Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 29 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #38

Cerita Bersambung

Mirna menggenggam pegangan kursi dengan erat. Matanya nanap menatap Anggi yang juga menatapnya tajam.

"Bu Anggi bilang apa?" tanyanya dengan suara bergetar.
"mBak Mirna, aku ber sungguh-sungguh. Mas Adhit mencintai mbak Mirna."
"Aap...apa?" Mirna terkaget-kaget.
"Itu benar, mas Adhit tiak mencintai aku, mbak Mirna yang dicintainya. Itu sebabnya aku minta mbak Mirna mau menikah dengan mas Adhit."

"Tidaaaak... tidaak bu Anggi, itu mustahil. Tidak mungkiin..."
"Itu benar, aku mohon. Aku ingin melihat mas Adhit bahagia. Sungguh, aku rela, aku ikhlas berbagi mbak, tolong.. penuhilah permintaanku," sekarang Anggi berlinangan air mata, memelas.
"Tidak bu, tidak.. jangan teruskan, pak Adhit milik mbak Anggi, saya tak akan mengganggunya, mana mungkin bu, jangan begitu. Tolong jangan lanjutkan."
"mBak Mirna, aku mohon."
"Mana mungkin seorang wanita rela berbagi cinta, berbagi suami. Tidak.. tolong bu Anggi, ayolah, saya bukan perempuan yang ingin merusak rumah tangga bu Anggi, sungguh, jangan begitu bu." kata Mirna sambil berdiri, lalu memegangi tangan Anggi dengan erat. Basah tangan itu, oleh keringat dingin yang membanjir.

Anggi berdiri, memeluk Mirna sambil menangis.

"Aku ingin suamiku bahagia mbak, tolonglah.."
"Jangan bu, saya mohon. Sekarang pulanglah, dan pikirkan kembali keinginan bu Anggi itu," kata Mirna sambil menggandeng tangan Anggi, seperti memaksanya pergi.
"mBak Mirna..."
"Lakukan yang terbaik untuk suami, bukan dengan mencarikan isteri lagi. Ibu akan menyesal nanti, percayalah."
"Tidak mbak Mirna, aku tak akan menyesal. Tolong..."
"Pulanglah mbak, dan endapkan pikiran itu, pasti nanti akan ada jalan terbaik untuk rumah tangga ibu."

Anggi akhirnya pergi, berjalan keluar dari halaman toko sambil mengusap air matanya yang menitik turun.

Mirna masuk kedalam toko dengan tubuh gemetaran. Seperti mimpi mendengar seorang isteri mencarikan lagi isteri lain untuk suaminya. Itu hanya ada didalam dongeng. Di pewayangan, Dewi Sembadra rela suaminya menikahi Srikandi, bahkan banyak isteri-isteri lainnya. Tapi itu kan cerita wayang. Mirna terduduk dikursi masih dengan tubuh gemetaran. Memang benar dia jatuh hati sama Adhit, sudah bertahun lalu, dan tak pernah bisa menghilangkan rasa itu, tapi merebut Adhit dari isterinya? Tidak, Mirna tidak sejahat itu. Ia mengira Anggi sedang emosi, dan berharap bisa mengendalikan perasaannya, menghilangkan keinginan yang sangat menakutkan itu.

Ketika Dewi pulang dari mengantar Bima, ia terkejut melihat Mirna masih terduduk dikursi belakang. Wajahnya pucat pasi, dan ada air mata mengambang di pelupuknya.

"Mirna, ada apa?"

Tak tahan menanggung resah yang melandanya, Mirna berdiri dan menubruk Dewi, menangis seesenggukan disana.

"Mirna... ayu duduklah, ceritakan ada apa.."

Dewi menuntuk Mirna agar duduk supaya lebih tenang. Ada segelas air putih dimeja, diulurkannya pada Mirna. Mirna meneguknya, masih dengan pipi basah oleh air mata.

"Tadi bu Anggi kesini," bisiknya pelan.
"Anggi? Dia memarahi kamu ?"
Mirna menggeleng.
"Lalu kenapa?"
"Dia minta agar saya mau menikah dengan pak Adhit."

Dewi terhenyak mendengarnya. Tak percaya, ia menatap Mirna lekat-lekat.

"Itu benar. Mana mungkin saya bisa melakukannya?"
"Kamu menolak?"
"Mana mungkin saya menerima. Biar saya jatuh hati sama pak Adhit, mana mungkin saya merebutnya dari iserinya?"

Dewi tak melepaskan pandangannya pada Mirna. Dengan tanpa ditanya Mirn sudah membuka apa yang dirasakannya. Jadi benar, dia jatuh hati sama Adhit. Aduuh... sungguh rumit.

"Jadi benar, kamu mencintai Adhit?"

Mirna menunduk. Air matanya sudah tak lagi menetes turun. Lebih tenang setelah bisa berbicara dengan Dewi. Tapi ia terkejut ketika tanpa sadar membuka isi hatinya. Apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur. Salahkah kalau dirinya mencintai seseorang, dan seseorang itu adalah Adhit?

"Mirna..."
"Ya mbak, terus terang saya mengatakan, bahwa sudah lama saya mencintai dia, tapi apalah saya ini, hanya seorang yang tak punya derajat, hanya anak seorang tukang bangunan. Saya seperti pungguk merindukan bulan," katanya pilu.
"Mirna, jatuh cinta itu tidak salah. Cinta boleh menghinggapi hati siapapun juga, tak perduli dia punya derajat atau tidak. Aku kagum sama kamu, karena bsa memendam perasaan selama itu."
"Saya kan harus tau diri mbak. Tapi tadi itu, mengapa ya bu Anggi bilang begitu?"
"Apa dia marah sama kamu?"
"Enggak bu, dia malah me mohon-mohon supaya saya bersedia. Mana mungkin saya bisa melakukannya."
"Ada apa dengan keluarga itu?"
"Saya takut bu, bagaimana kalau saya mohon ijin untuk tidak masuk kerja selama beberapa hari? Saya takut bu Anggi datang lagi, atau terjadi hal yang sangat saya takuti."
"Baiklah Mirna, beristirahatlah selama beberapa hari untuk menenangkan hati kamu. Aku akan berusaha menemui Adhit dan menanyakan apa yang terjadi."
***

"Anggi, kamu dari mana ?" tanya bu Broto karena Anggi pergi tanpa pamit.
"Ma'af eyang, tadi cuma ingin jalan-jalan saja, jadi nggak pamit sama eyang."
"Jalan-jalan kemana? Kok ngajak eyang.."
"Cuma muter-muer disitu saja. Pengin beli sesuatu, tapi kok nggak ada yang menarik."
"Mau beli apa kamu? Makanan? Dirumah kan banyak makanan. Tuh, kue-kue buatan eyang, juga oleh-oleh dari Ayud kemarin. Enak lho."
"Iya sih eyang, memang enak, tapi Anggi pengin yang bukan roti atau kue-kue. Singkong goreng misalnya."
"Kalau siang begini jarang ada yang jual  singkong goreng. Kalau sore banyak."
"Oh, iya eyang, bener, pantesan tadi Anggi sudah berjalan jauh nggak ketemu."
"Kalau ingin sekali, nanti kalau suami kamu pulang, bilang saja. Sepulang dari kantor kan dia bisa beli untuk kamu."
"Iya benar eyang, nanti Anggi bilang deh."
"Ini sudah jam berapa, kok Adhit belum pulang makan?"
"Mungkin masih banyak yang harus dikerjakan eyang."
"Kalau begitu ayo kita makan sendiri saja, kasihan pasti kamu sudah lapar."
"Eyang saja yang makan, biar Anggi temani, nanti Anggi akan makan kalau mas Adhit sudah pulang."
"Iya, so'alnya eyang kan haus minum vitamin-vitamin, dan itu harus diminum setelah makan."
"Kalau begitu eyang harus makan sekarang, ayo Anggi temani."

Namun bu Broto menangkap sesuatu yang lain diwajah Anggi. Apakah Anggi sedang sedih? Bu Broto ingin menanyakannya, tapi diurungkannya. Ia tak ingin mencampuri urusan rumah tangga cucunya, walau ia tau ada yang tidak seperti biasanya.

"Kamu nggak mau makan sesuatu? Tahu bacem ini enak lho, makanlah, kan kamu sendiri yang masak."
"Tadi kan Anggi sudah makan eyang, memang enak, eyang yang kasih bumbunya, jadi pasti enak."
"Adhit sangat suka tahu bacem buatan eyang. Nanti dia pasti senang kalau tau kamu yang memasak."

Anggi hanya tersenyum. Ia tau bahwa sa'at ini Adhit tak akan perduli akan sesuatu masakan. Ia sedang bingung dan menyesali langkahnya untuk melamar dirinya beberapa bulan lalu. Alangkah sakitnya. Tapi Anggi tak ingin larut dalam ketidak berdayaannya. Ia harus melakukan sesuatu demi kebahagiaan suaminya, biarpun hatnya terluka.

Namun siang itu Adhit memang tidak pulang untuk makan siang. Ia sedang menuju ke toko Dewi, nggak tau mengapa, karena mobilnya seakan berjalan sendiri kearah sana.

"Aku sudah gila." bisiknya sambil berhenti duhalaman toko.

Karena ragu-ragu tak tau harus melakukan apa, Adhit memutar kembali mobilnya, ingin pergi dari sana. Tapi tiba-tiba didengarnya sebuah tepukan tangan, dan suara memanggil namanya.

"Adhit !!"

Adhit menghentikan mobilnya. Lalu didengarnya langkah-langkah mendekat.

"Kok balik ?"
"Iya, aku kesasar," kata Adhit sekenanya.
"Turunlah, aku mau bicara."

Tapi Adhit tak mau turun. Ia bingung kalau ketemu Mirna harus bersikap bagaimana, sementara jauh dilubuk hatinya ia sangat ingin melihatnya, memandangi matanya yang bening seperti sepasang bintang, atau....

"Adhit, turunlah, sebentar saja. Kamu seperti orang bingung begitu, ayo kita bicara," kata Dewi setengah memaksa.

Adhit membuka pintu mobilnya, lalu turun.

"Ayo kita duduk dibawah pohon jambu itu saja," kata Dewi sambil menunjuk kearah pohon jambu, dimana ada bangku2 dibawahnya. Kalau udara panas Dewi sering duduk-duduk disana untuk mencari angin.

Adhit seperti  anak kecil digandeng Dewi lalu diajaknya duduk disana. Tak ada suara keluar dari mulutnya.

"Ada apa dengan dirimu?"
"Nggak ada... memangnya ada apa?"
"Lihat kelakuanmu, masuk ke pekarangan orang, lalu muter dan mau kabur, itu kan sikap orang kebingungan ?"

Adhit tak menjawab, tapi diam-diam kepalanya melongok kearah toko, sayangnya Dewi mengetahui kelakuannya itu.

"Kamu mencari siapa? Mirna? Dia sudah pulang," kata Dewi tegas.
"Pulang? Jam berapa emang?"
"Dia sakit, aku suruh dia pulang. Memangnya kenapa?"
"Sakit apa dia?"
"Sakit hati."
"Apa?"
"Tadi isteri kamu datang kemari."
"Apa? Lalu apa terjadi sesuatu antara dia dengan Mirna? Anggi marah-marah, begitu? Atau melabrak Mirna?"
"Tidaaaak... tidaaak. Isterimu terlalu baik untuk marah. Kalau itu aku, pasti aku sudah ngamuk dan menghajar kamu habis-habisan."
"Dewi, apa maksudmu?"
"Anggi tidak marah. Dia minta agar Mirn a mau menjadi isterimu."
"Apa? Anggi bilang begitu?"
"Ya, apa itu kemauan kamu?"
"Tidak, bukan aku... aku bingung atas sikap Anggi. Dia itu..."

Pembicaraan itu terhenti karena ponsel Adhit tiba-tiba berdering.

"Jawab dulu, dari siapa," kata Anggi.
"Dari eyang, tumben eyang menelpon."
Adhit membuka ponselnya.

"Adhit, kamu dimana?" Eyang... Adhit sedang... sedang..." pembicaraan itu terhenti karena bu Broto menyampaikan sesuatu yang mengejutkannya.
"Cepat pulang, isteri kamu pingsan.,"

==========


Adhit masih memegangi ponselnya, sampai bu Broto menutup pembicaraan itu. Dewi menatap sahabatnya dengan heran.

"Ada apa Dhit?"
"Dari eyang, katanya Anggi pingsan," jawab Adhit kemudian menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke saku. Adhit berdiri, seperti orang bingung.
"Adhit, tenangkan hatimu, cepat pulang, tapi hati-hati dijalan ya."

Adhit mengangguk, kemudian berjalan kearah mobilnya, dan menjalankannya keluar dari halaman.
Dewi kembali masuk kedalam toko. Mirna masih duduk di kursi belakang toko. Tadi Dewi sengaja berbohong dengan mengatakan Mirna sudah pulang karena Mirna yang memintanya.

"Dia sudah pulang mbak?" tanya Mirna.
"Sudah, baru saja bu Broto menelpon, katanya Anggi pingsan."

Mirna tampak terkejut.

"Pingsan? Apa dia sakit? Tadi sepertinya baik-baik saja, tapi... entahlah kalau memang sudah merasa nggak enak badan lalu ditahannya."
"Mungkin juga."
"Kasihan dia."
"Kisah ini sangat rumit difikirkan, Mirna, kuatkanlah hatimu. Kalian saling mencintai tapi tidak bisa saling memiliki."

Mirna menghela nafas. Dia baru saja mendengar bahwa Adhit mencintainya. Dari Anggi lalu yang barusan terdengar.. dari Dewi. Apa itu benar? Ada sekilas rasa bahagia yang membuncah. Aduhai, saling mencintai? Itu kan kata-kata yang sangat indah? Tapi kemudian Mirna menjadi sedih, karena kata berikutnya adalah tidak bisa saling memiliki.

"Mirna," lembut kata Dewi, sambil mengelus pundaknya.
"Memang cinta tidak harus saling memiliki. Tapi kalau dia bahagia, bukankah kamu juga akan bahagia?"
"Tentu saja mbak," jawab Mirna sedih.
"Itulah cinta yang sebenarnya cinta. Seperti cintanya Anggi pada suaminya bukan?"

Mirna teringat kata-kata Anggi, bahwa dia ingin Adhit bahagia. Benar, Anggi mencintai suaminya dengan sepenuh hatinya. Ikhlas berkorban walau hati tersakiti. Diam-diam timbul rasa hormat dihati Mirna terhadap Anggi.

"Tolonglah mbak..." terngiang kembali kata-kata Anggi. Tolong menikahlah dengan suamiku. Aduhai, itu pertolongan yang sulit dilakukan. Walau hati ingin tapi tak mungkin dia tega melakukannya. Biarlah Anggi dan dirinya kesakitan. Itu benar, Anggi sakit karena ternyata suami yang dicintainya tidak mencintainya. Mirna sakit karena tak bisa memenuhi keinginan Anggi sementara sebenarnya dia juga cinta. Dan benar juga kata Dewi, ini kisah yang sangat rumit.
***

Ketika Adhit sampai dirumah, sudah ada dokter didalam kamarnya. Anggi tergolek pucat, tapi sudah sadarkan diri. Melihat suaminya datang, Anggi hanya melihat sekilas, kemudian dipejamkannya kembali matanya.

"Ada apa isteri saya dok?"
"Nggak apa-apa, jangan khawatir, dia hanya merasa tertekan, entah karena apa," jawab dokter yang sudah mengemasi semua peralatannya dan siap untuk pergi.
"Tertekan?"
"Mungkin tertekan, mungkin kecapean. Tensinya agak tinggi. Tapi saya sudah memberikan resepnya."
"Ini resepnya Dhit, sudah eyang bawa," sahut bu Broto.
"Baiklah dok, nanti segera saya belikan obatnya. Terimakasih banyak."
"Sama-sama pak Adhitt, untuk sementara dia harus istirahat dulu, saya sudah memberinya suntikan penenang.Oh ya, tampaknya dia juga belum makan, tubuhnya lemas."
"Sekali lagi terimakasih dok, nanti saya suruh dia makan," kata Adhit yan kemudian berjalan mengikuti dokternya keluar kamar, langsung menuju mobilnya.

Ketika Adhit kembali ke kamar, dilihatnya Anggi masih memejamkan matanya. Bu Broto duduk disamping pembaringan, tampak khawatir.

"Sebenarnya ada apa eyang? Apakah dia terjatuh lalu pingsan?"
"Nggak, dia menunggui eyang makan, eyang suruh ikut makan katanya nanti menunggu kamu pulang. Eyang suruh makan apapun dia nggak mau. Ya sudah, eyang makan sendiri karena eyang kan harus minum vitamin yang dibelikan Ayud, dan itu diminum sing sesudah makan."
"Dia bilang pusing, atau apa...gitu?"
"Dia nggak bilang apa-apa, tapi eyang melihat wajahnya memang pucat, apa dia habis menangis ya, entahlah, eyang hanya men duga-duga. Tiba-tiba saja kepalanya terjatuh dimeja, lumayan keras. Eyang terkejut, rupanya dia pingsan. Dengan Supi eyang mengangkatnya kekamar, Lalu eyang memanggil dokter, lalu menelpon kamu."

Adhit menghela nafas, dielusnya kepala Anggi, entah apa yang difikirkannya.

"Apa kalian bertengkar?"
"Enggak, eyang."
"Sudah beberapa hari ini sikapnya aneh. Eyang nggak pernah nanya, karena eyang nggak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian. Suami isteri bertengkar itu wajar kan."

Adhit tak menjawab. Ia ingat kata dokternya tadi, Anggi tertekan? Karena apa? Adhit juga merasa bersalah sejak dia menyebutkan nama Mirna ketika sedang bercinta dengan isterinya. Aku memang gila, mengapa yang aku bayangkan adalah dia? Kata batin Addhit.

"Dhit, segera kamu belikan obatnya di apotik. Ini resepnya," kata bu Broto sambil mengulurkan selembar kertas resep.
"Baiklah eyang, Adhit pergi dulu. Kalau dia terbangun, cona eyang suruh dia makan."
"Benar, eyang lihat dari pagi dia belum makan sesuatu pun. Baiklah, nanti eyang suruh dia makan, kalau perlu eyang paksa."
***

Dalam perjalanan ke apotik itu pikiran Adhit melayang ke mana-mana. Dia merasa sangat bersalah, tapi bagaimana melupakan Mirna? Mengapa tiba-tiba Mirna hinggap dihatinya dan sulit dilupakannya? Dan Anggi, mengapa juga dia memaksanya menikah dengan Mirna, bahkan mendatangi Mirna dan memintanya agar mau menikah dengannya.

Adhit menghela nafas, gelisah bukan alang kepalang.Apakah sakitnya Anggi karena memikirkan keinginannya agar dirinya menikah dengan Mirna? Ya Tuhan, mana mungkin dia bisa melakukannya? Dan mana mungkin Mirna juga mau walau dipaksa sekalipun?

Adhit terkejut ketika tiba-tiba mobilnya entah sampai dimana. Adhit menghentikannya ditepi jalan. Bukankah apotik yang ditujunya sudah lewat? Ya Tuhan, karena melamun Adhit mengemudikan mobilnya tak menantu. Ia menunggu sepi, kemudian memutar balik mobilnya.
***

Ketika membuka matanya, Anggi melihat yu Supi sedang berdiri didekatnya. Ia baru saja meletakkan nampan berisi sup hangat dimeja.

"Yu Sumi..."
"Ya bu, tapi nama saya Supi... bukan Sumi lho," kata Supi sambil tersenyum.
"Iya yu, habis eyang sering memangil Sumi."
"Bu sepuh sering menyebut saya Sumi, padahal Sumi itu pembantunya yang sebelum saya. Tapi nggak apa-apa bu. Iya, ibu harus makan, ini sudah saya siapkan."

Tapi Anggi menggelengkan kepalanya.

"Kan ibu belum makan dari pagi. Sebentar, saya ambilkan sedikit nasi dan sup ya, masih hangat, nanti pasti ibu segera sehat kembali," kata Supi yang kemudian mengambil mangkok kecil berisi sup hangat, lalu membubuhkan sedikit nasi kedalamnya.
"Ini bu, saya suapi ya?"

Tapi Anggi kemudian mencoba bangun. Supi membantunya duduk.

"Sudah kuat duduk bu?"
"Aku mau makan diluar sana saja, dimeja makan," kata Anggi sambil turun dari ranjang. Supi membantunya.
"Ibu tidak apa-apa?"
"Aku bisa, biar aku berjalan sendiri. Bawa saja makanan itu ke meja makan." kata Anggi yang kemudian mencoba melangkah perlahan. Kepalanya terasa berputar.

Anggi berhenti sebentar, bersandar pada pintu kamar, sementara Supi sudah keluar dengan membawa makanan yang tadi disiapkannya.
Anggi melangkah lagi setelah merasa denyut di kepalanya berkurang. Ia sampai di meja makan, dan dilihatnya bu Broto sudah duduk disana.

"Mengapa makan disini Anggi? Kamu masih pucat, sebaiknya di kamar saja."
"Nggak apa-apa eyang, Anggi nggak sakit kok, cuma sedikit pusing," jawab Anggi sambil duduk dikursinya.
"Pusing itu kan gejala suatu penyakit?"
"Nggak eyang, Anggi sudah baik kok."
"Ya sudah, makan dulu, lalu kembali ke kamar ya?"

Adhit heran ketika pulang dari apotik dilihatnya Anggi duduk diruang makan.

"Anggi, kamu nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja mas," jawabnya sambil menyilangkan sendok garpunya, pertanda ia sudah selesai makan.

"Sudah selesai makan?" tanyanya sambil mengelus kepala Anggi.
"Makan, cuma sedikit, itupun karena dipaksa," kata bu Broto menimpali.
"Kenapa Anggi?"
"Perutku agak mual, jadi nggak pengin makan. Aku mau kembali ke kamar."
"Baiklah, ayo aku antar ke kamar," kata Adhit yang kemudian membantu Anggi berdiri lalu menuntunnya ke kamar.
"Biar aku berjalan sendiri,"
"Tidak bisa, kamu lemas begitu. Lihat, ini sudah aku belikan obatnya, nanti sebelum berbaring kamu harus minum obatnya dulu."

Adhit memberikan obatnya, sementara Anggi duduk ditepi pembaringan.

"Obat apa ini?"
"Sudahlah, ini yang dokter berikan. Kata dojter tensi kamu tinggi, lalu kamu tertekan, benarkah?"
"Aku nggak apa-apa," katanya sambil berbaring setelah menelan obatnya.
"Kamu jangan berfikir yang macam-macam Anggi, aku adalah suamimu, dan akan tetap menjadi suami kamu."

Anggi ddiam saja, seandainya kata-kata itu disertai rasa cinta, alangkah bahagianya. Tapi tidak, ia sudah tau bahwa Adhit tidak mencintainya. Menjadi seorang suami hanya karena status. Karena dia memintanya karena iba. Anggi memejamkan matanya, mencoba menahan perasaannya agar air mata tak meleleh membasahi pipinya.

"Tidulah, dan jangan berfikir yang bukan-bukan, aku menungguimu disini," kata Adhit sambil mengelus kepala Anggi.

Bu Broto masuk kedalam kamar. Dilihatnya Anggi sudah tertidur, dan Adhit mengelus kepalanya lembut.

"Kalau butuh apa-apa, panggil Sumi biar meladeni isterimu."
"Ya eyang, nanti saya panggil bi Supi."
"Ya, Supi, selalu masih kebawa untuk menyebut nama Sumi."

Bu Broto keluar kamar, Adhit masih mengelus kepala Anggi.

Dalam hati Adhit sungguh merasa bersalah. Ia tak harus bersikap seperti itu. Ya Tuhan, tapi mengapa sangat sulit melupakannya?

Adhit turun dari tepi pembaringan ketika desah nafas Anggi terdengar halus. Berarti Anggi sudah tertidur. Tapi ketika akan keluar dari kamar, pintu kamar terbuka, dan bu Broto masuk bersama bu Susan.

"Dhit, tadi aku juga mengabari mertuamu," kata bu Broto.
Anggi mencium tangan bu Susan.
"Ada apa dia?"
"Kata dokter tensinya agak tinggi, tapi sudah minum obatnya, sekarang dia tertidur ma."
"Mama khawatir, tampaknya Anggi mencurigai kamu selingkuh dengan Mirna," kata bu Susan tiba-tiba.

Bu Broto terkejut, Adhit melepaskan tangan mertuanya yang semula digenggamnya.

Bersambung #39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER