Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 31 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #40

Cerita Bersambung

Adhit berdiri, lalu menghampiri Dinda serta memeluknya.

"Dengar mas, pelukan ini tidak akan meredakan kemarahan aku. Aku benci mas mengatakan itu, aku benci mas menghianati Anggi."
"Dinda, aku berterus terang sama kamu. Iya benar, itu perasaanku, tapi apa itu salah? Rasa tidak pernah salah."

Dinda meronta dari pelukan Adhit.
"Dinda, kalau aku melakukan hal sampai meninggalkan Anggi, itu yang salah. Perasaan cinta tidak harus diikuti dengan perilaku atau keinginan untuk memilikinya," kata Adhit, yang kemudian disadarinya bahwa kata yang diucapkannya tidak sama dengan keinginannya.
Tapi tdak, aku tidak akan meninggalkan Anggi. Bisik batin Adhit.

"Apa maksudnya itu?" tanya Dinda masih dengan tatapan sengit.
"Percayalah aku hanya mencintai, tapi aku tak ingin meninggalkan Anggi. Dia akan tetap menjadi isteriku, karena aku yang memilihnya."

Tatapan marah itu keumdian meredup. 

"Harusnya mas tidak mencintai mbak MIrna."
"Kamu benar..."
"Gimana sih mas.."
"Iya benar, harusnya aku tidak punya perasaan seperti itu."
"Lha mas itu gimana maksudnya"
"Bukan maksudku Dinda, perasaan itu tiba-tiba saja ada."

Dinda menghela nafas panjang. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Adhit. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi tiba-tiba sekretaris masuk keruangan itu. Memang sih ruang tamu itu terpisah dengan meja sekretarisnya, tapi nggak enak bicara tentang keluaga mereka.

"Ya sudah mas, aku mau pulang dulu," kata Dinda sambil berdiri.
"Kamu nggak lapar? Kita makan dulu?"
"Aku lapar, tapi mau beli nasi bungkus didekat tempat kost aja," katanya ambil berjalan kearah pintu.

Adhit menghela nafas, ia tau Dinda masih kesal. Tak biasanya dia menolak ditraktir makan.
***

Hari itu Anggi sudah bisa duduk ditepi pembaringan. Infus yang dipasang sudah dilepas, dan dia sudah mau makan walau cuma sedikit.

"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Adhit ketika datang kerumah sakit.
"Aku nggak apa-apa mas, aku mau pulang saja."
"Anggi, kamu boleh pulang kalau dokter sudah mengijinkan."
"Aku harus pulang, bukankah dokter tak bisa menemukan penyakit apapun ditubuhku ini? Kalau nggak boleh aku mau pulang sendiri."
"Baiklah, baiklah, aku akan bicara nanti dengan dokternya, kalau sa'atnya visite kemari."
"Aku sudah mengemasi semua barang-barang, sudah aku masukkan kedalam tas besar itu."

Adhit melihat tas besar yang semula dipakai untuk mengirim baju ganti Anggi, sudah terletak dimeja, penuh dengan pakaian atau mungkin juga semua barang keperluan Anggi selama dirumah sakit.Adhit meng geleng-gelengkan kepalanya.

"Mas belum mendapat kabar tentang mbak Mirna?" tiba-tiba Anggi bertanya, membuat Adhit terkejut.
"Belum,"jawab Adhit singkat.
"Mas, katanya bapaknya mbak Mirna itu menjadi mandor bangunan. Bagaimana kalau kita mencari kesetiap proyek bangunan yang sedang dikerjakan?"
"Apa? Ada banyak proyek yang sedang dikerjakan dikota ini, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan. Bagaimana kita mencarinya?"
"Namanya orang berusaha kan harus dijalani betapapun susahnya."
"Anggi, kamu masih memikirkan itu lagi."
"Apa mas tidak?"

Aduh...  walau benar, masa Adhit harus mengakuinya?

"Berusahalah terus mas, demi kebahagiaan mas."
"Aku akan menemui dokter dulu ya, nggak usah menunggu dokternya visite kemari," kata Adhit sambil melangkah keluar dari ruangan itu.

Anggi menghela nafas. Ia tau suaminya berusaha untuk tidak menyakitinya lagi. Suaminya berusaha mengingkari perasaannya sendiri, tapi Anggi tak ingin hidup dalam situasi yang penuh ke pura-puraan ini. Pura-pura cinta, pura-pura setia, aduhai, kemana perginya Mirna? Diam-diam Anggi berjanji akan mencarinya  sendiri, entah bagaimana caranya.
***

Hari itu Anggi memang boleh pulang kerumah. Namun bu Susan tak pernah mau menjenguknya. Ia kesal terhadap anaknya karena selalu menutupi kelakuan buruk suaminya. Masa sih aku tak bisa membedakan, tatapan dua pasang mata yang begitu mesra, tangan yang saling bertaut. Tidak, kalau Anggi tak mau aku membelanya, melindunginya, ya sudah, kata batin bu Susan.Bahkan sa'at sakitpun dokter tak menemukan penyakit apapun ditubuhnya, berarti hatinya yang sakit, jiwanya tertekan. Tapi dia tak mau mengakuinya. Masih kata hati bu Susan, kesal.

Bu Broto menyambut kepulangan cucu menantunya dengan suka cita. Bu Broto sangat mengerti bagaimana perasaan Adhit, dan ia ingin menunjukkan pada Anggi bahwa dia menyayanginya.

"Anggi, kamu mau dimasakin apa besok?" tanya bu Broto pada suatu sore. 
"Terserah eyang saja. Nanti Anggi juga mau ikut memasak bersama eyang dan yu Supi"
"Jangan Nggi, biar kamu benar-benar sehat dulu."
 "Eyang, Anggi kan enggak sakit."
"Jangan mengerjakan apapun dulu, beristirahat dan tenangkan pikiran kamu. Itu pesan Adhit pada eyang, jadi eyang harus melakukannya. Nanti kalau Adhit marah bagaimana?"
"Masa sih, mas Addhit akan marah?"
"Suami kamu itu sangat menyayangi kamu, jangan sampai kamu jatih sakit lagi. Nurut ya, cah ayu," kata bu Broto sambil mengelus kepala Anggi.
***

Namun hampir setiap hari Anggi pamit untuk ber jalan-jalan. Bu Broto melarangnya, tapi selalu dijawabnya bahwa ia akan pergi sebentar saja. Ingin tau keadaan sekitar, atau apalah alasannya. Jadi mau tak mau bu Broto juga mengijinkannya.

"Jangan lama-lama ya..." selalu begitu pesannya.

"Iya eyang, cuma jalan-jalan sebentar saja. Bosan hanya diam dirumah saja," selalu begitu juga jawabnya.

Anggi terus melangkah. Udara mendung, jadi tak begitu terasa panasnya. Ramai disekitar jalanan itu. Hiruk pikir kendaraan bermotor dan mobil yang lalu lalang, sungguh membuat suasana menjadi bising. Sebising perasaan Anggi karena ber hari-hari dia mencari belum juga ditemukan siapa yang dicarinya.

"Ayahnya seorang b uruh bangunan. Sudah banyak ia menemui beberapa pekerjaan bangunan disekitar rumahnya, namun tak ditemuinya ayah Mirna. Anggi sendiri bingung, ia tak tau nama ayahnya Mirna, setiap kali bertanya kepada salah satu pekerja bangunan, pertanyaannya adalah apakah mandor bangunan ini punya anak namana Mirna? Tak seorangpun memberikan jawaban atas pertanyaannya. Anggi lupa, apakah seorang mandor bangunan harus mengatakan kepada semua orang bahwa dia punya anak namanya Mirna.

Bodohnya aku ini, bisik batin Anggi. 

"Aku harus bertanya pada mbak Dewi, pasti dia tau nama ayahnya Mirna," bisik Anggi pelan. Ia harus mencari taksi karena ia harus menemui Dewi siang itu juga.

Anggi tak sadar bahwa dia sedang berjalan semakin jauh dari rumah. Ada rasa penat dn letih tapi tak dirasakannya. Ia baru memanggil sebuah taksi on line. Ia berdiri menepi, karena angin telah menyibakkan mendung yang semula menggantung, dan panas kembali menyengat kulit tubuhnya. Dibelakangnya banyak pekerja bangunan berlalu-lalang, yang tadi Anggi sudah berbicara dengan salah satunya ketika menanyakan ayahnya Mirna.

"Lama benar taksinya, sebenarnya tau tempat ini tidak sih?" keluh Anggi yang mulei merasa lemas. Ia lupa, tadi belum makan sesuap nasipun. 

Ketika tubuhnya limbung, seorang laki-laki setengah tua ada didekatnya, dan segera menyangga tubuhnya.

"Kenapa mbak?" 
"Aku... menunggu.. taksi....," bisiknya lemah.

Laki-laki setengah tua itu mengambilkan bangku yang ada didalam bngunan itu, lalu mempersilahkan Anggi duduk.

"Duduklah sebentar," laki-laki itu kemudian berlari kedalam, lalu keluar lagi membawa gelas berisi teh hangat. Jatah minum para buruh bangunan itu.
"Minumlah mbak, supaya lebih segar."
"Terimakasih, " jawabnya sambil meneguk teh hangat itu, dengan tangan gemetar.
"Apa mbak perlu makan?"
"Tidak.. tidak.. aku mau pulang. Oh ya pak, kenalkan, nama saya Angi."
"Oh, mbak Anggi, iya, saya Kadir mbak.."
"Bapak bekerja disitu?" tanya Angg lemah, sambil menunjuk kearah bangunan yang sedang dikerjakan.
"Iya mbak... "

Anggi ingin bertanya lebih jauh, tapi sebuah mobil berhenti. Kaca depan terbuka..

"mBak Anggi?"
"Oh, iya.. itu taksi saya yang saya pesan sudah datang," katanya sambil berdiri. Pak Kadir membantunya, dan memapahnya mendekati mobil.
***

Dewi terkejut ketika melihat sebuah mobil berhenti, tapi penumpangnya ta kunjung turun. Dewi mendekati mobil itu, dan melihat Anggi didalamnya, sedang membuka dompet untuk membayar taksinya.

"Anggi...?" kata Dewi yang kemudian membuka pintu mobilnya.
"Aduh mbak, tolong, ada uang duapuluh lima ribu rupiah? Ternyata aku tak membawa uang sepeserpun.
"Ya ampuun Anggi, ada.. ada.. ayo turunlah dulu,"

Anggi turun. Dewi melihat wajah cantik itu tampak pucat. Ia ingin berlari kedalam untuk mengambil uang, tapi ketika melihat wajah Anngi, ia mengurungkannya. Ia menuntun Anggi sambil berteriak kepada pengemudi takksi itu.

"Sebentar ya pak."
"Baik, bu"

Dewi menuntun Anggi kesebuah sofa panjang, dan menyuruhnya berbaring setelah menata bantal diujungnya.

"Berbaringlah sebentar, kamu lemas sekali. Aku akan mengambil uang untuk membayar taksimu itu."

Anggi tak kuasa menolak. Ia memang harus membaringkan tubuhnya karena sudah tak kuat lagi menyangganya.
Dewi kembali setelah membawa segelas susu soklat panas yang kemudian diulurkannya pada Anggi. Dewi ingat, dulu Anggi sangat senang minum susu soklat karena bu Susan yang mengatakannya ketika belanja disitu.

"Ini, minumlah dulu, biar kamu lebih segar."

Anggi mengangkat tubuhnya dibantu Dewi, lalu meneguk soklat susu itu hampir setengahnya, kemudian ia membaringkan lagi tubuhnya.

"Kamu dari mana? Mengapa tidak kerumah mama kamu?"
"Aku.. memang mau kesini mbak.."
"Ada apa? Mana suami kamu?"
"Dikantor kan mbak,"
"Oh, iya tentu saja, ini jam kerja, tapi sepertinya sudah sa'atnya dia pulang. Mungkin sebentar lagi. Ini jam 3 sore."
"Oh..." keluh Anggi sambil memejamkan matanya.
"Sebenarnya mau apa kamu datang kemari? Bukan aku menolaknya, bukan tak suka, tapi keadaanmu seperti ini. Buknkah kamu sudah sehat? Sebulan lalu kamu sdak pulang dari rumah sakit bukan?"
"Aku memang merasa sehat. Tapi aku ingin mencari dia... mbak Mirna.."
"Astara... Anggi...Mirna sudah lama tidak bekerja disini."
"Iya aku tau..tapi aku mencarinya terus. Bukankah bapaknya menjadi mandor bangunan?"
"Iya... maksudnya?"
"Aku datangi setiap ada pekerjaan bangunan..."
"Apa ??" 
"Iya... tapi.. aku nggak tau siapa nama ayahnya Mirna. "
"Ya Tuhan, beribu tempat ada pekerjaan bangunan Nggi, bagaimana kamu mencarinya?"
"Aku hanya ingin tau, siapa nama ayahnya Mirna."
"Namanya pak Kadir, tapi bagaimana kamu bisa menemukannya?"
"Siapa mbak, Kadir?"
"Iya..."
"Aduuh, aku pernah mendengar nama itu, tapi dimana ya?" Rupanya tadi dalam keadaan lemas dan pusing ia tak begitu memperhatikan ketika penolongnya menyebutkan namanya. Anggi terus mengingat ingat, tapi tak juga ditemukannya dimana ia bertemu orang itu. 
***

Pak Kadir tiba dirumah kontrakannya yang baru, sangat heran melihat Mirna sudah ada dirumah.

"Kok sudah pulang nduk ?"
"Iya pak, jam dua tadi Mirna sudah pulang. Majikan pergi keluar kota selama tiga hari, jadi Mirna bisa libur."
"Oh, syukurlah."
"Mirna sudah buatkan teh hangat buat bapak."
"Wah, terimakasih nak."
"Dan cmilan sukun goreng yang masih hanyat."
"Wah, menyenangkan sekali. Bapak mandi dulu sebentar ya," kata pak Kadir sambil terus melangkah kebelakang.

Mirna menunggu sambil duduk di kursi. Sudah hampr dua bulan mereka pindah dirumah kontrakan yang baru. Lebih kecil, tapi melegakan karena Mirna bisa menghindar dari kejaran Anggi. Mana mungkin ia mau dinikahi seorang laki-laki yang sudah punya isteri, biar bagaimanapun besar rasa cintanya. Tidak, Mirna tidak sejahat itu. Dan beruntung ia bisa mendapat pekerjaan baru, disebuah keluarga yang membutuhkan pengasuh buat anaknya. Tidak apa-apa, itu kan pekerjaan halal. 

"Segarnya setelah mandi..," kata pak Kadir sambil duduk dikursi didekat Mirna, dan langsung menghirup teh hangatnya.
"Hm, selalu enak teh buatan kamu."
"Ah, Mirna kira juga sama saja semua teh dimanapun. Itu sukunnya pak, tadi beli di tempat orang jual gorengan."
"Iya, iya.. masih hangat. Oh ya Mirna, kamu pernah cerita tentang isterinya nak Adhit, itu namanya siapa ya?"
"Oh, bu Anggi, memangnya kenapa?" tanya Mirna dengan hati ber debar-debar.
"Tadi bapak ketemu dia.."
"Apa?"
"Dia sedang menunggu taksi. tiba-tiba seperti orang mau pingsan begitu, lalu aku menolongnya, memberinya tempat duduk dan minum teh hangat. Bapak menungguinya sampai taksi yang ditunggu tiba."
"Darimana bapak tau bahwa namanya Anggi? Kan bapak belum pernah melihatnya?"
"Dia mengatakan siapa namanya, dan bapak juga memperkenalkan diri."
"Ya Tuhan, lalu bagaimana?"
"Taksinya kemudian datang, lalu dia pergi naik taksi. Aku mencoba meng ingat ingat, kapan pernah mendengar nama itu. Benar kan, itu isterinya nak Adhit."
"Pak, lain kali kalau bapak ketemu dia, apalagi sampai dia menanyakan nama Mirna, bapak jangan menjawab apapun. Pura-pura tidak tau saja."
"Begitu ya?"
"Bapak kan tau, alasan apa yang membuat Mirna mengajak pindah dari rumah kontrakan kita yang lama?"
"Iya, iya... aku tau.. tapi mungkinkah dia masih akan mengejarmu?"
"Entahlah pak, Mirna tidak tau, tapi Mirna takut sekali."
"Iya, semoga dia tidak datang kembali. "

==========


Tapi sore hari itu Adhit yang sedianya pulang lebih malam, terkejut mendapat telephone dari neneknya.

"Adhit, isterimu pergi sejak siang tadi, dan belum kembali sampai sekarang."
"Kemana eyang? Mengapa eyang biarkan dia pergi?"
"Dia bilang hanya ingin jalan-jalan saja. Biasanya juga begitu, tapi paling satu dua jam sudah kembali. Tapi ini sudah sore.Coba kamu menelphone mertuamu, barangkali Anggi pulang kesana."
"Baik eyang," jawab Adhit yeng kemudian memutar nomor tilpun bu Susan. Tapi keinginan itu terhenti karena tiba-tiba Dewi menelponnya.

"Ya Wi, ada apa?"
"Isterimu ada dirumahku."
"Ya ampun, eyang kebingungan menunggunya. Ngapain juga dia kerumah kamu Wi?"
"Dia ngomong banyak, tapi intinya ingin bisa menemukan Mirna."
"Ya Tuhan..."
"Tadi dia datang seperti kelihatan sakit. Pucat dan lemas. Tapi aku sudah memberinya susu, dan membuatkan bubur untuk dia makan."
"Wi, itu merepotkan kamu kan?"
"Nggek Dhit, yang terpenting dia sehat. Sekarang sudah bisa duduk, dan tidak lagi pucat. Tapi masih kelihatan lemas gitu."
"Baiklah Wi, aku mau kesana, tapi aku ngabarin eyang dulu, supaya nggak bingung menunggu."
"Baiklah Dhit."

Setelah mengabari bu Broto bahwa Anggi ada dirumah Dewi, maka Adhit segera meninghgalkan kantor untuk menjemput Anggi.
***

"Anggi, aku kira apa yang aku katakan sudah jelas. Sejak kemarin-kemarin, jangan lagi memikirkan Mirna, ayo kita bangun hidup kita, berdua," kata Adhit pada suatu malam, ketika menunggui Anggi tertidur.

"Mas, sudahlah, jangan menghalangi aku. Yang aku lakukan ini kan untuk mas, untuk kebahagiaan mas."

"Aku tak ingin kamu menderita. Aku sudah cukup menyakiti hati kamu, dan aku sudah minta ma'af. Jangan gunakan peristiwa itu untuk memaksa aku agar mengambil isteri Mirna."

"Tidak mas, jangan hidup dalam ke pura-puraan. Jangan membangun rumah tangga dengan rasa cinta yang palsu."

"Anggi, kamu berbicara dengan menurutkan kata hatimu. Itu keliru."

"Itu benar..."

Adhit menghela nafas.

"Kamu sakit karena menurutkan emosi kamu. Itu tidak benar Anggi, sehatlah, dan berbahagia dengan kehidupan kita ini."

"Mas tidak mengerti.."

"Apa yang aku tidak mengerti?"

"Tidak mengerti apa yang aku rasakan. Mas, dengar ya, aku sangat mencintai mas..."

"Itu aku mengerti.."

"Dan cinta yang tulus itu hanya menginginkan kebahagiaan bagi orang yang dicintai. Percayalah mas..."

"Iya, aku percaya,dan aku bahagia."

"Kebahagiaan yang pincang.."

"Apa tuh >"

"Separuh hati mas ada disini, tapi separuhnya lagi ada entah dimana. Mungkin juga yang disini nggak ada separonya... bisa seperempatnya.. atau kurang..."

"Kamu pintar mengarang ya.." kata Adhit sambil memencet hidung mancung Anggi. Ada keinginan untuk mencumbunya, tapi Anggi menepiskan tangannya."

"Kalau mas tidak mengakui apa yang Anggi katakan tadi, jangan lakukan."

"Menolak keinginan suami itu dosa."

"Mencumbui isteri hanya karena nafsu itu juga dosa."

"Anggi, sudahlah, kalau begitu ayo kita tidur saja," kata Adhit yang kemudian kehilangan seleranya, seperti air yang sudah hampir mendidih tapi kemudian kompor dimatikan. Ia kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi Anggi.

Tiba-tiba Anggi merasa berdosa. Berbulan-bulan tak pernah Adhit menyentuhnya, karena sikapnya yang dingin. Malam ini, keinginan itu ada, tapi tadi Anggi menolaknya. Lalu Anggi menggeser tubuhnya, merangkul erat tubuh suaminya. Mengelus dada bidangnya dengan lembut, lalu menarik tubuh suaminya hingga tertelentang. Adhit memandangi isterinya, yang kini mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut pipinya. Bagaimanapun Anggi juga menginginkannya, tak perduli ada rasa cinta atau tidak. Ia tau Adhit adalah suaminya dan dia maupun Adhit berhak melakukannya. Baiklah, kebekuan kemudian mencair, lalu menghangat, lalu memanas, dan malam itu ada bunga api memercik menghiasi bilik bilik hati mereka, terburai dalam hempasan desah yang membuncah.

Lagi-lagi Adhit menjadi seperti gila, karena yang terbayang adalah wajah Mirna, tapi desah yang keluar mampu ditahannya, jangan sampai ada lagi air mata karena bibirnya membisikkan nama perempuan lain.

Terhempas dalam lelah, Adhit merasa sedih mengingat dirinya. Hampir gila karena hanya wajah itu yang terbayang.

"Terimakasih mas, karena mas tidak membayangkan perempuan lain malam ini," kata Anggi sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Adhit menatapnya. Penuh sesal dan permintaan ma'af, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Ia hanya memejamkan mata, dan membiarkan Anggi memeluknya. Tapi Anggi bukan perempuan bodoh, Dari hatinya yang paling dalam ia bisa meraba isi benak Adhit yang tampak resah. Ibaratnya orang lapar lalu makan sepuasnya, tapi tak tampak kekenyangan.  Anggi menghela nafas, bagaimanapun ia sudah bisa merasakannya. Cinta Adhit tak pernah bisa terbagi, hanya kepada perempuan lain. Tidak kepada dirinya.

***

Berbulan berlalu, tapi selalu begitu. Sementara Anggi tak pernah berhenti mencari Mirna. Kalau dia ada dikota ini, aku harus bisa menemukannya. Ia benci ke pura-puraan yang selalu bergayut disetiap Adhit mendekatinya. Ia yakin Adhit bukan sedang mencumbui dirinya. Anggi merasa bahwa dirinya seperti hanya sebuah alat untuk memuaskan kerinduannya pada Mirna.

Siang itu Anggi berpamit pada bu Broto karena sudah lama tak bertemu ibunya.

"Anggi, apa tidak sebaiknya kamu menunggu suamimu saja, pasti Adhit mau mengantar kamu," kata bu Broto yang berusaha mencegah kepergian Anggi.

"Jangan eyang, mas Adhit kalau pulang pasti sudah capek, kasihan kalau harus mengantar Anggi juga. Lagian rumah mama kan tidak jauh dari sini. "

"Itu benar, tapi kalau sampai kejadian seperti beberapa bulan lalu, trus kamu hampir pingsan dirumah Dewi, eyang lho yang disalahkan suami kamu."

"Eyang, waktu itu memang Anggi lagi kurang enak badan, tapi sekarang Anggi sehat-sehat saja kok."

"Apa kamu nggak menunggu barangkali suami kamu pulang untuk makan siang ?"

"Sudah lama mas Adhit tidak pulang makan siang dirumah kan? Di kantor katanya banyak pekerjaan, jadi mana sempat pulang makan.Biarkan saja eyang, jangan sampai kita mengganggu pekerjaan mas Adhit hanya karena minta untuk makan dirumah."

"Anggi, kamu memang seorang isteri yang penuh pengertian,"kata bu Broto sambil memeluk menantu cucunya.

"Ya sudah pergilah, tapi jangan lama-lama ya, kalau kesorean atau kemalaman, kabari suami kamu."

"Baiklah eyang."

***

Ketika sampai dirumah mamanya, Anggi mendapatkan mamanya sedang membongkar-bongkar sesuatu digudang.

"Mama... ," sapanya sambil memeluk mamanya dari belakang."

"Bu Susan menoleh kebelakang dan balas memeluk anaknya.

"Rupanya kamu masih ingat mama ya Nggi?'

"Ya ingat lah ma, ini sebabnya kemudian Anggi datang kemari."

"Bagaimana suami kamu?"

"Baik ma, sudahlah, mama jangan bicara yang tidak-tidk lagi ya? Sini Anggi bantuin, apa yang harus diberesin." 

"Ini, lagi milih-milih barang yang nggak berguna, ati-ati, pakai masker dimeja mama itu, debunya nggak karuan, nanti kamu ter batuk-batuk."

"Ya ma.." jawab Anggi yang kemudian mengambil masker dan mengenakannya., lalu kembali menemui mamanya.

"Ini dibawa kemana ma?"

"Itu album-album lama, bawa keluar sana, pilih dan pisahkan dengan buku-buku yang bukan album foto ya."

"Baik ma.."

"Tapi kalau kamu ingin minum-minum dulu, buat sendiri sana, itu bisa nanti."

"Ya ma, nanti Anggi ambil sendiri," kata Anggi yang kemudian mengangkat tumpukan buku-buku yang tercampur album-album lama. Setelah meletakkannya dimeja diluar gudang, Anggi mengambil lap untuk membersihkan debu yang menempel pada sampul-sampul album dan buku.

"Wau.. album lama.. kok Anggi belum pernah melihatnya ya," gumam Anggi.

Ia kemudian mem buka-buka album dan terkadang mengomentarinya sambil terkekeh. 

"Hahaa... ini mama waktu masih muda, cantiknya.. dan papa juga ganteng sekali.."pekiknya riang. Bu Susan tak menimpali karena asyik me milih-milih barang dan menyingkirkan yang tak berguna.

Tiba-tiba Anggi melihat sebuah foto, ibuna dan seorang gadis cantik. Anggi heran karena seperti pernah melihat wajah yang mirip seperti gadis itu. 

"Ma... mama... ini siapa ma?" tanya Anggi sambil mendekati ibunya.

"Yang mana?"

"Ini, yang foto sama mama.. ini mama waktu muda bukan?

"Iya, itu namanya Daniar, keponakan mama."

"Keponakan yang mana?"

"Itu anaknya bude kamu yang sudah meninggal ketika Daniar lahir. Kemudian sampai dia lulus SMA, mama yang merawatnya dirumah eyang kamu. Tapi setelah itu eyang mengusirnya, karena dia jatuh cinta dengan seorang lelaki miskin. Semua orang mengingatkan dia tapi tak digubris. Kemudian dia malah menikah dengan laki-laki itu, tapi tak berani pulang kerumah. Bahkan ketika eyangmu meninggal dia tak juga pulang."

"Oh, berarti dia itu kakak sepupu sama aku?"

"Benar, tapi umurmu terpaut jauh. Kamu lahir ketika dia sudah pergi. Itu sebabnya kamu tak pernah tau tentang dia.

"Anehnya dia mirip sama seseorang yang Anggi kenal."

"Ya, namanya manusia ya seringkali ada yang mirip-mirip begitu. Mana, sudah kamu pisahin buku-bukunya?"

"Sudah sebagian ma, tadi karena Anggi tertarik dengan foto ini jadi berhenti sejenak. Tapi foto ini boleh Anggi minta kan ma?"

"Untuk apa ?"

"Nggak apa-apa ma, cuma pengin nyimpen aja," kata Anggi sambil melepaskan foto yang dimaksud, kemudian memasukkan kedalam dompetnya.

***

"Mas, kok akhir-akhir ini mas nggak pernah pulang makan siang dirumah? Anggi nggak pernah masak lagi buat mas?" tanya Ayud dikantornya setelah pulang untuk menyusui Ananda.
"Sebenarnya hanya beberapa kali mas pulang untuk makan siang, hanya untuk menyenangkan Anggi dan eyang saja. Tapi pekerjaan lagi banyak, lebih baik makan di dekat-dekat sini aja."
"Eyang bilang sesuatu pada Ayud."
"Tentang apa?"
"Mas sebenarnya suka sama Mirna."

Adhit tak menjawab. Ia menghela nafas panjang.

"Mengapa baru sekarang mas menyukai dia? Ber bulan-bulan dia menjadi sekretaris mas, dan mas nggak pernah perduli. Sekarang begitu..."
"Aku juga tidak mengerti, mengapa ada perasaan itu ketika aku sudah punya isteri. Bahkan belum lama aku menjadi suami Anggi, perasaan itu tiba-tiba saja muncul."
"Tapi mas menyakiti Anggi .."
"Ya, pastinya. Karena Anggi sudah tau."
"Darimana dia tau?"
"Mm.. ya dari sikap aku. Gilanya Anggi malah menyuruh aku mencari Mirna dan menikahinya."
"Wauw... mas pasti suka kan?"
"Aku hampir gila memikirkannya, tapi apakah aku sejahat itu?"
"Lalu apa yang akan mas lakukan?"
"Pernikahan ini harus aku pertahankan. Aku ingin lama kelamaan bisa melupakan Mirna."
"Bukankah Mirna bekerja di tokonya mbak Dewi?"
"Dia sudah tidak lagi disana. Bahkan rumah kontrakannya juga pindah, sudah ber bulan-bulan yang lalu."
"Oh ya?"
"Mungkin M irna sendiri juga ketakutan karena Anggi pernah menemuinya dan mengatakan keinginannya."
"Ini benar-benar gila."
"Aku memang gila."
"Tapi mas harus berusaha, jangan sampai hanyut oleh perasaan yang membuat kekacauan ini ber larut-larut.
"Akan aku coba."

Tiba-tiba ponsel Adhit berdering. Dari bu Broto.

"Ya eyang.." sapa Adhit.
"Isterimu ada dirumah ibunya, sudah sejak siang tadi, sebaiknya kamu segera menjemputnya." kata bu Broto dari seberang sana.
"Baik eyang."

Sepulang dari kantor Adhit memacu mobilnya untuk menjemput Anggi.  Tapi ditengah jalan tiba-tiba dilihatnya seseorang. Adhit menghentikan mobilnya, kemudian meneriaki orang itu yang sudah berlalu agak jauh.



"Pak Kadir !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER