Cerita bersambung
Adhit terkejut. Tak percaya apa yang didengarnya, kemudian ia meminggirkan mobilnya. Dipandanginya Anggi yang menatap lurus kedepan.
Wajah Mirna terbayang. Adhit kemudian sadar akan perasaannya. Tapi mana mungkin ia menuruti kemauan Anggi?
Adhit teringat dongeng bu Broto ketika ia masih remaja. Dongeng tentang wayang. Katanya, Arjuna dan dewi Banowati itu saling mencintai, tapi tak bisa saling memiliki karena Banowati kemudian menikah dengan Duryudono, raja Astinapura.
Namun cinta itu tetap terpendam dalam hati masing-masing, selamanya. Apakah dia Arjuna itu.. dan Mirna adalah Banowati? Ah.. kebalik ya.. Adhit yang sudah menikah.. sedangkan Mirna.. Tapi apakah Mirna mencintai dirinya? Adhit berbicara sendiri dengan batinnya, sejenak lupa bahwa Anggi ada disampingnya.
"Anggi...."
Anggi menoleh kearah suaminya. Sesa'at mereka bertatapan. Lalu Anggi kembali menatap kearah depan.
"Aku serius mas," katanya tanpa menatap suaminya.
"Tidak, kamu bercanda. Kamu tau bahwa aku tak mungkin melakukannya," kata Adhit pelan. Mungkin tak yakin akan apa yang diucapkannya.
"Aku serius... " ulang Anggi..
"Ma'afkan aku.. aku janji.. bahwa... "
"Jangan berjanji apapun..." potong Mirna.
Adhit memegang lengan Anggi, tapi dengan satu tangannya ia melepaskannya.
"Aku sangat mencintai mas. Aku tak ingin melihat mas menderita."
"Tidak.. aku tidak menderita .. tolong Anggi... aku... "
"Mas menderita. Mas menginginkan sesuatu tapi tak bisa mencapainya. Mas mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya. Aku mas.. aku akan melakukan sesuatu agar mas bahagia."
"Apa maksudmu Anggi... "
"Penuhilah permintaanku. Aku rela berbagi asal mas bahagia."
"Anggi... "
"Antarkan aku pulang. Bukankah sa'atnya mas pergi kekantor?"
"Anggi... "
"Ups... salah mas..turunkan aku dipasar saja. Aku kan tadi pamitnya jalan-jalan kepasar ? Aku mau belanja untuk masak bersama eyang."
Adhit tak tau apa yang harus dilakukannya. Ia menjalankan mobilnya dan menurunkan Anggi dipasar seperti yang di inginkannya, lalu dia langsung pergi ke kantor.
***
Namun Adhit tak bisa melakukan apapun. Kata-kata Anggi terngiang ditelinganya. Bayangan Mirna juga me nari-nari dipelupuk matanya. Benarkah dia mencintai Mirna. Mengapa semalam terlontar bisikan itu.. nama itu.. dan sudah pastilah Anggi marah. Tapi mengapa kemudian Anggi menyuruhnya menikahi Mirna? Mirna nggak mungkin mau.. tapi kalau Mirna mau.... Aduh.. Adhit memijit kepalanya yang terasa pusing.
"Mas. Tumben tadi berangkat pagi-pagi.."
Adhit terkejut. Ayud sudah.ada didepannya.
"Mas sakit?Kok kepalanya di pijit-pijit?" tanya Ayud khawatir.
"Sedikit pusing.. nggak apa-apa kok. Ada apa kemari?"
"Cuma mau nanya. Tadi mas berangkat pagi-pagi.. Ananda men-cari-cari tadi."
Mendengar nama Ananda wajah Adhit langsung berseri. Benar, dia berangkat sebelum Ananda datang. Setiap pagi sebelum berangkat pasti Adhit bermain sebentar sama Ananda. Tapi tidak pagi tadi. Ada kemelut dirumah tangganya, gara-gara ulahnya.
"Iya. Tadi Anggi kepasar pagi-pagi. Aku menyusulnya langsung ke kantor," jawab Adhit menyembunyikan kejadian sebenarnya.
"Ooh.. rajin ya mas, isterimu?"
Adhit tersenyum. Tapi senyum itu sama sekali tak tampak manis. Ayud melihat ada mendung menggantung disana. Ayud juga ingat, bu Broto juga mengatakan bahwa pagi itu terasa lain.
"Mas nggak apa-apa kan?"
"Nggak.. aku baik-baik saja."
Tapi ketika Ayud pergi dari ruangannya, Adhit kembali termenung. Ada yang ingin dilakukannya, tapi ia tak tau apa. Adhit kemudian berdiri dan keluar dari ruangannya, menuju mobilnya. Tak nyaman rasanya melamun di kantor. Adhit membawa mobilnya keluar, tak tentu arah.
***
Tapi ditengah keramaian itu ia melihat Mirna. Tampaknya habis berbelanja. Ada bungkusan besar ditentengnya.
"Ya Tuhan... kenapa bertemu dia?"
Adhit menghentikan mobilnya didekat Mirna berdiri. Tiba-tiba debar jantung Adhit berdetak lebih kencang. Ada apa ini, tak biasanya aku merasa seperti ini. Keluh Adhit dalam hati. Ia tak segera turun dari mobilnya, sesa'at menata batinnya. Tapi ketika dilihatnya Mirna berjalan menjauh Adhit segera keluar dan mengejarnya.
"Mirna, tunggu Mirna.." katanya setengah berteriak.
Mirna menghentikan langkahnya. Suara itu sangat dikenalnya dan tak mungkin dilupakannya. Berdebar ketika terdengar langkah cepat menghampiri.
"Mirna.. lagi nyari taksi ya?"
"Pp.. pak Adhit.." gagap Mirna menyapanya.
"Ayo aku antar.."
"Tidak.. jangan pak.."
Tapi Adhit segera mengambil tas besar yang ditentengnya, lalu menarik tangan Mirna menuju mobilnya.
Mirna tertegun, ada rasa nyaman ketika tangannya digenggam bos gantengnya. Aduhai.. apa aku bermimpi? Bisik batinnya. Adhit membuka pintu mobil dan menyuruh Mirna masuk. Tak ada yang bisa dilakukan Mirna karena kemudian Adhit membawa belanjaannya lalu memasukkannya ke bagasi.
Mirna masih gemetaran ketika Adhit menjalankan mobilnya.
"Ke toko kan?"
"Ya, mbak Dewi.. menyuruh.. menyuruh saya.. belanja.."
" Sudah.kuduga.."
"Mengapa bapak antar ss.. saya?"
"Nggak apa-apa.. lagi nggak ada kerjaan," jawab Adhit sambil menoleh kearah Mirna. Entah mengapa hati Adhit merasa tenang. Kegelisahan sejak pagi sirna tiba-tiba.
"Apa aku sudah gila?"desisnya perlahan.
Mirna menoleh kearahnya, mengira Adhit mengajaknya bicara.
"Ya... pak," tanyanya ragu.
"Apa?" Adhit terkejut sendiri. Apa Mirna mendengarnya?
"Apa?" Adhit balik bertanya.
"Saya kk..kira bapak bicara sama saya."
"Mirna, bagaimana kalau manggilnya tidak bapak?"
"Ssa.. saya?"
"Iya, kamu.. aku ini bukan atasan kamu lagi, jadi kita boleh berteman kan? Panggil aku mas."
"Aapp.. pa?"
"Mas Adhit. Bukankah itu lebih manis?"
Mirna meremas tangannya sendiri yang basah oleh keringat dingin. Seandainya Adhit belum punya isteri.. alangkah membahagiakan kata-kata itu.
"Maukah ?"
"Nggak... jangan.. saya nggak berani.."
"Nggak berani kenapa?"
"Nanti bu Anggi marah," jawab Mirna pedih.
Tiba-tiba Adhit teringat peristiwa antara dirinya dan Anggi sejak semalam. Ketika dia membisikkan nama Mirna sa'at bercinta dengannya. Lalu Anggi menyuruhnya menikahi Mirna. Ya Tuhan, mengapa juga siang ini dia dipertemukan..
Adhit terdiam sampai mobil itu berhenti didepan toko Dewi. Adhit turun lebih dulu, membukakan pintu mobil untuk Mirna, kemudian mengambil belanjaan di bagasi.
Mirna meminta tas belanjaan itu tapi Adhit melarangnya.
"Biar aku saja Mirna.."
"Jangan pak.."
"Kok pak lagi.."
Sejenak mereka berpandangan. Mirna terpesona memandangi senyuman bos gantengnya. Itu senyuman yang sangat digandrunginya dan sekarang diarahkannya padanya? Mirna tak ingin melepaskan pandangan itu. Terbuai dan terbuai sehingga ia lupa melepaskan tangannya yang bersentuhan dengan tangan bos ganteng ketika berebut membawa tas itu.
Adhitpun terpesona. Ada rasa menyesal mengapa wajah cantik itu baru sekarang merasuki hatinya.
"Mirna... " itu bisikan yang nadanya mirip dengan bisikan semalam yang....
"Lho.. kok nak Adhit?"
Tiba-tiba keduanya terkejut mendengar suara itu. Mirna melepaskan pegangannya pada tas belanjaannya.
Bu Susan berjalan mendekati mereka.
==========
Adhit terkejut, ada perasaan nggak enak ketika tiba-tiba bu Susan mendekati mereka. Mirna segera berlalu sambil membawa bungkusan belanjaannya, setelah mengangguk hormat pada bu Susan.
"Nak Adhit kok disini? Nggak ke kantor ?" tegur bu Susan penuh selidik.
"Ke kantor ma, tadi pas keluar, ketemu Mirna membawa belanjaan berat, lalu Adhit mengantarnya. Kebetulan Dewi kan sahabat baik Adhit sejak jaman kuliah dulu." jawab Adhit memberi alasan.
"Oh, iya, nak Dewi juga pernah cerita."
"Mama mau belanja?"
"Iya, pegawe nggak masuk, lagi butuh sesuatu," jawab bu Susan sambil melangkah ke arah toko.
Ada perasaan nggak enak melihat sikap Adhit terhadap Mirna tadi. Seperti tidak wajar, seperti sepasang anak muda saling mencintai. Ya Tuhan, apakah ini ada hubungannya dengan tangis Anggi pagi tadi? pikir bu Susan.
Adhit juga menuju ke arah toko, tapi ia langsung masuk kedalam, untuk menemui Dewi.
"Dhit, ini kebetulan atau kamu memang sengaja menemui Mirna?" tanya Dewi sok tau.
"Apa maksudmu? Aku lagi keluar kantor, melihat Mirna sedang mencari taksi dan menjinjing belanjaan. Wajar dong kalau aku menolongnya."
"Hm.. gitu ya.." kata Dewi sambil tersenyum, tapi senuman itu seperti menyembunyikan sesuatu.
"Hei, kenapa senyum-senyum begitu?"
"Nggak apa-apa, masa aku nggak boleh senyum sih," jawab Dewi dengan masih tetap tersenyum.
"Senyummu itu aneh.."
"Aneh bagaimana? Ayo duduklah dulu, biar aku buatkan teh."
"Nggak usah, aku mau pamit. Mana Mirna?"
"Itu, lagi melayani mertua kamu,"
Adhit menuju kearah depan, berpamit pada Mirna.
"Mirna.."
Hm, panggilan itu mengapa begitu menusuk hati Mirna, sangat merdu dan menghanyutkan. Mirna yang sedang melayani bu Susan menoleh.
"Aku mau balik ke kantor."
"Oh, baiklah, terimakasih pak," jawab Mirna sambil memasukkan barang yang dibeli bu Susan kedalam tas plastik. Adhit berlalu dan meninggalkan senyuman manis.
Adhit yang keluar dari toko menghampiri bu Susan.
"Ma, belanjaannya perlu Adhit bawakan?" Adhit manawarkan jasa untuk menutupi rasa sungknnya.
"Nggak usah nak, cuma sedikit saja," jawab bu Susan sambil mengulurkan uang kepada Mirna atas belanjaannya.
"Adhit balik ke kantor dulu ma,"
"Ya nak, hati-hati," jawab bu Susan tanpa menoleh ke arah Adhit. Ia sibuk menerima kembalian uangnya dan barang belanjaannya, sementara Adhit sudah naik ke mobilnya dan berlalu.
Namun begitu meletakkan belanjaannya sesampai dirumah, bu Susan menelpon Anggi.
"Hallo ma, ada apa,"
"Lagi ngapain kamu Nggi?"
"Ini.. lagi bantuin eyang memasak, tapi sudah selesai, ada apa ma?"
"Ibu tadi ketika belanja ke toko bu Dewi, melihat suamimu baru saja datang."
"Mas Adhit? Datang bagaimana ma?"
"Ya datang, bersama Mirna," kata bu Susan sambil menekankan kata Mirna. Pertanda ia tak suka melihat pemandangan seperti tadi.
Sejenak darah berdesir di hati Anggi. Bagaimanapun Adhit adalah suaminya. Biar dimulut berkata rela, tapi alangkah sakit jiwa ini, batin Anggi.
"Anggi, kamu masih disitu?" tegur bu Susan karena Anggi terdiam.
"Oh, iya ma, ini.. sambil menuang sayur kedalam panci," jawab Anggi berbohong.
Sungguh sebenarnya hatinya terguncang. Ternyata walau bersikap menolak, diam-diam juga menemui Mirna. Siapa yang nggak sakit hati coba? Namun Anggi perempuan yang luar biasa. Ia bisa menutupi luka batinnya dengan bersikap seperti biasa saja.
"Oh, kirain kamu pingsan," kata bu Susan kesal.
"Mama ada-ada saja, nggak ma.. Anggi mendengarkan. Iya, tadi mas Adhit bilang mau kerumah mbak Dewi."
Nah, kan, jawabannya salah.
"Dia datang sehabis mengantar Mirna berbelanja," kata bu Susan mengubah keterangan yang tadi Adhit katakan, yaitu ketemu dijalan lalu membantu mengantarnya.
"Iya ma, nggak apa-apa, mas Adhit itu kan sahabatan sama mbak Mirna, dan juga mbak Dewi."
"Ah, kamu, mama pikir kamu akan marah, kamu nggak cemburu?"
Tanpa diduga Anggi tertawa lirih. Ada tangis ditahannya tapi diperdengarkannya tawa kepada ibunya, untuk menunjukkan bahwa batinnya tidak terluka.
"Mas Adhit itu suami Anggi, sudah menjadi milik Anggi, untuk apa cemburu? Ya sudah ma, nanti Anggi telephone lagi ya, sekarang mau menyelesaikan pekerjaan Anggi dulu."
Bu Susan menutup ponselnya. Ia tak tau bahwa Anggi bukannya berada didapur, tapi dikamarnya. Ia juga tak tau bahwa Anggi sedang tersedu memeluk bantalnya.
"Mas, aku mencintaimu, aku ingin melihat kamu bahagia..., nggak penting seandainya hatiku sakit dan terluka, yang terpenting adalah dirimu," bisiknya diantara sedu sedan yang memilukan.
Ketika tiba-tiba terdengar ketukan dipintu kamarnya, Anggi buru-buru mengusap air matanya. Tapi pasti terlihat sembab karena dia habis menangis, Anggi bangkit dan duduk.
"Anggi, kamu tidur?"
Anggi menata perasaannya dan menjawab supaya kelihatan wajar.
"Iya eyang, Anggi mau tidur sebentar saja."
"Tapi kayaknya suami kamu pulang untuk makan."
"Oh ya, sebentar eyang."
Bu Broto menjauh setelah mendengar jawaban Anggi. Tapi tak lama kemudian pintu diketuk kembali. Ia tau suaminya yang datang. Apa boleh buat. Ia bangkit dan membuka pintu, tapi segera melangkah kearah kamar mandi untuk mencuci mukanya. Ia tak ingin suaminya melihatnya menangis.
"Anggi," panggil Adhit begitu masuk kekamar.
"Sebentar mas," teriak Anggi dari dalam kamar mandi.
Adhit terduduk di tepi ranjang. Hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia benci pada perasaannya sendiri, tapi ia tak mampu menghindari. Aku sungguh lemah, bisiknya sedih.
Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, dilihatnya wajahnya pucat. Ada sembab yang tersisa, apakah isterinya baru saja menangis? Atau sisa tangisan pagi tadi? Adhit tak mampu membuka mulutnya untuk bertanya.
"Ma'af tadi aku tertidur. Rasanya ngantuk sekali," ujarnya pelan sambil mengelap wajahnya dengan handuk.
"Anggi, aku tadi ketemu Mirna," kata Adht pelan.
"Oh ya.. "
"Dia habis berbelanja, lalu aku mengantarnya ketoko Dewi."
"Bagus lah mas, belanjaan mbak Dewi pasti banyak dan berat. Bagus kalau mas membantunya."
Adhit terdiam. Ia mendengar nada suara yang biasa saja. Ia tau pasti bu Susan telah bercerita, tapi Anggi seperti tak terpengaruh apapun.
"Seperti permintaan aku, mas harus sering mendekati Mirna, aku rela berbagi mas."
Adhit menarik tubuh Anggi dan memeluknya erat. Anggi tak bereaksi. Ia merasa pelukan itu seperti ucapan terimakasih yang dilontarkan karena ucapannya agar mendekati Mirna. Ada darah menetes, tapi Anggi sungguh pintar menutupinya. Apakah hatinya terbuat dari batu? Tidak, ia tau ada luka menganga, namun tak ada jerit kesakitan.
"Ma'afkan aku Anggi, sungguh aku tak ingin berpisah dari kamu," bisiknya ditelinga Anggi.
"Ayo kita makan, yu Sumi sudah menyiapkan dari tadi," kata Anggi sambil melepaskan pelukan suaminya, lalu melangkah keluar dari kamar.
Adhit menghela nafas, tapi ia kemudian mengikuti isterinya menuju ruang makan, dimana bu Broto sudah menunggu.
***
Hari itu Mirna gelisah bukan alang kepalang. Sikap Adhit tadi sungguh luar biasa. Ia mencoba me raba-raba, apa sebenarnya maksudnya. Mengapa bersikap seolah dia menyukai dirinya? Tidak, bos ganteng kan sudah punya isteri, Mirna merasa bermimpi.
"Mirna, mengapa semprot serangga kamu taruh didekat deretan sirup?" tegur Dewi tiba-tiba.
Mirna terkejut. Aduuh..
"Oh, ma'af mbak.. " katanya lalu bergegas mengambil obat semprot itu dan diletakkan ditempat yang semestinya.
"Hari ini kamu banyak membuat kesalahan Mirna. Sabun cuci kamu letakkan dirak susu," tegur Dewi lagi.
"Ya ampun mbak... ma'af.. ma'af.. kok aku bingung ya," kata Mirna sambil membenahi kesalahannya.
"Ada apa denganmu Mirna?"
"Ssaya.. nggak ada apa-apa, mungkin agak pusing..."
"Karena tadi ketemu Adhit?" Dewi berterus terang.
"Aaap..apa? Tidak... bukan... ma'af mbak.." jawab Mirna gagap.
"Aku tadi juga heran, sikap Adhit sedikit aneh ya? Aku menduga -duga saja, mungkin sebenarnya dia suka sama kamu," kata Dewi berterus terang.
Mirna terkejut, tumpukan sabun yang dijinjingnya terlepas dari tangannya, berserakan dilantai. Untuk tak ada bungkus yang pecah.
"Mirna... hati-hati.. Kemarilah sebentar, biar pembantu membereskannya."
Dewi menyuruh pembantunya menata dagangannya, lalu menarik Mirna duduk didepan mejanya.
"Duduk dan tenangkan hatimu. Aku melihat kamu sangat gelisah.hari ini. Dan aku juga melihat sikap Adhit yang aneh hari ini."
Mirna meneguk minuman yang disodorkan Dewi.
"Ma'af mbak, itu nggak ada hubungannya, saya hanya... mungkin agak pusing hari ini."
"Mirna, sebenarnya sudah sejak lama aku peringatkan Adhit, jangan diteruskan keinginannya melamar Anggi, tapi dia nekat, aku tau itu karena kasihan, tapi kalau kemudian ada sesal dihatinya, jadi kasihan Anggi kan?"
"Mengapa pak Adhit menyesal?"
"Kamu kan tau, Anggi tak akan bisa memberinya keturunan?"
"Tapi..."
"Adhit itu keras kepala. Kalau punya keinginan susah diendapkan. Dia itu sahabat aku sejak masih kuliah, jadi aku tau seperti apa dia. Dulu banyak gadis-gadis suka sama dia, tapi dia itu susah banget jatuh cinta. Semua ditolaknya. Lalu ketika ia benar-benar jatuh cinta, aku kira tak akan ada yang bisa menghentikannya."
Mirna mendengarkan dengan seksama, tapi ia tak menjawab apapun. Ia tak mengerti mengapa Dewi mengatakan semua itu padanya.
"Aku kira Adhit itu suka sama kamu."
Gelas yang dipegang Mirna hampir terjatuh dimeja. Ia meneguknya kembali, lalu menggeleng pelan.
"Ya nggak mungkin mbak.mBak Dewi ada-ada saja," kata Mirna sambil beranjak berdiri.
"Mirna.."
"Saya akan membantu membereskan barang-barang mbak."
"Sudah, biarkan saja, lebih baik kamu duduk disini untuk menenangkan hati kamu, biar anak-anak itu membereskannya.
***
Ber hari-hari setelah itu Mirna tak bisa melupakan ucapan Dewi. Ia yakin Dewi meng ada-ada. Tapi sikap Adhit sendiri mengapa begitu? Pandangan matanya, sikapnya, itu senyumnya itu.. ya Tuhan... apa itu benar? Mengapa setelah punya isteri dia bersikap seperti itu?
Lamunan Mirna terhenti ketika seseorang muncul didepan toko.
"mBak Mirna.."
"Ya bu Anggi, apa yang bisa sayaa bantu?"
"mBak Dewi ada?"
"mBak Dewi sedang menjemput Bima, baru saja berangkat."
"mBak, boleh aku masuk ?"
"Oh ya, silahkan, lewat sini bu," kata Mirna mempersilahkan. Tiba-tiba hatinya berdebar kencang. Ia mengira Anggi akan melabraknya, mungkin ia tau bagaimana sikapnya terhadap dirinya, atau bu Susah bercerita ketika melihat mereka sedang berduaan didepan sana.
"Silahkan duduk bu, ada pesan untuk mbak Dewi? Nanti saya sampaikan." kata Mirna sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia mempersilahkan Anggi duduk di kursi tamu yang ada di toko itu. Hatinya masih berdebar. Tapi sikap Anggi seperti tidak sedang marah. Mirna duduk didepannya.
"Bukan untuk mbak Dewi, tapi untuk kamu."
Mirna memagang pinggiran meja. Hatinya gelisah.
"Apa yang bisa saya bantu bu?" Mirna mencoba menenangkan hatinya
"mBak Mirna, tolonglah saya,"
Mirna tak menjawab, menunggu dengan hati berdebar. Ia siap seandainya Anggi akan menegurnya, ia sudah menyiapkan jawabannya. Mana mungkin ia akan mengganggu rumah tangga Anggi dan Adhit?
"Mas Adhit itu tidak bahagia bersama saya. Ia hanya kasihan sama saya. Ia sesungguhnya menginginkan bisa memiliki anak, "
Mirna masih tak menjawab.
"Saya sungguh kasihan melihatnya, saya mencintainya, dan ingin melihatnya bahagia. Jadi tolonglah saya."
"Apa yang bisa saya bantu bu?"
"Menikahlah dengn suamiku mbak."
Bersambung #38
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel