Cerita bersambung
"Apa mas ? Mas tau dimana mbak Mirna? Mas menemuinya?"
"Tidak... ada orang yang mengatakan bahwa Mirna bekerja pada sebuah keluarga di Jl. Dr.Supomo, aku mencarinya dan sudah ketemu, tapi aku belum bertemu Mirna. Dan berarti yang digendong dirumah sakit itu bukan anaknya Mirna."
Anggi tersenyum. Tampaknya suaminya mendapat berita dari sumber yang sama. Ibunya. Kepada siapa lagi ibunya bercerita selain kepada dirinya?
"Mas tau dari siapa?"
"Dewi."
"Haaa.. itu dia.."
"Apa maksudmu?"
"mBak Dewi yang cerita ya, lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Dulu kan kamu ingin sekali segera ketemu Mirna, bagaimana kalau besok kita menemuinya?"
"Bagus mas, aku mau.. mengapa besok sore?"
"Kita tidak akan menemuinya ditempat kerja."
"Mas tau rumahnya?"
"Nanti kita akan tau."
Anggi tersenyum senang. Ia juga melihat guratan kegembiraan diwajah suaminya. Hm.. walau sedikit menyakiti, tapi tak apa, karena suaminya tidak melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi.
***
Sore hari sepulang dari kantor Adhit mengajak isterinya pergi ke jalan dr. Supomo. Anggi agak heran karena katanya mereka tidak akan menemui Mirna ditempat kerja. Tapi ketika akan bertanya, Adhit meletakkan jari telunjuknya dibibir, pertanda ia tak boleh banyak bertanya.
Mobil mereka berhenti tepat didepan rumah ber cat kuning itu, tapi diseberang jalan. Mereka mengawasi rumah bagus itu dari seberang,
"Aku tau, mas akan menunggu ketika mbak Mirna selesai bekerja?"
"Ya, kamu pintar. " kata Adhit sambil tersenyum. Anggi merasa, senyum itu teramat manis. Ia menghela nafas panjang, dan berdo'a semoga kali ini jalan bagi kebahagiaan suaminya akan terbuka. Sungguh aku rela, begitu ber kali-kali dibisikkan dalam hatinya.
Sudah satu jam mereka menunggu. Anggi tampak lelah, ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya.
"Kamu sakit ?" tanya Adhit khawatir.
"Nggak mas, mungkin karena terlalu tegang, jadi sedikit lemas."
"Sebenarnya aku ingin berangkat sendiri, tapi aku tidak bisa melakukannya. Harus ada kamu, kan kamu yang ingin bertemu sama dia."
"Memangnya mas nggak?" kata Anggi masih dengan mata terpejam, sehingga ia tak melihat mata suaminya yang berbinar.
"Ah, kamu..." hanya itu yang diucapkannya, lalu matanya kembali melihat kearah rumah dengan tembok cat kuning itu.
"Kalau kamu kecapean, kita pulang saja dulu, besok kita kemari lagi."
"Eit, jangan mas.." kata Anggi sambil mengangkat kepalanya.
"Aku nggak mau kamu lelah lalu kembali jatuh sakit."
"Aku nggak apa-apa mas, sudahlah, kita tunggu saja. Kalau sampai hari gelap dia belum juga keluar, kita akan masuk dan menanyakan kepada pemilik rumah tentang Mbak Mirna. Mungkin dia nggak masuk hari ini, atau...."
"Lihat..." kata Adhit tiba-tiba.
Anggi melongok kearah rumah itu, dan melihat bayangan Mirna keluar dari dalam. Ia tampak berdiri menunggu, kemudian sebuah mobil keluar dari belakang.
"Rupanya dia diantar oleh mobil majikannya." gumam Adhit ketika melihat Mirna masuk kedalam mobil dan keluar dari pekarangan.
"Kita ikuti mas?"
Adhit menstarter mobilnya, dan menjalankannya mengikuti mobil yang melaju membawa Mirna.
"Apakah dia akan pulang?"
"Pastinya, tapi seandainya dia mau kemana gitu, kita akan terus mengikutinya."
Mobil itu berhenti didepan sebuah gang. Adhit melihat Mirna keluar dari mobil.
Adhit menghentikan mobilnya tak jauh dari sana, dan menunggu sampai mobil yang tadi membawa Mirna berjalan menjauh. Adhit dan Anggi turun, berjalan setengah berlari kearah gang, sampai melihat bayangan Mirna.
Langkah setengah berlari dibelakangnya itu membuat Mirna menoleh kebelakang dan melihat siapa yang mengikutinya.
Mirna ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Gemetar terasa, begitu Adhit dan Anggi sampai didekatnya.
"Mirna.." sapa Adhit pelan.
"mBak Mirna, kami men cari-cari lama sekali."
"Mengapa? Mengapa ini?" tanya Mirna gugup.
Anggi memegang tangan Mirna nyang basah oleh keringat dingin.
"Dimana mbak Mirna tinggal? Kami ingin bicara."
"Ya Tuhan, bu Anggi, hentikan semua ini."
"Ijinkan kami kerumah mbak.. tolong."
"Dan tolong juga, jangan mengganggu saya lagi."
Hari mulai remang, dan cuaca sedikit mendung. Adhit melihat mata Mirna berkilat. Ada genangan air disana. Alangkah ingin Adhit memeluknya dan mengusap air mata itu.
"Mbak Mirna, aku ingin bicara. Banyak hal. Tolong ijinkan kami kerumah."
Mirna mendongak keatas. Mendung menggantung dan kegelapan mulai merayapi suasana sore itu. Dalam bingung, Anggi menarik-narik tangannya.
"Ayo mbak... dimana mbak Mirna tinggal?"
Ada gelegar dan kilat menyambar. Mirna tak bisa berbuat lain. Tak mungkin ia membiarkan tamunya kehujanan. Ia mulai melangkah pelan. Anggi dan Adhit mengikutinya.
Mirna membawanya masuk kedalam sebuah pekarangan kecil dan masuk kedalam sebuah rumah sederhana.
Begitu kaki melangkah memasuki rumah, hujan tiba-tiba turun bagai tercurah dari langit. Pintu rumah terbuka, dan sesosok laki-laki keluar, lalu memandangi mereka dengan heran.
"Nak Adhit?"
"Ma'af pak, kami mengganggu."
"Masuklah, masuklah, hujan deras sekali," pak Kadir mempersilahkan tamu-tamunya masuk kedalam dengan hati penuh pertanyaan.
Adhit dan Anggi duduk dikursi, berdampingan. Pak Kadir duduk dihadapannya dan Mirna pergi kebelakang. Mungkin untuk bersembunyi untuk tidak keluar lagi, entahlah. Tapi kemudian pak Kadir berteriak agar Mirna membawakan teh hangat untuk tamu-tamunya.
Setelah mereka ber basa-basi, akhirnya Mirna keluar dengan membawa nampan berisi cawan dengan teh hangat didalamnya.
"Silahkan diminum," katanya pelan. Tapi ketika dia mau melangkah pergi, Anggi menahannya.
"mBak Mirna, duduklah disini, ada hal penting yang akan kami bicarakan."
"Saya mohon..." kata Mirna dengan masih tetap berdiri sambil memeluk nampannya.
"Saya mohon, duduklah," kata Anggi sambil menarik tangan Mirna, yang mau tak mau kemudian duduk diantara mereka.
"Silahkan diminum dulu nak," pinta pak Kadir.
Anggi dan Adhit mengambil cawan itu dan meneguk minuman hangatnya.
"Pertama, saya ingin menanyakan sesuatu. Mungkin ini bukan siapa-siapa, tapi nggak tau kenapa, ada dorongan dihati saya untuk menunjukkannya pada mbak Mirna," kata Anggi sambil membuka tasnya, lalu mengeluarkan dompetnya, dan dari dompet itu diambilnya selembar foto.
"Apakah mbak Mirna mengenal ini ?"
Mirna menerimanya, dan tiba-tiba gemetar tangannya ketika memegang foto itu.
"Bukankah ini ibu?" kata Mirna sambil menunjukkan foto itu kepada bapaknya.
"Iya benar, ini ibumu dan... ini.."
"Itu mama saya pak.."
Adhit dan Anggi berpandangan. Adhit juga tak mengira bahwa ternyata Anggi punya sesuatu yang akan ditunjukkannya pada Mirna. Itu foto ibunya? Apa hubungannya dengan Anggi? Tanya Adhit dalam hati.
"Ya Tuhan... ya Tuhan..." keluh pak Kadir.
"Ini.. ini.. ibu saya.. dan.. apakah ini bu Susan? Saya hampir tak mengenalinya. Masih muda dan cantik." kata Mirna.
Mirna masih mengamati foto itu. Wajah ibunya itu sama dengan foto yang disimpannya ketika dia menemukan di dompet bapaknya.
"Mengapa ibu berfoto dengan bu Susan? Mereka saling mengenal?"
"Menurut mama, mbak Daniar ini putrinya bude saya. Karena ibunya sudah meninggal ketika mbak Daniar masih kecil, maka ibu saya yang merawatnya dirumah eyang. Tapi....."
"Ini semua salah saya... saya yang bersalah..." tiba-tiba pak Kadir menutup mukanya dengan kedua tangan. Mirna terkejut, ia mengelus punggung ayahnya, yang tampak tersiksa dengan kejadian itu.
"Saya sudah melarangnya, tapi dia nekat mengikuti saya, katanya dia sangat mencintai saya... lalu... saya mengajaknya pergi.. menjauhi keluarganya yang marah.. karena saya orang miskin.." bergetar suara pak Kadir ketika mengucapkan semuanya. Mirna mendengarnya dengan seksama, sambil meng elus-elus punggung bapaknya.
"Kami menikah setelah dia dibuang oleh keluarganya, lalu Mirna lahir.. tapi.. tapi rupanya dia tak tahan hidup menderita terlalu lama. Mirna masih bayi ketika dia meninggalkan saya, karena ada laki-laki lain yang lebih kaya dan membawanya pergi."
Anggi hanya mendengar sampai kakak sepupunya itu pergi bersama laki-laki miskin, yang ternyata adalah pak Kadir, tapi dia tak mengira kalau kemudian dia pergi meninggalkan anaknya yang masih bayi.
Adhit kemudian mengerti kalau pak Kadir akhirnya menikah dengan Widi dan yang berusaha membunuhnya karena dendam. Sungguh cerita yang luar biasa dan membuat semua yang hadir terdiam.
"Lalu dimana ibunya Mirna sekarang ini?" tanya Adhit.
"Lama sekeli saya mendengar bahwa dia sudah meninggal, tapi saya tidak tau dimana makamnya. Kabarnya dimakamkan dimakam keluarga suaminya."
"Oh, jadi mbak Daniar sudah tiada?"
Pembicaraan itu berkutat hanya tentang ibunya Mirna. Cerita dari pak Kadir itu baru sekarang didengar Mirna. Tentang ibunya .. yang sebenarnya adalah sepupu Anggi.
"mBak Mirna harusnya memanggil saya tante," kata Anggi sambil tersenyum.
"Saya sungguh tidak menyangka," jawab Mirna masih dengan perasaan tak menentu.
Sementara itu hujan sudah berhenti.
"Mas, sebaiknya kita pamit dulu. Ini tadi maksud kedatangan saya yang pertama. Yang selanjutnya akan saya bicarakan besok saja, bukan begitu mbak... eh.. Mirna?"
"Itu... tentang.. apa? Saya mohon .. pembicaraan yang lalu itu tidak akan berlanjut.. karena.."
"Besok aku akan menemui kamu. Kita akan bicara empat mata," kata Anggi, dengan nada setengah memaksa.
"Bu.. eh.. tante, saya mohon..."
"Besok sepulang kerja aku akan membawa kamu ketemu mama. Pasti mama akan senang."
Mirna mengangguk. Ia tau sikap bu Susan selama ini kurang baik terhadap dirinya, dan ia ingin memperbaikinya. Bukankah bu Susan ternyata masih terhitung neneknya? Aduhai...
***
Pagi harinya Anggi menemui ibunya dan menceritakan kepadanya tentang Mirna yang sesungguhnya anak Daniar. Bu Susan terkejut.
"Wajah itu, pantesan aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi yang kemudian mengingatkan aku kepada kejadian yang memalukan itu."
"Mama jangan membenci Mirna. Dia gadis yang sangat baik."
"Jangan-jangan dia seperti ibunya."
"Tidak ma, dia baik hati, dia sungguh berbeda dengan ibunya. Mungkin seperti bapaknya."
"Kamu juga bertemu bapaknya? Dia masih miskin seperti dulu?"
"Mama jangan begitu. Kata-kata mama itu seperti memandang rendah kepada seseorang yang bernasib kurang baik."
"Iya ma'af, mama salah bicara."
"Apakah mama nggak ingin bertemu Mirna?"
"Ingin sekali, dimana rumahnya?"
"Besok Anggi akan membawanya kemari, agar mama tau bahwa dia itu seorang gadis yang baik. Anggi mohon mama tidak membencinya ya."
"Semoga pertemuan itu memberikan kesan baik tentang dia. Sesungguhnya mama bukan pembenci. Baiklah, ajak dia kemari. "
***
Sore itu sepulang bekerja Adhit dan Anggi menjemput Mirna, dan mengajaknya kerumah bu Susan.
Bu Susan yang semula kesal terhadap Mirna, begitu mengetahui bahwa ia masih darah dagingnya, kemudian memeluknya dengan erat. Ada rasa haru yang menyesak ketika tangannya merengkuh tubuh gadis yang masih terhitung cucunya itu.
"Saya minta ma'af kalau selama ini membuat eyang kesal," kata Mirna.
"Sudah, lupakanlah, aku senang akhirnya bisa bertemu dengan darah dagingnya Daniar. Aku akan melupakan semuanya. Bagaimana kabar ayahmu?"
"Baik eyang. Kami hidup berdua dengan kehidupan yang sederhana. Terimakasih karena eyang mau menerima saya sebagai darah daging sendiri."
"Eyang sudah tua, eyang ingin menghilangkan rasa benci itu. Benar, kamu mirip sekali Daniar. Dia itu selalu dimanja oleh ibuku, sehingga sering kelakuannya membuat kesal semua orang. Setiap apa yang diinginkannya harus dituruti. Tapi sudahlah, apakah kamu juga manja seperti ibumu?"
"Tidak eyang, tak ada tempat untuk bermanja. Kami hidup seadanya."
Bu Susan mengangguk senang, kesan tidak suka terhadap Mirna lenyap seketika. Tapi ketika acara ramah tamah itu selesai, dan Anggi menyatakan keinginannya ingin menjadikan Mirna isteri Adhit, bu Susan marah bukan alang kepalang.
Mirna pucat pasi karena Anggi berbicara dihadapan bu Susan dan juga Adhit.
"Tante jangan begitu, saya sudah bilang.. jangan lanjutkan keinginan tante itu," kata Mirna memelas.
"Permintaan kamu itu tidak wajar Anggi! Mana ada seorang isteri mencarikan isteri lagi untuk suaminya? Dan kamu Adhit, ini karena kamu."
"Ma'af ma, ini kemauan Anggi."
"Tidak, aku tidak setuju !!" kata bu Susan setengah berteriak.
==========
Anggi mendekati mamanya, berusaha menenangkannya.
"Mama, jangan begitu, ini hidupnya Anggi.."
"Kamu terlalu bodoh Anggi !!"
Sementara itu Mirna yang tak mengira Anggi akan berterus terang disa'at itu juga, merasa terguncang. Hatinya terasa perih mendengar penolakan bu Susan yang berteriak sambil melotot ke arahnya, seakan dirinya yang bersalah.
Mirna kemudian berdiri, lalu berlari keluar rumah sambil mengusap air matanya yang menitik turun.
Melihat Mirna berlari keluar, Adhit mengejarnya.
"Mirna, tunggu Mirna," katanya sambil memegang lengan Mirna. Mirna meronta, tapi tak berhasil melepaskan pegangan itu.
Melihat kejadian itu bu Susan bertambah marah.
"Lihat itu, suami kamu Nggi.. lihat, didepan matamu dia berani me megang-megang tangan Mirna, aku sudah menduga bahwa....."
"Tidak mama, mas Adhit hanya menuruti kemauan Anggi. Mirna tidak bersalah. Dia ber kali-kali menolak..." kata Anggi memotong kata-kata mamanya.
"Lalu mengapa kamu bersikeras mempersatukan mereka? Apa kamu sudah gila? Pertahankan rumah tanggamu Anggi, jangan sakiti hatimu sendiri."
"Mama, ini semua kemauan Anggi."
"Kemauan yang bagaimana? Mana mungkin seorang isteri mencarikan isteri lagi untuk suaminya?"
Anggi memegang tangan mamanya.
"Mama tidak mengerti." kata bu Susan masih dengan tatapan marah.
"Nanti mama akan mengerti."
"Tidak kali ini. Kamu aneh, kamu terbius dengan keinginan suami kamu."
"Tidak mama, ini keinginan Anggi. Anggi ingin mas Adhit punya keturunan. Dan Mirna gadis yang tepat buat mas Adhit."
"Tidaaak.... aku tetap tidak setuju.."
"Mama, ini hidup Anggi, biarkan Anggi mencari kebahagiaan dengan cara Anggi sendiri," kata Anggi sambil memeluk mamanya, kemudian setengah berlari mengejar Adhit yang sedang memegangi lengan Mirna.
"Mirna, ma'af kalau kamu merasa kurang nyaman. Tapi ini pilihan aku, tolong penuhilah Mirna."
"Tidak, ma'af tante, mana mungkin...?" Mirna mulai terisak.
"Baiklah, kita naik ke mobil dulu saja, nanti kita bicara lagi," kata Adhit sambil menuntun Mirna masuk kedalam mobilnya. Mirna tak lagi meronta, bukan kerana kesenangan tangannya digenggam Adhit, tapi karena Anggi ikut menggandengnya.
***
Malam itu Mirna bercerita kepada ayahnya tentang semua yang terjadi. Pak Kadir mendengarkan dengan perasaan heran, mengapa Anggi bersikeras meminta agar Mirna mau diperisteri Adhit.
"Bapak tidak mengerti.." gumam pak Kadir.
"Mirna juga tidak mengerti. Mirna bingung bapak. Tante Anggi meminta dengan ber sungguh-sungguh, tapi mana mungkin Mirna bisa memenuhinya? Walau Mirna mencintai pak Adhit, tapi Mirna tak akan bersedia diperisteri olehnya."
"Kamu benar nduk, itu seperti merusak rumah tangga orang."
"Tapi tante Anggi seperti tidak mau mengerti, terus menerus mendesak Mirna agar Mirna mau menjalaninya."
"Lalu apa kita harus lari lagi nduk? Pergi dari sini, dan pindah pekerjaan lagi?" tanya pak Kadir dengan nada mengeluh.
"Mirna sudah lelah .. harus pindah dan pindah.. "
"Kalau begitu penuhilah permintaan nak Anggi."
Mirna terkejut. Dipandanginya ayahnya dengan pandangan tidak mengerti.
"Apa bapak?"
"Barangkali nak Anggi ingin agar suaminya punya keturunan."
"Ya Tuhan...." keluh Mirna sambil mengusap dua titik air mata yang membasah dipelupuknya.
"nDuk, bapak juga sedih melihatmu panik karena di kejar-kejar permintaan yang bertentangan dengan hatimu. Tapi mari kita pikirkan dengan jernih, apakah permintaan itu mengandung suatu keinginan yang mulia." kata pak Kadir setelah diam beberapa sa'aat lamanya.
"Apa maksud bapak?"
"Nak Anggi merasa tidak bisa memiliki keturunan, dan berharap suaminya menikah lagi agar bisa mendapatkannya. Itu benar bukan?"
"Aduuh, mengapa harus Mirna? Mana sampai hati Mirna melakukannya?"
"Karena nak Adhit mencintai kamu."
Bergetar hati Mirna mendengarnya. Anggi juga pernah berkata begitu. Seandainya situasi tidak seperti sekarang ini, alangkah bahagianya. Mengapa tidak dari dulu bos ganteng tertarik padanya? Dulu itu kalau sedang di kantor, bawaannya dingin dan acuh terhadapnya. Kalaupun tersenyum, walau itu menggetarkan hatinya, tapi sang bos tidak sambil memandangnya. Hatinya sendiri yang jatuh bangun memikirkannnya setiap sa'at, dan rasanya cinta itu tak pernah padam dari hatinya.
"Coba mari kita fikirkan dengan hati jernih. Kalau itu untuk sesuatu yang mulia, jalanilah. Kalau itu akan melukai orang lain, jauhilah," kata pak Kadir sambil berdiri lalu masuk kekamarnya. Barangkali laki-laki setengah tua itu juga sudah lelah memikirkannya.
"Hari sudah malam, istirahatlah," kata pak Kadir sambil menutup pintu kamarnya.
Mirna masih termangu. Terngiang kembali kata bapaknya. Kalau itu untuk sesuatu yang mulia, jalanilah, tapi kalau akan melukai orang lain, jauhilah. Sebenarnya dia ada didalam posisi mana? Yang demi perbuatan mulia, atau akan menyakiti orang lain?
Karena letih Mirna tertidur dikursi, sampai pagi datang dan pak Kadir membangunkannya.
***
Pagi itu Galang terkejut, tiba-tiba ada telepon dari besannya, agak sedikit kesal karena sang besan bicara dengan nada sengit. Ia mengatakan Adhit dan Anggi merupakan keluarga yang aneh.
"Sebenarnya ada apa bu Susan? Saya sampai tidak bisa menangkap satu persatu ucapan yang bu Susan katakan."
"Bagaimana to mas Galang, saya itu bilang tentang Adhit.. Adhitama putranya pak Galang, dan isterinya."
"Ya bu, tadi ibu katakan mereka keluarga aneh, aneh bagaimana bu?"
"Bagaimana tidak aneh, Anggi minta supaya Adhit menikah lagi."
"Oh, benarkah ?"
"Sangat benar, saya berusaha mencegahnya tapi tidak digubris. Mana ada seorang isteri mencarikan isteri lagi untuk suaminya? Nanti Anggi akan menyesal, dan hidupnya akan tersiksa."
"Saya baru mendengarnya bu, coba nanti saya akan bicara sendiri sama Adhit."
"Bagus, dan nasehati dia supaya tetap mencintai isterinya."
"Baiklah bu, kita ini sebagai orang tua mestinya hanya berharap kebahagiaan bagi anak-anak kita. Kita mungkin bisa menasehati, tapi tidak bisa memilihkan sesuatu yang bukan menjadi kehendaknya. "
"Maksud mas Galang.. kalau itu memang kemauan mereka, lalu kita tidak bisa apa-apa?"
"Begitulah bu, karena setelah menikah kan mereka berhak menentukan jalan hidup mereka sendiri. Tidak bisa kita memaksakan kehendak."
"Aduuh... bagaimana ini. Ya sudahlah, terserah. Aku juga nggak mau ikut-ikut lagi ."
"Sebaiknya memang begitu bu, karena anak-anak setelah dewasa tidak harus membebani orang tuanya dengan sesuatu yang mungkin tidak disukai orang tua. Kita hanya bisa menasehati, tapi keputusan tetap ditangan mereka."
Bu Susan memutus pembicaraan itu dengan kesal. Galang menghela nafas.
"Ada apa mas?" tanya Putri.
"Bu Susan mengeluh, katanya Anggi mencarikan isteri lagi buat suaminya."
"Haa, bukankah ibu pernah menuturkan perihal Adhit yang menyukai Mirna? Gadis itukah yang dimaksud?"
"Mungkin juga, aku tidak menanyakannya, bisa panjang nanti kalau aku mengatakan sesuatu. Tadi aku kan hanya bilang bahwa keputusan ada ditangan mereka."
"Jadi mas setuju seandainya Adhit menikah lagi?"
"Setuju atau tidak, kalau Anggi sudah memintanya. Apa lagi yang bisa kita perbuat?"
"Tapi sebaiknya mas bicara lagi sama Adhit. Kita kan hanya mendengar dari ibu dan belum pernah Adhit mengatakannya. Yah, biarpun kita tak bisa mengatur kehidupan mereka, tapi kan ada baiknya kalau orang tua mengetahui apa keinginan anaknya."
"Baiklah, nanti di kantor aku akn menelpon Adhit."
***
Dan pagi itu setelah menelpon Galang, bu Susan pergi ke toko Dewi. Bukan hanya sekedar belanja, tapi ingin mengadu tentang perasaannya setelah Anggi memutuskan untuk menjadikan Mirna madunya.
"Coba jeng pikir, bukankah itu aneh? Apa salah kalau aku bilang tidak setuju, coba jeng, bagaimana menurut jeng Dewi," omel bu Susan.
Dewi yang semula hanya mendengarkan, mengatakan hal yang hampir sama dengan tanggapan Galang besannya.
"Bu, ketika anak sudah dewasa, dia berhak menentukan apa yang akan ditempuhnya. Mereka pasti sudah mempertimbangkan baik buruknya."
"Tapi bukankah sebagai orang tua kita wajib mengingatkan?"
"Benar bu, mengingatkan, mengarahkan, tapi akhirnya keputusan akan ada ditangan mereka."
"Hm... sial benar kalau sebagai orang tua sudah tidak digubris nasehatnya."
"Bukan begitu bu, ibu salah menafsirkan. Kalau anak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kemauan orang tuanya, bukan berarti dia tidak menggubrisnya. Dewi yakin seorang anak tak akan pernah mengesampingkan orang tuanya."
"Buktinya kan dia tidak menurut."
"Mereka bukan lagi anak kecil, bahwa apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan kemauan orang tua, mungkin mengecewakan, tapi orang tua tidak boleh terlalu sakit hati, karena mereka sudah dewasa, dan mereka akan melangkah dengan sebuah pertimbangan yang sudah masak digodognya."
"Jadi aku harus diam saja?"
"Orang tua hanya membimbing, dan memberikan restu agar anak-anak hidup berbahagia, dan mendo'akan agar yang dipilihnya adalah yang terbaik bagi hidupnya."
Bu Susan mengangguk-angguk. Kembali ia mendengar penuturan yang sama. Barangkali ia akan memikirkannya setelah belanja nanti.
***
Tapi pagi itu setelah makan pagi dan sebelum berangkat ke kantor, Adhit bertanya lagi pada Anggi tentang keinginannya.
"Anggi, sebaiknya kamu fikirkan lagi keinginan kamu itu."
"Keinginan yang mana mas?"
"Tentang Mirna."
"Oh, itu.. apa mas fikir aku belum memikirkannya?"
"Ini masalah yang cukup berat untuk sebuah rumah tangga. Kamu kan tau bahwa aku tak mau menceraikan kamu? Apapun yang terjadi ini pilihan aku."
"Ya aku tau."
"Dan seperti banyak orang katakan, hidup dimadu itu menyakitkan."
"Tapi itu kan kemauan Anggi mas, bukan kemauan mas. Mungkin mas mau, tapi cuma disimpan dihati. Tapi aku akan mewujudkannya."
Adhit cemberut. Ada rasa kurang enak ketika Anggi mengatakan bahwa dia sebenarnya mau tapi disimpan dalam hati. Benarkah? Barangkali juga benar, tapi masa dia mau mengakuinya.
"Mas, jangan cemberut begitu. Jelek tau !!" canda Anggi.
"Fikirkanlah kembali masak-masak sebelum kamu menemui Mirna lagi," pesan Adhit sebelum berangkat ke kantor.
***
Sepanjang mengerjakan tugasnya itu hati Mirna gelisah bukan alang kepalang. Ia sedang menimbang mulia kah apa yang akan dilakukannya seandainya dia mau, atau justru akan melukai perasaan Anggi? Tapi mengapa Anggi berkeras memaksanya? Dan mengapa ayahnya kemudian juga seperti mendorongnya?
Seperti janjinya, sore itu Anggi menjemput Mirna ditempat kerjanya. Ia sudah mencarter taksi yang akan membawanya ke sebuah rumah makan tak jauh dari sana, agar bisa berbicara leluasa.
"Sebenarnya saya masih kenyang tante," kata Mirna ketika Anggi menawarkan menu makan mana yang dia pilih.
"Pilih saja yang bukan nasi, yang tidak membuat kamu kekenyangan. Selat Solo saja?"
"Baiklah, terserah tante saja." jawab Mirna yang merasa lebih bebas berucap setelah mengetahui bahwa Anggi masih terhitung tantenya.
Mereka memesan makanan dan minuman, tapi tak banyak yang dikatakan Mirna. Ia sungguh sangat gelisah. Ia tau Anggi pasti akan mengulang permintaan yang diucapkannya sejak berbulan-bulan lalu.
"Mengapa kamu diam saja Mirna?"
"Saya harus ngomong apa tante?"
"Ngomongnya nanti setelah makan saja, takutnya kamu akan kehilangan selera kalau aku ngomong sekarang."
Mirna menghela nafas. Ia mengaduk es jeruk yang sudah disajikan lebih dulu, lalu menghirupnya perlahan. Ia sudah tau apa yang akan dikatakan Anggi, tapi ia belum tau harus menjawab apa. Masih terngiang teriakan bu Susan ketika mendengar Anggi mengatakan keinginannya.
"Aku tidak setujuuu...!" teriakan itu kembali bergema ditelinganya.
Mirna meneguk kembali minumannya.
"Ayo makanlah, pesanan sudah disajikan tuh," kata Anggi sambil mendekatkan piring makanan kehadapan Mirna, juga untuk dirinya sendiri.
Mirna makan sambil terus menerus berfikir tentang apa yang harus dilakukannya. Sungguh ia tak percaya kalau Anggi tak akan sakit hati seandainya bermadu dengan dirinya.
"Mirna..."
Mirna mengangkat kepalanya. Tak terasa ia telah melahap makanannya, tanpa merasakan nikmatnya. Dilihatnya Anggi sudah menyilangkan sendok garpunya, dan menyisihkan piringnya dari hadapannya. Mirna juga mendorong piring bekas makanannya kesamping, lalu meneguk minumannya.
"Pasti kamu sudah tau apa yang akan aku katakan bukan?"
Mirna tak menjawab. Ia menatap Anggi lekat-lekat. Wajah cantik itu tampak begitu tulus menginginkan kebahagiaan suaminya.
"Aku sudah memikirkannya. Aku sangat mencintai mas Adhit, dan tak ingin dia menderita. Kecuali itu mas Adhit ingin memiliki keturunaan, sedangkan aku tak bisa mewujudkannya."
"Ini permintaan yang sulit tante. Dan tante juga harus memikirkan kedepannya nanti. Satu yang harus tante ketahui adalah, bahwa saya tak ingin merusak rumah tangga orang, apalagi tante adalah kerabat saya sendiri."
"Berbulan-bulan aku memikirkannya, dan keputusanku sudah bulat. Tolong Mirna, mari kita hidup bersama dan saling membahagiakan suami kita."
Ya Tuhan, suami kita, meremang bulu kuduk Mirna mendengarnya. Tak ada jawaban keluar dari bibirnya. Kembali manik-manik bening terlontar dari sepasang mata indahnya.
"Mirna, percayalah bahwa aku rela berbagi. Atau.... kamu baru akan bersedia menjalani setelah aku mati ?"
Mirna terlonjak mendengarnya.
Bersambung #44
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel