Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 25 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #34

Cerita bersambung

Mirna terpekik kaget, tangan yang memegang bayu gemetaran. Adhit terus memegangi tangan Mirna, tak sadar bahwa apa yang dilakukannya hampir membuat Mirna pingsan. Bukan hanya karena bayi itu nyaris terjatuh, tapi karena tangan bos ganteng yang terus memegangi tangannya, dan tatapan mata yang begitu dekat dengan wajahnya. Ya Tuhan, belum pernah seperti ini, dan sesa'at keduanya terpaku dalam kejutan yang entah berbeda nafasnya, atau sama. Hanya Tuhan yang tau.

Ayud yang melihatnya nyaris berteriak. Untunglah dua pasang tangan merangkul bayinya dengan erat.

"Mas, apa yang mas lakukan?"katanya setengah berteriak.

Barulah Adhit tersadar, dilepaskannya tangannya, lalu sambil tersenyum ia meminta ma'af.

"Ma'af Mirna, aku mengejutkanmu."
Serangkaian kata yang tak mampu dijawabnya. Kemudian ia menjauh, dan memangku sang bayi sambil duduk di sofa. Debar itu masih sangat kencang. Didekapnya orok yang terlelap itu kedadanya.

Ia baru bisa menenangkan perasaannya ketika mendengar Ayud berbincang dengan kakaknya dan Anggi.

Diam-diam Mirna menyesal datang pagi-pagi kerumah sakit, hanya ingin menggendong bayinya Ayud. Sang bayi baru habis menyusu, lalu digendongnya dengan sepenuh perasaan. Ia teringat bayinya yang tak sempat didekap dan dicintainya. Namun ia tak menyangka sepasang pengantin yang baru semalam menikah juga datang sepagi itu.

"Mengapa -pengantin baru bisa bangun pagi-pagi?"
"Mas Adhit hampir nggak tidur semalaman, masih banyak tamu mengajaknya berbincang."
"Oh, kasihan, malam petama jadi tertunda dong," canda Ayud. yang membuat Anggi tersipu. Mirna pura-pura tak mendengarnya.

"Kamu ngomong sembarangan. Mana, aku mau menggendong keponakanku dulu," kata Adhit yang kemudian berjalan kearah sofa, dimana Mirna memangku keponakannya. Entah dari mana datangnya, Addhit merasa sangat kagum melihat perempuan cantik memangku bayi yang terlelap. Itu pemandangan yang sangat indah..

Mirna berdebar. Mengapa dia mendekati aku lagi? Aduh.. bukan aku .. tapi bayi ini. Atau sebaiknya aku berpamit saja? Kan aku juga harus bekerja? Pikir Mirna sambil menenangkan goncangan batinnya, karena tiba-tiba Adhit duduk disampingnya, sangat dekat dengannya. Ya Tuhan, godaan macam apa lagi ini?

"Oh, sayang... nyaman ya digendong tante Mirna? Sini, pakde juga pengin menggendong kamu lho," kata Adhit sambil mengulurkan tangannya ke arah sang bayi. Dan itu membuat tubuh mereka bersentuhan lagi. Mirna kembali gemetaran, tapi dengan perlahan dilepaskannya bayi mungkil itu ke pangkuan pakdenya.

"Hm... miip siapa kamu le..," kata Adhit sambil memandangi keponakan mungilnya.

Adhit tertawa ketika bayu itu membuka matanya, lalu mulutnya ber gerak-gerak.

"Ups.. lihat Mirna, dia memandangiku. Baru pertama kali kamu melihat pakdemu ini. Ganteng bukan? Wouw.. keponakanku juga ganteng.. tuh.. bibirmu tipis mirip ibumu, mudah-mudahan kamu nggak cerewet kayak ibumu," kata Adhit.

Anggi menoleh kearah suaminya yang sedang ter tawa-tawa sambil memangku bayi Ayud. Tiba-tiba Ayud merasa, Adhit dan Mirna yang sedang berdampingan dengan bayi dipangkuannya, seperti sepasang suami isteri dengan anaknya. Diam-diam ia melirik ke arah Anggi, yang memandangi suaminya dengan pandangan yang aneh. Apakah Anggi cemburu? Ataukah merasa sedih karena tak akan pernah bisa memberikan bayi pada suaminya? Diam-diam Ayud khawatir, melihat bagaimana sikap kakaknya terhadap bayinya, bagaimana kalau nanti Ahit menyesali pilihannya?

Tiba-tiba dilihatnya Mirna berdiri.

"Hei, mau kemana ?" seru Adhit. Mirna berhenti melangkah.
"Saya sudah lama disini hanya karena kepengin menggendong bayinya bu Ayud, saya mohon diri."
"Nanti saja, bersama aku, bukankah kamu juga mau ke tokonya Dewi?"
"Iya sih, tapi nanti saya terlambat terlalu lama, jadi..."
"Nggak apa-apa, nanti aku bilang sama Dewi. Duduklah lagi disini," Adhit menatap Mirna, seperti memohon agar Mirna tak segera pergi.
"Nanti keponakanku yang ganteng ini akan mencari, kemana tante Mirna pakde... begitu..," canda Adhit.
"Iya Mirna, nanti bareng mas Adhit saja," pinta Ayud.

Mirna terpaksa duduk kembali, dengan perasaan tak menentu.

Tiba-tiba perawat datang, dan meminta bayi Ayud, karena sudah selesai menetek pada ibunya.
Adhit mengulurkannya dengan kecewa.

"Mengapa tidak boleh tidur disini saja?"
"Tidak pak, ada ruangan tersendiri untuk bayi. Ia hanya boleh kemari ketika sedang menyusu ibunya., ma'af ya" kata  perawat sambil membawa pergi bayinya.
"Kapan kamu boleh pulang?"
"Kalau nggak ada apa-apa, paling tiga hari sudah boleh pulang."
"Nanti kalau sudah pulang aku pasti kerumah kamu setiap hari."
"Waaah, megapa mas Adhit nggak bikin aja sendiri supaya anakku nggak usah digangguin sama pakdenya?" canda Ayud, yang kemudian sadar bahwa candaannya menyinggung perasaan Anggi.
"Ma'af Anggi, aku hanya bercanda," kata Ayud penuh sesal.

Anggi tersenyum. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang isteri, yang menurutnya suasananya kurang mengenakkan.

"Mas, ayo kita pulang, bukankah mas belum sarapan?" kata Anggi tiba-tiba.
"Baiklah, kita pulang dan mampir sarapan, kita ajaak Mirna sarapan bersama-sama."
"Tt..tapi.... saya..." Mirna gugup sekali, mana mungkin ia harus makan pagi bersama bos ganteng dan isterinya? Yapi bagaimana menolaknya.

"Sudahlah, nanti aku telepone Dewi, dia tak akan marah sama kamu."

Aduh, bagaimana ini? Mau tak mau Mirna harus mengikuti sepasang pengantin baru itu. Ya Tuhan, ini bisa men cabik-cabik perasaannya. Dan ber kali-kali Mirna menyesali kepergiannya ke rumah sakit pagi ini.
***

Dirumah makan itu Mirna hanya memesan nasi gudeg, yang entah kebetulan atau tidak, Adhit memesan menu yang sama.

"Minumnya apa?"
"Teh saja, teh manis," jawab Mirna singkat.
"Anggi mau makan apa?"
"Aku soto ayam saja, sama es jeruk" kata Anggi.

Mereka makan, dan tak banyak ber kata-kata. Adhit teringat Dinda, yang pasti sudah mendominasi semua pembicaraan sa'at makan dimanapun berada.

"Mengapa tadi kita nggak mengajak Dinda ya?" celetuk Adhit tiba-tiba.
"Kayaknya ada kuliah pagi ini," jawab Anggi.
"Oh.. kuliah pagi ya?"
"Mas, rasanya aku nggak ingin melanjutkan kuliah."
"Kamu? Benar ingin berhenti kuliah?"
"Ya, aku ingin total melayani mas," katanya sambil memandang suaminya.
Mirna tersedak.
"Eh, hati-hati, memang nggak bagus ditengah makan lalu kita minum," sapa Adhit .
"Ma'af."
"Terserah kamu saja kalau memang ingin berhenti kuliah. "
"Kapan kita pindah kerumah mas?"
"Bukankah kata eyang harus menunggu setelah sepekan?"
"Apa mas nggak mau tinggal saja dirumah mama?"
"Nggak bisa Anggi, eyang sendirian, kalau mama kan banyak pembantunya."
"Iya benar."
***

Mirna meminta ma'af karena sampai di toko sudah agak siang. Nggak enak rasanya melihat Dewi melayani sendiri pembeli ditokonya.

"Ma'af mbak, tadi..."
"Nggak apa-apa Mir, Adhit sudah menelpon. Jadi kamu tadi pagi-pagi sudah kerumah sakit?"
"Maksud saya sebentar, pengin nggendong bayinya bu Ayud, teringat anak saya mbak."
"Ya sudah, jangan di ingat-ingat lagi. Nanti, kalau kamu menikah lagi, pasti akan mendapatkan gantinya."

Mirna tersenyum. Siapa yang bisa meruntuhkan hatinya sa'at ini? Mirna merasa gila karena mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Tapi mengapa sikap Adhit begitu manis? Itu membuatnya selalu tergoda, ia sungguh heran pada dirinya sendiri, alangkah susah mengibaskan bayangan Adhit dari benaknya.

"Kamu harus melupakan masa lalumu Mirna, kamu masih muda, pasti banyak laki-laki yang ingin memperisteri kamu.

Mirna duduk dikursi, didepan meja yang bertumpuk barang ada disana. Dewi baru saja membeli barang-barang baru, dan Mirna ingin mengecek harganya.

"mBak, ditaruh dimana notanya?"
"Oh, ini, masih ada dimejaku."

Mirna mengambil nota dimeja Dewi, ia ingin mengalihkan pembicaraan tentang menikah itu. Sepagi ini perasaannya dibuat bagai ter cabik-cabik oleh sikap Adhit yang begitu manis terhadapnya. Selama ini belum pernah semanis itu. Duduk sangat dekat, dan Adhit memangku bayi.. lalu..

"Oh ya, ini daftar pesanan bu Susan, nanti dia minta belanjaannya diantar kerumah, padahal pembantu tidak masuk."
"Jadi..." kata Mirna, ia mulai berdebar, kalau dia yang disuruh kerumah bu Susan, lalu ketemu Adhit disana, oh... tidaak.."
"Mirna, nanti tolong kamu antar ya, cuma sedikit, ini sudah aku siapkan."
"Oh, eh.. iya mbak.."
"Kamu kenapa kelihatan gugup begitu?"
"In..ini.. baru mencocokkan notanya mbak.."
"Kalau begitu biar aku saja...kamu antar belanjaan bu Susan sekarang saja ya."
"Bb..baiklah mbak.."

Mirna mengambil belanjaan yang sudah disiapkan Dewi, sambil mengomel dalam hati, mengapa pembantu hari ini tidak masuk?

"Mirna, notanya ada didalam ya."

Mirna mengangguk dan melangkah pergi.
Tuh kan, yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Begitu memasuki pekarangan rumah bu Susan, yang dilihatnya pertama kali adalah Adhit. Ia sedang duduk di teras depan, sendiri.
Mirna ingin berbelok masuk dari samping rumah, tapi Adhit keburu memanggilnya.

"Mirna.. sini..!"

Mirna terpaksa menuju teras.

"Apa itu?"
"Ini.. mm.. mengantar .. belanjaan bu Susan.."
"Anggiiiii.." Adhit berteriak.
"Duduklah dulu,"
"Saya .. menunggu disini saja.."
"Lho, masak berdiri disitu ?"

Tiba-tiba Anggi muncul dari dalam, sambil membawa dua gelas minuman dingin.

"Itu belanjaan pesanan mama kamu."

Anggi meletakkan dua gelas minumannya, lalu menghampiri Mirna, meminta tas berisi belanjaan itu.

"Mana notanya mbak?"
"Ada... didalam.."
"Oh, ya.. duduklah dulu," kata Anggi sambil membawa belanjaan kedalam.
"Ayo duduk disini, apa aku harus menarikmu?" kata Adhit sambil berdiri mendekati Mirna. Mirna terpaksa masuk, lalu duduk di kursi diteras itu. Kepalanya menunduk, memandangi lantai bercorak cantik yang terbentang di teras itu.
"Nah, itu baru bener, ayo diminum," Adhit menyodorkan minuman ke dekat Mirna, lalu mengambil gelas satunya untuk dirinya sendiri.
"Mirna, minumlah, rupanya kamu itu harus dipaksa  ya,"

Mirna ragu-ragu, bukankah dua gelas yang dibawa Anggi tadi untuk Adhit dan Anggi sendiri? Mengapa Adhit memaksanya untuk meminumnya.

"Mirna, minumlah,"
"Terimakasih pak, saya baru saja minum di toko tadi."
"Ini uangnya mbak," kata Anggi yang sudah muncul, dan merasa heran karena satu gelas yang seharusnya untuk dirinya, disodorkan kedepan Mirna.
"Minum dulu mbak, kan mas Adhit sudah mempersilahkan," kata Anggi sambil tersenyum.
"Terima kasih, saya mau langsung saja, so'alnya mbak Dewi sendirian di toko, pembantunya nggak masuk," kata Mirna sambil berdiri.
"Baiklah mbak, terimakasih banyak, kalau tau nggak ada pembantunya tadi biar saya ambil saja."
"Nggak apa-apa kok, permisi.." kata Mirna sambil berlalu.
"Kenapa mas suruh mbak Mirna meminum minumanku?" kata Anggi sambil cemberut.
"Hanya minuman kan kamu bisa ambil lagi. "
"Cuma pegawe toko saja, mas kelihatannya perhatian sekali," kata Anggi sambil meneguk minumannya.
"Dia itu bekas sekretarisku, dan dia baik kok," Adhit meneguk minumannya, tak memperhatikan sikap Anggi, lalu mengambil koran yang terletak diatas meja.
***

Adhit dan Anggi sudah pindah kerumah bu Broto, yang selama sepekan kesepian ditinggal cucunya. Ia senang Anggi selalu berada dirumah, dan mau belajar memasak demi melayani suaminya.
Anggi memang banyak belajar dari bu Broto. Ia menyadari kekurangannya, dan melayani suaminya, menjaganya seperti menjaga mutiara.
Setiap kali makan dirumah, bu Broto selalu bilang bahwa itu masakan isterinya. Adhit senang isterinya sangat dekat dengan neneknya.
Tapi sore itu, sepulang dari kantor, dilihatnya Anggi sedang duduk diruang tengah, dipangkuannya terlihat sesuatu yang di elus-elusnya.

Sesa'at Adhit teringat pada Mirna, yang beberapa hari lalu dilihatnya sedang memangku bayi Ayud.Adhit tersenyum, entah mengapa hatinya tersentuh setiap kali teringat pemandangan yang dianggapnya sangat manis itu.
Anggi tak melihat suaminya datang. Adhit mendekat, dan terkejut melihat Anggi sedang membelai kucing.

"Anggi, apa yang kamu lakukan?" teriak Adhit. Rupanya bu Broto lupa memberi tau bahwa Adhit tak suka ada hewan peliharaan didalam rumah.

Anggi terkejut, dilepaskannya kucing itu, yang kemudian berlari kearah depan, menabrak kaki Adhit.

"Anggiiiii!!"

Anggi terkejut, melihat Adhit menatapnya dengan pandangan marah.

==========

Anggi terkejut. Ia langsung berdiri dan bergegas mendekati suaminya.

"Ma'af mas, Anggi nggak tau kalau mas sudah datang," katanya sambil menyambut tas kerja yang dibawa suamina.
"Mengapa kamu mem bawa-bawa kucing kerumah ini ?" tanya Adhit dngan wajah kusam.
"Iya, kucing tetangga lewat didepan sana, aku memanggilnya dan datang, tapi..."
"Jangan Lagi kamu ulangi dengan membawa kucing ataupun binatang piaraan lainnya kerumah ini, aku tidak suka," katanya sambil berlalu.

Berlinang air mata Anggi, ia tak menyangka Adhit bisa berkata sepedas itu, dengan wajah yang sangat muram, mengandung kemarahan.

"Anggi...," tiba-tiba bu Broto muncul dari dalam.
"Eyang, Anggi tidak tau bahwa mas Adhit tidak suka kucing," kata Anggi memelas, lalu menceritakan kemarahan suaminya tadi.
"Oh, iya... eyang lupa memberi tau, suamimu itu tidak suka kucing, tidak suka anjing dipelihara didalam rumah. Geli katanya. Darimana kamu bisa mendapatkan kucing itu?"
"Ada kucing lewat didepan sana, Anggi panggil lalu mendekat, warnanya bagus, sebenarnya Anggi ingin memelihara kucing."
"Jangan Anggi, Adhit pasti tidak suka," kata bu Broto sambil mengelus punggung cucu menantunya.

Anggi mengangguk, lalu meletakkan tas yang tadi dibawa suaminya diatas meja kerjanya, kemudian masuk kedalam kamar. Dilihatnya Adhit sedang berganti baju. Anggi mendekat, lalu dibantunya suaminya melepaskan kancing-kancing bajunya.

"Mas, Anggi minta ma'af, Anggi nggak tau kalau mas nggak suka kucing," katanya lembut, yang tak urung meluluhkan juga hati Adhit.Ada rasa menyesal ketika tadi berkata kasar.
"Iya, nggak apa-apa, sekarang kamu kan sudah tau. Kamu suka kucing rupanya?"
"Iya sih, tapi sekarang enggak lagi, karena mas juga nggak suka."
"Terimakasih Anggi."
"Mas mandilah dulu, aku akan siapkan minum buat mas."
"Baiklah," kata Adhit sambil menerima handuk yang diulurkan isterinya.

Anggi keluar dari kamar. Dilihatnya bu Broto ssudah duduk diruang tengah, dan teh hangat sudah dihidangkan disana.

"Ma'af eyang, tadinya Anggi mau menyiapkan minum untuk mas Adhit. Ternyata sudah siap disini, kata Anggi sambil duduk dehadapan bu Broto.
"Sudah Sumi yang menyajikannya. Suamimu masih marah?"
"Sepertinya enggak eyang. Sekarang sedang mandi."
"Baguslah, pada dasarnya Adhit itu jarang sekali marah. Hatinya sangat baik dan penyayang. Ia suka berbuat kebaikan pada siapa saja. Beruntung kamu bisa menjadi isterinya."
"Ya benar, Anggi tidak menyangka mas Adhit bersedia menerima segala kekurangan Anggi. Ini anugerah buat Anggi. Dan Anggi berjanji akan melayani dengan sepenuh jiwa raga, eyang, Anggi juga tidak akan melanggar apa yang dia larang, apa yang dia tidak suka," katanya sambil matanya menerawang kedepan, entah apa yang dipikirkanna.
"Anggi, eyang senang mendengarnya. Eyang berharap, hidup kamu akan bahagia selamanya, menjadi isteri yang baik itu kan harapan setiap suami.. ."
"Ajari Anggi supaya bisa menjadi isteri yang baik ya eyang," kata Anggi.

Bu Broto meng angguk-anguk Walau kecewa dengan cacat yang disandang cucu menantunya, tapi ia selalu berharap akan kebahagiaan mereka. Semoga.
Namun ketika keluar, Adhit sudah berganti pakaian rapi, tampaknya ia akan bepergian.

"Lho mas, mau kemana ?"
"Mau kemana, ini tehnya diminum dulu, keburu dingin tuh," ujar bu Broto.
"Iya eyang," jawab Adhit sambil duduk diantara mereka, lalu menghirup teh yang sudah disediakan.
"Ini apa eyang?"
"Itu sukun goreng, enak lho... masih hangat.."
"Oh iya eyang, tapi nanti saja ya, Adhit mau ke rumah Ayud dulu."
"Lho, kok kerumah Ayud nggak ngajak isterinya?"
"Pengin liat anaknya, lucu banget eyang. Oh ya, Anggi, kamu mau ikut?"
"Nggak mas, nanti mas kelamaan, kan Anggi harus ganti pakaian segala, kelihatannya mas buru-buru."
"Baiklah, kalau begitu temani eyang ngobrol ya," katanya sambil berdiri.

Anggi berdiri, mengikuti suaminya dari belakang. Ada sedikit nyeri dihatinya, ketika menyadari suaminya tak mau mengajaknya pergi. Ia bahkan tidak memaksa ketika dirinya mengatakan tidak usah ikut, padahal dia hanya basa basi. Cuma kerumah Ayud, ia ingin juga ikut sih.

"Ya, sudahlah," keluhnya pelan. Adhit menoleh kebelakang, sepertinya ia mendengar Anggi mengatakan sesuatu.
"Apa Nggi?"
"Nggak apa-apa, mas hati-hati dijalan ya," katanya ketika Adhit mulai membuka pintu mobil, kemudian menjalankannya.

Anggi menghela nafas panjang. Ada telaga bening mengambang dipelupuk matanya.

"Aku akan menjaga cintaku, seperti menjaga sebutir mutiara berharga," bisiknya sambil melangkah masuk kedalam rumah.
***

"Horee... ada pakde nih le..."
"Hallow... keponakan pakde yang ganteng, eh.. pakde lupa, siapa sih namanya?"
"Yee... baru dua minggu lebih sudah lupa nama keponakannya,,,, ayo jawab le, siapa namamu?" kata Ayud sambil mengulurkan anaknya di gendongan Adhit.
"Iya, pakde lupa.. siapa namamu...cah bagus?"
"Nama caya..Ananda... pakde..." jawab Ayud  yang kemudian meneriaki suaminya.
"Bapaaak, ini ada pakde..."

Raka muncul lalu menyalami kakak iparnya.

"Mana isterimu mas ?"
"Iya, budenya kok nggak ikut?"
"Nggak mau.. tadi sudah mas ajak."
"Masa nggak mau sih?"
"Iya, benar, mas tuh nggak suka me maksa-maksa, ya.. Nanda..?"
"Jam segini sudah wangi, pulang dari kantor jam berapa?"
"Dari kantor, pulang, mandi terus kesini," jawabnya sambil menciumi Ananda. Ayud meng geleng-gelengkan kepalanya.
Ia tau kakaknya tak akan memiliki anak, itukah sebabnya ia sangat sayang pada Ananda? Ada rasa sedih yang menyelinap, dan meragukan kebahagiaan mereka.

"Lain kali kalau bilang nggak mau harus dipaksa mas, kan cuma mau kesini," kata Raka.
"Iya tuh," Ayud menimpali,
"Yah, aku kan sudah bilang nggak mau me maksa-maksa."
"Iih, mas Adhit aneh deh, memaksa kerumah adiknya kan nggak apa-apa."

Adhit juga menyesal, mengapa tadi tidak memaksanya. Terkadang ia merasa aneh, tiba-tiba sudah memiliki isteri, tapi yang belum pernah dijamahnya. Aduhai...
***

"Anggi, kamu dimana ?" itu suara Dinda ketika menelpon Anggi.
"Hai, Dinda, aku dirumah."
"Eh, kirain ngelayap kemana gitu."
"Waah, aku habis belajar memasak sama eyang. Kamu kuliah?"
"Udah selesai, ini mau kesitu, bolehkah?"
"Ya boleh dong, seneng aku, hampi sebulan nggak pernah ngelihat wajah kamu."
"Oo, iya? Emang sih, aku ini jelek-jelek begini ta[i ngangenin.. ya udah, aku sebenarnya uda jalan kesitu, hampir sampai nih."
"Ya ampuun, ya udah, aku tungguin didepan."

Begitu Anggi sampai di teras rumah, Dinda baru saja turun dari taksi online yang ditumpanginya. Setengah berlari ia mendekati sahabatnya, kemudian berpelukan lama sekali. Lalu Dinda lari ke dalam untuk menyapa bu Broto.

"Eyang, apa kabar?"

Bu Broto tampak senang melihat kedatangan Dinda. Ia memeluk dan menciumi pipi Dinda.

"Lama banget nggak kesini nduk,"
"Iya eyang, sibuk belajar, eyang lagi ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain, nih lagi nonton televisi. Ya sudah duduk didepan sana .. biar eyang suruh Sumi buat minuman untuk kalian."
"Ya eyang," kata Dinda yang kemudian kembali ke teras. Anggi sudah menunggunya disana.
"Apa kabar pengantin baru?"
"Baik, kamu lebih kurusan, kurang makan ya?"
"Masak sih, gila apa.. begini dibilang kurus."
"Sedikit.."
"Mungkin berat badanku sedikit berkurang, mau ujian nih. Enak kamu, nggak usah miki kuliah, kerjanya santai aja dirumah."
"Iya, lagi belajar jadi isteri," jawab Anggi sambil tertawa.
"Eh gimana sih rasanya jadi pengantin? Enakkah?"
"Gila kamu nanyanya yang aneh-aneh Din.. "
"Kalau enak, biar aku jadi kepengin... gitu lhoh.."
"Biasa aja..."
"Eh, gimana malam pertama?" kata Dinda seenaknya. Tapi Dinda heran, dilihatnya wajah Anggi muram.
"Dia belum pernah menjamah aku," kata Anggi sambil matanya menerawang jauh.

Dinda terkejut.

"Sudah sebulan .. dan belum pernah menjamah kamu?"
"Nggak apa-apa Dinda, jangan ikutan sedih begitu ah, aku sabar kok. Mungkin nggak mudah melakukan ketika cinta belum tumbuh," kata Anggi sambil tersenyum, atau memang mencoba menyiratkan senyum untuk menutupi kegelisahan hatinya.
"Ya sudah Nggi, kamu sabar ya, pada suatu hari nanti hal itu pasti akan terjadi."
"Aku tau, mas Adhit menikahi aku karena belas kasihan mendengar penderitaanku."
"Mungkin, tapi lambat laun cinta itu pasti akan tumbuh. Mas Adhit sesungguhnya sangat baik."
"Iya, aku tau."
"Ayo kita jalan-jalan.."
"Kemana?"
"Kemana aja, nggak enak dirumah terus, kan kamu udah selesai memasak?"
"Iya, aku bilang eyang dulu ya, kayaknya asyik jalan lagi sama kamu kayak dulu," sambut Anggi yang kemudian berdiri dan berpamit pada bu Broto.
***

"Mirna, maukah ikut bersama kami siang ini?" kata Dewi ketika sa'atna Mirna beristirahat.
"Kemana mbak?"
"Hari ini Bima mulang tahun, kita akan merayakannya sambil makan-makan direstoran.
"Oh ya, tapi Bima kan kesekolah?"
"Kita jemput dia, langsung kita ajak makan."
"Baiklah, terserah mbak saja."
"Aku sudah berpesan pada pembantu bahwa kita akan pergi sebentar siang ini."
"Baiklah mbak."
***

Setelah menjemput Bima, mereka kemudian pergi kerumah makan pilihan Bima. Pasti lah anak kecil, dicarinya rumah makan yang ada es krimnya.

"Selamat ulang tahun Bima," kata Mirna ketika dia sudah duduk dirumah makan itu.
"Terimakasih tante," jawab Bima tersipu.
"Ayo dong sini, tante Mirna pengin nyium pipi kamu," kata Mirna.

Bima langsung berdiri mendekat.  Mirna menciumnya dengan gemas. Bima memang gembul, pipinya seperti bakpao, kata ibunya. Dan ber kali-kali Mirna menciumnya.

"Bilang terimakasih sama tante Mirna,"
"Sudah kok.." jawab Bima sambil kembali duduk.
"mBak, nanti setelah makan, bolehkah kita mampir sebentar ke toko mainan? Saya ingin membelikan sesuatu untuk BIma."
"Mirna, nggak usah repot-repot lah, mainan Bima sudah banyak," serga Dewi.
"Ya nggak apa-apa kan mbak, ini haru istimewa buat Bima, ya Bima, nanti Bima boleh memilih mainan yang Bima suka, sebagai hadiah ulang tahun untuk Bima."
"Horeee...."
"Eh, belum-belum sudah hore.." seru Dewi sambil tersenyum.
"Terimakasih tante..." kata Bima dengan wajah berseri.
"Tapi makan es krimnya nggak boleh banyak=banyak lho."
"Iya bu, kan baru sekali," protes Bima.
"Lhah maunya berapa kali?"

Bima mengacungkan dua jarinya sambil meringis.
***

Di toko mainan itu Mirna merangkul pundak BIma, menyusuri etalase dan mempersilahkan Bima untuk memilih mainan yang disukainya. Dewi hanya mengikutinya, dan terharu melihat Mirna tampak sangat menyayangi Aji.
Walah baru hamil sekali, itupun kemudian dia keguguran, tapi rasa keibuannya sangat tampak.
Diam-diam Dewi berdo'a agar suatu hari nanti Mirna juga mendapatkan suami yang baik, memiliki anak-anak yang lucu.

"Bima, jangan yang mahal-mahal ya milihnya, kasihan tante Mirna," pesan Dewi yang terus mengikuti mereka dari belakang.

Mereka tidak tau, sepasang mata sedang mengawasi Mirna dan Bima dengan perasaan tak menentu.

"Itu kan MIrna? " bisiknya pelan. Lagi-lagi ia seperti melihat seorang ibu yang sedang menuntun anaknya dengan kasih sayang. Adhit merasa terguncang. Bukankah memiliki anak itu bahagia? Ia merasakan kehangatan yang terdampar dihadapannya. Tak seorangpun tau apa yang difikirkannya.
"Mirna," tak tahan ia memanggilnya.

Mirna terkejut dan berpaling kearah datangnya suara. Demikian juga Dewi dan Bima. Mereka heran melihat Adhit ada disana.

Bersambung #35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER