Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 02 September 2021

Dalam Bening Matamu #42

Cerita bersambung

Mirna menunggu bapaknya selesai mandi sambil terus mengamati foto yang ditemukannya. Wajahnya cantik, tapi itu bukan wajah ibu Widi. Apakah isteri bapak? Kalau demikian dia ibuku? Bisik batin Mirna.

Diamatinya wajah itu, benarkah ada miripnya dengan dirinya sendiri?
Ketika bapaknya muncul, dengan heran dilihatnya dompetnya tergeletak diatas meja makan. pak  Kadir memungutnya,
"Kok dompetku ada disini ?" tanyanya.

"Bapak menjatuhkannya didepan pintu kamar."
"Oh, ya?"
"Pak, besok Mirna akan belikan bapak dompet yang baru. Itu dompet sudah berantakan begitu masih bapak pakai. "Begitu terjatuh isinya berhamburan kemana-mana."
"Iya, mau beli kok ya nggak sempat-sempat," jawab pak Kadir sambil tertawa.
"Besok Mirna belikan deh."
"Lha itu yang kamu pegangi tuh apa?" tanya pak Kadir ketika melihat Mirna memegangi selembar foto.
"Ini yang ingin Mirna tanyakan sama bapak. Ini foto siapa?"
"Ah, sudahlah, mana fotonya, nggak usah kamu ber tanya-tanya tentang dia."
"Memangnya kenapa pak?"
"Bapak nggak suka saja, tapi bapak nggak sampai hati membuang foto itu," katanya sambil berusaha mengambil foto itu dari tangan Mirna.
"Apakah dia ibunya Mirna?"
Pak Kadi mengehela nafas, wajahnya muram, seakan bayangan masa lalu kembali melintas dibenaknya. Itu sungguh menyakitkan. Sang isteri pergi meninggalkan suami dan anaknya yang masih bayi, karena terpikat laki-laki lain yang lebih kaya.
"Selama ini bapak tak pernah bercerita tentang ibu."
"Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu."
"Oh, ya?" tukas Mirna dengan wajah sedih. Bagaimanapun dia kan ibunya. Lalu dipandanginya foto itu lagi.
"Apakah wajah Mirna sangat mirip ibu ini?"
"Kamu seperti kembaran ibumu. Itulah mengapa aku mengenali kamu ketika pertama kali melihatmu dari rumah kost itu. Aku penasaran dengan wajahmu yang begitu mirip ibumu, dan ternyata benar, kamu anakku."
Mirna terus mengamati wajah cantik foto itu, dan bergumam dalam hati, apakah aku secantik ini?
"Sudah, mana foto itu, biar bapak saja yang menyimpannya."
"Jangan bapak, biar Mirna saja yang menyimpannya," kata Mirna seraya meletakkan foto itu diatas meja.
"Nanti akan Mirna simpan didompet Mirna. Tapi dimanakah makam ibuku? Bapak pernah kesana?"
"Bapak tidak tau, kabarnya dimakamkan di pemakaman keluarga suaminya, bapak tak mau tau."
"Mirna ingin berziarah ke makam ibu."
"Dimana tempatnya bapak juga tidak tau. Do'akan saja agar dia mendapatkan tempat yang layak disisiNya. Bapak sudah mema'afkannya, dan selalu mendo'akannya," jawab pak Kadir sendu.
"Ya sudah, bapak nggak usah sedih begitu, ayo kita makan saja, sayurnya keburu dingin nih," kata Mirna sambil membuka piring bapaknya dan menyendokkan nasi keatasnya.
***

Anggi memang mematuhi apa kata suaminya, lebih banyak beristirahat diruah dan rajin meminum obatnya. Tapi pikirannya tentang Mirna tak pernah lepas dari ingatannya. Mengapa tak ada pasien pulang hari itu yang bernama Mirna sementara dia benar-benar melihat Mirna. Apakah Mirna punya nama lain? Kemana lagi dia harus bertanya? Jangan-jangan bayi itu bukan anaknya Mirna. Ingatan itu iba-tiba menyalakan lagi harapannya. Harapan untuk mempertemukan Mirna dan suaminya. Menjadikannya sebuah keluarga yang kelak bisa memiliki beberapa momongan yang didambakannya.
Bisa jadi bukan Mirna yang melahirkan, dia hanya menggendong anaknya seorang ibu, atau dia bekerja sebagai baby sitter? "Aduuh.. aku harus mendapatkan jawabannya," gumam Anggi disiang itu ketika sedang beristirahat sendirian dikamarnya.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, lalu bu Broto masuk kekamarnya.
"Anggi, kamu belum makan," kata bu Broto sambil mendekati Anggi. Anggi segea bangkit dan duduk.
"Mengapa bangun? Sudah, tiduran saja, kalau perlu biar Sumi.. eh.. Supi membawakan makan siangmu kekamar."
"Tidak eyang, Anggi mau makan diruang makan saja, tapi tidak sekarang."
"Anggi, bukankah suami kamu selalu berpesan bahwa kamu harus makan pada waktunya?"
"Ya eyang, entah mengapa, selera makan Anggi belum kembali normal. Tapi nanti Anggi akan mencoba makan sedikit."
"Apa kamu menginginkan makan dengan lauk yang kamu sukai? Katakan saja biar Supi membuatnya."
"Nggak eyang, Anggi nggak ingin apapun, Anggi hanya ingin mas Adhit bahagia."
"Apa maksudmu Anggi? Menurutmu Adhit tidak bahagia?"
Anggi terkejut. Ia tak sadar telah mengucapkan kata itu. Pasti bu Broto akan mencurigainya.
"Anggi..."
Tapi Anggi merasa, apa salahnya ia berbagi dengan eyang Broto yang sangat baik dan memperhatikannya?
"Eyang, sesungguhnya Anggi tau, mas Adhit ingin sekali memiliki keturunan."
Bu Broto menatap tajam cucu menantunya.
"Anggi ingin mas Adhit menikahi wanita lain, yang bisa memberikannya keturunan."
Bu Broto masih menatap Anggi. Dielusnya rambut ikal yang terurai lepas sampai kebawah pundaknya. Ia pernah mendengar dari Adhit bahwa ia menyukai Mirna, tapi apakah Anggi mengetahuinya?
"Anggi, Adhit sudah berjanji akan selalu mendampingi kamu. Kamu tidak percaya itu?"
"Iya eyang, tapi harus ada wanita lain yang bisa membuat mas Adhit bahagia. Anggi rela berbagi eyang, agar mas Adhit bahagia."
Bu Broto memeluk Anggi erat-erat, ada haru yang menyesak dadanya, ketika menyadari betapa mulia hati isteri Adhit ini.
"Anggi, serahkanlah semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Dia lah yang akan mengatur hidup kita."
Anggi tersedu dalam pelukan bu Broto.

"Oh ya, bukankah tadi Adhit mengingatkan bahwa kamu harus kontrol hari ini?"
"Ah, untuk apa lagi, Anggi sudah lelah minum obat .. dan sekarang sudah meresa lebih baik kok. Anggi kira nggak usah kontrol lagi saja."
"Jangan begitu Anggi, nanti suamimu marah. Kan hari ini obat yang harus kamu minum sudah habis?"
"Iya eyang, memang harus diminum selama sebulan ini, Anggi nggak mau lagi minum obat."
"Kembalilah ke dokter sampai dia menyatakan bahwa kamu benar-benar sudah sehat.
Anggi menghela nafas, ia merasa bosan mengkonsumsi obat setiap hari.
Namun ketika suaminya datang dan mengajakna kembali ke rumah sakit, Anggi tak bisa menolaknya.
***

Sore itu ketika selesai berbelanja bu Susan sedang menunggu taksi didepan sebuah toko. Ketika taksi itu datang, tiba-tiba sebuah mobil nyelonong berhenti didepannya, dan nyaris menabraknya. Bu Susan terkejut bukan alang kepalang. Ia jatuh terduduk ditepi trotoar.
"Addhuhh... kurangajar benar, mengapa nyelonong tanpa melihat ada orang ditepi jalan?"
Seseorang turun dari taksi, bersamaan dengan sopirnya. Keduanya membantu bu Susan berdiri.
"Ma'af bu, saya minta ma'af," kata sang sopir."
"Ada yang luka bu? Sakitkah?" kata wanita yang turun bersama sopir tadi  sambil memegangi lengan bu Susan, sementara si sopir mengambilkan tas belanjaan dan memunguti sebagian belanjaannya yang tumpah.
"Nggak ada yang sakit, untung jatuhnya tidak keras." kata bu Susan yang kemudian terbelalak melihat siapa yang memegangi lengannya.
"Kamu? Kamu kan Mirna?"
Mirna juga terkejut ketika mengenali siapa yang ditolongnya.
"Bu Susan, ma'af saya tidak mengira, ma'af ya bu, kami agak ter gesa-gesa sehingga berhenti kurang hati-hati."
"Hm, rupanya kamu sudah kaya ya sekarang, punya mobil, punya sopir.." kata bu Susan sambil menatap Mirna dengan senyuman sinis.
"Oh, bukan bu, ini bukan mobil saya, dan bapak ini juga bukan sopir saya. Ini mobil majikan saya."
"O.. mobil majikan kamu?"
"Iya bu, kami mau membeli pampers untuk anak majikan saya, dan disuruh buru-buru karena sudah kehabisan.," terang Mirna.
"O.. kamu rupanya menjadi pembantu disebuah keluarga kaya ?Hm, kamu masih sering ketemu Adhit kan?"
Mirna terkejut, tak menyangka bu Susan mengira dia sering ketemu bos gantengnya. Mirna merasa harus cepat-cepat pergi untuk menghindari pembicaraan yang pasti akan lebih menyakitinya.
"Tidak.. tidak pernah bu, sudah hampir setahun kami nggak pernah ketemu. Ya sudah bu, saya permisi dulu, sekali lagi minta ma'af," kata Mirna yang kemudian berjalan menjauh dan memasuki sebuah toko.
Bu Susan kemudian menghampiri taksi yang dipesannya. Tapi ia tak segera menyuruh taksi itu mengantarnya.
"Tungguin dulu mobil itu ya pak, lalu ikuti kemana dia pergi."
***

"Jeng Dewi.. jeng Dewi.. saya punya berita bagus lho," kata bu Susan keesokan harinya ketika sedang berbelanja ke toko Dewi.
"Berita bagus bu? Syukurlah, berita bagus apa?"
"Kemarin saya ketemu Mirna."
"Mirna? Ketemu dimana bu?" jawab Dewi terkejut.
"Dia sedang disuruh majikannya membeli pampers. Pasti untuk anak majikannya itu kan."
"Oh, ibu sempat bicara sama dia?"
"Bicara sih, tapi dia ter gesa-gesa. Katanya majikannya menyuruhnya buru-buru karena kehabisan."
"Oh, ya sudahlah bu, biarkan saja, mungkin dia lebih suka bekerja disana, lebih nyaman.."
"Saya sudah tau dimana dia bekerja."
"Oh ya, dimana bu?"
"Di Jl. dr.Supomo.., rumahnya bagus bener, orang kaya pokoknya."
"Oh ya, disebelah mana bu?"
"Nomornya saya nggak tau jeng, tapi sebelum perempatan, sebelah kiri jalan, pagarnya kuning."
"Oh, ibu mampir?"
"Ya enggaklah jeng, ngapain mampir, nggak kenal juga, tapi kebetulan saya mengikuti dia Saya curiga dia masih berhubungan dengan menantu saya.."
"Oh, ya.. sudah lama juga saya nggak nyambung bu, nomor ponselnya sudah ganti. Oh ya, ini ibu mau belanja apa?" tanya Dewi yang sebenarnya kurang suka berbicara dengan bu Susan tentang Mirna, yang tampaknya bu Susan mengatakannya dengan nada sinis.
"Oh iya, ini jeng , sudah saya catat semua, saya nitip dulu ruaratus rupiyah, nanti tolong dikirim kerumah, bisa kan?"
"Iya bu, baiklah, saya siapkan dulu, nanti biar pembantu saya mengirim kerumah ibu."
"Terimakasih jeng, saya juga mau kasih tau ke Anggi alamat tempat Mirna bekerja, supaya dia ber hati-hati."
Bu Susan langsung melangkah pergi, meninggalkan Dewi yang termangu ditempatnya berdiri. Kalau bu Susan mengatakan pada Anggi, pasti Anggi akan mengejarnya kesana. Ya sudahlah, semoga yang terbaik untuk keluarga Adhit.
Namun pagi hari itu Dewi juga mengabari Adhit tentang alamat tempat Mirna bekerja.
***

"Apa? Kalau begitu bayi yang digendong itu bukan anaknya," kata Adhit setengah berteriak. Ada rasa senang yang tiba-tiba membuncah mendengar berita itu. Tapi kemudian dia memaki dirinya sendiri yang masih punya sebuah harapan gila. Aduhai, akan bagaimana hidupku nanti?
"Adhit, kamu senang mendengarnya kan?" tanya Dewi dari seberang.
"Apa?" Adhit terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku mendengar sorak gembira dari tanggapan kamu itu."
"Ah, kamu meng ada-ada, jangan sok tau lah Wi."
"Hati-hati Dhit, buat hidup kamu nyaman," pesan Dewi ketika mengakhiri pembicaraan itu.

==========

Setelah berbelanja itu, bu Susan menelpon Anggi agar segera menemuinya dirumah. Dan Anggi yang penasaran segera datang menemui ibunya.
"Ada apa ma, mama sehat kan?" tanya Anggi begitu sampai dirumah bu Susan.
"Sehat lah, kamu kan melihat sendiri bahwa mama baik-baik saja?"
"Perasaan Anggi nggak enak, tumben mama ingin saya datang dan tampaknya penting sekali."
"Penting, tapi mama tau nanya dulu, bagaimana kesehatan kamu?"
"Baik kok ma, jauh lebih baik, cuma nafsu makan kok masih mengganggu, rasanya nggak selera walau dikasih lauk apapun."
"Nanti ibu masakin masakan kesukaan kamu, yakin pasti kamu mau makan lebih banyak"
"Nggak usah bu, Anggi tadi hanya pamit sebentar, sekarang ibu katakan saja, mengapa ibu memanggil Anggi."
"Ini tentang Mirna..."
"Mirna ? Ada apa lagi dengan Mirna?"
"Kemarin ibu ketemu Mirna, lalu mengikuti kemana dia pergi. Ternyata dia itu bekerja di salah satu keluarga. Ibu tau dimana rumah keluarga itu."
Anggi terkejut. Ini berita yang sangat diharapkannya. Tapi dia menyimpan kegembiraannya. Dia lebih kesal pada ibunya karena ibunya berkata telah mengikuti Mirna dengan nada yang kurang suka.

"Rumahnya di Jl. Dr. Supomo, sebelum perempatan, kiri jalan cat kuning, mama nggak tau nomor berapa."
Anggi menelan rasa suka yang memenuhi hatinya. Ibunya tidak boleh tau bahwa dia senang mendengar berita itu.
"Ibu, baiklah, mungkin ini sebuah berita, tapi yang Anggi heran, mengapa mama sebegitunya.. sampai mengikuti mbak Mirna."
"Karena mama masih curiga sama dia."
"Curiga bagaimana ma?"
"Bagaimana kalau ternyata suamimu masih mengadakan hubungan dengan dia? Kalau kamu tau dimana harus menemui dia, maka gampang bagi kamu untuk melabraknya, atau ...."
"Tidak bu, ibu terlalu berprasangka, tak mungkin mas Adhit melakukannya. Pada suatu hari nanti Anggi akan mengatakan sesuatu yang mungkin mama akan tidak suka, tapi itu keputusan Anggi."
"Mama tidak mengerti."
"Nanti saja ma, sekarang bukan sa'at yang baik."
"Itu tentang Mirna?"
"Ma, mengapa mama begitu tidak suka pada mbak Mirna, sementara dia tidak melakukan apa-apa yang bisa menyakiti mama ? Dan ber-kali-kali juga Anggi mengatakan bahwa mbak Mirna tidak akan mengadakan hubungan dengan mas Anggi diluar sepengetahuan Anggi."
Bu Susan menghela nafas.

Sesungguhnya apa yang dikatakan Anggi itu benar. Kalau Anggi ber kali-kali mengatakan tidak ada hubungan apa-apa antara Adhit dan Mirna, mengapa dia selalu merasa tidak suka. Ia selalu mencari alasan untuk menyakiti perasaan Mirna, bukan hanya sejak ia melihatnya berduaan dengan Adhit. Mungkin itu hanya sebuah alasan.  Bu Susan tiba-tiba teringat sesuatu, apakah karena wajahnya mirip keponakannya yang telah pergi dengan mencoreng nama keluarga? Benar, wajah itu membuatnya sangat membencinya, baru sekarang dirasakannya.

"Mama, Anggi tidak bisa lama-lama ya, mas Adhit melarang Anggi sering-sering bepergian yang membuat Anggi lelah. Memang sih, Anggi sudah merasa jauh lebih baik, tapi Anggi harus benar-benar merasa pulih dan sehat."
"Apa Adhit sangat menjagamu?"
"Pasti lah ma.."
"Mengapa dulu kamu pernah mengatakan ingin bercerai?"
Anggi teringat peristiwa itu, ketika pertama kalinya merasa sakit hati dan juga terluka parah, ketika disadarinya suaminya ternyata mencintai perempuan lain. Tapi bukankah sekarang semuanya sudah dia tepiskan. Bahkan dia merelakannya dan sangat mengharapkannya.
"Biasa ma, orang berkeluarga kan bisa saja berselisih paham," jawab Anggi memberi alasan.
Bu Susan mengangguk-angguk. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Anggi, apa kamu masih membawa foto mama yang kamu temukan digudang itu? Foto yang sedang bersama Diandra?"
"Ada ma, tapi Anggi mau buru-buru pulang."
"Coba liat sebentar, mama lupa-lupa ingat wajah anak kurangajar itu."
Anggi mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil selembar foto yang dulu diambilnya dari album lama mamanya.
"Ini ma.."
Bu Susan mengamati foto itu, agak lama.
"Memang benar, mirip dia," gumamnya lirih.
"Mirip siapa ma?"
Tapi bu Susan tak mau menjawabnya. Ia mengembalikan foto itu, yang kemuidan disimpan kembali oleh Anggi.
"Sudahlah, bawa saja lagi, mama ingin mengingat ingat wajah keponakan mama itu."
"Baiklah ma, Anggi pamit dulu ya."
"Baiklah, hati-hati menjaga suami kamu."
Anggi hanya mengangguk, ia bergegas kedepan dan memanggil taksi.
***

Tapi Anggi tidak segera pulang. Ia mencatat baik-baik kata mamanya tentang alamat keluarga dimana Mirna bekerja. Ia segera menyuruh taksi yang ditumpanginya untuk menuju ke Jl. Dr. Supomo.
Hati Anggi berdebar-debar. Tapi nomor yang dikatakan bu Susan tidak begitu jelas, dan dia enggan menanyakan kejelasan ancer-ancernya. Sebelum perempatan, kiri jalan, cat kuning. Perempatan yang mana, kanan atau kiri itu dari arah selatan atau utara?
Tapi bukan Anggi kalau ia menyerah karena tak bisa menemukannya. Ia menyuruh taksi itu menyusuri sepanjang jalan dr.Supomo, dan matanya nyalang melihat kekiri dan kekanan jalan. Mana pagar cat kuning... cat kuning... cat kuning.
Lalu ketika belum ketemu juga ia menyuruh taksi itu kembali menyusuri jalan itu dari arah yang berlawanan.
Anggi terus mencari-cari.
"Haaa... bukankah itu cat kuning? Benar, rumah bagus kiri jalan, berarti mama melihatnya dari arah utara," gumam Anggi.
"Pelan-pelan pak.. " perintahnya kepada sang sopir.
Tapi dari arah berlawanan tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berhenti tak jauh dari pagar rumah bercat kuning itu. Mobil yang sangat dikenalnya. Mobil Adhit, suaminya.
Berdesir darah Anggi. Bagaimana suaminya bisa tau tempat itu? Benarkah kata ibunya bahwa Adhit dan Mirna mengadakan hubungan diluar sepengetahuannya? Memang sih ia rela, tapi ketika melihat Adhit diam-diam menemui Mirna, entah mengapa hatinya terasa seperti teriris. Kalau Anggi mengatakan sudah rela berbagi, mengapa Adhit menemuinya diam-diam? Jadi Adhit seakan tak perduli apa yang diinginkannya, tapi diam-diam ketemuan? Tidakk... ini menyakitkan. Jerit batin Anggi.
"Terus saja pak, jangan berhenti," perintahnya lagi kepada sopir taksi.
"Langsung kemana bu?"
"Ke alamat yang tadi saya sebutkan pertama kali."
Dan taksi itu melintas, melewati mobil Adhit yang berhenti disana, tapi belum tampak Adhit keluar dari mobilnya.
***

"Apa kabar mama kamu Nggi?" kata bu Broto ketika menyambut kepulangan Anggi.
"Baik eyang, mama sehat," jawab Anggi yang langsung masuk kedalam. Bu Broto mengikutinya dari belakang.
"Kamu baik-baik saja kan Nggi?" tanya bu Broto karena melihat wajah Anggi muram. Ia mengikutinya sampai Anggi masuk kedalam kamar.
"Ya eyang, Anggi baik-baik saja."
"Tapi wajah kamu agak pucat."
"Masa sih eyang? Anggi nggak apa-apa kok."
"Baiklah, Supi sudah menyiapkan makan, kamu harus makan dan minum obat kamu."
"Tapi eyang."
"Anggi, ganti bajumu. Bukankah kamu harus segera minum obat? Suami kamu wanti-wanti agar eyang selalu mengingatkan kamu."
Anggi mengangguk. Ia mengganti bajunya setelah bu Broto keluar dari kamar. Ada perasaan tak enak yang selalu mengganggunya. Adhit dan Mirna ketemuan diam-diam? Itu sangat menyakitkan. Mengapa Adhit ber pura-pura? Pura-pura tidak mau padahal diam-diam melakukannya. Bulir-bulir air mata berjatuhan dan membasahi pipinya.
Ketukan dipintu kamar menyadarkannya.
"Anggi, ayolah, eyang menunggu dimeja makan ya."
"Baik eyang," jawab Anggi sambil mengusap air matanya.
Tapi sungguh makan siang itu terasa tak enak. Ia hanya terpaksa menyuapkan beberapa sendok nasi ke mulutnya karena bu Broto menungguinya, dan meletakkan obat-obat disampingnya.
"Makan yang banyak Anggi."
"Sudah cukup eyang, lumayan sudah kemasukan makan. Sekarang Anggi akan minum obatnya."
"Barusan suami kamu menelpon, nanti pulang agak malam karena ada pertemuan dengan klient sore nanti."

Anggi tersedak, dan beberapa butir obat yang ada dimulutnya terlempar keluar.
"Anggi, pelan-pelan.." tegur bu Broto.
"Eyang, Anggi mau tiduran dulu."
"Tapi obatmu terlempar nih harus minum lagi dong, mana tadi yang kamu minum?"
"Nanti saja eyang, biar Angggi istirahat dulu," kata Anggi sambil meminum lagi seteguk air. Ia menata debur jantungnya, kemudian berdiri dan berjalan kearah kamarnya.
Bu Broto hanya geleng-geleng kepala. Ia merasa ada sesuatu pada cucu menantunya, tapi tak satupun ucapan keluar dari mulutnya. Ia yakin Anggi hanya akan berkata.. tidak apa-apa eyang...
***

Sore hari itu, ketika Ayud datang untuk menjemput Ananda, ia tak melihat Anggi. Kata bu Broto tampaknya tidur dikamar dari siang. Ayud mengetuk pintu kamarnya, lalu masuk dan dilihatnya Anggi terbaring memeluk guling. Matanya terpejam. Tampak sembab dimatanya.
"mBak Anggi..."
Anggi membuka matanya, ia langsung duduk begitu melihat Ayud didepannya. Biasanya Adhit datang hampir bersamaan. apakah Adhit juga sudah pulang, atau seperti tadi dikatakan bu Broto bahwa akan pulang agak malam?
"Mbak Anggi sakit? Katanya sudah lebih baik."
"mBak Ayud, Anggi baik-baik saja. Hanya merasa sedikit lelah, padahal tidak mengerjakan apa-apa."
"Ada yang mbak fikirkan?"
"Nggak ada", jawab Anggi sambil melongok kepintu. Ia berharap Adhit datang dibelakang Ayud.
"Mas Adhit datang belakangan, tadi masih bicara sama client. Mudah-mudahan nggak sampai malam," kata Ayud seakan mengerti bahwa Anggi sedang menunggu suaminya.
"Oh.." tiba-tiba Anggi merasa sedikit lapang didadanya. Ayud pasti tak akan bohong. Jadi benar Adhit sedang menemui client, dan bukan sedang berkencan dengan Mirna.
"Aku meninggalkan mas Adhit karena mas Raka ingin aku menjemput Ananda lebih dulu."
"Iya mbak."
"Mbak Anggi habis nangis ya?"
"Oh, nggak... masa sih.. kelihatan sembab ya? Mungkin kebanyakan tidur, aku baik-baik saja kok."
"Syukurlah, sekarang aku pamit dulu ya, Ananda sudah menunggu dimobil."
"Baiklah, aku minta ma'af tak pernah ikut mengasuh Ananda, habisnya aku ini kan..."
"Nggak apa-apa mbak, mbak Anggi kan kurang sehat, lagian Ananda sudah ada yang mengasuhnya, jadi jangan difikirkan."
"Aku juga kurang cakap menimang anak kecil, itu sebabnya Tuhan tidak memberiku anak untuk ditimang."
"Sudahlah, jangan difikirkan mbak, yang penting mbak Anggi sehat," jawab Ayud sambil memeluk kakak iparnya.
***

Anggi merasa lega karena Adhit tidak pulang terlalu malam. Tapi masih ada sedikit ganjalan mengapa tadi dilihatnya Adhit berada dirumah bercat kuning itu. Anggi tak ingin menanyakannya. Sungkan kalau dia dikira cemburu, walau itu benar. Ehem...
"Katanya pulang malam mas," kata Anggi menyambut suaminya.
"Nyatanya masih sore sudah selesai, ya sudah, ngak jadi pulang malam."
"Syukurlah."
"Saya akan bantu menyiapkan makan malam dulu ya mas."
"Nggk usah, kamu disini saja, kan aku sudah bilang kamu nggak boleh melakukan apa-apa selama kesehatanmu belum pulih benar."
"Tapi aku baik-baik saja."
"Kamu kan selalu bilang begitu."
"Hanya masih sering mual, tapi nggak apa-apa, asalkan jangan dipaksa makan banyak saja."
"Yang penting bisa makan, dan jangan lupa obatnya."
"Iya, itu sudah."
Adhit memasuki kamar, dan Angggi menyiapkan ganti baju suaminya setelah mandi nanti.
Sebenarnya Anggi menunggu Adhit mengatakan sesuatu, tapi tidak ada, apalagi tentang rumah bercat kuning itu. Dibiarkannya Adhit mandi, lalu Anggi keluar dari kamar.

Angggi menunggu diruang tengah sambil menyiapkan teh hangat untuk suaminya. Dirasanya tadi wajah suaminya biasa-biasa saja. Tapi bialah, laki-laki kan pintar menyembunyikan perasaan hatinya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu," kata Adhit setelah selesai mandi dan duduk didepan isterinya. Dihirupnya teh hangat yang sudah disiapkan dimeja itu.
Anggi berdebar menunggu.
"Apa kamu mau ikut aku besok sore?"
Ah, mengapa malah mengajak bepergian. Anggi masih diam.
"Aku mengetahui sesuatu," katanya kemudian. Anggi mengangkat kepalanya.
"Aku sudah tau dimana Mirna tinggal."
Wajah Anggi mendadak berseri. Ternyata Adhit tak sejahat yang dikiranya.

Bersambung #43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER