Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 04 September 2021

Dalam Bening Matamu #44

Cerita bersambung

Mirna tercengang mendengar kata-kata "mati". Mengapa Anggi mengatakannya? Dipandanginya perempuan cantik yang masih terhitung tantenya itu lekat-lekat. Anggi tersenyum. Lalu ditariknya tangan Mirna, dielusnya lembut.
"Itu kan yang kamu inginkan? Baru mau kalau aku sudah mati?"
Mirna meremas tangan Anggi.
"Mengapa tante berkata begitu? Itu sangat mengerikan bagi saya. Saya ingin tante selalu sehat dan berbahagia."
"Kalau begitu penuhilah permintaanku."
"Tante, sungguh saya tak sampai hati melakukannya. Saya seperti telah merebut kebahagiaan tante."

"Tidak, kamu tidak merebut kebahagiaanku Mirna, aku berikan kebahagiaan untuk kamu dan mas Adhit, dan itu tidak mengurangi kebahagiaanku. Kita akan bahagia bersama-sama."
Mirna terdiam beberapa sa'at.
"Katakan "ya"... Mirna..."
"Ijinkan saya memikirkannya lebih jauh tante."
"Sudah berbulan-bulan aku mngatakannya, dan kamu sudah tau bahwa keinginanku tak akan surut. Mau menunggu berapa lama lagi?"
"Saya harus meminta pertimbangan juga dari bapak."
"Tapi intinya adalah... bahwa kamu mau kan?"
Mata Mirna basah penuh resah. Hatinya ter ombang-ambing antara mau dan tidak. Ia terharu ketika Anggi mengambil selembar tissue dan diusapkannya kematanya. Mirna memegang tangan Anggi erat-erat.
"Kita akan bahagia bersama-sama Mirna. Percayalah.." bisik Anggi penuh perasaan. Tak urung berlinang juga air matanya ketika kemudian mereka berpelukan.

"Aku akan bilang pada mas Adhit. Besok kami akan kerumah kamu untuk melamar."
"Aap...apa?" gugup Mirna ketika menjawabnya.
"Iya Mirna, kami akan datang kepada pak Kadir, untuk melamar kamu."
"Tapi, bukankah eyang Susan tidak setuju?"
"Nanti mama akan mengerti. Ini hidup kita, kita yang akan menjalaninya."
"Ya Tuhan... apa yang terjadi pada hidupku ini?" desah Mirna sendu.
"Apa kamu masih ragu-ragu?"
"Tante...."
"Aku tau kamu mau menjalaninya. Besok kami sungguh-sungguh akan datang. Bukankah besok kamu libur?"
Mirna tak menjawab apapun. Hatinya masih diliputi rasa bingung dan kacau, semuanya jadi seperti mimpi...sampai ketika  kemudian Anggi mengantarnya kerumah, Mirna berjalan bagai melayang tak menginjak tanah. Dihempaskannya tubuhnya diatas kursi, dipejamkannya matanya sambil disandarkannya kepalanya pada sandaran kursi. Tak sadar dia bahwa mata tua pak Kadir menatapnya penuh tanda tanya. Tapi pak Kadir bisa menangkap wajah yang tampak lelah itu serta merasa yakin bahwa anaknya bukan sedang berduka.
***

Anggi langsung pulang setelah mengantarkan Mirna. Disepanjang jalan dia berfikir, apakah benar langkah yang diambilnya? Walau diyakininya sejak awal pernikahannya dengan Adhit, tapi merelakan suamainya menikahi perempuan lain, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sekarang dia sudah melangkah. Ibarat orang mau memasuki rumah, dia sudah sampai dipintu, sudah memegang pegangan pintu itu, dan nyaris membukanya lebih lebar.
"Aku tak boleh ragu, ini hidup yang harus aku jalani," bisiknya ketika turun dari taksi dan melangkah perlahan menuju rumah.

Begitu menginjakkan kakinya diteras, sebuah teguran menyambut kedatangan Anggi.
"Anggi, kemana saja kamu? Pamit sebentar tapi sudah malam baru pulang." tegur  bu Broto.
"Ma'af eyang, ayo kita duduk, Anggi akan mengatakan sesuatu," kata Anggi sambil menarik tangan bu Broto, dan diajaknya bu Broto duduk dikursi yang ada di teras itu.
"Untung suamimu belum pulang, kalau sudah, pasti eyang kena tegur karena membiarkan kamu pergi sendirian."
"Tidak eyang, mas Adhit nggak akan marah," jawab Anggi sambil tersenyum.
"Kamu juga belum minum obat yang seharusnya kamu minum sore tadi."
"Sudah eyang, sudah Anggi minum sebelum berangkat tadi. Dengar eyang, Anggi mau mengatakan sesuatu."
"Apa itu?"
"Besok .. Anggi sama mas Adhit mau pergi untuk melamar Mirna."
Bu Broto tercengang. Anggi mengucapkannya dengan enteng, tanpa beban. Benarkah apa yang dikatakannya? Tapi bu Broto tak mampu ber kata-kata. Dipandanginya Anggi tanpa berkedip. Dilihatnya wajah cantik itu tetap mengucapkannya dengan senyuman. Benarkah Anggi siap untuk dimadu?
"Anggi, hidup itu bukan permainan. Sekali melangkah kamu harus tetap melangkah."
"Anggi sudah memikirkannya eyang. Anggi rela berbagi, demi kebahagiaan mas Adhit."
Bu Broto pernah mendengar ucapan Adhit yang walau hanya beberapa kata tapi bisa ditangkapnya, yaitu tentang Mirna yang dicintainya. Tapi dia sungguh tak menyangka bahwa Anggi akan berbuat senekat itu.
"Kamu yakin akan keputusan kamu Nggi?"
"Sangat yakin eyang. Dengar, tak lama lagi eyang akan menimang cucu, dan Ananda akan segera mendapatkan teman untuk bermain," kata Anggi sambil, berdiri, kemudian mencium pipi bu Broto, dan melangkah kekamarnya.
Bu Broto menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak beranjak dari tempat duduknya dan diam-diam berdo'a demi kebahagiaan anak cucunya.
***

Adhit belum pulang malam itu. Anggi merebahkan tubuhnya diranjang. Ia merasa hidupnya akan berubah. Ranjang ini akan menjadi milik Adhit dan Mirna. Ranjang ini akan menjadi saksi kebahagiaan yang sesungguhnya, dari sepasang anak manusia yang saling mencintai. Tak ada lagi jerit pedih dan perih, tak ada lagi desah-desah nikmat yang penuh kepalsuan, hanya nafsu dan bukan cinta. Ya Tuhan... Ya Tuhan... akan bagaimanakah hidupku nanti? Tak terasa pipi mulus itu basah oleh air mata. Tak bisa ditahannya.
"Sedihkah aku?" isaknya perlahan diantara tangis.
"Benarkah aku siap untuk berbagi? Benarkah siap aku tinggalkan ranjang ini untuk aku berikan kepada perempuan pesaingku? Perempuan pilihan suamiku? Maduku? Benarkah aku rela? Tapi mengapa air mata ini tak bisa aku bendung lagi? Ini air mata kesedihan? Aduhai cinta, alangkah berat pengorbanan ini... "
Lalu diusapnya kasur busa tempatnya berbaring.
"Selamat tinggal ranjang yang penuh kenangan, selamat tinggal desah-desah yang menggema dibilik ini.. selamat tinggal tempatku terbuai oleh ayunan nafsu dan penyesalan.." lalu tangis itu semakin keras. Anggi membenamkan kepalanya pada bantal, menghabiskan tangisnya disana.
"Sudah, jangan menangis Anggi, ini keinginan kamu, ini jalan hidup kamu.. pilihan kamu," desahnya sambil membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang selalu menjadi saksi atas pedih dan perihnya hati Anggi.

Diusapnya air matanya, lalu dia bangkit, pergi kekamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan dinginnya air, agar teredam juga darah kesakitan yang nyaris mendidih. Ketika didengarnya pintu kamar terbuka, lalu didengarnya sebuah panggilan, Anggi mengguyurkan air semakin keras, dari ubun-ubunnya.
"Anggi...." suara Adhit setengah berteriak.
"Ya, aku lagi mandi mas," jawab Anggi juga sambil berteriak, berpacu dengan derasnya air yang mengguyur, dan derasnya air mata yang mengucur.
"Anggi, bolehkah aku ikut mandi bersama kamu?"
"Tidaaak, jangan mas...aku hampir selesai," teriak Anggi.
Adhit menuju ke pintu kamar mandi, mencoba membukanya, tapi Anggi menguncinya dari dalam. Jangan sampai ada buih-buih cinta yang sesungguhnya nafsu, terburai dikamar mandi ini, bisik batin Anggi.
"Anggi...!"
"Aku sudah selesai, aku mau keluar !!"
Adhit menjauhi kamar mandi. Tapi agak lama Anggi belum juga keluar.
"Anggi, cepat mandinya, nanti kamu masuk angin," teriak Adhit sambil melepas baju kerjanya. Sesungguhnya ia ingin bertanya tentang pertemuannya dengan Mirna sore tadi, tapi ditahannya. Ia tak mau Anggi mengira dirinya terlalu bernafsu.
***

Ketika kemudian keduanya terbaring ditempat tidur, Anggi bertutur tentang pertemuannya dengan Mirna.  Adhit mendengarkan dengan seksama, bersikap seolah berita itu biasa-biasa saja.
"Besok kita akan melamarnya."
"Apa?" Adhit terkejut, diangkatnya kepalanya yang kemudian ditumpu oleh sebelah tangannya.
"Seneng kan?" ejek Anggi.
"Kamu jangan bercanda Anggi."
"Aku merayunya habis-habisan. Nggak mudah meluluhkan hatinya. Dia benar-benar perempuan yang hebat. Dia akan menjadi isteri mas yang sangat baik."
"Anggi, apakah kamu sudah memikirkannya? Hidup bermadu... fikirkan baik-baik."
"Apa mas tidak mencintainya?"
"Itu bukan jawaban yang aku minta."
"Tapi mas juga harus menjawab pertanyaan itu."
"Gimana sih, pertanyaan belum dijawab kok mengajukan pertanyaan lain."
"Pertanyaan mas itu sudah sering mas ajukan, aku sudah menjawabnya dan sampai aku bosan."
"Anggi, tiba-tiba kamu bilang akan melamarnya, mengapa tiba-tiba?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
"Kamu sudah tau jawabannya, tapi itu bukan alasan untuk mencarikan kamu seorang madu. Tidak Anggi. Cinta itu tidak harus memiliki bukan?"
"Tapi kalau bisa memiliki, itu adalah kebahagiaan."

Adhit merebahkan kembali kepalanya. Tak terbayangkan bahwa Anggi sungguh-sungguh akan melamar Mirna untuk dirinya. Ada perasaan tak enak.. walau dia mengharapkannya.
"Tidak Anggi, fikirkan sekali lagi. Sungguh aku tak ingin kamu terluka."
"Nggak mas, ini keinginanku, ikhlas aku berbagi bersama Mirna. Sekarang aku mau tidur, aku akan menikmati tidur disini untuk beberapa hari kedepan, karena tak lama lagi ranjang ini akan menjadi milik Mirna."
Teriris hati Adhit mendengar penuturan isterinya. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan isterinya, kemudian memeluknya erat.
"Ini bukan kemauan aku Nggi, sungguh, hidup kita ini aku yang memilihnya, akan aku genggam seperti janjiku," bisik Adhit.
"Aku ingin mas melakukannya. kita akan bahagia bertiga."
***

Galang terkejut ketika pagi itu Adhit menelphone. Dia bersama Anggi akan melamar Mirna? Diserahkan ponselnya kepada isterinya, agar Isterinya bisa mendengarnya langsung.
"Apa mas?" tanya Putri ketika Galang mengangsurkan ponselnya.
"Itu lho, Adhit sama Anggi mau melamar Mirna."
"Apa? Jadi melamar? Semalam ibu sudah menelphone. Aku hampir tak percaya Anggi rela berbagi suami."
"Aku sudah pernah menasehati Adhit. Dia mengakui bahwa dia mencintai Mirna, tapi tak ingin berpisah dengan isterinya. Sudah terima dulu, malah ngobrol sama aku, kamu tuh."
"Hallo Dhit," sapa Putri kepada anaknya.
"Ibu, Adhit sudah bilang sama bapak, kami mohon do'a restu."
"Isterimu itu luar biasa Dhit."
"Iya bu, ini juga keputusan dia. Kami cuma mohon do'a restu agar hidup kami tetap bahagia."
"Ibu sama bapak nggak bisa ngapa-ngapain Dhit, kalian bukan anak kecil lagi. Kami hanya akan berdo'a untuk kebahagiaan kalian."
"Kalau kamu menikah nanti, ibu sama bapak akan berusaha datang."
"Terimakasih bu."
Namun ketika ponsel itu ditutup, Putri dan Galang masih seperti orang bingung. Tak percaya Anggi rela melakukannya.
***

Ketika melamar itu, tak banyak yang bisa dilakukan pak Kadir. Seperti juga Galang, ia menyerahkan kepada yang mau menjalani. Barangkali Mirna juga sudah letih bersembunyi, atau juga desakan Anggi yang ber tubi-tubi membuatnya akhirnya menyerah. Tapi ia belum mendengar sendiri semuanya dari Adhit. Benarkah Adhit mencintainya?
"Mirna, hari ini aku mau mengajak kamu menemui mama," kata Anggi mengejutkan Mirna. Bukankah bu Susan sangat menolak keinginan Anggi itu?
"Jangan sekarang, saya belum siap," jawab Mirna pelan.
"Belum siap apanya? Haa.. aku tau, so'alnya mas Adhit belum pernah bicara. Ayo mas, bicaralah," kata Anggi sambil memandangi suaminya yang sejak tadi hanya diam, dan bermain-main dengan ponselnya.
"Aap..apa?"
"Mas, dari tadi kan aku yang bicara. Mas Adhit kenapa diam saja?"
"Karena kamu sudah bicara, ya aku diam, masa dua-duanya bicara bareng?"
"Iih, bercanda deh. Sekarang katakan pada Mirna, bahwa mas sungguh-sungguh mencintainya."
"Ak..aku mengatakannya? Bukankah kamu sudah?"
"Mas Adhit harus mengatakannya dihadapan Mirna, supaya dia merasa mantap, dan tidak ragu-ragu dalam menerima lamaran kita ini."
"Masa aku harus mengatakannya?"
"Harus !!"
Mirna menundukkan kepala. Jantungnya berdebar lebih keras, harap-harap cemas ketika menunggu ucapan cinta itu keluar dari mulut bos ganteng yang dicintainya.
"Mas !"
"Mirna, aku mencintai kamu," akhirnya suara itu keluar, Berlinang air mata Mirna. Ada bahagia yang membuncah.
Anggi tersenyum, tapi batinnya menjerit. Dia belum pernah mengucapkan itu dihadapanku... Aduhai... lalu titiklah air matanya, tak tertahankan lagi.
"Anggi..." Adhit menyentuh lengannya.
"Aku terharu mas, ini kebahagiaan kita," bisiknya sendu.

==========

Mirna tertunduk, ada bahagia yang disembunyikan dibalik senyumnya. Bagaimanapun ia merasa sungkan ketika seorang suami menyatakan cinta kepada perempuan lain, didepan isterinya.
Anggi menelan kegetiran itu dalam hati. Senyumnya melebar, digenggamnya tangan Mirna erat-erat, dengan telapak tangan yang sama-sama berkeringat.
"Kau sudah mendengar Mirna, dan mas Adhit tak pernah membohongi perasaannya. Itu sebabnya aku tau bahwa dia sangat mencintai kamu sejak lama."
Mirna menghela nafas. Seperti mimpi rasanya dilamar oleh seorang isteri, demi suaminya. Pak Kadir yang diam sedari tadi, akhirnya angkat bicara.
"Bagaimanapun, saya sebagai orang tua tidak bisa memaksakan kehendak. Baiklah, memang urusan cerai antara Mirna dan Aji sudah selesai. Saya percaya anak saya akan melakukan hal terbaik yang akan membuatnya bahagia. Dulu saya pernah melakukannya dan ternyata gagal. Bukan bahagia yang didapat Mirna tapi derita. Sekarang ini, Mirna sudah lebih dewasa. Saya berharap untuk kehidupan selanjutnya dia tak akan gagal lagi. Jadi, saya titipkan anak saya pada nak Adhit dan nak Anggi, lindungi dan sayangi dia, dan hapus air mata yang selama ini selalu menggenangi pelupuknya."
"Saya akan melindungi dan mencintai kedua isteri saya nanti, dengan sepenuh hati saya, tanpa membedakan antara satu dan yang lainnya," janji Adhit sambil menatap Anggi dan Mirna bergantian.
"Terimakasih sebelumnya nak Adhit, dan juga nak Anggi," jawab pak Kadir dengan mata berkaca-kaca.
"Kita akan berbahagia bersama pak Kadir, percayalah," kata Anggi meyakinkan.
Begitu pembicaraan itu usai, Adhit mengajak Anggi dan Mirna pergi menemui bu Susan. Walau tekatnya sudah bulat, Adhit merasa bahwa restu seorang tua juga amat diperlukan.
***

Namun tanggapan bu Susan sudah lebih lunak dari sebelumnya. Mungkin kata-kata Galang, dan juga Dewi yang pernah menjadi tempat berkeluhnya, telah sedikit membuka hatinya untuk bisa memahami keinginan anaknya. Apalagi ketika begitu datang, ketiganya segera bersimpuh dihadapannya, merangkul kakinya tanpa mengucapkan kata-kata.
"Ada apa ini? Apa maksudnya kalian bertiga bersimpuh disini?" kata bu Susan pelan, setitik demi setitik rasa gusarnya berjatuhan, yang ada hanyalah haru yang memenuhi dadanya.
"Mama, kami mohon restu," kata Adhit yang disusul Anggi dengan kata-kata yang sama.
"Eyang, ma'afkan Mirna," bisik Mirna sambil tersedu. Ia bahkan kemudian merangkul kaki bu Susan erat-erat.

Mirna sudah mendengar perihal ibunya yang membuat bu Susan sedih dan kecewa, sekarang ia akan menebusnya dengan sungguh-sungguh memohon ampunannya.
"Dan ma'afkan juga semua kesalahan almarhum ibu," lanjutnya tanpa melepaskan pelukannya.
Tak urung runtuhlah air mata bu Susan. Ia adalah seorang ibu, kebahagiaan mana yang bisa dirasakan kecuali melihat anaknya bahagia juga?
"Sudah, sudah, kalian berdirilah, ayo berdiri."
"Mirna mohon ma'af, untuk Mirna, dan untuk almarhum ibu Daniar," Mirna belum melepaskan pelukannya.
"Baiklah, baiklah.. aku akan melupakan semuanya, aku ma'afkan ibumu, "
"Dan juga Mirna, eyang."
"Ya, juga untuk kamu, sudah, berdirilah."
Mirna berdiri, Adhit dan Anggi membantu mengangkat lengannya di kanan-kiri. Bu Susan meng geleng-gelengkan kepalanya, melihat kerukunan diantar mereka. Apa lagi yang bisa dia lakukan untuk menentangnya?
Ketika mereka duduk, bu Susan memandangi ketiganya brganti-ganti.
"Adhit, dulu aku menitipkan Anggi, agar kamu bisa melindungi dan mencintainya. Sekarang aku ingin meminta hal yang sama. Dan lagi, jangan biarkan Anggi tersiksa, sedih, merana."
"Saya berjanji ma, mama tidak usah khawatir," jawab Adhit.
***

Pernikahan itu tidak diadakan dengan pesta yang meriah. Mirna yang memintanya. Tapi ada rasa bahagia karena kedua orang tua Adhit, orang tua Mirna dan Anggi datang menghadirinya. Itu sebuah wujud dari restu orang tua, dan itu juga melegakan semuanya.
Agak rikuh juga ketika Mirna harus seatap dengan Anggi. Ia diberi kamar tersendiri, bukan kamar Anggi yang terdahulu. Mirna yang menolaknya, karena tak ingin menghapus kenangan tentang kebahagiaan Anggi ketika menikah dengan Adhit. Barangkali kamar itu penuh cerita, penuh kenangan, dan Mirna tak ingin merubahnya.

"Mengapa Mirna, itu kamar terbesar dirumah ini," kata Anggi waktu itu.
"Jangan tante, itu akan tetap menjadi kamar tante. Biarlah aku dikamar yang berbeda."

Rumah keluarga Subroto memang lumayan besar. Ada banyak kamar didalamnya, dan tak sulit memilih yang ternyaman bagi masing-masing untuk menempatinya.
Di hari pertama pernikahan Adhit dan Mirna, Anggi berpamit untuk pergi kerumah mamanya. Mirna menahannya dan bersikeras ingin ikut, tapi katanya ada pertemuan keluarga almarhum papanya diluar kota. Banyak alasan untuk memberi kesempatan untuk berduaan bagi pengantin baru, pikir Anggi. Walau perih tapi rela, apakah ia harus menangisinya? Tidak, Anggi berusaha tegar, tak ada wajah suram, tak ada air mata. Biarlah tangis itu mengendap dalam hati.
Tapi Adhit dan Mirna tau, Anggi sedang memberinya kesempatan agar mereka bisa berduaan, menikmati malam-malam mereka dengan penuh bahagia. Melampiaskan segenap cinta yang terpendam, dalam aroma sorga yang membuai dan memabokkan.
"Mirna, aku bahagia akhirnya bisa menemukanmu," bisik Adhit di malam pertama ia bisa memeluknya dalam suka cita.
"Saya tidak mengira bisa menjalani hidup seperti ini. Saya tidak mengira tante Anggi memiliki hati mulia seperti mutiara," tukas Mirna.
Adhit mengecup kening Mirna, menyibakkan anak rambut yang terurai didahinya.
"Jangan membuat tante Anggi bersedih," bisik Mirna sendu.
"Tentu tidak," jawab Adhit sambil mengecup bibir tipis Mirna.
"Bapak harus mencintainya seperti bapak mencintai saya."
"Aku berjanji."
Lalu tirai-tirai malam tersibak oleh desah angin yang menderu, mengoyak keheningan yang mencekam, dan bintang-bintang dilangit bagai memercikkan kembang api, berburai-burai menghiasi langit biru.
***

Hari itu Dinda mnemui Anggi dirumah mamanya. Wajah cantiknya muram karena kesal terhadap sahabatnya. Dulu ketika pernikahan Adhit dan Mirna dia tidak bisa datang karena sedang menghadapi ujian. Sekarang dia enggan menemui kakaknya karena masih menganggap Adhit melukai hati Anggi. Tapi dengan penuh kesabaran Anggi menenangkan hati Dinda.
"Kamu tidak perlu sewot kepada mas Adhit, dia tidak bersalah."
"Tidak bersalah? Dia mengingkari janjinya, dia mempunyai isteri lagi dan mengesampingkan kamu kan?"
"Tidak Dinda, kamu jangan salah sangka, akulah yang menjodohkan Mirna dengan mas Adhit. Aku yang ingin mereka menikah."
"Memang kamu sudah gila. Aku juga mendengar semua itu dari mbak Ayud."
"Kalau begitu jangan marah-marah pada mas Adhit. Dengar, mas Adhit harus punya keturunan. Walau dia tak mengatakannya, aku tau dia ingin. Aku berharap mereka segera memilikinya."
"Anggi, aku baru tau ada perempuan seperti kamu."
Anggi hanya tertawa.
"Hari ini aku mau pulang, sudah seminggu aku meninggalkan rumah, kamu mau ikut?"
"O, jadi kamu sedang memberi kesempatan agar mereka berduaan?"
"Iya lah, kalau aku ada dirumah, mereka akan sungkan bermesraan. Ya kan?"
"Aduhai bidadari tanpa cela... aku harus belajar untuk bisa mencintai dengan sebenar-benarnya cinta, seperti kamu. Tapi aku jadi takut punya suami."
"Hush, mengapa takut? Punya suami itu menyenangkan," canda Anggi.
"Bagaimana rasanya jika suami mencintai perempuan lain? Ya Tuhan, aku pasti akan menghajar dua-duanya sampai kapok."
Anggi tertawa.
"Yang aku alami ini kan berbeda Din, jangan samakan nasib aku ini dengan nasib semua perempuan. Aku bahagia bisa melakukan ini, membahagiakan orang yang aku cintai."
"Ya, aku kan sudah bilang kamu ini bidadari sorga yang tak ada cacat celanya."
"Sudah jangan cerewet, ikut yuk, pasti mas Adhit juga kangen sama kamu."
"Ogah, aku mau pulang saja, nanti kalau aku sudah bisa meredam rasa kesal aku, baru aku mau menemui mereka."
"Mengapa kesal Dinda? Aku yang menjalani saja bisa ter tawa-tawa, kok kamu yang kesal."
"Karena aku tidak percaya tak ada luka dihati kamu."
"Dinda..."
"Itu benar kan? Ya sudah, aku pulang dulu saja, titip salam saja buat mas Adhit dan Mirna. Eh.. nggak jadi, nggak usah nitip apa-apa. Daaag Anggi," kata Dinda sambil berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Anggi yang termangu didepan pintu.
"Karena aku tidak percaya tak ada luka dihati kamu," kata Dinda terngiang kembali ditelinganya.
Benarkah tak ada luka ? Anggi menepiskannya, lalu bersiap untuk kembali pulang kerumah.
***

Ketika sampai dirumah, dilihatnya Mirna tak ada. Bu Broto sedang memberi petunjuk pada yu Supi tentang apa-apa yang harus dimasaknya. Anggi langsung kedapur, lalu memeluk bu Broto dari belakang.
"Aduh Anggi, eyang kaget bener... ya Tuhan, hampir copot jantung eyang nih," canda bu Broto sambil membalas pelukan Anggi.
"Eyang lagi ngapain?"
"Lagi itu, mengatur masakan yang mau dimasak Supi, ayo kedepan, kamu nggak usah ikut-ikut kedapur," kata bu Broto sambil menarik tangan Anggi diajaknya keruang tengah.
"Lama sekali kamu perginya nduk."
"Masa sih lama. Anggi ketemuan sama saudara-saudaranya papa yang ada diluar kota, tapi kemarin sore sudah pulang."
"Apa kabar kamu?"
"Seperti eyang lihat, baik eyang."
"Kamu kan masih harus minum obat?"
"Oh, iya eyang, Anggi minum terus kok, tinggal dua hari lagi habis."
"Kalau begitu bilang sama suamimu agar mengantar kamu kontrol lagi."
"Sudah ah, sudah baikan nih eyang, sudah doyan makan, nggak lemes-lemes.."
"Tapi tetep harus kontrol, jangan ngeyel."
"Kok sepi, Mirna mana ?"
"Lagi keluar sama Adhit, katanya mau beli apa.. gitu, eyang nggak tau. Tapi sudah dari tadi kok."
"Oh, ya udah. Mas Adhit belum ke kantor lagi ya?"
"Belum, katanya baru Minggu depan. Besok mereka mau ke Tawangmangu, tapi berangkatnya menunggu kamu pulang."
"Lhoh, mengapa harus menunggu Anggi eyang?"
"Pastinya akan mengajak kamu juga kan?"
"Nggak ah, lebih baik Anggi dirumah saja sama eyang."
"Mereka bilang nggak akan berangkat kalau kamu nggak ikut.."
"Masa sih?"
"Itu benar Nggi, " tiba-tiba Adhit dan Mirna sudah muncul diantara mereka.
"Eh, sudah pulang?" sapa Anggi sambil berdiri, memeluk lalu mencium Mirna dengan hangat.
"Tante perginya lama sekali," tegur Mirna sambil membawa belanjaannya kebelakang.
"Iya, acara kumpul-kumpulnya baru usai."
Adhit kemudian duduk disamping Anggi.
"Besok ke Tawangmangu ya?" kata Adhit.
"Nggak mas, Anggi nggak usah ikut."
"Kenapa Nggi?
"Ya nggak kenapa-kenapa, ini kesempatan bagi mas untuk berbulan madu. Masa harus sama aku juga?"
"Anggi, Mirna nggak akan berangkat tanpa kamu."
"Nggak, nanti Anggi bilang sama Mirna. Mas saja berangkat berdua."
"Nggak tante, tante harus ikut," kata Mirna yang kemudian ikut duduk bersama mereka.
"Mirna, jangan memaksa tante, tante sudah lelah karena baru kemarin pulang dari bepergian sama keluarga papa."
"Kita kan nggak akan ber capai-capai Nggi, aku mengajak pak Sarno, kita akan santai disana."
"Aku pijitin tante kalau lelah."
Karena dipaksa akhirnya Anggi setuju ikut pergi keesokan harinya.
***

Pak Sarno sang sopir heran, melihat dua perempuan yang bermadu tampak rukun dan bersahabat. Jarang yang bisa menjalaninya. Sementara Adhit duduk disamping kemudi, Mirna dan Anggi duduk dibelakang sambil bercanda. Pak Sarno jadi senyum-senyum sendiri. Dalam hati juga terpikir, kalau aku mencari isteri lagi, bisakah kedua isteriku hidup rukun seperti kedua majikanku? Pikirnya. Ahaa... mana mungkin, pak Sarno pulang terlambat saja isterinya sudah siap dengan pertanyaan yang beruntun, nerocos seperti burung tak diberi makan dua hari.
"Ada apa pak, kok senyum-senyum sendiri ?"
"Nggak apa-apa mas, " jawab pak Sarno tersipu.
"Kok senyum-senyum sendiri?"
"Itu mas, senang melihat mas Adhit tampak bahagia," kata pak Sarno tanpa berani mengatakan apa yang dipikirkannya.
"Senang melihat saya punya dua isteri yang cantik-cantik ya pak?"
"Ahaaa... iya lah mas,"
"Pak Sarno pengin ya seperti mas Adhit, bisa punya isteri dua?" canda Anggi.
"Iya bu... eh... enggak.. enggak... " jawab pak Sarno gugup, yang kemudian disambut tawa oleh mereka bertiga.
***

Walau  mereka di Tawangmangu yang konon udaranya dingin sejuk, tapi Adhit mengajak kedua isterinya untuk berenang. Ada kolam renang dihotel tempat mereka menginap.
Mirna dan Adhit turun untuk berenang, tapi Anggi memilih untuk menunggu ditepian kolam itu. Senang melihat Adhit dan Mirna bercanda didalam air, saling mengejar dan terkadang berpelukan ketika tertangkap. Ya, senanglah, atau berusaha senang, karena itu adalah maunya.
Anggi bersandar pada sebuah kursi yang ada ditepi kolam itu, sambil memejamkan mata. Harusnya ia meminum obat hari itu, tapi obat yang hanya tinggal diminum sehari itu lupa dibawanya. Ber kali-kali dia bilang merasa sehat.Tapi hari ini Anggi merasa lemas. Ia terus memejamkan matanya, dan tak lagi perduli pada jeritan-jeritan Mirna karena Adhit terkadang bercanda sedikit "nakal".
Agak lama mereka bermain air, dan dengan terengah kemudian Mirna berenang ketepi. Adhit mengikutinya, lalu keduanya duduk dibibir kolam sambil mempermainkan kedua kakinya. Tiba-tiba Mirna menoleh kebelakang dan melihat Anggi bersandar dikursi dengan mata terpejam.
"Tampaknya tante Anggi capai, dia tertidur."
"Biarkan saja, ayuk ganti pakaian dulu lalu mengajaknya masuk. Benar, mungkin dia capek," kata Adhit sambil berdiri, dan menarik tangan Mirna untuk diajaknya ketempat ganti pakaian.
Namun ketika mereka kembali, dilihatnya Anggi masih bersandar dikursi.
"Nyenyak sekali tidurnya, jangan dibangunin mas, angkat saja langsung dan dibawa kekamar," kata Mirna.
Adhit mengangguk. Dengan kedua tangan kekarnya, diangkatnya tubuh Anggi. Anggi tak bergerak, bibirnya pucat, tubuhya dingin.
"Ya Tuhan, dia bukannya tertidur," teriak Adhit yang kemudian setengah berlari membawa Anggi kekamar.

Bersambung #45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER