Cerita bersambung
Bu Susan menatap Adhit dengan pandangan tajam. Ada kemarahan disana, sementara bu Broto segera memegang lengan bu Susan.
"Jeng, sabar jeng, nggak bagus menuduh yang bukan-bukan," katanya menenangkan.
"Ini bukan sekedar tuduhan bu, ini benar. Saya pernah melihat mereka berdua, berpandangan mesra sekali, ketika baru turun dari mobil dan mengeluarkan barang dari bagasi."
Adhit menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak eyang, itu tidak benar."
"Mana ada maling mengaku? Lihat sekarang, anakku menderita seperti ini," hardik bu Suan semakin keras.
"Ketika itu aku sudah memberi tau isteri kamu, tapi dia bilang nggak apa-apa. Dia bilang itu atas sepengetahuan dia. Tapi aku tau dia bohong. Dia menyembunyikan aib suaminya. Dia membelanya walau hatinya tertekan."
"Adhit !!" bu Broto menatap tajam cucunya.
"Tidak eyang, itu tidak benar."
"Ah, mana ada maling mengaku sih? Begini saja, kalau memang kamu tidak suka sama dia, ceraikan saja, biar dia kembali bersama mamanya."
"Tidak ma, tidak ada yang akan menceraikan dia, jangan begitu."
Tapi mendengar suara gaduh itu tiba-tiba mata Anggi terbuka.
"Mama..." panggilnya.
Mendengar panggilan itu, bu Susan menghentikan umpatannya. Ia mendekati ranjang, lalu merangkul anaknya.
"Anakku, apa kamu menderita?" bisiknya. Cukup keras, sehingga semua orang bisa mendengarnya.
"Mengapa mama berkata seperti itu?Anggi bahagia disini, tak ada yang menderita."
"Biarpun suami kamu tidak mencintai kamu tapi mencintai perempuan lain?"
"Mama bicara yang tidak-tidak."
Anggi berusaha bangkit, dibantu ibunya, lalu dia duduk ditepi ranjang..
"Masih pusing?" tanya Adhit sambil mendekat.
"Nggak mas, aku sudah merasa baik. Obat itu sungguh mujarab" kata Anggi sambil tersenyum.
Adhit mengelus kepalanya pelan, lalu keluar dari kamar. Bu Broto yang masih penasaran mengikutinya.
Adhit mengelus kepalanya pelan, lalu keluar dari kamar. Bu Broto yang masih penasaran mengikutinya.
"Adhit..." katanya sambil duduk disebelah cucunya.
"Ya eyang."
"Eyang tidak percaya kamu melakukan semua itu."
Adhit merangkul neneknya erat, seperti butuh kekuatan dari pelukan itu.
"Do'akan yang terbaik untuk Adhit ya eyang."
Tapi itu bukan kata-kata yang diharapkan bu Broto. Perempuan tua yang rambutnya sudah memutih bagai kapas itu butuh pengakuan Adhit, atau penyangkalan atas tuduhan itu.
"Apa yang terjadi pada dirimu?"
"Nanti pada suatu hari Adhit akan bicara banyak sama eyang."
"Apa tuduhan mertua kamu itu benar?"
"Tidak seluruhnya benar eyang."
"Maksudmu, ada benarnya bahwa kamu mengadakan hubungan dengan perempuan bekas sekretarismu itu?"
"Tidak eyang."
"Katakan dengan jelas, agar eyang mengerti."
"Adhit tidak selingkuh sama dia eyang, tapi bahwa... bahwa..."
"Bahwa apa?"
"Bahwa Adhit mencintai dia, itu benar." bu Broto melepaskan pelukan cucunya. Dipegangnya kepala Adhit, dipandanginya wajahnya lekat-lekat.
"Mengapa kamu lakukan itu Adhit? Kamus sudah menikahi Anggi.. kemauan kamu sendiri.. mengapa kamu berkata begitu? Mengapa bukan dia yang kamu nikahi, tapi Anggi..?"
"Eyang, Adhit tidak menyadari perasaan itu. Ma'af eyang, sungguh terasanya baru setelah Adhit menikah."
"Lalu bagaimana? Kamu akan menceraikan isteri kamu?"
"Tidak eyang, Adhit sama sekali tak punya keinginan untuk itu. Tidak.."
Bu Broto menghela nafas.Tak tau apa yang harus dikatakannya.
"Eyang akan menelpon bapakmu."
"Jangan eyang, Adhit mohon, jangan bilang sama bapak, atau sama ibu. Jangan eyang."
Bu Broto hanya terdiam, dan terus menatap wajah cucunya sambil menggeleng gelengkan kepalanya..
***
Anggi memang pintar menutupi semua derak derita yang disandangnya. Ia berusaha tegar dan tampak suka bahagia. Ia meladeni suaminya seperti layaknya seorang isteri. Menyiapkan teh hangat, melayani ketika makan, tapi tidak untuk melayani ditempat tidur. Adhit sendiri trauma akan kejadia beberapa hari yang lalu. Begitu takut memulainya, dan akhirnya membuatnya tak ingin melakukannya.
Tapi jangan dikira Adhit merasa baik-baik saja. Hampir setiap ada waktu untuk bicara, selalu dimintanya suaminya melamar Mirna. Aduhh.. Adhit tak pernah menjawabnya.
Apakah aku sejahat itu? Tidak, ia tak ingin menodai pernikahan yang memang sejak awal diinginkannya. Tapi alangkah sulit menghilangkan bayang-bayang Mirna.
Siang itu dengan tak disangka, Dewi datang bersama Mirna. Anggi menyambut mereka dengan sangat ramah. ia bahkan menggandeng tangan Mirna untuk diajaknya duduk berdekatan dengannya.
"mBak Dewi, terimakasih sudah menjengukku. Tapi aku kan tidak sakit.. lihatlah, aku sangat sehat." kata Anggi dengan wajah riang.
"Syukurlah Nggi, mbak senang kamu sehat. Habisnya, waktu itu ketika ada Adhit, mbak dengar kamu pingsan."
"Oh, iya mbak, memalukan, mungkin karena Anggi belum makan dari pagi, jadi terasa lemas."
"Tapi Adhit bilang tensi kamu lumayan tinggi."
"Iya, hanya waktu itu mbak, sekarang sudah baik kok."
"Syukurlah."
"mBk Mirna apa kabar?" sapa Anggi kepada Mirna.
"Baik bu. Semoga ibu selalu sehat ya."
"Iya mbak," jawab Anggi samb il memeluk pundak Mirna.
Yu Supi keluar sambil membawa nampan berisi gelas sirup yang nampak segar dan sepiring kue-kue. Ia meletakkannya dimeja, dan sa'at itu bu Broto keluar.
"Ayo, anak-anak, diminum siupnya," kata bu Broto.
"Terimakasih bu, terimakasih eyang, jawab Mirna dan Dewi hampir bersamaan.
"Ini.. nak Dewi kan? Ini...Mirna ?" dan ketika menyebut nama Mirna itu, bu Broto menatapnya tajam.
"Cantik," gumam bu Broto pelan, sambil terus menatap Mirna, membuat Mirna sedikit tersipun. Diakah yang dibilang cantik? Ada perasaan heran mengapa bu Broto menatapnya sangat lama.
"Ayo silahkan diminum," Anggi mempersilahkan tamu-tamunya minum, sementara dia sendiri kemudian mengambil satu gelas diantaranya.
Dewi dan Mirna mengikuti minum.
"Itu, kue-kue dihabiskan ya," kata bu Broto sambil beranjak kebelakang.
"mBak, kita tidak bisa lama-lama kan?" tiba-tiba Mirna berkata.
"Iya, sebentar lagi menjempit Bima."
"Mengapa buru-buru?" tegur Anggi.
"Kami harus menjemput Bima Nggi, jawab Dewi.
"Kalau begitu, mbak Dewi menjemput Bima dulu, biar mbak Mirna menunggu disini. Aku juga lama nggak melihat Bima." kata Anggi, tapi Mirna buru-buru meggamit lengan Dewi.
"Tidak bu, saya harus ikut karena banyak pekerjaan di toko yang belum saya selesaikan."
"Lho, hanya sebentar saja kok."
"Lain kali kami pasti akan datang kemari."
"Baiklah, sirup dan kue-kue sudah kami makan, sekarang kami pamit ya."
"Yaaa.... cuma sebentar, Anggi masih ingin omong-omong banyak,"kata Anggi kecewa.
"Lain kali kami kemari lagi, yang penting kamu sehat. Ya kan Nggi." kata Dewi sambil berdiri.
"Baiklah, kapan-kapan Anggi main ketoko mbak Dewi ya." kata Anggi yang sangat membuat Mirna khawatir. Takut dia kalau nanti Anggi berbicara so'al pernikahan itu lagi.
"Pamitkan eyang ya Nggi, kami agak ter buru-buru nih."
***
Sesungguhnya Mirna sedang cuti seperti permintaannya beberapa hari lalu. Dewi nyamperin kerumahnya karena Mirna juga ingin menjenguk Anggi. Itulah sebabnya sebelum menjemput Bima DEwi mengantarkannya dulu ke rumah kontrakan Mirna.
"Mirna, Anggi menahan kamu agar tinggal dulu disana, kok kamu kayak orang ketakutan begitu?"
"Bener mbak Anggi ketakutan kalau sampai mbak Mirna bicara yang tidak-tidak lagi. Nanti saya bisa bertambah stress.."
"Iya aku tau.Tapi tampaknya dia nekat betul. Pasti tadi mau ngomong so'al itu lagi."
"Aduh mbak, sebaiknya nggak usah ketemu dulu ah, bener-bener takut saya."
"mBak juga heran, tadi mbak lihat bu Broto menatap kamu terus menerus, dan sempat tercetus kata-kata memuji kamu."
"Ah, Mirna juga merasa aneh."
"Dia bilang kamu cantik... ya kan?"
"Apa itu pujian untuk saya?"
"Ya iya lah Mir, siapa lagi? Kan kamu yang dipandanginya terus menerus."
"Tapi kenapa ya?"
"Mungkinkah Adhit pernah bercerita pada neneknya tentang kamu?"
"Ya ampun... itu membuat saya bertambah takut."
"Sudahlah, jangan difikirkan. Tuh, kita sudah sampai, istirahat dan tenangkan pikiranmu, jangan terlalu hanyut oleh perasaan," pesan Dewi sebelum Mirna turun dari mobilnya.
Namun begitu memasuki kamarnya, Mirna berfikir tentang ingin pergi dari kota ini.
"Mungkin itu lebih baik, dan lebih bisa membuat aku tenang," bisik Mirna sambil membuka almari untuk mengambil pakaian gantinya.
***
Namun beberapa hari kemudian Anggi kembali jatuh sakit. Ia tak lagi bisa ber pura-pura karena benar-benar tak kuat menyangga tubuhnya.
Adhit membawanya kerumah sakit, agar mendapat pemeriksaan yang lebih teliti. Semula Anggi menolaknya dan selalu bilang nggak sakit, tapi Adhit memaksanya.
Namun dari hasil pemeriksaan, tak ditemukannya suatu penyakit apapun. Jantung, ginjal, sgpt sgot.. bagus semua, lalu apa yang membuatnya tak berdaya?
Dokter menyarankan Anggi opname agar bisa dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti.
"Mengapa mas, aku ingin pulang saja, bukankah dokter mengatakan bahwa aku tak sakit apapun?"
"Jangan begitu Anggi, nyatanya tubuh kamu lemas, berjalan saja kamu nggak bisa. Apa itu namanya sehat?"
"Anggi hanya merasa mual, dan nggak doyan makan mas, barangkali cukupdiberi obat nafsu makan,"
"Anggi, kamu bukan dokter, menurut saja apa kata dokter ya."
"Mas, kalau disini aku merepotkan mas, dan juga semua orang, aku mau pulang saja."
"Tidak.. tidak.. dan tidak. Menurutlah kata dokter, kalau besok ternyata pada pemeriksaan lanjutan kamu benar-benar sehat, oke.. aku akan membawa kamu pulang."
Anggi menghela nafas panjang. Tak ada yang bisa dilakukan, karena Adhit memintanya agar tinggal dulu dirumah sakit.
Namun kembali tak ditemukannya penyakit apapun.
"Tuh mas, aku sehat."
"Tapi mengapa tubuhmu lemas?"
"Pulang saja mas, tapi sebelum pulang aku ingin sesuatu."
"Katakan apa itu, makanan kesukaan kamu? Atau kamu ingin apa, pasti akan mas penuhi."
"Mas, tolong panggilkan mbak Mirna kemari."
Adhit terkejut, wajahnya berubah seketika. Ditatapnya wajah Anggi yang tampak semakin pucat.
"Mas, mas mendengar kata-kataku bukan?"
"Mengapa Anggi? Sudahlah...."
"Tolong mas, Anggi ingin ketemu mbak Mirna sekarang. Tolong.."
Adhit menghela nafas, kemudian ditilponnya Dewi.
"Hallo Wi..."
"Ada apa Dhit? Anggi masuk rumah sakit? Memangnya sakit apa?"
"Kata dokter nggak ditemukan adanya suatu penyakit, entahlah, aku juga bingung."
"Nanti aku kesana, agak sorean begitu."
"Wi, Anggi minta ketemu Mirna, bisakah kamu mengajaknya?"
"Aduh Dhit, seharian ini aku lagi bingung. Mirna kan cuti kira2 sepuluh hari, harusnya hari ini dia masuk. Tapi nggak datang, aku menelpon, hape nya nggak aktif, aku kerumahnya, baru saja pulang, tapi Mirna tak ada lagi disana."
"Apa katamu?" tiba-tiba tangan Adhit gemetar. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
"Mirna pergi entah kemana Dhit."
==========
Adhit terpaku ditempatnya. Samai Dewi menutup pembicaraan itu, Adhit masih menggenggam ponselnya dengan tatapan sendu. Ada yang hilang dari hatinya.Mirna pergi kemana ? Mengapa pergi?
"Mas... mbak Mirna nggak mau kemari?" kata Anggi lemah.
Adhit tersadar. Ia menghampiri Anggi.
"Mirna pergi ?"
"Pergi kemana? Tapi mas sudah nitip pesan bukan? Ke mbak Dewi?"
"Dewi juga nggak tau dia pergi kemana. Rumah kontrakan kosong, dia sudah pindah."
"Ya Tuhan... mengapa?"
"Aku juga tidak tau", jawab Adhit. Tapi Anggi menangkap kesedihan dimata suaminya. Rasa iba kemudian terasa menyesak dadanya. Aduhai cintaku, jangan berduka, cari dia dan milikilah, bisik batin Anggi.
"Mas.. cari dia mas..."
Adhit menatap istrinya yang tampak pucat.
"Tolong cari dia mas... " suara Anggi lemah.
Adhit mengangguk. Dielusnya kepala isterinya dengan perasaan tak menentu.
"Mas.. itu kebahagiaanmu..." bisik Anggi lagi.
"Anggi, kamu jangan memikirkan yang bukan-bukan. Kamu harus sembuh dulu ya."
"Tapi aku kan tidak sakit mas..."
Adhit terus mengelus kepala Anggi.
"Tidurlah.."
"Taukah mas, bahwa aku sangat mencintai mas?"
"Tentu aku tau.."
"Aku hanya ingin mas bahagia."
"Aku bahagia, Anggi."
"Jangan bohong mas... "
"Anggi, tidur saja, agar kamu kuat, sehat kemudin kita pulang."
"Tapi aku ingin pulang sekarang mas."
"Tidak Anggi, kamu masih lemah, nanti aku bicara dulu sama dokter, bagaimana sebaiknya. Nurut ya Nggi?"
Anggi memejamkan matanya. Adhit masih mengelus kepalanya sampai Anggi tertidur, baru meninggalkannya.
Namun begitu Adhit keluar dari ruangan dimana Anggi dirawat, tiba2 Dinda masuk. Ia menuju ke ranjang Anggi dan menubruknya.
"Anggi, Anggi.. kamu kenapa?"
Anggi membuka matanya. Ia memeluk Dinda erat-erat.
"Sakit apa kamu? Aku sibuk sekali karena menghadapi ujian kenaikan tingkat, aku kerumah, tapi eyang mengatakan bahwa kamu dirawat. Sakit apa Nggi, wajahmu pucat begitu?" kata Dinda nerocos seperti biasanya.
"Aku nggak sakit apa-apa, aku hanya ingin pulang. Nggak enak disini.."
"Iya lah, siapa bilang tidur dirumah sakit itu enak. Tapi kalau kamu sakit, mau tidak mau ya harus mau tidurr dirumah sakit."
"Aku nggak sakit kok."
"Wajahmu pucat begitu. Lha mana mas Adhit, iserinya sakit bukannya ditungguin malah ditinggal sendirian."
"Tadi menunggui aku disini, sampai aku tertidur. Entah kemana dia sekarang, mungkin menemui dokter, atau mencari Mirna."
"Apa? Mencari Mirna? Apa maksudmu Nggi?"
"Mirna pergi entah kemana, aku suruh mas Adhit mencarinya."
"Mengapa mas Adhit harus mencarinya? Isterinya lagi akit, untuk apa memikirkan orang lain Nggi? Dan kamu biarkan saja dia?"
"Aku yang minta Din.."
"Apa?Aku nggak ngerti apa maksudmu."
"Memang aku yang minta supaya mas Adhit mencarinya."
"Mengapa?"
"Aku ingin bertemu dia, siapa tau aku sudah tidak akan lagi bertemu dia."
"Apa?"
"Umur seseorang kan nggak ada yang tau Din.. "
"Kamu ini tiba-tiba bicara yang enggak-enggak."
"Itu benar Din.."
"Nggak, diamlah dan jangan bicara yang tidak-tidak."
"Dinda, terimakasih kamu telah mempertemukan aku dengan seorang laki-laki yang baik, yang kemudian aku cintai dengan sepenuh hatiku."
"Yah, mengapa harus berterimakasih? Itu memang jodohnya kamu kan?"
"Apa kamu tau, mas Adhit tidak mencintai aku.."
"Anggi, apa mas Adhit memperlakukan kamu dengan se mena-mena? Apa dia menyakiti kamu?"
"Tidaaaak..." Anggi menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Kalau itu dilakukannya, aku akan memarahi dia."
"Tapi dia menyakiti Anggi Din."
Suara itu datang tiba-tiba, Dinda dan Anggi menoleh, bu Susan sudah berdiri didekat meraka.
"Bu Susan..." Dinda mendekati lalu mencium tangan bu Susan.
"Selama ini Anggi tidak tau, bahwa suaminya selingkuh."
"Tidak maaaa.." kata Anggi setengah berteriak.
"Kamu tidak pernah mau menerima kenyataan itu, kamu diberi tau tapi selalu menganggap mama ini berbohong. Selalu menutupi kelakuan suami kamu."
"Mamaaaa..." Anggi menutupkan jari telunjuknya pada mulutnya, memberi isyarat agar mamanya diam.
Dinda menatap sahabatnya dan bu Susan ber ganti-ganti.
Mas Adhit selingkuh? Itu sungguh diluar bayangannya. Mas Adhitnya yang baik dan sangat disayanginya, benarkah ? Seribu satu pertanyaan meng aduk-aduk hatinya. Tapi ia tak mampu ber kata-kata.
"Dengar Dinda, ibu pernah melihatnya sendiri ketika..."
"Mamaaa...." kata Angi memotong kata-kata mamanya.
"Anakku... mengapa kamu menahan penderitaanmu ini seorang diri?"
"Mengapa mama berkata begitu? Siapa yang menderita ma? Anggi bahagia..."
Dinda tak mengucapkan apapun, ia menatap wajah Anggi. Benarkah Anggi menderita?"
"Dinda, kesini... ibu mau memberi tau kamu," kata bu Susan sambil menarik tangan Dinda agar menjauh dari Anggi. Lalu dibisikkannya banyak kata. Ketika ia melihat adegan mesra sa'at Adhit dan Mirna mengambil barang di bagasi mobil Adhit.
Dinda terkejut. Dari tadi Anggi menyebut nama Mirna, mengatakan bahwa Adhit mencari Mirna, tapi bu Susan mengatakan bahwa Adhit selingkuh dengan Mirna. Dinda bingung, jadi ia tak mampu mengatakan apapun.
Anggi terpaku ditempat tidurnya. Ia tak berhasil mengendapkan kemarahan mamanya, sejak melihat Adhit dan Mirna. Sudah pasti sakit hati Anggi, tapi ia sangat mencintai suaminya, ia hanya ingin melihat Adhit bahagia. Sedikit kesal karena ibunya me manas-manasi hati Dinda dengan cerita itu. Anggi tau Adhit tidak selingkuh, tapi bahwa Adhit suka sama Mirna, Anggi yakin dengan se yakin-yakinnya. Sakitkah hatinya? Sakitlah, mana mungkin tidak sakit ketika harus berbagi cinta. Tapi Anggi berfikir lain. Suaminya harus bahagia. Ia harus punya isteri yang disayanginya, yang bisa menurunkan darah daging dari tetes cintanya. Aduhai..
Anggi masih saja melamun ketika Dinda mendekatinya.
"Anggi, aku tak mengira..." kata Dinda pilu.
"Dinda, jangan percaya apa yang dikatakan mama. Tidak seluruhnya benar. Suatu hari nanti aku akan bercerita banyak sama kamu.."
***
Tapi sekeluar dari rumah akit itu Adhit menemui Dewi ditokonya.
Dewi tidak terkejut, ia sudah menduga bahwa Adhit pasti akan datang menemuinya setelah ia membiritau tentang kepergian Mirna.
"Sebenarnya pergi kemana dia?" tanya Adhit yang langsung dudukdi kursi sambil menyandarkan tubuhnya.
"Aku kan sudah bilang bahwa aku juga mencarinya. Rumah itu sudah kosong. Kata si pemilik, sudah seminggu Mirna dan ayahnya pindah dari sana. Rumah itu di oper kontrakkan kepada siapapun yang mau, tapi Mirna tak mau menunggu."
"Kamu akan mengejarnya ?"
"Anggi minta agar aku mencarinya."
"Untuk dinikahkan sama kamu?"
"Itu kemauan Anggi.."
"Bagaimana dengan kamu?"
"Entahlah..." kata Adhit sambil meluruskan kakinya kedepan, dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Kalian itu aneh."
"Yang aneh adalah perasaanku. Sungguh aku tak bermaksud menyakiti Anggi, tapi aku tak bisa melupakan Mirna. Setiap kalu jatuh cinta aku selalu merasa seperti orang gila."
Adhit teringat, ketika belum tau bahwa Dinda adalah adiknya se ayah, dia merasa sangat mencintainya, mengejarnya dan tak perduli apapun. Sekarang, dia juga merasa begitu. Ia ingin bertemu Mirna.
"Kamu benar-benar ingin menjadikannya isteri mudamu?"
Adhit terkejut, kata-kata Dewi membuyarkan lamunannya. Benarkah ia ingin memperisteri Mirna? Itu juga kemauan Anggi, tapi bukankah sungguh keterlaluan kalau dia bersedia menjalaninya?
Tiba-tiba ponsel Adhit berdering, dilihatnya siapa yang menelpon. Dinda, ya ampun, sudah lama dia tak bertemu Dinda, bercakap di telephone pun tidak.
"Hallo, Dinda.." sapanya.
"Mas, mas Adhit dimana?"
"Aku di... di... rumah teman.." jawab Adhit sekenanya.
"Aku ada dikantor mas,menunggu disana, bisakah segera kembali ke kantor?"
"Ya, baiklah."
Adhit menutup pembicaraan itu dan menyimpan kembali ponselnya.
"Aku pamit dulu Wi, Dinda menunggu aku di kantor."
"Baiklah, hati-hati dijalan."
"Kalau ada berita tentang Mirna, tolong kabari aku."
Dewi mengangguk, lalu mengantarkan Adhit sampai ke mobilnya. Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang bisa dilakukannya untuk menolong sahabatnya? membantu yang satu, menyakiti yang lainnya Anggi ikhlas? Rela? Masa iya.. Dewi tak percaya
***
Adhit terkejut, begitu memasuki ruangan kantornya, Dinda segera berdiri dan dengan marah me mukul-mukul dadanya.
"Mas jahat... mas jahat ..!!" teriaknya.
"Dinda.. ada apa ini? Aduh... sakit tau.."
"Biarin.. biarin..!!"
"Dinda... ayo duduklah.."
Adhit menarik Dinda agar duduk di sofa. Beruntung sekretarisnya tak ada diruangan itu.
"Ada apa Din? Mas itu kangen bener sama kamu, kok tiba-tiba marah sama mas seperti ini? Sakit nih dada mas.."
"Mas, dengar ya, kalau mas menyakiti Anggi, aku tak mau menjadi adik mas."
"Eeit.. tunggu.. tunggu.. siapa yang menyakiti? Anggi cerita apa sama kamu?"
"Anggi tidak cerita apapun sama Dinda, tapi bu Susan mengatakan semuanya."
"Aduuuh, Din, mengapa kamu percaya pada kata-kata bu Susan sih?"
"Dia melihat sendiri waktu mas ketemuan sama mbak Mirna."
"Tuh kan.. itu lagi.. itu lagi. Dengar, waktu itu aku melihat Mirna sedang membawa tentengan berat, sehabis melanja, lalu karena kasihan, aku membantunya, mengantarkannya ke toko Dewi. Waktu itu bu Susan sedang mau belanja dan mengira aku sedang berduaan sama Mirna."
"Tapi sekarang katakan dengan jujur mas, ada hubungan apa mas sama mbak Mirna?"
"Lho.. itu pertanyaan apa... nggak ada.. nggak ada hubungan apapun.."
"Tapi mas suka kan sama mbak Mirna?"
Adhit terdiam.
"Maaaas...!!"
"Mas cinta sama dia," jawab Adhit berterus terang, membuat Dinda memelototi Adhit dengan pandangan marah.
"Dinda... salahkah orang jatuh cinta?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel