Siang itu Adhit pulang kerumah untuk makan siang. Sejak Anggi pintar memasak, bu Broto menyarankan agar Adhit selalu pulang setiap makan siang.
Bu Broto dan Anggi yang menemaninya agak heran melihat wajah Adhit sedikit muram.
"Ada apa le? Kamu sakit?"
"Nggak eyang, itu... Ayud, anaknya masuk rumah sakit."
"Ada apa? Sakit apa?"
"Tadi pagi diare dan muntah-muntah, tapi eyang jangan khawatir, sudah baik kok. Besok sudah boleh pulang."
"Ah, syukurlah, tadi aku sudah bilang sama Anggi, akan kerumah Ayud untuk melihat Ananda. Kalau begitu nanti sore eyang mau kesana."
"Iya eyang, nanti kita sama-sama pergi kerumah sakit."
"Memangnya kenapa, anak sekecil itu bisa diare dan muntah-muntah?"
"Ayud memberinya minum susu formula."
"Bagaimana anak itu, sudah tau kalau susu terbaik itu ASI mengapa dikasih susu formula?" kata bu Broto kesal.
"Iya eyang, Adhit sudah memarahinya."
"Tapi benar, Ananda nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa eyang, tadi ketika Adhit kesana sudah bisa tertidur nyenyak. Dan tidak diare lagi. Besok katanya boleh pulang kok."
"Syukurlah, tapi kalau keadaannya baik mengapa wajahmu seperti orang lagi sedih.. begitu?"
"Masa sih eyang? Adhit cuma lelah barangkali.."
"Kalau begitu istirahatlah sebentar setelah makan, nggak usah buru-buru kembali ke kantor."
Adhit mengangguk. Benarkah wajahku muram? Adhit tak mengerti mengapa, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Setelah makan ia masuk kekamarnya diikuti Anggi. Melihat Adhit berbaring tanpa melepas sepatunya, Anggi segera melepasnya, juga kaos kakinya.
"Mau dipijit?" tanya Anggi.
"Nggak ... aku nggak apa-apa.. biarkan aku berbaring sejenak ya," kata Adhit sambil memejamkan mata. Ada bayangan me nari-nari disana, bayangan seorang perempuan menggendong anak kecil, membuainya dengan manis.
"Mas.."
Adhit terkejut, bayangan itu buyar, Anggi berbaring disampingnya, miring menghadap kearahnya. Kepalanya terangkat, ditumpu oleh sebelah tangannya. Adhit menatapnya sekilas. Wajah cantik itu sangat dekat dengan wajahnya. Harum rambut yang sebagian menutupi keningnya terasa menusuk hidungnya. Adhit menyibakkannya, tapi hanya itu yang dilakukannya, lalu matanya kembali terpejam.
***
Adhit ketiduran sampai hari menjelang sore. Ia tak akan kembali ke kantor. Ketika keluar dari kamar dilihatnya bu Broto sudah siap berdandan
"Dhit, kamu jadi mengantarkan kami ke rumah sakit kan?" kata bu Broto.
"Iya eyang, tapi Adhit mandi dulu ya?"
Ketika Adhit mau masuk kembali ke kamar, dilihatnya Anggi sedang membawa nampan berisi cawan2 teh hangat.
"Mium dulu mas," kata Anggi sambil meletakkan cawan-cawan iu di meja.
"Aku mau mandi dulu," kata Adhit lalu masuk kekamarnya. Anggi mengikutinya, menyiapkan ganti pakaian untuk suaminya dan semua perlengkapan mandinya. Sesungguhnya Anggi seorang isteri yang baik, yang berusaha melayani dan menyenangkan hati suami dengan se tulus-tulusnya.
"Terimakasih Anggi, kamu sudah mandi?"
"Sudah, eyang ingin kita segera berangkat ke rumah sakit."
"Baiklah," sahut Adhit yang langsung masuk kekamar mandi.
Anggi menghela nafas panjang. Sikap suamunya sore ini sudah lain dari semalam sampai pagi harinya. Tak sehangat semalam, ketika bercumbu dalam alunan kidung-kidung dari surga, sesa'at terasa indah... tapi sekarang.. dingin seperti es. Baiklah.. Anggi hanya ingin berbakti. Apapun perasaan Adhit terhadapnya, dia akan terus melayaninya.
***
Ketika Adhit, bu Broto dan Anggi memasuki ruangan dimana Ananda dirawat, Adhit benar-benar tercengang. Disana ada Dewi, dan berdiri agak kesudut, Mirna sedang menggendong Ananda, mengayunkannya perlahan dalam dekapannya. Ia terpana, selalu begitu. Pemandangan yang terus menerus membuatnya tergoda. Tergoda untuk mendekat dan mengayunkan bayi itu ber sama-sama. Adhit serta merta mendekat.
Mirna terkejut. Aduh.. mengapa selalu begini?
"Sudah tidur?" sapa Adhit sambil menyentuh pipi Adinda.
Mirna hanya mengangguk.
"Boleh aku menggendongnya?" katanya sambil mengulurkan tangannya. Mirna mengulurkannya dengan gemetaran. Wajahnya sangat dekat dengan bos ganteng yang selalu dikaguminya. Bahkan desah nafasnyapun terdengar lembut, terasa menghembus pipinya.
"Sama pakde ya..?" kata Adhit sambil menerima Ananda ditangannya. Tapi bayi itu membuka matanya dan merengek pelan.
"Adduh... diamlah Nanda.. ini pakde..." Adhit berusaha mengayunkannya, tapi Ananda tetap menangis. Mirna yang sudah melangkah menjauh menghentikan langkahnya.
"Adhuh... bagaimana ini, Mirna.. tolong.."
Mirna mendekat dan menerima lagi Ananda. Kembali wajah mereka hampir bersentuhan, dan nafas sang bos ganteng terasa seperti menghembus ke pipinya. Wajah Mirna memerah. Sedikit gemetaran ia menerima Ananda dengan cekatan, mendekapnya kedada dan mengayunkannya. Tangis itu berhenti. Menurut Adhit itu adalah keajaiban. Setidaknya bagi hatinya sendiri. Ia berdiri terpaku dan terus memandangi Mirna.
Anggi bukan tak tau. Suaminya terpesona pada pemandangan itu. Ada perih dibatinnya, ada darah menetes pelan, terasa nyeri di ulu hati. Adhit bukan hanya menyukai bayi itu, tapi juga perempuan yang menggendongnya. Hati seorang isteri.. barangkali begitu peka menangkap perilaku suaminya. Tapi Anggi tak akan marah, dan akan mengibaskan rasa sakit hati.
Benar.., bukan hanya sekali ia menyaksikan sikap Adhit terhadap Mirna. Ia menghela nafas, lalu mencoba tersenyum. Bukankah senyum itu bisa mengurangi rasa sakit yang mengiris? Ia mencobanya... lalu rasa sakit itu memang berkurang. Bukan hanya karena senyum yang disunggingkannya, tapi juga oleh rasa pasrah karena ia begitu memahami keadaan dirinya. Barangkali juga Anggi sudah mempersiapkan hal-hal yang bakal terjadi pada pernikahannya. Entahlah..
Tiba-tiba Adhit merasa bahwa beberapa pasang mata sedang memandanginya. Ia kemudian menjauh dari Mirna dan duduk diantara mereka sambil beberapa kali masih menoleh kearahnya.
Sementara itu Mirna telah meletakkan Ananda kedalam box nya, lalu menghampiri Dewi.
"mBak, kalau mbak Dewi masih ingin disini, bolehkah saya pulang lebih dulu?"
"Oh, jangan Mirna, sebentar.. kita pulang bersama saja," jawab Dewi.
"So'alnya saya membawa kunci rumah, takutnya kalau bapak pulang lebih dulu, nanti gak bisa masuk," Mirna memberikan alasan.
"Ya Mirna, ayo kita pulang bersama... Ayud, aku pulang ya, syukurlah anakmu sudah sehat."
"Terimakasih mbak Dewi, terimakasih Mirna," kata Ayud sambil menyalami Dewi dan Mirna.
Ketika keduanya menjauh, Adhit masih saja memandangi punggung mereka. Ayud yang melihatnya mencolek Lengan Adhit, lalu memelototinya. Adhit tersenyum, lalu menyandarkan tubuhnya disofa yang ada diruangan itu.
Anggi berdiri, lalu mendekat kearah cox dimana Ananda dibaringkan. Ia memandangi bayi kecil yang terlelap dalam tidurnya. Ada rasa rindu dihati Anggi, rindu akan memiliki seorang bayi, tapi mana mungkin? Ia menghela nafas, berusaha tabah dan menahan bulir air matanya yang nyaris memenuhi kelopaknya. Perlahan ia mengelus pipi ananda.
Adhit menatapnya lalu menghela nafas panjang.
"Ayud, besok kalau kamu ingin mulai bekerja, biar Ananda dititipkan sama eyang saja, bagaimana?" tiba-tiba kata bu Broto.
"Oh ya, itu bagus Yud, aku setuju. Biarpun ada perawat yang kamu percaya tapi kalau ada yang mengawasi itu lebih baik." kata Adhit
"Nanti merepotkan eyang.." tukas Ayud.
"Nggak, benar kata masmu Adhit, harus ada yang mengawasi."
"Usul yang bagus, nanti Ayud bicarakan lagi sama mas Raka."
***
Akhirnya memang Ananda dititipkan dirumah bu Broto. Sebelum berangkat ke kantor, Ananda dan perawatnya diantar dulu kerumah bu Broto, baru sore ketika pulang dijemput kembali.
Ayud juga senang, barangkali kehadiran Ananda akan menyenangkan hati Anggi yang pasti merindukan hadirnya seorang anak.
Namun ternyata Anggi kurang begitu luwes mengasuh bayi. Ia hanya mendekati Ananda ketika ada perawat yang juga menungguinya.
Pernah suatu ketika, sang perawat sedang ada dikamar mandi, sementara Ananda terbangun. dan menangis. Anggi yang mencoba mendekatinya lalu mengangkatnya untuk membuatnya diam, tak bisa membuatnya berhenti menangis. Bu Broto yang mendekatinya menyuruhnya memberikan susu yang tadi telah dipersiapkan. Susu ASI yang selalu ditinggalkan Ayud sebelum pergi dan ditaruh di freezer.
"Ini susunya, sudah dihangatkan tadi, tinggal diminumkan," kata bu Broto.
Sejenak Ananda terdiam, tapi kemudian menangis lagi. Anggi kewalahan. Perawat yang kemudian datang, mengambilnya.
"O.. lha ini dia ngompol bu, risih kalau nggak segera diganti," kata perawat yang kemudian menidurkan Ananda dan menggantikan popoknya.
Setiap waktu makan Adhit pasti pulang, setelah makan dihabiskan waktu luangnya untukbermain bersama Ananda. Ia juga tau isterinya tak begitu suka bermain bersama Ananda. Namun setiap akhir pekan Ayud mengajak anaknya tinggal dirumah saja, atau mengajaknya ber jalan-jalan bersama suaminya. Sering hal itu membuat Adhit kecewa. Namun bagaimana lagi, Ananda bukanlah anaknya sendiri.
Berbulan telah berlalu,
Tampaknya biasa saja, namun ada gejolak dihati Adhit yang sesungguhnya menginkari janjinya sendiri. Pada dirinya, dan juga pada Anggi sebelum meminangnya. Ternyata ia menginginkan memiliki bayi sendiri.
***
Sore hari itu Adhit tak melihat Anggi dirumahnya.
"Isterimu pulang kerumah ibunya, katanya kangen."
"Oh ya?"
"Nanti jemputlah dia, eyang sudah bilang kalau begitu kamu pulang kantor pasti akan menjemputnya."
"Ya eyang, nanti Adhit jemput. Ananda mana?"
"Ayud baru saja menjemputnya."
"Oh," kata Adhit dengan nada kecewa.
"Adhit, eyang tau kamu sangat ingin memiliki anak. Bagaimana kalau kamu meng adopsi seorang anak.. misalnya.. di panti asuhan?"
"Panti asuhan?"
"Kamu bisa merawaatnya seperti anakmu sendiri, sekaligus mengangkat si anak dari rasa kehilangan orang tuanya. Itu perbuatan mulia bukan?"
"Adhit sudah sering membantu panti-panti asuhan, eyang."
"Iya, eyang tau, tapi maksud eyang kalau saja ada yang kamu suka, kemudian mengadopsinya, begitu. Eyang tau Anggi tak akan bisa memberikan anak untuk kamu, tapi kamu kan sudah berjanji akan menerima dengan segala kekurangannya?"
"Betul eyang."
"Cobalah kamu pikirkan usul eyang ini. Nani Adhit akan bicara juga sama Anggi."
"Bagus kalau begitu."
"Sekarang Adhit mau kerumah Anggi dulu ya,"
"Baiklah."
***
Namun di jalan sebelum sampai kerumah Anggi, dilihatnya seseorang sedang berjalan. Seseorang yang sangat dikenalnya. Adhit menghentikan mobilnya, tepat disamping seseorang itu, dan membuatnya terkejut.
"Mirna," seru Adhit yang kemudian turun dari mobilnya.
"Oh, " seri Mirna terkejut. Ia ingin melanjutkan langkahnya tapi Adhit menahan lengannya.
"Mau pulang?"
"Yy..ya.. pak," jawabnya gugup.
"Ayo, aku antar kamu."
"Jangan pak, terimakasih, saya.. biasa berjalan kaki.."
"Hari hampir hujan, nanti kamu kehujanan."
"Saya membawa payung, terimakasih."
"Mirna, ayolah, jangan menolak."
"Tt..tapi..."
Mirna ingin meronta tapi merasa tak enak. Adhit sudah membukakan pintu mobil dan menuntunnya agar naik keatasnya. Aduhai, bagaimana kalau aku pingsan disampingnya? Bisik batin Mirna gemetaran.
Adhit sudah menjalankan mobilnya, dan berbalik arah, menuju ke rumah kontrakan Mirna. Tak sepatah katapun mampu diucapkan Mirna. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia me remas-remas tangannya sendiri untuk menutupi kegelisahannya.
"Mirna..." Panggil Adhit pelan.
Mirna menoleh sejenak kearah Adhit.
"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu?"
"Buk..bukan takut.. tt..tapi.. mengapa.. bapak mengantar saya?"
"Aku nggak tega melihat kamu pulang dengan berjalan kaki."
"Rumah saya dekat. Kalau naik mobil.. malah jadi jauh.. karena didepan itu jalan satu arah. Kalau jalan kaki kan nggak apa-apa."akhirnya jawab Mirna pelan setelah berhasil menata hatinya.
"Benar, aku tau kok."
"Saya merepotkan.."
"Nggak, kan ini kemauan saya? Nggak apa-apa jalannya sedikit memutar, kan kita bisa lebih lama berbincang," jawab Adhit seenaknya.
Tapi itu membuat hati Mirna bergincang. Apa maksud kata-katanya? Lalu kenapa kalau berbincang lebuh lama?
"Kita lama nggak ketemu ya, kamu nggak kangen Ananda?"
"Dia kan sudah ada dirumah bapak.."
"Benar, tapi kalau sore sudah dibawa sama ibunya. Senang ya kalau punya anak sendiri," kata Adhit yang kemudian membuatnya terkejut menyadari ucapannya sendiri.
Mirna menatap Adhit. Dilihatnya bisa ganteng itu tersenyum perih. Aduh.. tampaknya dia sedih, ingin Mirna mengelus punggungnya, menghiburnya. Lhah.. ini kan ngelantur? Sampai kemudian tiba didepan rumah kontrakan Mirna, masing-masing dari keduanya sibuk mencerna arti dari pertemuan itu.
***
Ketika Anggi kembali kerumah bu Broto sendirian, bu Broto heran, karena tadi Adhit menjemputnya.
"Sudah lama tadi berangkatnya, kok bisa kamu nggak ketemu?"
"Barangkali mas Adhit mampir-mampir eyang."
"Bagaimana anak itu, harusnya kan menjemput isterinya dulu baru mampir kemana dia suka," gerutu bu Broto.
Tiba-tiba ponsel Anggi berdering. ternyata dari ibunya.
"Anggi, kamu dimana ?"
"Anggi sudah sampai dirumah ibu, ada apa?"
"Ini, nak Adhit baru saja datang menjemput kamu."
"Oh, ya sudah bu, suruh kembali saja, Anggi sudah sampai rumah kok."
Begitu ponsel ditutup, bu Broto kembali mengomel.
"Gimana anak itu, nanti eyang marahi d9ia, menjemput isterinya dari tadi kok ini baru sampai sana, dan isterinya malah sudah sampai rumah."
"Ya sudah bu, biarkan saja, barangkali mas Adhit punya keperluan lain," jawab Anggi sambil berlalu kebelakang.
***
"Mas tadi mampir kemana, kok bisa selisih lama dari Anggi pulangnya?"
"Oh, tadi iru,... tadi itu... aku ketemu teman, lalu.. ngobrol sebentar."
Ah, Adhit kan tidak berbohong. Memang tadi ketemu teman kan?
Tapi Anggi tidak mengatakan sesuatu. Ia berbaring disamping Adhit, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu.
Tiba-tiba Anggi terkejut, Adhit mengusap pipinya lembut, membuat Anggi memiringkan tubuhnya, menghadap kearah Adhit. Ditatapnya mata Adhit, yang memandanginya penuh gairah. Adhit menarik tubuh Anggi, sampai bersentuhan dengan tubuhnya. Lalu memeluknya erat, sangat erat dan membuat Anggi sulit bernafas.
Malam yang hangat dan membuat Anggi terhanyut dalam ayunan cinta itu tiba-tiba pecah ketika dari mulut Adhit terdengar bisikan lembut, tapi berhasil memecahkan aroma manis yang semula menghiasi kamar itu. Membuat batinnya hancur berkeping.
"Mirna...." bisik lembut itu pasti menyakitkan bagi yang mendengarnya.
==========
Anggi terkulai lemas. Ditariknya tubuhnya dari pelukan Adhit, ditariknya pula sehelai selimut yang semula berantakan, agar menutupi tubuhnya yang menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi karena guncangan hebat ketika mendengar suara lembut yang terlontar dari mulut suaminya. Suara panggilan yang sangat manis, tapi bukan nama dirinya yang selema beberapa sa'at berayun bersama dalam lilitan cinta. Aduhai, tak tahan lagi ketika air mata terburai membasahi pipinya. Ditelungkupkannya tubuhnya dan membiarkan isaknya tertahan tertutup bantal.
Adhit terperanjat. Ia tak menyangka melakukan semua itu. Tak menyangka nama itu yang terlontar dari bibirnya, ketika nikmat merayapi sekujur tubuhnya. Ketika bunga-bunga api memercik menghiasi taman hatinya. Dipandanginya tubuh Anggi yang tertelungkup menahan isak, lalu dipeluknya erat. Namun Anggi mengibaskannya. Ia beringsut menjauh, bahkan hampir terjatuh dari pembaringan.
"Anggi, ma'afkan aku... ma'af ya," suara Adhit seperti merintih. Mana bisa ia menarik kembali desis manis yang terlontar dari bibirnya. Mengapa... mengapa.. beribu pertanyaan juga memenuhi benaknya.
"Anggi, ma'af ya, aku tak sengaja..."
Ya Tuhan, tak sengaja.. tapi suara itu bagaikan sebilah pedang yang men cabik-cabik segumpal hatinya, jiwanya, perasaannya.
"Aku mohon, ma'afkan aku Anggi.. aku berjanji... aku..."
"Jangan pernah berjanji !!" tiba-tiba Anggi membalikkan tubuhnya, mata yang basah itu menatap tajam suaminya dengan amarah yang tak tertahankan. Adhit merinding. Ia melihat api memancar dari sana, dari mata bening yang penuh berlinangan .
"Anggi...."
"Hentikan semua ini mas, hentikan!" suara Anggi hampir berteriak. Ia turun dari ranjang sambil menarik selumut untuk menutupi tubuhnya, lalu diambilnya baju yang semula berserakan, dan dikenakannya.
"Anggi..."
Namun dengan cepat Anggi masuk kekamar mandi. Adhit mengejarnya tapi Anggi sudah menguncinya dari dalam.
Adhit terpaku didepan pintu. Didengarnya gemerecik air tak henti-hentinya, berbaur dengan isak Anggi yang terdengar sayup. Isak yang memilukan, berpacu dengan derasnya air yang mengucur.
Adhit mengenakan pakaiannya, dan terduduk ditepi ranjang.
Mengapa aku ini... mengapa Mirna... mengapa Mirna... Ya Tuhan, apakah aku mencintainya? Inikah cinta? Aku belum pernah merasakannya.. mengapa aku ini...? Bisiknya lirih, sambil meng acak-acak rambutnya.
Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, membalut tubuhnya dengan kimono, Adhit mendekatinya, tapi Anggi menghindar. Air matanya tampak sembab, basah dan kemerahan. Diam-diam Adhit merasa iba.
"Anggi..."
Namun rupanya Anggi sudah bisa menenangkan hatinya. Ia mengambil selembar handuk bersih dari dalam lemari, diulurkannya pada suaminya.
"Mandilah mas, aku akan buatkan teh panas buat mas," bisiknya pelan.
Adhit terpana. Ia mengira Anggi akan kembali mengumpatnya habis-habisan, mengungkit semua yang pernah diucapkannya, namun tidak. Ia menerima handuk itu, ingin kembali memeluknya tapi lagi-lagi Anggi menghindar.
Tak ada kata terucap lagi dari mulut Anggi. Ia membuka almari pakaian dan mengambil seperangkat baju pengganti, membiarkan Adhit berjalan kekamar mandi dengan langkah gontai.
Hari masih pagi benar, gelap masih menyelimuti alam yang terasa dingin beku. Adzan subuh belum terdengar, tapi Anggi sudah duduk di ruang tengah sambil menghirup teh hangat yang baru saja dibuatnya. Matanya masih tampak sembab, tapi tak ada lagi air bening yang mengaliri pipinya. Anggi barangkali perempuan yang luar biasa. Sekejap tangisnya meledak-ledak, tapi tak lama kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Setidaknya itulah yang tampak, walau mungkin hatinya bagai dirajang ber keping-keping.
"Anggi, ma'afkan aku... ma'af ya," suara Adhit seperti merintih. Mana bisa ia menarik kembali desis manis yang terlontar dari bibirnya. Mengapa... mengapa.. beribu pertanyaan juga memenuhi benaknya.
"Anggi, ma'af ya, aku tak sengaja..."
Ya Tuhan, tak sengaja.. tapi suara itu bagaikan sebilah pedang yang men cabik-cabik segumpal hatinya, jiwanya, perasaannya.
"Aku mohon, ma'afkan aku Anggi.. aku berjanji... aku..."
"Jangan pernah berjanji !!" tiba-tiba Anggi membalikkan tubuhnya, mata yang basah itu menatap tajam suaminya dengan amarah yang tak tertahankan. Adhit merinding. Ia melihat api memancar dari sana, dari mata bening yang penuh berlinangan .
"Anggi...."
"Hentikan semua ini mas, hentikan!" suara Anggi hampir berteriak. Ia turun dari ranjang sambil menarik selumut untuk menutupi tubuhnya, lalu diambilnya baju yang semula berserakan, dan dikenakannya.
"Anggi..."
Namun dengan cepat Anggi masuk kekamar mandi. Adhit mengejarnya tapi Anggi sudah menguncinya dari dalam.
Adhit terpaku didepan pintu. Didengarnya gemerecik air tak henti-hentinya, berbaur dengan isak Anggi yang terdengar sayup. Isak yang memilukan, berpacu dengan derasnya air yang mengucur.
Adhit mengenakan pakaiannya, dan terduduk ditepi ranjang.
Mengapa aku ini... mengapa Mirna... mengapa Mirna... Ya Tuhan, apakah aku mencintainya? Inikah cinta? Aku belum pernah merasakannya.. mengapa aku ini...? Bisiknya lirih, sambil meng acak-acak rambutnya.
Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, membalut tubuhnya dengan kimono, Adhit mendekatinya, tapi Anggi menghindar. Air matanya tampak sembab, basah dan kemerahan. Diam-diam Adhit merasa iba.
"Anggi..."
Namun rupanya Anggi sudah bisa menenangkan hatinya. Ia mengambil selembar handuk bersih dari dalam lemari, diulurkannya pada suaminya.
"Mandilah mas, aku akan buatkan teh panas buat mas," bisiknya pelan.
Adhit terpana. Ia mengira Anggi akan kembali mengumpatnya habis-habisan, mengungkit semua yang pernah diucapkannya, namun tidak. Ia menerima handuk itu, ingin kembali memeluknya tapi lagi-lagi Anggi menghindar.
Tak ada kata terucap lagi dari mulut Anggi. Ia membuka almari pakaian dan mengambil seperangkat baju pengganti, membiarkan Adhit berjalan kekamar mandi dengan langkah gontai.
Hari masih pagi benar, gelap masih menyelimuti alam yang terasa dingin beku. Adzan subuh belum terdengar, tapi Anggi sudah duduk di ruang tengah sambil menghirup teh hangat yang baru saja dibuatnya. Matanya masih tampak sembab, tapi tak ada lagi air bening yang mengaliri pipinya. Anggi barangkali perempuan yang luar biasa. Sekejap tangisnya meledak-ledak, tapi tak lama kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Setidaknya itulah yang tampak, walau mungkin hatinya bagai dirajang ber keping-keping.
Ketika Adhit keluar dari kamar, dengan rambut masih basah, tapi dengan pakaian yang bersih dan wangi, Anggi beringsut dari duduknya. Karena ia tau Adhit akan duduk disampingnya seperti biasa dilakukannya.
Adhit membiarkannya. Wajahnya tampak murung, mungkin penuh sesal.
"Minumlah teh nya, masih hangat," Kata Anggi sambil menghirup lagi tehnya, kemudian bangkit berdiri.
"Anggi..."
"Aku mau berganti pakaian. Ingin jalan-jalan ke pasar pagi-pagi," ujarnya sambil berlalu.
"Hari masih gelap Anggi," teriak Adhit karena Anggi sudah hampir memasuki kamar.
"Nggak apa-apa, dijalan sudah banyak lalu lalang," jawabnya lalu menutup pintunya, bahkan menguncinya, jangan sampai Adhit menyusulnya dan mengatakan apapun, karena Anggi tak ingin mendengarnya.
Adhit menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya menerawang jauh, teringat apa yang baru saja terjadi, serasa seperti mimpi.
Adhit membiarkannya. Wajahnya tampak murung, mungkin penuh sesal.
"Minumlah teh nya, masih hangat," Kata Anggi sambil menghirup lagi tehnya, kemudian bangkit berdiri.
"Anggi..."
"Aku mau berganti pakaian. Ingin jalan-jalan ke pasar pagi-pagi," ujarnya sambil berlalu.
"Hari masih gelap Anggi," teriak Adhit karena Anggi sudah hampir memasuki kamar.
"Nggak apa-apa, dijalan sudah banyak lalu lalang," jawabnya lalu menutup pintunya, bahkan menguncinya, jangan sampai Adhit menyusulnya dan mengatakan apapun, karena Anggi tak ingin mendengarnya.
Adhit menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya menerawang jauh, teringat apa yang baru saja terjadi, serasa seperti mimpi.
Mirna... Mirna... Mirna..... mengapa Mirna?
Adhit bahkan tak menyadari bahwa Anggi sudah keluar dari rumah, dan berjalan menyusuri kegelapan menjelang pagi itu.
Tapi benarkah hati Anggi sekuat batu? Dengan mudah dia bisa mengendapkan perasaan hatinya yang bergolak, amarahnya yang memuncak, dan sakit hatinya yang bagai ter iris-iris? Tidak, disepanjng langkahnya yang gontai, terburailah air mata yang seperti ditumpahkan dari sumbernya.
Adhit bahkan tak menyadari bahwa Anggi sudah keluar dari rumah, dan berjalan menyusuri kegelapan menjelang pagi itu.
Tapi benarkah hati Anggi sekuat batu? Dengan mudah dia bisa mengendapkan perasaan hatinya yang bergolak, amarahnya yang memuncak, dan sakit hatinya yang bagai ter iris-iris? Tidak, disepanjng langkahnya yang gontai, terburailah air mata yang seperti ditumpahkan dari sumbernya.
Lelah Anggi mengusapnya, dan air mata itu terus saja mengalir. Tersaruk langkahnya, menatap kearah jalanan ber aspal yang dipijaknya. Sesekali terdengar isaknya, dan terguguk se-sa'at membuat pundaknya berguncang perlahan.
Beruntung belum banyak orang ber lalu-lalang. Anggi terus saja melangkah, entah kemana kaki akan membawanya. Barangkali dengan terus berjalan, akan tuntaslah semua derita yang disandangnya.
***
Beruntung belum banyak orang ber lalu-lalang. Anggi terus saja melangkah, entah kemana kaki akan membawanya. Barangkali dengan terus berjalan, akan tuntaslah semua derita yang disandangnya.
***
Ketika terbangun, bu Broto terkejut melihat Adhit tertidur disofa diruang tengah. Bu Broto juga melihat sisa-sisa teh di dua cawan yang tergeletak di meja. Ditebarkannya pandangannya ke sekeliling, tapi tak ditemukannya Anggi. Bu Broto berjalan kearah kamar barangkali Anggi masih tertidur, atau sedang apa. Namun ia tak menemukan yang dicarinya. Dikamar mandipun tidak. Bu Broto kembali keluar, disentuhnya lengannya, lalu Adhit terkajut dan terbangun.
"Eyang?" tanyanya bingung.
"Mengapa tertidur disini? Mana Anggi?"
"Oh, dia.. dia.. katanya ingin ber jalan-jalan kepasar," jawab Adhit. Sebenarnya ia juga heran karena tak melihat kapan Anggi keluar dari sana. Mungkin ia sibuk dengan lamunannya.
"Kepasar? Sepagi ini?"
"Iya eyang, katanya ingin ber jalan-jalan."
Adhit kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamar. Bu Broto tak mengatakan apapun, tak pernah menduga apa yang terjadi karena ia mengira Anggi pergi setelah membuat teh untuk mereka berdua. Bu Broto berjalan ke dapur dan melihat Sumi sedang membakar roti.
Namun ketika Sumi sudah membawa roti itu keruang tengah, dilihatnya Adhit sudah berdandan rapi.
"Kok sudah rapi Dhit?" tanya bu Broto.
"Mau menyusul Anggi, tapi nanti Adhit mau langsung ke kantor saja."
"Sarapan dulu?"
"Nanti saja eyang, Adhit bisa sarapan di kantor," jawab Adhit sambil terus berlalu, menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya.
Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya. Pagi ini terasa berbeda.
***
"Eyang?" tanyanya bingung.
"Mengapa tertidur disini? Mana Anggi?"
"Oh, dia.. dia.. katanya ingin ber jalan-jalan kepasar," jawab Adhit. Sebenarnya ia juga heran karena tak melihat kapan Anggi keluar dari sana. Mungkin ia sibuk dengan lamunannya.
"Kepasar? Sepagi ini?"
"Iya eyang, katanya ingin ber jalan-jalan."
Adhit kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamar. Bu Broto tak mengatakan apapun, tak pernah menduga apa yang terjadi karena ia mengira Anggi pergi setelah membuat teh untuk mereka berdua. Bu Broto berjalan ke dapur dan melihat Sumi sedang membakar roti.
Namun ketika Sumi sudah membawa roti itu keruang tengah, dilihatnya Adhit sudah berdandan rapi.
"Kok sudah rapi Dhit?" tanya bu Broto.
"Mau menyusul Anggi, tapi nanti Adhit mau langsung ke kantor saja."
"Sarapan dulu?"
"Nanti saja eyang, Adhit bisa sarapan di kantor," jawab Adhit sambil terus berlalu, menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya.
Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya. Pagi ini terasa berbeda.
***
Bu Susan terkejut ketika pagi itu Anggi muncul tib-tiba. Ia sedang membuat sarapan didapur ketika itu. Ia lebih terkejut ketika tiba-tiba Anggi memeluknya dan menangis sesenggukan didadanya.
"Anggi... "
"Mama.... biarkan aku menangis didada mama.." isaknya pilu.
"Ada apa ini? Kamu bertengkar dengan suami kamu?"
Namun Anggi terus saja menangis.
"Anggi, sudah... ayu.. duduklah dulu .. mama buatkan teh hangat ya?"
Bu Susan menuntun anaknya ke sebuah kursi diruang dapur itu, lalu membuat secawan teh yang kemudian diulurkannya pada Anggi.
"Minum, dan tenangkan hatimu..."
"Anggi... "
"Mama.... biarkan aku menangis didada mama.." isaknya pilu.
"Ada apa ini? Kamu bertengkar dengan suami kamu?"
Namun Anggi terus saja menangis.
"Anggi, sudah... ayu.. duduklah dulu .. mama buatkan teh hangat ya?"
Bu Susan menuntun anaknya ke sebuah kursi diruang dapur itu, lalu membuat secawan teh yang kemudian diulurkannya pada Anggi.
"Minum, dan tenangkan hatimu..."
Anggi meneguk minumannya. Air mata masih membasahi pipinya. Mata Anggi bengkak, sungguh, sudah sejak semalam dia menangis terus dan hanya menahannya ketika masih ada didepan suaminya sebelum dia pergi.
"Ada apa nduk?"
"Ma, bagaimana kalau Anggi bercerai dengan mas Adhit?"
Bu Susan tekejut. Dipandanginya Anggi lekat-lekat. Tak percaya akan apa yang diucapkannya. Namun Anggi tampak ber sungguh-sungguh.
"Ada apa sebenarnya?"
"Anggi kasihan sama mas Adhit ma.."
"Kasihan bagaimana maksudmu?"
"Anggi sangat mencintai mas Adhit, Anggi ingin mas Adhit bahagia."
"Mama tidak mengerti.."
"Mas Adhit hanya terpaksa menikahi Anggi, dia sangat ingin punya anak..."
"Itu kan sudah diketahuinya sejak dulu, bahwa kamu tak akan bisa memberinya keturunan?" kata bu Susan sedikit kesal.
"Benar, tapi Anggi sedih.. mas Adhit tidak bahagia ma.."
"Kalau ingin anak, kalian bisa mengambilnya dari panti asuhan.. atau..."
"Bukan ma... anak yang dari darah dagingnya sendiri."
"Lalu karena itu kamu ingin bercerai?"
"Entahlah, Anggi bingung."
"Jangan Nggi, pernikahan itu bukan seperti mainan, yang kalau nggak suka lalu boleh ditinggalkan begitu saja. Kalian sudah mengucpkan janji suci, dihadapan Allah, dan itu harus kamu pegang selamanya."
"Tapi ma..."
"Tenangkan hatimu sejenak, jangan memutuskan sesuatu ketika hatimu sedang marah."
"Anggi tidak sedang marah."
"Tapi kamu dibalut emosi tinggi, entah oleh apa."
"Aku tidak akan menceraikan kamu Anggi," tiba-tiba suara itu muncul begitu saja dari luar pintu dapur. Bu Susan dan Anggi menoleh, dilihatnya Adhit sedang berdiri dipintu.
"Nak, masuklah, mari bicara dengan tenang, mama juga bingung mendengar keluhan Anggi pagi ini."
"Biar Adhit jemput Anggi sekarang ma, eyang mencari-carinya.."
"Tuh, Nggi..." kata bu Susan.
Adhit mendekati Anggi, menarik tangannya sehingga Anggi berdiri.
"Ayo kita pulang Nggi, nggak baik membawa perso'alan kita kepada orang tua. Itu akan membuat mama kepikiran."
Anggi tak menjawab, tapi menurut ketika Adhit membawanya ke mobil.
"Eyang mencari kamu, eyang heran kamu pergi pagi-pagi."
"Mas, ijinkan aku bicara," kata Anggi pelan.
"Baiklah, bicaralah," jawab Adhit sambil tersenyum.
"Anggi sedih melihat mas Adhit tidak bahagia."
"Siapa bilang aku tidak bahagia>?"
"Tidak mas, jangan ingkar. Sepanjang langkah Anggi dari pagi buta sampai tiba dirumah mama, hanya mas yang Anggi pikirkan. Anggi sedih karena Anggi tau mas menginginkan sesuatu, dan sesuatu itu nggak bisa Anggi berikan untuk mas."
"Iya, aku tau, sudahlah, ma'afkan aku."
"Bukan ma'af itu yang penting mas. Tadi Anggi memikirkan, apakah Anggi minta cerai dari mas..."
"Tidak Anggi... tidak.."
"Kalau begitu ada satu permintaan Anggi."
Adhit memandangi Anggi yang sesekali masih mengusap air matanya. Iba rasanya melihat wajah cantik itu kuyu bagai rembulan tertutup mendung.
"Katakan Anggi.."
"Menikahlah dengan mbak Mirna."
"Ma, bagaimana kalau Anggi bercerai dengan mas Adhit?"
Bu Susan tekejut. Dipandanginya Anggi lekat-lekat. Tak percaya akan apa yang diucapkannya. Namun Anggi tampak ber sungguh-sungguh.
"Ada apa sebenarnya?"
"Anggi kasihan sama mas Adhit ma.."
"Kasihan bagaimana maksudmu?"
"Anggi sangat mencintai mas Adhit, Anggi ingin mas Adhit bahagia."
"Mama tidak mengerti.."
"Mas Adhit hanya terpaksa menikahi Anggi, dia sangat ingin punya anak..."
"Itu kan sudah diketahuinya sejak dulu, bahwa kamu tak akan bisa memberinya keturunan?" kata bu Susan sedikit kesal.
"Benar, tapi Anggi sedih.. mas Adhit tidak bahagia ma.."
"Kalau ingin anak, kalian bisa mengambilnya dari panti asuhan.. atau..."
"Bukan ma... anak yang dari darah dagingnya sendiri."
"Lalu karena itu kamu ingin bercerai?"
"Entahlah, Anggi bingung."
"Jangan Nggi, pernikahan itu bukan seperti mainan, yang kalau nggak suka lalu boleh ditinggalkan begitu saja. Kalian sudah mengucpkan janji suci, dihadapan Allah, dan itu harus kamu pegang selamanya."
"Tapi ma..."
"Tenangkan hatimu sejenak, jangan memutuskan sesuatu ketika hatimu sedang marah."
"Anggi tidak sedang marah."
"Tapi kamu dibalut emosi tinggi, entah oleh apa."
"Aku tidak akan menceraikan kamu Anggi," tiba-tiba suara itu muncul begitu saja dari luar pintu dapur. Bu Susan dan Anggi menoleh, dilihatnya Adhit sedang berdiri dipintu.
"Nak, masuklah, mari bicara dengan tenang, mama juga bingung mendengar keluhan Anggi pagi ini."
"Biar Adhit jemput Anggi sekarang ma, eyang mencari-carinya.."
"Tuh, Nggi..." kata bu Susan.
Adhit mendekati Anggi, menarik tangannya sehingga Anggi berdiri.
"Ayo kita pulang Nggi, nggak baik membawa perso'alan kita kepada orang tua. Itu akan membuat mama kepikiran."
Anggi tak menjawab, tapi menurut ketika Adhit membawanya ke mobil.
"Eyang mencari kamu, eyang heran kamu pergi pagi-pagi."
"Mas, ijinkan aku bicara," kata Anggi pelan.
"Baiklah, bicaralah," jawab Adhit sambil tersenyum.
"Anggi sedih melihat mas Adhit tidak bahagia."
"Siapa bilang aku tidak bahagia>?"
"Tidak mas, jangan ingkar. Sepanjang langkah Anggi dari pagi buta sampai tiba dirumah mama, hanya mas yang Anggi pikirkan. Anggi sedih karena Anggi tau mas menginginkan sesuatu, dan sesuatu itu nggak bisa Anggi berikan untuk mas."
"Iya, aku tau, sudahlah, ma'afkan aku."
"Bukan ma'af itu yang penting mas. Tadi Anggi memikirkan, apakah Anggi minta cerai dari mas..."
"Tidak Anggi... tidak.."
"Kalau begitu ada satu permintaan Anggi."
Adhit memandangi Anggi yang sesekali masih mengusap air matanya. Iba rasanya melihat wajah cantik itu kuyu bagai rembulan tertutup mendung.
"Katakan Anggi.."
"Menikahlah dengan mbak Mirna."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel