Cerita bersambung
"Pak Kadir !! Adhit berteriak lebih keras, karena ak Kadir terus saja melangkah. Adhit mengejarnya dengan setengah berlari, sambil terus memanggil namanya.
"Pak Kadir !! "
Tapi bukannya menoleh pak Kadir justru menuju ketepi jalan bersiap untuk menyeberang. Ungtunglah jalanan sedikit ramai, sehingga Adhit berhasil mengejarnya.
"Pak Kadir..."
Dan akhirnya pak Kadir menoleh.
"Oh.. memanggil saya?"
"Ya pak, pak Kadir lupa ya sama saya?"
"Mmm... lupa-lupa ingat sih... mmm..."
"Saya Adhit pak, dulu Mirna bekerja di kantor saya, sebagai sekretaris saya."
"Oh.. ma'af, iya.. saya ingat, maklum, kecuali sudah tua, kita juga hanya beberapa kali ketemu."
"Benar, tapi saya masih selalu ingat bapak."
"Syukurlah, terimakasih nak, ijinkan saya menyeberang, karena ada teman saya menunggu disana. Saya membonceng motornya."
"Nanti bapak saya antar saja sampai kerumah bapak."
"Ti..tidak.. jangan nak..." kata pak Kadir sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Ia selalu ingat bahwa Mirna mengajaknya pindah rumah dan keluar dari pekerjaannya karena menghindari Adhit dan Anggi. Ya Tuhan, Anggi? Pak Kadir baru ingat beberapa hari yang lalu bertemu seorang wanita cantik yang hampir pingsan diluar bangunan yang sedang dikerjakannya, dan mengatakan bahwa namanya Anggi. Apakah dia itu isterinya Adhit?
"Ayolah pak, saya antar saja."
"Tidak nak, jangan.. ada teman saya menunggu disana."
"Biar saya antar ketempat teman bapak, dan mengatakan bahwa bapak akan saya antar. Ya pak?" Adhit memaksa sambil memegangi lengan -pak Kadir, seperti takut kalau pak Kadir lari menjauh.
"Tapi nak, saya akan mampir dulu dirumah Sukir, teman saya itu, ada perlu, dan mungkin agak lama." pak Kadir mencoba memberi alasan untuk menolak.
"Pak.. sesungguhnya saya ingin ketemu Mirna."
Tuh kaan, pak Kadir sudah tau karena Mirna sudah banyak bercerita. Ia merasa bangga karena anaknya menolak dinikahi seorang lelaki beristeri
"Ijinkan pak, ada yang mau saya bicarakan, lagi pula Anggi isteri saya ingin bertemu Mirna."
"Oh, ti.. tidak nak... Mirna tidak ada dirumah saya.."
"Maksudnya? Pindah atau kost sendiri, begitu?"
"Tidak, dia mengikuti suaminya di kota lain. Sudah lima bulan lebih dia menikah."
Gemetar Adhit mendengar keterangan pak Kadir. Mirna sudah menikah? Serasa ada yang terbang dari jiwanya, sebuah rasa, rasa sakit, kecewa, cemburu, ah.. semua itu membuatnya benci. Mengapa harus ada perasaan itu, mengapa ia harus merasa tersakiti? Bergolak beribu rasa dibatin Adhit, sampai ia tak sadar bahwa pak Kadir udah menyeberang. jalan. Tanpa pamit lagi.
Adhit ingin mengejarnya, tapi jalanan kembali ramai, sampai ia kehilangan bayangan pak Kadir disebuah tikungan.
***
Pak Kadir menoleh kebelakang, tak ada yang mengikutinya. Dilihatnya ditikungan itu Sukir masih menunggu.
"Kelamaan ya Kir?"
"Enggak bos, masih ada yang diurus? Kirain sudah selesai."
"Bukan, sudah mau menyeberang, ketemu sahabat, eh.. maksudku dulu pernah menjadi majikannya Mirna."
"Oh... kok bos kelihatan seperti bingung, menoleh terus kebelakang."
"Iya, takut dia mengikuti aku, ayo cepat kita pergi."
"Memangnya kenapa harus mengikuti bos?"
"Panjang ceritanya, ayo berangkat dulu, aku mau mampir kerumahmu dulu sebentar."
"Baiklah bos."
Dengan masih terkadang menoleh kebelakang, pak Kadir kemudian membonceng Sukir anak buahnya.
Ada rasa was-was kalau kalau Adhit mengikutinya, maka pak Kadir memutuskan untuk mampir dulu beberapa sa'at lamanya dirumah Sukir.
"Ada apa sebenarnya bos?"
"Bingung aku, gak bisa membayangkan kalau itu benar-benar terjadi."
"Iya, memangnya ada apa? Bos benar-benar seperti orang ketakutan begitu."
Kemudian Kadir menceriterakan semuanya, bahwa Mirna di kejar-kejar Anggi dan Adhit agar mau menikah dengan Adhit. Itu sebabnya mereka pindah rumah. Tapi tak disangka sore itu ketemu lagi.
"Iya bos, sudah jodoh barangkali, kok bisa-bisanya ketemu lagi."
"Hush. Jodoh bagaimana, orang mereka itu sebuah keluarga, bisa-bisanya ada permintaan seperti itu. Anakku juga ketakutan dibuatnya."
"Tapi mengapa ya bos? Ini kejadian yang unik. Seorang isteri mencarikan isteri lagi bagi suaminya."
"Entahlah Kir, aku juga bingung. Ya sudah, kayaknya keadaan aman, aku mau pulang dulu."
"Nanti dulu, aku jadi teringat cerita salah seorang buruh bangunan di tempat kita kerja, itu, si Keman, katanya beberapa hari yang lalu ada seorang wanita cantik yang bertanya begini. Apakah disini mandornya punya anak bernama Mirna? Begitu bos, tapi kan Keman tidak tau kalau anak bos namanya Mirna? "
"Ya Tuhan, ada apa ini? Sampai segitunya si Anggi itu. Ya sudah Kir, aku pulang dulu ya, takutnya Mirna khawatir aku nggak segera sampai dirumah."
"Ayo saya antar saja bos."
"Jangan Kir, kamu kan juga capek, biar aku naik ojol saja."
"Nggak apa-apa, kan rumah bos nggak begitu jauh. Ayo biar saya antar saja," kata Sukir sambil berdiri kemudian menytarter sepeda motornya, membuat Kadir tak bisa menolaknya lagi.
"Terimakasih banyak Kir, aku selalu merepotkan kamu."
"Sudahlah bos, jangan anggap aku orang lain lah.."
***
Mirna pucat pasi mendengar cerita bapaknya.
"Jangan-jangan dia mengikuti bapak sampai kemari." kata Mirna khawatir.
"Nggak mungkin, aku mampir agak lama dirumah Sukir, tak ada mobil disekitar tempat itu, dan aku yang setiap kali menoleh kebelakang juga tak melihat ada yang mengikuti kok."
"Ya sudah pak, semoga bapak nggak akan bertemu lagi sama dia. Untunglah aku setiap kali pulang kerja diantar oleh sopirnya, sehingga kemungkinan bertemu kecil sekali, lagian aku berangkat pagi-pagi sekali ketika belum waktunya orang berangkat ke kantor."
"Aku juga sudah bilang sama nak Adhit bahwa kamu sudah menikah."
"Oh, begitu? Syukurlah, semoga dia tidak akan mengejar aku lagi ya pak." kata Mirna pelan. Dalam hati ia berfikir, Adhit terlambat mengejarnya. Mengapa setelah di punya isteri? Ber bulan-bulan duduk dalam satu ruangan, dan hatinya sudah terpikat sejak lama, senyumnya, cara dia bicara, cara dia berjalan, semuanya membuatnya ter gila-gila. Mengapa sedikitpun dia tak pernah merasakan itu, dan justru setelah menikah dia jatuh cinta? Ah tapi itu kan kata Anggi, tapi untuk apa Anggi berbohong? Mirna juga teringat, ketika Adhit memaksanya mengantar ke toko ketika Dewi menyuruhnya belanja, lalu ketika berebut membawa barang belanjaan dibelakang bagasi mobil, lalu dia memandangnya dengan... aduuh.. jangan sampai itu terbayang terus. Berlinang air mata Mirna.
"nDuk, ada apa? Apakah sesungguhnya kamu juga suka sama dia?" tanya pak Kadir ketika melihat genangan telaga dimata anaknya.
"Oh, nggak bapak... sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Mirna mau menyiapkan makan malam buat bapak ya?" kata Mirna sambil beranjak berdiri. Tapi pak Kadir menatapnya curiga. Pak Kadir menghela nafas, ia tau Mirna menyukai bekas bosnya yang ganteng itu. Ya Tuhan, mengapa ini semua bisa terjadi?
***
"Mas nggak bohong kan?"
"Apa?"
"Benarkah Mirna sudah menikah?"
"Iya, itu kata bapaknya," jawab Adhit dengan raut muka muram. Anggi menangkap kesedihan dimata suaminya. Anggi merasa trenyuh. Kecintaannya pasti patah hati.
"Mas tau dimana rumah orang tua itu? Eh.. mas tadi mengatakan siapa namanya? Kadir? Ya Tuhan, aku baru ingat mas, ketika aku hampir pingsan diluar sebuah gedung yang dibangun, aku ditolong oleh seorang laki-laki setengah tua, benar namanya Kadir, aduh.. sampai lupa aku karena berkenalan dalam keadaan pusing berat."
"Aku ingin menemui laki-laki itu lagi mas."
"Untuk apa Anggi, sudahlah."
"Mas nggak sempat tau dimana rumahnya?"
"Aku nggak sempat mengikutinya, dia langsung pergi, dan aku juga harus mengambil mobil dulu, susah waktu itu. Tapi untuk apa mengikutinya, Mirna sudah nggak ada dirumah bapaknya, sudah dibawa suaminya."
"Tapi aku tetap ingin ketemu pak Kadir."
"Anggi, untuk apa lagi. Sudahlah, jangan lagi membebani diri dengan pikiran itu, nanti kamu sakit lagi."
Namun sesungguhnya Anggi tidak percaya. Mungkin juga Kadir berbohong karena anaknya sudah menceritakan semuanya.
***
Tanpa sepengetaahuan suaminya diam-diam Anggi pergi ke tempat bangunan dimana dia ketemu pak Kadir, tapi pekerja yang ditanya bilang bahwa Kadir sudah pindah ke proyek lain, dan pekerja itu tak tau dimana.
"Masa sih, bapak nggak tau temannya pindah dimana?" tanya Anggi mendesak.
"Benar bu, pak Kadir itu kan tangan kanan pemborongnya, jadi bisa dia dipindahkan ke proyek lain tanpa kami harus mengetahuinya."
Anggi pergi dengan rasa kecewa. Harus kemana lagi dia mencarinya? Dan kembali rasa penat menderanya. Sungguh Anggi merasa harus mendapat keterangan tentang kebenaran pernikahan Mirna.
***
Berbulan bulan berlalu, Anggi merasa sangat tertekan. Ia sedih menyadari pernikahannya yang tidak bahagia.
Itu benar, karena ia mencium ke pura-puraan Adhit yang tampak sangat memperhatikannya. Sesungguhnya ia bersyukur memiliki suami yang masih memperhatikannya dan tak bersedia menceraikannya walau rasa cinta itu tak ada. Tapi jauh didalam lubuk hatinya dia sangat sedih. Ia hanya ingin melihat suaminya bahagia. Dan itu terus menerus menghantuinya.
Hari itu Anggi merasa perutnya sangat mual. Perutnya terasa seperti penuh, dan nafsu makannya jauh berkurang. Berhari-hari itu dirasakannya dan ia semakin merasa lemas. Adhit yang khawatir memaksanya membawa kerumah sakit.
Dugaan sementara, sakit maag. Lambungnya luka, mungkin karena makannya tidak teratur. Ada beberapa obat lambung yang diberikannya. Hanya mengurangi sedikit rasa sakitnya, sampai obat itu habis. Lalu Adhit membawanya kembali ke rumah sakit. Harus ada pemeriksaan lengkap. Dan kembali segala macam urine, darah, diperiksa dilaboratorium.
"Anggi, kamu harus sehat, jangan memikirkan apapun." kata Adhit ketika menunggu hasil pemeriksaan laborat diluar ruang kerja dokter.
Tiba-tiba Adhit melihat seseorang, jantungnya berdebar lebih kencang. Tanpa mengucapkan apapun ia meremas jari tangan Anggi, dan satu tangannya lagi menunjuk ke satu arah. Anggi menoleh kearah yang ditunjuk suaminya.
"Dia? mbak Mirna bukan?"
Anggi sudah ingin berteriak memanggilnya tapi Adhit menahannya. Mirna sedang menggendong seorang bayi, disampingnya seorang laki-laki gagah berjalan sambil membawa tas besar.
"Sepertinya dia habis melahirkan," desis Adhit pelan.
"Masak sih.."
"Lihat saja, disampingnya itu kan suaminya."
Tapi mereka tak memperhatikan, didepan Mirna juga berjalan dua orang wanita, yang satunya setengah tua, menggandeng perempuan cantik dan berjalan pelan.
"Ayo mas, ikuti dia."
"Anggi..!"
"Mas, aku ingin ketemu dia, ada yang ingin aku bicarakan sama dia."
"Apa lagi Anggi.."
"Tolong mas, ayo.. keburu dia jauh."
"Tapi kita kan sedang menunggu hasil lab kamu."
"Nanti aja kita kembali kemari," kata Anggi sambil bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari rumah sakit itu, dan Adhit dengan terpaksa mengikutinya.
"Itu mobilnya, cepat mas."
==========
Adhit menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi tak bisa menolak permintan isterinya. Ia mengikuti mobil yang tadi ditumpangi Mirna. Hatinya sungguh resah. Bagaimana rasanya nanti melihat Mirna menemui mereka sambil menggendong bayinya, dan suaminya yang gagah itu ada disampingnya, mungkin sambil merangkulnya, atau menggandeng tangannya. Aduhai, ada-ada saja Anggi ini. Untuk apaaa... coba. Batin Adhit penuh dengan rasa tak menentu. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, padahal mobilnya ber ac dan lumayan dingin.
"Mas, kok keringatan?" kata Anggi sambil mengambil tissue yang siap dimobilnya, lalu mengelap keringat suaminya. Tanpa bertanya Anggi sudah tau, pasti Adhit sangat gelisah karena harus bertemu dengan orang yang dicintainya tapi sudah punya suami dan anak. Ada keinginan untuk membatalkan niyatnya mengikuti mobil Mirna, tapi ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Itu sangat mengganggunya.
Foto yang ditemukannya digudang mamanya, mengapa sangat mirip Mirna ya? Entah mengapa ada dorongan ingin mengetahui tentang foto itu. Mungkin benar, banyak orang mirip didunia ini. Tapi mengapa ada dorongan yang tak terbendung untuk menanyakannya pada Mirna.
Diliriknya lagi suaminya, tampak tegang. Anggi benar-benar merasa iba.
"Mas, kita nggak perlu masuk dan menemui Mirna ya?"
"Ya, itu lebih baik. Untuk apa coba?" jawab Adhit sambil mengelap keringatnya dengan lengan bajunya.
"Pokoknya kita tau dimana rumahnya saja."
Adhit menghela nafas, sedikit merasa lega. Entah mengapa sesungguhnya ia juga ingin tau dimana Mirna sekarang tinggal.
"Mas, semakin jauh lho, jangan sampai kita kehilangan buruan kita," kata Anggi mencoba bercanda.
"Nggak, masih bisa, tuh dia belok kekanan. Adduh.. lampu merah nih."
"Yaaah, gimana mas, kalau ke kanan kan nggak bisa terus. Hilang deh.."
Adhit memukul-mukul kemudi dengan gemas.
"Sabar mas, semoga kita masih bisa mengejarnya," kata Anggi menghibur, padahal dia sendiri sesungguhnya juga khawatir.
Namun ketika lampu hijau dan bisa berjalan kembali, bayangan mobil yang dikejarnya tak lagi tampak. Adhit memacu mobilnya, sedangkan Anggi menoleh kekanan dan kekiri, barangkali mobil itu sudah masuk kesebuah rumah atau berhenti dimana. Bahkan sampai ke perempatan berikutnya, tak lagi dilihatnya mobil itu. Adhit menghentikan mobilnya dijalanan yang sepi.
"Lalu bagaimana?"
"Yah, bagaimana lagi mas, ayo kita pulang."
"Pulang bagaimana, kita kan harus kembali ke rumah sakit Nggi."
"Ah, sebenarnya aku males mas."
"Males bagaimana? Kamu kan harus mendapatkan obat yang tepat, itu sebabnya tadi harus periksa darah dan lain-lain."
"Aku bosan minum obat, lagian aku sudah lebih baik kok."
"Anggi.. kamu harus patuh pada apa yang dikatakan dokter. Aku ingin kamu sehat," kata Adhit sambil memutar kembali mobilnya ke arah rumah sakit.
***
Ternyata sesampai dirumah sakit, hasil lab itu belum keluar, mereka masih harus menunggu. Anggi mulai kesal. Ia kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan Adhit.
"Anggi, mau kemana?" tanya Adhit.
"Hanya mau jalan-jalan saja mas, mas saja yang tungguin," kata Anggi sambil menjauh, dan Adhit mendiamkannya. Ia berjalan ke loket, menanyakan apakah hasil lab yang ditunggu masih akan lama, tapi dari tadi jawabannya selalu sama.
"Ditunggu saja dulu pak, sabar ya."
Adhit kembali dudu. Sementara Anggi menuju ke arah ruang bersalin. Tiba-tiba saja timbul ide bagus dibenaknya, yaitu menanyakan alamat wanita yang baru saja pulang setelah melahirkan.
Wajah Anggi berseri, karena menemukan ide yang tadinya tak terbayangkan. Kali ini pasti ia berhasil.
"Selamat siang sus," sapanya kepada suster jaga.
"Siang mbak, ada yang bisa kami bantu?"
"Begini, saya mau membezuk keluarga saya, tapi tampaknya sudah pulang. Bisakah saya menanyakan alamatnya? Saya belum tau rumahnya sih." katanya mencari alasan.
"Disini untuk yang bersalin mbak.."
"Iya benar, katanya baru siang ini tadi pulang sehabis melahirkan."
"Namanya siapa ya mbak?"
"Mirna.. aduh.. Mirna siapa ya, saya kurang tau nama lengkapnya. Manggilnya Mirna, gitu saja kok."
"Mirna?"
Perawat itu tampak mem buka-buka catatan, lalu melihat file di komputernya. Anggi menunggu dengan hati berdebar, dalam hati ia bersorak, akhirnya bisa menemukan jalan untuk bertemu Mirna. Tapi kemudian perawat jaga itu meng geleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak ada pasien bernama Mirna mbak..bahkan dari semua yang melahirkan disini selama seminggu kesana.. nggak ada yang namanya Mirna."
"Tapi saya melihat dia pulang hari ini, eh.. maksud saya.. dia katanya pulang hari ini"
"Yang pulang hari ini ada tiga bu, tapi tidak ada yang namanya Mirna. Ibu Juni, ibu Diana, ibu Maryam... "
"Mungkin kepanjangannya,?" Angggi masih ngeyel.
"Nggak ada bu, nggak ada embel-embel Mirna disemua nama yang ada," kata perawat jaga sedikit kesal.
Anggi mengucapkan terimakasih kemudian melangkah kembali ketempat suaminya menunggu. Ada rasa bingung ketika tadi melihat Mirna, tapi tak ada pasien pulang bernama Mirna. Apakah aku tadi salah liat? Tidak, itu benar mbak Mirna," bisik batin Anggi.
Ketika ia sampai ditempat dimana tadi suaminya menunggu, dilihatnya dia tak ada lagi disana. Anggi men cari-cari, tapi tak juga ketemu. Anggi kemudian memutuskan untuk duduk ditempatnya semula. Ada ibu-ibu yang tadi juga menunggu, menyapanya karena melihat Anggi tampak men cari-cari.
"mBak mencari bapak yang tadi bersama mbak?"
"Iya benar, tadi menunggu disini."
"Sepertinya dia sudah pergi keruang dokter mbak, soalnya hasil lab nya sudah selesai."
"Oh, baiklah, terimakasih banyak ibu," kata Anggi yang kemudian menuju ke ruang dokter.
Suaminya tak tampak diruang tunggu, pasti sudah masuk, pikir Anggi yang kemudian memilih menunggu saja diluar. Toh dia tak perlu diperiksa lagi setelah ada hasil lab nya.
Ia sama sekali tak memikirkan penyakitnya. Masih ada rasa mual dan sesak di ulu hati, tapi tak diperhatikannya. Ia hanya memikirkan Mirna yang tadi dilihatnya dan ternyata tak ada nama Mirna disana.
Ketika suaminya keluar dari ruang dokter, Anggi justru mengatakan tentang pencariannya yang tak berhasil.
"Mas, tak ada Mirna disana.." katanya.
"Kamu ini bicara apa Nggi?"
"Aku tadi keruang bersalin, maksudku ingin menanyakan pasien yang bernama Mirna alamatnya dimana, tapi tak ada nama Mirna disana."
"Kamu? Kamu tadi masih men cari-cari Mirna?"
"Aku pikir aku bisa mendapatkan alamat Mirna dari data pasien yang habis bersalin dan pulang hari ini."
Adhit memelototi isterinya dengan kesal.
"Kamu bukannya memikirkan penyakit kamu, malah Mirna lagi yang kamu fikirkan."
"Ma'af mas," Anggi tertunduk lesu, ia tau suaminya juga kesal melihat kelakuannya.
"Kamu sakit dan harus banyak istirahat, banyak pantangan makan yang harus kamu patuhi," kata Adhit sambil menggandeng tangan Anggi menuju ke ruang instalasi farmasi.
"Memangnya aku sakit apa?"
"Ada perlemakan hati. Harus banyak istirahat dan jangan banyak pikiran. Tidak boleh makan sembarangan."
"Apa itu ?"
"Nanti setelah mengambil obatnya aku ceritakan. Salah kamu sendiri, sa'atnya ketemu dokter kamu malah ngelayap ke mana-mana," omel Adhit.
"Ma'af mas,"
Adhit menyuruhnya duduk sementara dia menyerahkan resep isterinya ke loket.
"Penyakit apa itu, ah.. aku tak perduli, sakit yang namanya penyakit ini tak seberapa sakit dibandingkan dengan perasaanku," gumamnya dalam hati.
Setelah membayar harga obat Adhit duduk didekat isterinya, dengan wajah murung.
"Aku sakit apa mas? Tadi mas bilang apa? Perlemakan hati?"
"Perlemakan hati adalah adanya lemak yang berlebih pada organ hati."
"Itu berbahaya?"
"Ya berbahaya kalau tidak segera ditangani. Bisa menjadi penyakit hati."
"Hm, mungkin dokter itu berlebihan."
"Apa katamu? Mana ada dokter berlebihan? Itu terlihat dari semua pemeriksaan, dari kamu di USG tadi dan pemeriksaan lainnya, dokter lalu mengatakan itu. Kamu jangan menyepelekan penyakit kamu Anggi, tolong jangan membuatku cemas."
"Apa mas akan merasa kehilangan seandainya aku mati?"
"Anggi, jangan bicara yang tidak-tidak."
"Aku hanya ingin tau saja, apa mas akan measa kehilangan kalau aku mati."
"Kamu itu isteriku Anggi, mengapa bertanya seperti itu?"
"Itu bukan jawaban mas."
"Mana ada seorang suami tidak kehilangan kalau ditinggal mati isterinya."
"Mas..."
"Stop, jangan bicara so'al kematian. Dan ingat, banyak pantangan yang harus kamu petuhi."
"Apa tuh?
"Harus banyak istirahat, jangan banyak pikiran, jangan makan makanan berlemak, kurangi makan nasi perbanyak sayuran, jangan makan daging merah.. dan..."
"Aduh mas, sudah.. sudah.. banyak benar pantangannya."
Adhit menghela nafas kesal, melihat Anggi seakan tak perduli pada penyakitnya. Sampai kemudian mereka pulang kerumah, Anggi tak tampak khawatir mendengar penyakit yang dideritanya.
Sebelum kembali ke kantor Adhit berpesan wanti-wanti agar Anggi tak pergi ke mana-mana dan harus banyak istirahat. Ia juga berpesan pada bu Broto agar tidak menyuruh yu Supi memasak yang menjadi pantangan Anggi.
"Jangan lupa obatnya .. dan jangan ngeyel," pesannya kepada Anggi yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Anggi.
***
Hari itu pak Kadir lebih dulu pulang kerumah. Mirna minta ma'af karena hari itu pulang dari rumah sakit setelah majikannya melahirkan.
"Jadi majikanmu pulang hari ini nduk?"
"Iya pak, anaknya lucu sekali deh, gemes Mirna melihatnya. Kenapa ya setiap melihat bayi Mirna jadi teringat waktu harus kehilangan bayi ya pak?"
"Ya sudah, nggak usah di ingat-ingat lagi, pada suatu hari nanti, kamu pasti akan mendapatkan suami yang baik, dan bisa melahirkan anak-anak yang lucu-lucu," hibur bapaknya.
Mirna hanya tersenyum dan mengangguk. Apakah ada keinginan untuk mendapatkan suami lagi? Tiba-tiba wajah Adhit terbayang, tapi kemudian di kibaskannya. Tidak, aku tak boleh memimpikan sesuatu yang tak mungkin.
"Aku mau mandi dulu ya nduk, nungguin kamu pulang jadi mandinya ke sorean."
"Perlu air hangat pak?"
"Nggak usah.. air biasa saja."
"Ya sudah, jangan lama-lama mandinya, nanti kedinginan.."
"Ya..," kata pak Kadir sambil melangkah ke belakang.
Mirna menuju dapur untuk menyiapkan makan malam, tapi tiba-tiba dilihatnya sesuatu terjatuh didepan pintu kamar ayahnya.
"Waah, bapak ni.. dompet sudah pada sobek begini kok nggak mau ganti.. " kata Mirna sambil memunguti isi dompet ayahnya yang berantakan karena dompetnya sudah sobek disana-sini.
Lhoh... bapak kok nyimpen foto jadul kayak begini, ini siapa ya.. perempuan cantik.. tapi sudah lusuh seperti tak terawat.
Mirna memungut foto itu, tak dimasukkan kembali ke dompet karena ingin bertanya bapak ayahnya.
Bersambung #42
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel