Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 26 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #35

Cerita bersambung

Mirna mengeluh dalam hati. Selalu begini setiap kali ada Adhit. Seharusnya tak usah bertemu, sehingga perasaan ini tak mengganggu. Ya Tuhan, aku mencintainya, keluhnya dalam hati. Sementara Adhit sudah berjalan semakin dekat. Beruntung Bima kemudian menariknya karena dia melihat sesuatu seperti yang diinginkannya. Dengan senang hati sambil menenangkan hatinya Mirna mengikuti langkah Bima.

Adhit melihat itu seperti melihat pemandangan yang menyenangkan. Seorang ibu, dan seoang anaknya yang merengek minta dibelikan mainan. Aduhai, seandainya aku bisa, bisik batin Adhit sambil terus menatap keduanya.

"Adhit, apa yang kamu lakukan disini?" seru Dewi begitu Adhit tiba didepannya.

Adhit terkejut, buyar lamunannya.

"Aku lagi cari mainan untuk Ananda. Anaknya Ayud."
"Ya ampun, baru satu bulan belum ada, dia mau kamu beri mainan apa?"
"Nggak tau aku, baru mau nyari nih."
"Adhit... kamu ingin punya anak kan?" tiba-tiba Dewi berkata seenaknya. Adhit terkejut, benarkah apa yang dikatakan Dewi?

"Ah, entahlah... ini kamu lagi ngapain? Beli mainan buat Bima?"
"Iya, ceritanya Bima kan ulang tahun, Mirna ingin membelikan sesuatu buat Bima, nggak tau tuh, dari tadi me milih-milih terus."
"Kalau begitu aku juga ingin membeli mainan untuk Bima," kata Adhit yang kemudian bergegas mendekati Mirna dan Bima yang lagi me lihat-lihat.
"Hai BIma, selamat ulang tahun ya," kata Adhit tiba-tiba, dan lagi lagi mengejutkan Mirna. Bos ganteng sudah ada didekatnya.
Dibiarkannya Bima menerima salam dan ciuman dari Adhit, sementara dia sedang menyuruh pelayan toko mengambilkan mobil-mobilan yang tadi dipilih Bima.

"Bima mau mobil itu?"
"Iya, tapi kata ibu nggak boleh yang mahal-mahal."
"Bima mau yang mana? Itu, yang dipegang tante Mirna?"

Bima mengangguk. Harga mobil itu duaratus limapuluh ribu rupiah, Mirna ingin membelinya, tapi ketika pelayan mengulurkan nota yang dibuatnya, Adhit memintanya.

"Biar aku yang membayarnya," katanya sambil tersenyum kepada Mirna. Aduh, kenapa tersenyum begitu?

"Oh.. jj.. jangan... saya.. ingin...ingin membelikan untuk Bima."
"Benar, tapi ijinkan aku yang membayarnya, Bima pengin yang mana lagi?"

Bima, namanya anak kecil, ditawarin mainan, siapa yang nggak mau? Adhit membawanya ke kelompok yang lain.

"Woouww... kapal terbang, Bima suka?"

Bima mengangguk, tapi kemudian menoleh kepada ibunya, yang mengacungkan jari telunjuk sambil di goyang-goyangkan, tanda melarang.
Adhit menoleh ke arah Dewi.

"Dewi, apa-apaan kamu ini, biarkan saja, ini kan ulang tahunnya, biarlah dia bergembira sedikit saja," kata Adhit sambil menarik Bima untuk melihat pesawat mana yang dia suka.
Bima menoleh lagi pada ibunya, tapi Adhit kembali menariknya.

"Sudahlah, ibumu sudah mengijinkan, jangan takut, yang mana? Ini.. yang biru? Ouw.. ini helikopter..  atau... "
"Yang itu," Bima menunjuk kesebuah pesawat lain.
"Itu?"

Bima mengangguk. Pelayan segera mengambil dan membuatkan nota.

Sementara Mirna kemudian mendekati Dewi yang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Adhit.

"Biarkan saja, mana bisa menahan kemauan dia," kata Dewi yang kemudian melihat wajah Mirna yang pucat.

"Mirna, kamu kenapa? Sakit?"
"Oh, nggak mbak, memangnya saya kelihatan seperti sakit?"

Dewi memegang tangan Mirna, yang berkeringat.

"Tuh, keringat dingin tuh."
"Nggak mbak, bener saya nggak apa-apa."

Dewi melihat sesuatu dimata Mirna. Sudah lama dia men duga-duga. Mirna suka sama Adhit, dan sekarang kelihatan lagi perbedaan sikapnya, dari semula dia datang, sampai setelah Adhit datang. Ya Tuhan, kasihan Mirna.

Dilihatnya Adhit membawa Bima ke tempat kasir, lalu tak lama kemudian dua buah bungkusan besar sudah dibawanya bersama Bima.

"Ibu, om Adhit yang kasih.." kata Bima begitu sampai didepan ibunya.
"Ya sudah, nggak apa-apa, kalau masih mau lagi minta aja lagi sama om Adhit. Tapi Bima menggeleng. Adhit tertawa.

"Nggak apa-apa kok, kalau perlu ibunya boleh minta yang dia suka, boneka barby?"

Dewi tertawa sambil menggaplok lengan Adhit.

"Lhah kamu tadi mau beli apa, kok jadi mikirin Bima?"
"Nggak jadi, katanya masih belum sebulan belum bisa main apapun."
"Ya nggak apa-apa, namanya hadiah, boleh saja dibeli sekarang untuk bermain besok-besok."
"Kalau begitu antar aku nyariin dong, ayo Mirna," kata Adhit kepada Mirna.

Kok aku sih, Mirna tak mampu lagi menahan debar jantungnya.

"Ssa..saya.. mana tau.." jawabnya gugup.
"Ya sudah, ayo kita cari bersama-sama," kata Dewi yang kemudian menarik Adhit menuju ke mainan bayi.
***

Ketika mereka keluar dari toko mainan itu, Dewi Mirna dan Bima menuju ke arah mobil Dewi, tapi Adhit mengikutinya.

"Kamu mau kemana ?" tanya Dewi.
"Mobilku disana," jawab Adhit, tapi tiba-tiba Adhit terkejut ketika seseorang memanggilnya.

"Mas Adhit !!"

Dan lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang berjalan mendekatinya. Dinda dan Anggi.

"Dinda, Anggi?"

Dewi dan Mirna urung masuk ke mobilnya. Ia menyalami Anggi dan Dinda.

"Kok bisa main sendiri-sendiri sih." seru Dewi.
"Dinda nyamperin saya, ngajakin jalan..."
"Ya sudah, kami duluan ya," kata Dewi yang kemudian menggandeng Mirna dan Bimo untuk diajak naik ke mobilnya.

"Dinda, kamu nggak kuliah?" tanya Adhit setelah mobil Dewi berlalu.
"Nggak, lagi kangen sama Anggi, trus aku ajak jalan-jalan, nggak boleh?"
"Boleh saja, siapa bilang nggak boleh."
"Mas Adhit sih, jalan-jalan nggak ngajakin isteri malah ngajakin orang lain," tegus Dinda sambil cemberut sementara Anggi hanya diam saja.

"Bukan ngajakin, kami kebetulan saja ketemu disini."
"Itu mas bawa apa?"
"Lha ya ini, lagi beliin mainan buat Ananda, ee.. ketemu Dewi sama Mirna yang lagi beliin mainan Bima."
"Bima itu anaknya mbak Dewi?"
"Iya.. hari ini ulang tahun. Mas juga kaget melihat mereka."
"Ya udah, sekarang traktir kami makan dong, eeh.. sama isterinya kok diam aja,"
"Aneh kamu, terus harus bagaimana?"
"Dicium kek..." kata Dinda seenaknya.
"Dinda, kamu ada-ada saja."
"Ayo mas, kita makan, laper nih," Dinda merengek seperti biasanya kalau ketemu Adhit.
"Baiklah, mau makan dimana?"
"Mana bungkusannya biar Anggi yang bawa mas," kata Anggi meminta bungkusan besar yang ditenteng suaminya. Adhit mengulurkannya sambil tersenyum.

"Berat lho," katanya.
"Nggak papa, nggak berat kok."
"Ayo, kita makan dimana?"
"Terserah kamu , tapi  cari disekitar sini saja, karena mas harus segera kembali ke kantor."
***

Setelah mengantarkan Anggi pulang, Adhit kemudian mengantar Dinda ke tempat kostnya. Dengan enteng Dinda menegur Adhit yang tampak tak ramah terhadap isterinya.

"Mas, mengapa mas mengambil dia sebagai isteri kalau mas nggak suka sama dia?"
"Kok kamu bilang begitu?"
"Kelihatan, apalagi pengantin baru, nggak ada mesra-mesranya."
"Kamu itu anak kecil tau apa."
"Eh, jangan lagi bilang Dinda anak kecil ya, Dinda udah mahasiswa nih, udah dewasa, udah boleh nyari pacar."

Adhit tertawa. Selalu semuanya menjadi ramai kalau ada Dinda.

"Mas, Dinda minta ya, jangan sampai mas membuat Anggi sedih."
"Memangnya Anggi cerita apa sama kamu?"
"Nggak cerita apa-apa. Dia cuma bilang sangat mencintai mas. Tapi dia tau bahwa mas hanya kasihan sama dia."
"Nggak semuanya benar," jawab Adhit sambil menghela nafas. Sesungguhnya Adhit juga heran pada dirinya sendiri. Mengapa sama sekali tak ada gairah ketika mendekati Anggi. Tapi bukan berarti dia nggak suka. Sungguh.

"Maksudnya apa?"
"Mas suka kok, tapi beri mas waktu, kan kami juga belum lama kenalnya?"
"Kalau begitu mengapa mas buru-buru melamarnya? Dinda sudah peringatkan, cari yang lain saja supaya mas nggak kecewa. Mas nekat," kata Dinda sambil cemberut.
"Aduuh, hari ini aku sial ya, masa seorang kakak dimarah-marahin sama adiknya."
"Pokoknya Dinda nggak suka kalau mas me nyia-nyiakan Anggi."
***

Malam itu ketika berbaring disamping Anggi, Adhit termenung. Kata-kata Dinda sangat menusuk perasaannya. Bukan dia sakit hati, tapi dia mulai menyadari kesalahannya. Dipandangnya isterinya, yang terbaring telentang sambil memejamkan matanya. Selalu begitu, Anggi tak pernah menuntut. Anggi menyadari kekurangannya, dan sadar seandainya Adhit tak akan memberinya cinta. Mata bening yang terpejam itu, membiaskan bulu-bulu mata lentik yang menawan. Bibir tipisnya terkatup. Ada helai-helai rambut yang menutupi wajahnya. Adhit memiringkan tubuhnya, sejenak menikmati keindahan yang setiap malam terbentang disampingnya dan tak pernah disentuhnya.

"Alangkah berdosanya aku," bisiknya lembut. Lalu sebelah tangannya terulur, menyibakkan helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
Anggi tak terusik. Ia mungkin terlelap, atau pura-pura terlelap. Wajah cantik itu tergolek diam, seperti bayi tanpa dosa. Adhit tergoda untuk menyentuh pipinya yang sidikit kemerahan. Disentuhnya pelan. Sebulan lamanya tubuh molek itu terbaring disampingnya, dan dia membiarkannya. Seperti seorang teman yang tidur seranjang, tanpa melakukan apa-apa. Tapi malam itu, entah  karena omelan Dinda, atau entah malaikat mana yang mengingatkannya, baru Adhit menyadarinya.

Disentuhnya pipinya lagi, Anggi tetap tak bergeming. Terlalu nyenyakkah tidurnya atau memang dia sedang menunggu?

Adhit menggeser tubuhnya lebih mendekat. Tubuh molek itu meggeliat, lalu berbalik memunggunginya. Adhit menghela nafas. Dia baru menyentuh pipinya, dan darahnya mulai berdesir aneh. Dibalikkannya tubuh yang menghadap kearah sana, lalu tubuh itu kembali tertelentang. Tapi mata itu masih terpejam. Desirah nafasnya halus terdengar, rupanya Anggi benar terlelap. Ia tak lagi pernah menunggu setelah sebulan penantiannya tanpa arti.

Tapi malam itu Adhit merasa lain. tubuh molek yang tergolek itu adalah miliknya, mengapa di sia-siakannya? Adhit mengangkat kepalanya, lalu mengecup bibir tipis yang terkatup dengan lembut. Tiba-tiba Anggi membuka matanya. Seperti mimpi ia merasakan ada seseorang yang mencumbuinya. Suami yang dicintainya. Ia merasa tubuhnya melayang, tinggi sekali.

==========

Malam itu adalah malam dimana Adhit menemukan seseorang yang harus dicintainya, dan Anggi menemukan suami yang betul-betul menjadi suaminya. Entah itu nafsu, entah itu cinta, Anggi tak perduli. Ia adalah perempuan yang butuh perhatian dari suami, butuh elusan sayang, gelora menggelegak dimalam malam yang dingin.

Sampai pagi tiba, Anggi masih terlelap dalam pelukan Adhit.

Bu Broto heran melihat Anggi belum bangun pagi itu. Biasanya Anggi bangun selalu hampir bersamaan dengan dirinya, bersama membuat minum dan sarapan buat Adhit. Mungkinkah Anggi sakit?

Ketika bu Broto sedang menata roti yang akan  dibakar dipiring, Anggi muncul dengan rambut masih basah.

"Ma'af eyang, Anggi terlambat bangun," kata Anggi tersipu.

Bu Broto menatap Anggi dan tersenyum ketika melihat rambut ikal yang biasanya tergerai kini basah berbalut anduk.

"Nggak apa-apa, sudah eyang dan Sumi siapkan, bangunkan suamimu dan ajak dia sarapan."
"Baiklah," jawab Anggi sambil membawa nampan yang sudah berisi cawan teh hangat, lalu meletakkannya dimeja ruang tengah. Anggi kemudian masuk kekamar, dan melihat suaminya sudah beranjak ke kamar mandi. Tubuh kekarnya berbalut handuk sebatas pinggang, menampakkan dada bidangnya yang telanjang. Sejenak Anggi terpesona.

"Baru mau mandi?" pertanyaan yang sekenanya karena dilihatnya Adhit kan memang mau masuk kekamar mandi?

"Hm mh..." jawab Adhit sambil tersenyum. Senyuman yang berbeda, bukan senyuman dingin seperti setiap kali dilihatnya. Ada bahagia membuncah dihati Anggi. Ia segera membereskan tempat tidur, lalu menyiapkan ganti baju untuk suaminya. Ini sudah setiap hari dilakukannya, tapi pagi ini semuanya terasa lain. Anggi membuka jendela kamar, dan tersenyum kepada burung-burung yang berceloteh dipohon, kepada bunga-bunga yang berayun perlahan oleh hembusan angin pagi nan segar. Ia juga tersenyum kepada matahari yang muncul diufuk timur dengan kemerahan yang ramah. Selamat pagi wahai hari indahku... bisiknya perlahan.

Ketika Adhit muncul dari kamar mandi, dengan tubuh masih terbalut handuk Anggi mengulurkan handuk kering yang sudah disiapkannya, dan Adhit begitu saja melepaskan balutan handuknya. Anggi melihatnya tersipu, ia ingin keluar dan membiarkan Adhit mengganti sendiri pakaiannya, tapi Adhit menariknya.

Anggi tenggelam dalam dekapannya.

"Ma'afkan aku.." hanya itu yang diucapkannya, lalu mengecup keningnya.

Tubuh Anggi bergetar. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini. Tapi ia mengangguk, kemudian melepaskan pelukan suaminya.

"Bantu aku mengeringkan tubuhku, Anggi," kata Adhit sambil mengulurkan handuknya.

Anggi menerimanya dan mengelap tubuh suaminya dengan perasaan tak menentu. Ia terkejut ketika tiba-tiba Adhit mengangkat tubuhnya dan membaringkannya kembali di ranjang.
***

Bu Broto meletakkan roti bakar yang masih hangat, lalu duduk disana. Ia menunggu Adhit dan Anggi keluar dari kamarnya. Tak enak rasanya minum dan sarapan sendiri. Ber kali-kali menoleh kearah pintu kamar mereka, tapi keduanya belum muncul juga.

"Hm, tehnya keburu dingin," gumam bu Broto yang kemudian meraih cawan yang sudah disiapkan dihadapannya.  Sa'at itulah keduanya muncul, Adhit sudah dengan pakaian rapi, siap pergi ke kantor.

"Itu, teh kalian keburu dingin," kata bu Broto sambil menghirup minumannya.

Adhit dan Anggi duduk bersebelahan, wajah mereka berseri. Bu Broto melihatnya sekilas, kemudian mengambil sepotong roti bakar yang masih hangat.

Adhit dan Anggi menghirup tehnya, hampir bersamaan, mencomot roti bakarnya, juga hampir bersamaan.

"Eyang mau belanja hari ini. Apa Anggi mau ikut?"
"Iya eyang, Anggi ikut."
"Adhit mau dimasakin apa?"
"Terserah eyang saja, apapun yang eyang masak, Adhit pasti suka."
"Tapi sekarang bukan eyang yang memasak, sudah ber hari-hari Anggi sendiri yang masak."
"Oh ya? Enak, kirain eyang."
"Anggi belajar dari eyang, kami masak bersama yu Sumi juga kok.."
"Baguslah, isteriku pintar memasak. Oh ya, tolong bungkusan hadiah buat Ananda, lupa, nanti siang aku akan mengantarnya kesana."
"Oh iya," kata Anggi yang kemudian bergegas berdiri daan mengambil bungkusan yang dimaksud.
Sebenarnya dia ingin ikut kerumah Ayud, tapi ragu mengatakannya. Adhit juga tidak mengajaknya. Ya sudahlah, pikirnya. Lalu ia mengantarkan suaminya sampai mobilnya lenyap diluar pagar.

"Kalau kamu ingin, nanti sehabis memasak kita bisa kerumah Ayud. Eyang juga kangen melihat Ananda," tiba-tiba kata bu Broto, setelah Adhit berangkat ke kantor.
"Benarkah?"

Bu Broto mengangguk.

"Ya eyang. Anggi juga ingin melihat Ananda," jawab Anggi riang.
***

Tapi pagi itu Ayud sedang kebingungan. Ananda diare dan muntah-muntah. Raka urung pergi mengajar karena Ayud memintanya mengantarkan ke rumah sakit.

Ketika siang harinya Adhit kerumah Ayud, heran karena rumahnya terkunci.

"Ayud ? Kalian pada kemana?" tanya Adhit ketika menelpone Ayud.
"Mas, Ananda harus opnme dirumah sakit," jawab Ayud sedih..
"Lhoh... kenapa?"
"Sejak pagi muntah-muntah dan diare,"
"Lalu apa kata dokter?"
"Nggak apa-apa katanya, tapi harus opname."
"Kenapa mas nggak dikasih tau?"
"Aku panik mas.."
"Ya sudah mas kesitu sekarang."
***

"Ada apa sebenarnya Yud? "
"Itulah mas, gara-gara aku persiapkan nanti kalau aku sudah bekerja, lalu aku mencoba memberinya susu formula, rupanya nggak cocog."
"Sembrana kamu itu Yud, Ananda itu masih bayi, susu terbaik adalah susu ibu. Biar nanti kamu sudah bekerja lagi, usahakan yang diminum hanya ASI saja."
"Iya mas, aku menyesal. Tapi sekarang sudah baik, lihat dia tertiidur."

Adhit mendekati keponakannya yang tergolek diranjang, dan tampak pulas tertidur. Adhit mengelus pipinya perlahan.

"Ssst... mas, nanti dia terbangun."
"Apa kata dokter?"
"Kalau tidak ada apa-apa besok boleh pulang. Susu formula dilarang diberikan."
"Itu benar. Jangan sampai anakmu sakit lagi gara-gara ibunya sembrono. Ya le.. nanti pakde akan jewer kuping ibu kamu kalau dia buat kamu sakit," bisik Adhit sambil terus mengelus pipinya.
"Apa kabar Anggi?" tanya Ayud setelah mereka duduk disofa.
"Baik, hari ini katanya mau belanja sama eyang. Tapi pastinya sudah pulang, memasak. Sekarang ini dia lagi rajin belajar memasak."
"Bagus lah, supaya suaminya nggak boros, makan diluar terus."
"Apa kabarnya Mirna?" tiba-tiba Adhit bertanya dan membuat heran yud.
"Apa maksudmu mas? Kok nanyain Mira ke aku ?"
"Oh, bukan apa-apa... kan Mira suka sama anakmu.. barangkali dia juga datang kemari.." jawab Adhit yang tiba-tiba juga menyadari kesalahannya. Ia heran kepada dirinya ketika tiba-tiba menanyakan Mirna pada Ayud.

"Mana dia tau kalau Ananda ada disini? "
"Iya... aku ngelantur," gumam Adhit.
"Mas, diam-diam mas memperhatikan Mirna ya?"
"Apa katamu? Orang cuma bertanya aja, kamu mengira yang enggak-enggak. Sebenarnya aku hanya berfikir, Mira itu luwes sekali menggendong bayi, juga mengasuh anak kecil."
"Mas, darimana mas tau tentang mengasuh anak juga?"
"Kemarin aku melihat dia di toko bersama Dewi dan Bima... ah, sudahlah.. aku kan hanya ngomong sekenanya," jawab Adhit menghindar. Ia menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal, memarahi mulutnya karena bicara salah sehingga menimbulkan prasangka yang bukan-bukan dihati Ayud.

Tapi Ayud sudah menangkap semuanya. Tampaknya ada perhatian khusus dari Adhit kepada Mirna. Aduhai, rupanya kakaknya salah memilih isteri, begitukah?

"Mengapa kamu memandangku seperti itu?" tanya Adhit yang merasa risih karena adiknya menatapnya tak berkedip.
"Mas, semoga dugaanku salah, tapi mas menaruh perhatian pada Mirna kan?"
"Uupsss.... " lalu Adhit berdiri seakan mencari seseorang.
"Mana Raka?"
"Lagi ke instalasi farmasi, ada obat-obat yang harus dibayarnya."
"Baiklah, aku akan menyusul kesana," kata Adhit yang kemudian keluar dari ruangan, diikuti pandangan mata adiknya.
***

Ketika keluar dari rumah sakit itu hati Adhit dipenuhi oleh pertanyaan untuk dirinya sendiri. Ada apa aku ini, mengapa tiba-tiba berfikir tentang Mirna? Bisik batinnya, yang kemudian buyar ketika suara klakson ber talu-talu terdengar disamping mobilnya.

Adhit ingin mengumpat kesal, tapi ketika menoleh kesamping, dilihatnya mobil DEwi beriringan dengan mobilnya. Adhit kemudian membawanya menepi. Entah mengapa ia ingin menepi, dan ketika mobil Dewi ikut parkir didepannya, Adhit me longok-longok kedalam mobil ibu.
Adhit turun dari mobil dan mendekati mobil Dewi. Ia masih me longol-longok.

"Adhit, kamu mencari siapa?" tegur Dewi tanpa turun dari mobil. Ia hanya membuka kaca disampingnya.

"Kamu sendiri?
"Iya, mau menjemput Bima," jawab Dewi.
"Oh, "
"Kamu dari mana sih?"
"Dari rumah sakit, Ananda masuk rumah sakit,"
"Lhah... kenapa?"
"Diare, tapi sudah nggak apa-apa, mungkin besok sudah boleh pulang kok."
"Ya ampuun kok aku nggak dikasih tau.."
"Baru pagi tadi... dan besok katanya sudah boleh pulang."
"Ya sudah nanti aku kesana , ini buru-buru mau jemput Bima dulu."
"Ya, nanti ajak Mirna ya?"

Dewi mengangguk, lalu menjalankan mobilnya. Adhit kembali ke mobil sambil memikirkan lagi kata-katanya, nanti ajak Mirna? Mengapa dia inginkan itu? Dan Adhit kembali meng garuk-garuk kepalanya.

Bersambung #36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER