Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 24 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #33

Cerita bersambung

Mata bening itu masih digenangi titik-titik air. Adhit meraih tissue diatas meja dan mengulurkannya pada Anggi.
Anggi mengusap air matanya, lalu meneguk lagi minumannya. Ia merasa Adhit sedang mengajaknya bercanda. Ia tak menanggapinya, lalu mempermainkan lagi sendok di gelasnya.

"Anggi.." Ditatapnya Adhit yang sedang memandanginya lekat.
"Kamu tidak mendengar omonganku?" Anggi menghela nafas.
"Itu bercanda kan?"

"Aku serius. Sangat serius."
"Tidak, jangan menggangguku mas, aku memang harus sendiri, seperti ini."
"Tidak Anggi, kamu butuh teman, yang bisa ber sama-sama mengarungi hidup ini."
"Adakah orang yang mau dikecewakan? Tapi.. tunggu.. Dinda sudah mengatakan semuanya kan? Lalu mas Adhit iba.. lalu..."
"Aku serius.. aku ingin menemani kamu."
"Jangan mas.. "
"Anggi... besok kedua orang tuaku akan datang, aku akan memperkenalkanmu pada mereka."
"Mas.. nanti mas akan kecewa, keluarga mas juga akan kecewa."
"Apakah dalam berumah tangga semua menginginkan kehadiran seorang anak?"
"Ya, pastinya..."
"Kiya bisa mengasihi anak orang lain, memungutnya dan menjadikannya anak kita. Apakah itu berbeda?"
"Mas tau kan, bahwa itu berbeda.."
"Dalam hal mengasihi, itu sama.. tak masalah anak itu dilahirkan oleh kita atau orang lain." Anggi terdiam.
"Besok sore kami akan kerumah kamu. Kamu harus menyiapkan jawaban, akan menerima aku atau menolak."
"Mas... mas.. tolong mas..." tiba-tiba Dinada mendekat sambl memegangi perutnya.
"Ada apa kamu Din?" Anggi dan Adhit memandangnya dengan wajah khawatir.
"Perutku mendadak sakit, aku mau pulang duluan," kata Anggi sambil mengambil tasnya kemudian bersiap melangkah pergi. Tapi Adhit memegang tangannya.
"Kami sudah selesai, tunggu sebentar aku antar kamu."
"Tapi.."

Adhit memanggil pelayan, meletakkan sejumlah uang dan mengangguk kearah Anggi, sebegai isyarat mengajaknya pergi.
***

Tapi setelah mengantarkan Anggi kerumahnya, Dinda kelihatan baik-baik saja.

"Perut kamu masih sakit?"
"Nggak, mas itu bagaimana, aku tadi mau pulang duluan supaya mas lebih lama berbicara sama Anggi.
"Kamu tuh ya, dari dulu nggak juga berubah, suka bikin orang bingung, ternyata pura-pura." Dinfa tertawa sambil menutup mulutnya.
"Kok mas bilang sudah selesai tadi?"
"Memang sudah selesai..."
"Mas jadi melamarnya?"
"Sudah.."
"Diterima?"
"Belum..."
"Kan Dinda sudah bilang, cari gadis lain saja, nanti mas kecewa."
"Aku suka sama dia.."
"Bohong kan??
"Benar..."
"Mas cuma kasihan sama dia. Itu akan membuat dia menderita.. karena mas hanya ber pura-pura suka."
"Kamu sok menasehati orang tua... kayak nenek-nenek saja,,"
"Ini masalah hidup mas.. kalau suatu hari nanti mas kecewa... kasihan dia."
"Ya, sudah mas fikirkan, kamu jangan khawatir...besok mas akan melamarnya.. dan percayalah..  masmu ini akan bahagia.."

Dinda terdiam. Sungguh dalam hati ia tak sepaham dengan Adhit. Ia tau Adhit penuh belas .. tapi mempertaruhkan hidup untuk sesuatu yang belum pasti.. membuatnya was-was.
***

Ayud terkejut ketika malam hari itu tiba-tiba Dinda datang kerumah.

"Heii... ngapain kamu malam-malam datang kemari?" tanya Ayud.
"Aku mau tidur disini malam ini,boleh kan?"
"Ya boleh dong, tapi kok nggak bilang-bilang, kalau kamu bilang, mas Raka pasti bisa nyamperin kamu."
"Nggak apa-apa.. aku kan sudah besar.. kata mas Raka harus bisa melakukan semuanya sendiri. Ya kan mas?" kata Dinda sambil melihat kearah Raka yang baru muncul dipintu depan."
"Bagus lah... tapi kayaknya ada sesuatu deh.."
"Ya benar, aku mau cerita sesuatu, tapi aku lapar nih, boleh minta makan nggak?"
"Ya boleh dong, tuh.. memang sa'atnya makan malam, sudah mbak Ayud siapkan semuanya dimeja."
"Asyik dong..

Selesai makan, Dinda langsung menceritakan keinginan Adhit untuk melamar Anggi. Ayud terkejut mengetahui bahwa Anggi tak akan bisa melahirkan karena rahimnya sudah diangkat.

"Gimana tuh mas, kok mas Adhit tiba-tiba nekat begitu ?" kata Ayud kepada Raka suaminya.
"Kamu kan tau, sejak dulu, kalau dia punya keinginan, tak seorangpun bisa mencegahnya kan?"
"Tapi apa benar-benar ini sudah dipikirkan ? Coba besok mas bicara sama dia."
"Bicara apa lagi, kalau itu sudah kemauannya, aku tak akan bisa menghentikannya. Nah, besok bapak ibu datang ke Solo kan? Pasti dia juga sudah akan bilang sama mereka."
"Iya ya, besok kita ramai ramai menjemput ka bandara ya?"
"Horeee.. aku ikut.."
"Kamu nggak kuliah?"
"Nggak ada kuliah besok, makanya aku mau tidur disini."
"Mas bisa nganter kan?"
"Iya, aku jga lagi nggak ngajar paginya, jadi bisa ikut menjemput."
"Baguslah kalau begitu. Tapi masalah Anggi itu kok aku jadi kepikiran. Coba Din, aku mau lihat fotonya." kata Ayud kepada Dinda.
"Oh belum tau ya, cantik sih. Sebentar ... nih.. baru Dinda cari nih... naah.. ini dia..."

Ayud memandangi foto Anggi di ponsel Dinda. Raka ikutan melongok, lalu berdecak kagum.

"Cantik banget sih.." kata Raka yang membuat Ayud mencibir.
"Ayo... jangan lama-lama ngeliatnya...," kata Ayud sambil mendorong tubuh Raka agar menjauh.
"Hm.. gitu aja cemburu.."
"Habis, kamu ngeliatnya sampai melotot begitu."

Dinda hanya tertawa melihat ulah kakak dan isterinya.

"Cemburu itu kan tandanga cinta.. ya kan mas?"
"Tapi ada miripnya sama kamu ya Din?"
"Berarti aku cantik dong."
"Iya, siapa bilang kamu nggak cantik. Tapi ya itu, kenapa ya mas Adhit tiba-tiba suka, lalu mau melamarnya?"
"Menurut aku, mas Adhit itu cuma kasihan."
"Ya sudah, aku kira kita nggak usah terlalu memikirkannya. Tidak semua kebahagiaan itu terletak pada lahirnya seorang anak dari rahim kita. Banyak yang tidak punya anak tapi mereka bahagia. Ya kan?"

Ayud hanya mengangguk  Tapi dalam hati ia berharap kakaknya mau mengurungkan niyatnya.
***

"Adhit, apa kamu sudah memikirkan masak-masak tentang keinginan kamu itu?" kata Galang ketika mereka sudah sampai dirumah.
"Jangan karena bapak sama ibu sudah ingin sekali punya menantu, lalu kamu memilih gadis sekenanya."
"Bukan ibu, ini sudah Adhit pikirkan masak-masak."
"Yakin, besok kamu mau mengajak kedua orang tuamu ini melamar dia?"
"Yakin, bapak, Adhit mohon.. ini sudah keputusan Adhit."

Tak seorangpun bisa menghalanginya. Keinginan Adhit begitu kuat, tekatnya sudah bulat. Apa boleh buat, semoga Adhit bahagia, itu harapan mereka semua.

Adhit merasa lega ketika bapak dan ibunya bersedia melamar Anggi besok harinya. Memang semua itu bukan lantaran cinta.
Mungkin benar kata Dinda bahwa Adhit hanya kasihan, tapi salahkah mengasihani derita orang lain? Alangkah sedihnya ketika hidup tak berteman, karena tak seorangpun mau mendampinginya. Dan tekat Adhit sudah benar-benar bulat. Maka ditelponnya Anggi.

"Ya mas.." sapa Anggi dari seberang sana.
"Apa kamu sudah memikirkannya?"
"Memikirkan apa?"
"Lamaran aku kemarin."
"Oh, apakah itu benar?"
"Anggi, aku serius, bapak ibuku sudah disini, dan besok kami sekeluarga akan melamar kamu."
"Mas, apakah itu tidak terlalu ter gesa-gesa?"
"Tidak, aku harus membuktikan bahwa aku serius dengan kata-kata aku."
"Apakah mas mencintai aku?"
"Anggi, haruskah aku mengatakannya setelah apa yang akan aku lakukan ini? Tolong bilang kepada mama kamu bahwa kami akan datang."

Adhit tak membutuhkan jawaban Anggi lebih jauh, dan segera menutup ponselnya.
Seluruh keluarga mendengarnya, Galang, Putri, bu Broto, Ayud, Raka, Dinda.. dan mereka sepakat besok akan datang ber sama-sama.
***

"Mirna, banyak sekali, ini belanjaan bu Susan?" Kata Dewi begitu pulang dari pasar.
"Iya mbak, nggak seperti biasanya, belanjaannya banyak sekali, tampaknya ada arisan dirumahnya."
"Mungkin..."

Dewi menghentikan bicaranya karena ponselnya berdering.

"Adhit? Tumben pagi-pagi menelpon."

Mirna menghentikan kegiatannya mengecek barang-barang ketika mendengar Dewi menyebut nama Adhit.

"Kamu lagi dirumah kan?"
"Ya, memangnya kenapa?"
"Nanti sore aku aakan nyamperin kamu."
"Eh, mau kamu ajak kemana aku ?"
"Melamar Anggi.." Dewi terkejut.
"Melamar Anggi? Kamu serius? Ini beneran ?"

Tiba-tiba terdengar suara berdenting, suara gelas pecah.

"Eh, Mirna, ada apa?"
"Mmm... ma'af mbak... gelas.. eh.. botol.. sirup... terjatuh..."
"Oh, ya udah, nggak apa-apa, suruh pembantu membersihkan.."
"Hallo..." suara Adhit dari seberang...
"Ada apa Wi?"
"Itu, Mirna menjatuhkan botol sirup, nggak apa-apa.. eh.. kamu tadi bilang apa? Mau mengajak aku ?"
"Iya, maksudku aku minta ikut bersama keluarga aku, Bisa nggak?"
"Ya, coba nanti deh.. kalau nggak ada acara boleh saja.."
"Oke, pokoknya nanti aku samperin kamu ."

Dewi termenung begitu pembicaraan itu selesai. Ia tak menyangka Adhit mau melamarnya.

"Oh, awas mbak," dan teriakan pembantunya itu sekarang mengejutkan Dewi, dilihatnya tangan Mirna berdarah darah.
"Mirna, kenapa kamu ini?" katanya sambil mendekat, dilihatnya wajah Mirna pucat, darah terus mengucur dari fari tangannya.
"Aduuh, lukanya dalam sekali, coba kemari, berdirilah Mirna, aduh.. bajumu kena darah semua. Nggak bisa ini, haris dibawa ke klinik dan dijahit... tunggu sebentar, ini perban dan tekan kuat-kuat supaya darahnya tidak terus mengalir.

Dewi bergegas mengantarkan Mirna kerumah sakit. Mirna tak mampu ber kata-kata, wajahnya pucat, bukan cuma tangannya yang ber darah-darah, tapi juga hatinya.

==========

Anggi tak bisa apa-apa ketika keluarga Adhit datang kerumah. Walau dengan perasaan was-was, ia menerima lamaran itu.
Ia percaya akan ketulusan hati Adhit yang ber sungguh-sungguh meyakinkan dirinya bahwa ia tulus ingin memperisterikannya. Bu Susan wanti-wanti berpesan agar Adhit bisa menjaga dan menjadi pelindung bagi Anggi selamanya.
Tak banyak yang dibicarakan karena Adhit sudah bersedia menerima Anggi apa adanya. Ia bahkan bersedia ketika bu Susan mengingatkan agar pernikahan segera dilangsungkan.
Bagi Adhit, tak ada yang harus ditunggu.
Sekarang cinta itu memang belum tumbuh benar. Adhit baru menanamkan sebutir rasa kasihan dihatinya, yang semoga akan menjadi pohon cinta yang teduh.

Sepulang dari rumah Anggi, Adhit mempersilahkan semuanya pulang lebih dulu. Ia ingin mampir kerumah Dewi dan menanyakan mengapa Dewi tidak datang menyusulnya.
Memang sih, Adhit berjanji mau menjemputnya, tapi karena ia semobil dengan ayah ibunya, maka ia hanya mengirimkan pesan agar Dewi mwnyusulnya.
Ternyata tak ada jawaban. Itu yang membuat Adhit penasaran.

Begitu tiba dirumah Dewi, dilihatnya Dewi baru saja datang dari bepergian. Dewi menyambutnya dengan wajah letih, dan Adhit terkejut melihat ada tetesan darah dibaju Dewi yang berwarna kuning muda.

"Dewi, ada apa ? Kenapa baju kamu itu?"
"Itulah sebabnya aku nggak bisa menerima undangan kamu Dhit.Ayo duduklah dulu."
"Ada apa? Siapa terluka?"
"Mirna memecahkan botol sirup. Aku sudah peringatkan biar pembantu yang membersihkannya. Tapi entah mengapa dia ikutan memungut kaca botol yang berserakan, dan ada yang melukainya sampai dalam."
"Sekarang dimana dia?"
"Ya sudah aku antar pulang, tadi dirumah sakit harus dijahit karena lukanya sangat dalam."
"Kasihan..." gumam Adhit lirih..
"Bagaimana tadi acaranya?"
"Ya sudah, pokoknya aku sudah melamar, dan ibunya minta segera dinikahkan."
"Dhit, aku terkejut ketika kamu memutuskan itu. Kamu benar-benar sudah memikirkannya?"
"Sudah Wi, dan itulah sebabnya aku segera melamar."
"Bukan terlalu cepat Dhit? Aku khawatir kamu akan kecewa.."
"Mudah-mudahan enggak Wi.. do'akan saja."
"Pastilah kamu aku do'akan...Oh ya, minggu depan sidangnya Aji akan dimulai, undangan untuk Mirna sebagai saksi sudah diterima."
"Semoga sumuanya lancar, apa aku perlu menemani?"
"Kalau kamu mau ya aku berterimakasih lah Dhit..tapi kalau nggak ya biar aku saja, kasihan dia."
"Nanti kabari aku kalau waktunya tiba. Biar dia disini, nanti aku jemput kemari."
"Baiklah, terimakasih kalau mau menemani."

Sampai Adhit pulang, Dewi masih berfikir tentang keputusan Adhit mau menikahi Anggi.
Ya ampun, sahabat yang menurutnya susah jatuh cinta ini tiba-tiba memutuskan sesuatu yang mungkin mengejutkan semua orang. Semoga baik-baik saja, bisiknya pelan.
***

Mirna terkejut, ketika harus menghadiri sidang itu ternyata Adhit bersedia menemaninya. Benar sih, itu membesarkah hatinya, tapi Mirna tak tahan dengan perasaannya.
Dia sadar tak mungkin memiliki Adhit, tapi kekaguman, lalu mungkinkah itu perasaan cinta, yang tidak dimengertinya, begitu sulit ditepiskannya.
Aku bisa gila, aku bisa gila. Jerit batinnya. Alangkah sakit mencintai seseorang yang diyakininya tak mungkin menjadi miliknya.

"Mirna kok diam saja dari tadi?" kata Adhit yang kemudian melongok ke kaca spion didepannya, melihat wajah Mirna yang pucat tak bercahaya.
Dewi yang duduk disamping kemudi menoleh kebelakang.
"Kamu takutkah Mirna?" tanya Dewi.
"Oh.. nggak mbak.. hanya... sedikit pusing.." jawab Mirna sekenanya. Ia tak berani memandang kearah spion karena sesekali Adhit memandangnya dari sana.
'Hiih, mengapa juga pakai me longok-longok ke spion segala,' keluh Mirna dalam hati.
"Pusing? Sudah minum obat? Aku ada tuh, di belakang jok .. coba cari.." kata Adhit.
"Nggak apa-apa.. nanti juga sembuh sendiri," jawab Mirna sambil menggeser duduknya kesamping kiri.
"Lukamu bagaimana Mir?"

Aduuh... pak bos ganteng ini sok perhatian amat sih, pakai nanya lukanya segala.

"Mirna?" Adhit memanggil namanya karena Mirna terdiam.
"Oh eh.. apa? Ma;af.. "
"Hm, lagi ngelamun ya? Ngelamunin pacar barangkali?" canda Adhit.

Ya Tuhan, pacar? Kalau aku mau cari pacar, kamulah orngnya. Tapi tidak, aku kan hanya bermimpi?

"Sudah Dhit, kamu jangan nggangguin Mirna terus, dia tuh lagi deg-degan, tau?"
"Oh iya Mir?"
"Ah, enggak mbak.. biasa saja."
"Betul, kamu nggak usah deg-degan, kami mendukung kamu kok."
"Ter... trimakasih, pak.." kata Mirna gugup.
"Oh ya Mirna, besok kalau aku menikah, maukah kamu mendampingi pengantin wanitanya?" kata- Adhit tanpa merasa berdosa. Padahal kata-kata itu bagai sebilah pedang yang menebas separo hatinya.
"Maukah ?" ulang Adhit..
"Tidaak, jangaaan.." jawab Mirna tiba-tiba.
"Mengapa ? Nanti sama Dinda, seperti waktu Ayud menikah dulu."
"Nggak pak, jangan saya.."
"Dhit, kamu nih, sa'at ini Mirna lagi fokus ke sidangnya Aji, jangan gangu dia dengan acara macam-macam dong. Besok kalau sudah waktunya, bisa dibicarakan lagi. Ya kan Mir?"
"Oh, ma'af... baiklah, kalau sudah dekat nanti kita bicara lagi."
***

Hari yang terus berlalu, dan orang tua kedua calon mempelai sudah mempersiapkan semuanya untuk pernikahan itu. Tapi pesta itu diadakan sangat sederhana difihak orang tua Anggi.
Tida bulan setelah lamaran itu bu Susan minta mereka segera menikah. Adhit menyanggupi karena tak ada yang ditunggu.
Namun Mirna tetap tak bersedia menjadi pendamping bersama Dinda. Mirna tak bisa membayangkan kalau tiba-tiba dia pingsan pasti sangat memalukan.
Jadi benar, kamu nggak mau menerima permintaan Adhit supaya jadi pendamping pengantin?" tanya Dewi.

"Nggak mbak, saya akan menjadi tamu saja, jangan diberi tugas apapun. Lagi pula kalau mbak Dewi sibuk membantu bu Susan, saya kan harus menjaga toko?" jawab Mirna mengutarakan sebuah alasan.
"Tapi kan ada yang lain yang bisa menjaga."
"Nggak apa-apa mbak, biasanya hari Minggu selalu ramai, lebih baik saya berjaga di toko."
"Baiklah, tapi pas resepsinya kamu harus datang ya, bersama bapak, kan bapak kamu juga diundang?"
"Ya mbak, akan saya usahakan."

Namun Dewi melihat ssesuatu yang tersembunyi dibalik sikap Mirna terhadap Adhit selama ini. Ia selalu gugup dihadapan Adhit, atau jangan-jangan ketika ia memecahkan botol lalu tangannya terluka itu juga karena mendengar berita bahwa Adhit akan melamar Anggi?
Dewi ingin bertanya, tapi sungkan. Ia hanya memendamnya sendiri. Dan diam-diam Dewi sebenarnya lebih suka kalau Adhit menikahi Mirna. Bukankah Mirna juga cantik? Dan baik? Dan pasti ia akan mendapat keturunan karena Mirna pernah mengandung sebelum ini.

Ah, mengapa aku jadi ngelantur..pikir Dewi. Apapun yang terjadi, itu sudh menjadi keputusan Adhit. Dewi hanya berharap sahabatnya akan bahagia nantinya.
***

Namun di hari yang ditentukan, Ayud justru merasa kesakitan.Raka urung mengantarnya ke gedung pertemuan untuk berdandan karena Ayud mengeluh sakit perut. Ia kesakitan sejak sore harinya, sementara semua orang sudah ada di gedung pertemuan.

"Ayud, apakah kamu mau melahirkan?"
"Entahlah, ini sakit sekali Raka, pergilah, aku nggak bisa ikut, rintih Ayud sambil terus mengelus elus perutnya.
"Ya mana bisa aku pergi sendiri sementara kamu kesakitan begitu?"
"Kamu kan jadi sakti pernikahan mas, jadi harus berangkat."
"Nggak, aku mau mengantar kamu ke rumah sakit."
"Mas, jangan begitu, aku bisa berangkat sendiri."
"Mana bisa kamu menyetir mobil Yud, jangan ngeyel.. ayo bersiaplah, kita berangkat ke rumah sakit saja."
"Aku akan mencoba menelpon mbak Dewi, siapa tau dia bisa membantu." kata Ayus sambil terus mengelus perutnya, dan sebelah tangannya memutar sebuah nomor.
"Hallo..." jawaban dari seberang.
"Hallo, ini bukan mbak Dewi? Saya Ayud.."
"Oh, bu Ayud, saya Mirna, mbak Dewi sedang ke salon, "
"Kamu..oh.. ya sudah... addhuuh..."
"Bu Ayud kenapa?"
"Ini, kayaknya aku mau melahirkan Mir, mau minta mbak Dewi untuk menemani, tapi.. ya sudahlah."
"Bu Ayud, biar saya saja kesana, berikan alamat bu Ayud ya, di ponsel saya, saya akan naik taksi sekarang juga."
"Oh, terimakasih Mirna, baiklah."
"Gimana ?" tanya Raka.
"Mas, kamu menjadi saksi, segera berangkat, Mirna akan menemani aku."
"Mirna?"
"Iya, dia yang menyanggupi, ini aku sedang menuliskan alamat, biar dia langsung kemari."
"Kalau begitu aku tunggu Mirna saja, baru berangkat ke gedung."

Mirna datang sangat cepat. Ia hanya menitipkan pesan kepada pembantu toko bahwa tak bisa ikut ke resepsi karena harus menemani Ayud kerumah sakit.

"Mirna, titip bu Ayud ya, tolong kabari aku kalau ada apa-apa."
"Baik pak..saya akan menemani."
"Kamu bisa nyetir mobil?"
"Bisa pak."
"Ini kuncinya, aku akan memakai mobil bu Ayud. Ma'af ya Yud, aku nggak tau harus bagaimana."
"Nggak apa-apa mas, setelah menjadi saksi kamu bisa menyusul ke rumah sakit.
***

Mirna panik, karena ditengah jalan Ayud sudah sangat kesakitan. Ketuban juga sudah pecah. Beruntung rumah sakit itu tak begitu jauh dari rumah Raka. Ayud langsung dibawa ke VK begitu turun dari mobil.

Mirna sangat cemas, suaminya tak ada, hanya dirinya. Ia ingin menelpon Raka tapi diurungkannya. Ia melihat ke jam tangannya, kurang lima menit akad nikah dilaksanakan.
Mirna melupakan rasa nyeri didadanya karena pujaan hatinya memilih perempuan lain, karena ia sedang cemas memikirkan keadaan Ayud.

Setengah jam.. satu jam... pasti akad nikah telah selesai. Mirna mencoba menelpon Raka.

"Hallo, MIrna, ada apa?"
"Pak, sudah selesai?"
"Sudah, aku mau menyusul, bagaimana Ayud?"
"Masih ada di ruang bersalin, tapi belum lahir pak, kalau bisa bapak segera datang kemari."
"Ya, pasti Mirna, aku sudah bersiap kesana, ini lagi pamit sama yang lainnya."

Mirna merasa lega, semoga bayi lahir dengan selamat. Ia tau Ayud sangat kuat. Dan semoga bapaknya bisa menunggui kelahirannya.
Tiba-tiba Mirna merasa sedih, ia pernah merasakan hamil, ia mulai menyayanginya, tapi ternyata Tuhan mengambilnya. Mirna menghela nafas, biarpun bayi itu bukan buah cintanya, tapi ia adalah darah dagingnya.
Setitik air mata menggenang di pelupuknya. Ia segera mengusapnya. Ia tak harus menangisi nasibnya. Tidak, aku harus kuat menerima semuanya. Lalu terbayang sekilas suasana akad nikah, yang pasti sangat di syukuri oleh semua yang hadir.. dan diam-diam Mirna bersyukur karena tak jadi menghadiri resepsi itu, tak jadi memandang sepasang sejoli yang pasti wajahnya penuh seri bahagia... dan...

"Mirna.." panggilan itu mengejutkannya. Raka tiba-tiba sudah ada didekatnya.
"Sudah didalam, bapak masuk saja, kalau suaminya mungkin diperbolehkan.

Dan seperti memang menunggu kedatangan ayahnya, begitu Raka diijinkan masuk, suara tangisan bayi terdengar, membelah senja temaram, membelah debar hati yang menunggu sejak ber jam-jam lalu.

Mirna bernafas lega. Ia juga merasa lega ketika kemudian melihat sosok mungil kemerahan yang digendong ayahnya dengan rasa suka cita.
***

Mendengar Ayud melahirkan, Adhit mengajak isterinya pergi kerumah sakit pagi itu juga. Ia melangkah cepat sambil menggandeng isterinya, karena ingin segera melihat keponakannya.

Namun begitu memasuki ruangan Ayud, ia melihat Mirna sedang menggendong bayi itu. Menimangnya dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang ibu menggendong buah hatinya. Dilihatnya Mirna begitu luwes, begitu penuh asih, dan tiba-tiba entah oleh perasaan apa, Adhit mendekati Mirna, menyentuh tangannya, dan membuat Mirna terkejut dan bergetar, aduhai, hampir terlepas bayi itu, yang kemudian ditangkap berdua bersama Adhit.

Bersambung #34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER