disamping Anggi.
"Lagi nggak lapar.. kamu udah makan?"
"Belum, nyariin kamu supaya ada temannya."
"Aku nanti aja, belum lapar.."
"Ada apa ? Kamu lagi memikirkan sesuatu? O, pasti memikirkan kakak aku yang ganteng, ya kan?"
"Ah, kamu tuh..."
"Iya atau enggak?"
"Aku sedang memikirkan hidup aku..."
"Wouww... begitu beratkah ?"
"Sangat..." kata Anggi lirih, dan Dinda menangkap nada pilu disana.
"Ada apa sebenarnya?" mata Dinda menatap tajam kearah wajah Anggi.
"Dulu aku pernah bilang pengin punya pacar, itu setelah aku menjauhi beberapa laki-laki yang mencoba mendekati aku. Tapi begitu kamu kenalkan aku dengan mas Adhit, aku justru sedih."
"Kenapa? Mas Adhit kan tidak menolak kamu? Kalian baru sekali ketemu."
"Bukan itu."
"Kamu nggak suka sama mas Adhit?"
"Bukan itu, justru karena aku suka, lalu aku jadi takut sendiri."
"Haa, ini berita bagus, jadi kamu suka sama mas Adhit?" tanya Dinda sambil memegangi erat lengan Anggi.
"Tunggu Dinda, ada yang kamu tidak tau, dan mas Adhit juga tidak tau."
"So'al apa?"
"Aku ini cacat."
"Apa? Cacat apanya? Kamu cantik, sempurna.. cacat apa?" tanya Dinda heran.
"Aku tak akan bisa melahirkan seorang anakpun.."
"Apa?"
"Aku .. karena suatu penyakit, rahimku harus diangkat."
Dinda melepaskan pegangannya, ditatapnya mata bening yang sekarang tampak ber kaca-kaca. Ada duka tersimpan di telaga itu, jauh didasarnya.
"Anggi, benarkah ?"
"Tak akan ada seorang lelaki pun yang mau sama aku Dinda, itulah sebabnya, begitu aku merasa tertarik pada mas Adhit, aku jadi ketakutan sendiri."
"Anggi.. kamu..." Dinda memeluk sahabatnya dengan rasa terharu, Iapun tenggelam dalam sedh seperti yang dirasakan Anggi.
"Tolong jangan ajak mas Adhit ketemu sama aku lagi," bisik Anggi.
***
"Adhit, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo," kata Galang ketika menelpon Adhit pagi itu.
"Oh ya, bapak..jam berapa , biar Adhit jemput ke bandara.
"Kami pakai penerbangan terpagi, biar bisa lebih lama ketemu sama anak-anak bapak."
"Senang sekli bapak, nanti bapak kabari kalau bapak sudah berangkat ya."
"Baiklah, ada pesan dari ibu nih.."
"Apa itu?"
"Sediakan serabi notosuman buat ibu."
"Oh, iya bapak, beres lah, " jawab Adhit sambil tertawa..
"Dari siapa Dhit, kok kamu kelihatan gembira sekali begitu?"
"Dari bapak, besok bapak sama ibu mau pulang ke Solo."
"Oh ya? Biar eyang suruh yu membersihan kamarnya," kata bu Broto gembira.
"Adhit akan memberi tau Ayud .. supaya besok ikut menjemput ke bandara. Diapasti senang sekali."
"Kamu benar, kabari adikmu supaya dia senang."
Namun setelah itu Adhit justru menelpon Dinda.
"Hallo mas, ada apa, Dinda baru mau mandi nih.."
"Nanti pulang kulian jam berapa?"
"Memangnya kenapa?"
"Mas mau ajak kamu sama Anggi makan siang.."
"Oh. itu..."
Dinda terdiam, ia ingat pesan Anggi bahwa dia tak ingin ketemu mas Adhitnya lagi. Apa yang harus dijawabnya?
"Dinda... kamu masih disitu?"
"Eh.. iya.. iya mas.."
"Ada apa? Mengapa diam?"
"Mm.. anu mas, Dinda belum tau jadualnya, baru meng ingtat-ingat.." jawab Dinda sekenanya.
"Sekarang sudah ingat?"
"Mm.. kalau dosennya datang.. ya.. jam satu lah.."
"Oke, nanti mas jemput ke kampus."
Bu Broto yang masih duduk didekat cucunya sambil menikmati teh panas, mendengarkan pembicaraan Adhit.
"Itu bukan Ayud kan?"
"Bukan eyang, Adhit baru menelpon Dinda."
Bu Broto mengerutkan keningnya.
"Ada apa dengan Dinda?"
"Iya eyang, Dinda mengenalkan Adhit dengan temannya yang cantik..."
"Oh ya? Kamu suka?" tanya bu Broto, wajahnya mendadak berseri.
"Mungkin suka eyang, kan dia cantik.. nanti Adhit mau ketemuan lagi."
"Bagus lah, tapi kamu jangan main-main. Kamu itu sudah dewasa, waktunya mencari iateri, bukan mencari pacar."
"Baiklah eyang, pokoknya eyang jangan khawatir."
"Ya sudah, sekarang telephone adikmu dulu biar dia senang bapak ibunya mau datang."
"Siap eyang.."
***
Namun siang itu tak ada Anggi bersama Dinda. Ketika mobil Adhit datang, Dinda ber lari-lari mendekat.
"Mana Anggi?"
"Dia sudah pulang duluan." kata Dinda yang dengan enteng kemudian membuka pin tu samping kemudi lalu duduk sambil sedikit ter engah-engah.
"Kamu habis lari berapa kilo, sampai ter engah-engah begitu?"
"Iya, dari kelas, langsung lari keluar, begitu melihat mobil ini."
"Anggi kemana? Mengapa pulang duluan?"
"Katanya mau mengantar ibunya pergi kemana... gitu, nggak tau aku."
"Yaaaah...." jawab Adhit kecewa, lalu menjalankan mobilnya pelan.
"Mas Adhit serius ingin mendekati Anggi?"
"Kan kamu yang minta?"
"Katanya mas Adhit belum merasa tertarik.. katanya biasa saja..."
"Kan baru ketemu sekali? Itu belum cukup bagi mas untuk mengatakan suka."
"Ya sudah mas, Dinda carikan yang lain saja ya?"
"Lhoh, kamu itu ngomong apa? Nggak ah, baru sekali ketemu terus ganti yang lain."
Dinda terdiam, kata-kata Anggi untuk tidak mempertemukan dirinya dengan Adhit masih terngiang ditelinganya, tapi mengapa mas Adhitnya tampak ingin mengejarnya?
"Ada apa sebenarnya Din?"
Dinda merasa, Adhit mencurigai sikapnya. Apa dia harus mengatakan tentang keadaan Anggi yang sebenarnya?
"Dinda, aku ingin bertemu Anggi, aku ingin mendekati dia, lebih jauh."
Dinda terkejut. Ungkapan ini datangnya tiba-tiba, sementara kemarin-kemarin masih tampak ragu-ragu.
"Mas Adhit serius?"
"Serius lah.. aku ini bukan anak kecil, aku bukn sedan mencari pacar tapi mencari isteri."
Tuh kan, ini gawat. Dinda merasa harus mengatakan semuanya.
"Jangan mas, nanti Dinda carikan yang lain saja"
"Kamu ini kenapa Dinda?"
"Mas nanti akan kecewa."
"Karena dia tidak akan bisa melahirkan seorang anak pun?"
Dan Dinda tercengang.
"Mas sudah tau?"
Adhit mengangguk.
"Dan mas justru mengejarnya?"
"Ya..."
"Tapi....
"Sekarang juga kita kesana, dan ajak dia makan siang ber sama-sama," kata Adhit tandas, dan Dinda pun tak bisa menolaknya.
***
Ketika akhirnya berhasil megajak makan siang itu, Anggi lebih banyak diam. Senyum yang diebarkan ketika pertama kali bertemu tak begitu banyak disunggingkannya. Ada perasaan aneh dan debar yang membuatnya gugup ketika Adhit menatapnya.
Ya Tuhan, jangan biarkan perasaan apapun tumbuh dihatiku. Aku tak pantas untuknya. Bisik batin Anggi ketika menghirup minuman di gelasnya.
"Aku mau ke toilet sebentar ya mas," tiba-tiba kata Dinda sambil berdiri, lalu pergi meninggalkan Adhit berdua saja bersama Anggi.
Adhit tau, -pasti Dinda sedang memberinya kesempatan untuk bicara.
"Dari tadi kok diam Nggi?" tanya Adhit sambil menatap Anggi yang sibuk mempermainkan sendok di gelasnya.
"Nggak tau harus ngomong apa.." jawabnya masih tak berani menatap wajah priya ganteng dihadapannya.
"Anggi, boleh nanya sedikit ?"
"Apa?"
"Kamu sudah punya pacar?"
Anggi terkejut. Kali ini ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah ganteng yang sedari tadi tak pernah melepaskan pandangan kearahnya.
"Jawablah Nggi, sudah punya belum?"
"Nggak ada yang mau.."
"Masa..? Kamu kan cantik ?"
Anggi tampak menghela nafas. Adhit menyesal karena tiba-tiba pertanyaannya membuat ada telaga bening menggenang dimatanya.
"Anggi, ada apa?"
Adhit menatapnya dengan trenyuh, pasti sangat sakit menahan derita yang mungkin akan disandangnya seumur hidup. Adhit mengulurkan tangannya, memegang kedua tangan Anggi yang terkulai dimeja.
"Apa aku membuatmu sedih? Ma'af ya.." kata Adhit lembut.
Anggi menggeleng. Ia membuarkan kedua tangannya digenggam Adhit, menikmati getar-getar yang mengusik aliran darahnya, lalu ia ketakutan sendiri. Tidak, ini tak boleh terjadi. Lalu tiba-tiba Anggi menarik tangannya, meletakkannya dipangkuannya.
"Bagaimana kalau aku melamar kamu?"
Anggi merasa tempat duduk yang didudukinya bergoyang. Ucapan yang seperti mimpi itu didambakannya sejak lama, tapi sungguh ia tak berani menerimanya.
"Aku serius, maukan kamu menjadi isteriku?"
"Tidaaaak..." kata Anggi setengah berteriak, dan bulir-bulir air mata mulai berjatuhan dipipinya.
"Mengapa Anggi? Kamu menolak aku?"
"Jangan mas.. aku bukan wanita sempurna, mas akan kecewa."
"Aku akan menemani kamu, hidup bersama, walau kamu tak akan melahirkan seorang anakpun untuk aku."
Anggi menatap Adhit, tak percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel