Mirna panik kepada petugas hotel dia minta dipanggilkan dokter.
"Ini hari libur bu, kayaknya susah, adanya dirumah sakit, tapi akan kami usahakan," jawab petugas itu."
Mirna berlari kearah kamar, Adhit sudah membaringkan tubuh Anggi di ranjang.Kebetulan ada obat gosok di dalam tasnya. Ia mengambilnya lalu menggosokkannya ketubuh Anggi. Telapak kaki, sepanjang kaki, dada dan perutnya, juga punggungnya. Adhit me mijit-mijit kaki tangannya.
"Anggi... bangun Anggi..." bisiknya dengan panik.
"Terlalu lama menunggu dokter, apa kita bawa saja langsung kerumah sakit?" tanya Mirna.
Tapi tiba-tiba mata Anggi terbuka, dan dengan heran melihat Adhit dan Mirna berdiri didekatnya sambil me mijit-mijit kakinya.
"Dimana ini? Kenapa aku?" bisiknya lemah sambil berusaha bangun.
"Eit... nggak boleh.. nggak boleh.." kata Adhit sambil merebahkan lagi tubuh Anggi.
"Kenapa aku ada disini? "
"Aku menggendong kamu ke kamar, karena kamu pingsan dikursi dekat kolam renang."
"Aku pingsan?"
"Nggak sadar ya? Memang kamu nggak sadar sih...Tuh, wajahmu pucat benar Bagaimana sekarang rasanya? Ke rumah sakit yuk."
"Nggaak.. nggak.. aku nggak apa-apa.. tadi cuma merasa lemas."
"Kamu bawa obatnya? Masih ada kan?"
"Aku lupa mas..."
"Anggi..
"Hanya tinggal untuk sehari ini saja.."
"Kalau begitu lebih baik kita segera pulang," kata Mirna.
"Benar Mirna.. ayo kita berkemas."
"Jangan... jangan mas, aku saja yang pulang sama pak Sarno, biar nanti atau besok pak Sarno menjempt lagi kemari," kata Anggi.
"Mana ada aturan begitu. Kita berangkat bersama-sama, jadi juga harus pulang bersama-sama," kata Adhit sambil terus memijit kaki Anggi.
Ada rasa senang menghiasi hati Anggi. Ia merasa perhatian Adhit terhadapnya tidak berubah, walau untuk cinta... entahlah.
"Aku merepotkan bukan? Kemarin aku sudah bilang bahwa lebih baik aku nggak usah ikut..."
"Ssst... Anggi, diamlah. Kamu bilang kita ini keluarga, bahagia kita bersama, jadi susah atau sakit juga harus bersama," kata Adhit sambil mengelus kepala Anggi.
"Aku akan menanyakan dulu ke petugas hotel, tadi aku minta mereka mencarikan dokter."
"Sudah nggak usah saja Mirna, kita akan langsung kerumah sakit."
"Jangan mas, pulang saja, obatku masih ada."
"Anggi, jangan bawel !!" kata Adhit sambil memelototi Anggi.
"Baik, kalau begitu kita sudah siap. Mas gendong tante Anggi, aku yang membawa kopornya, aku juga sudah menyuruh pak Sarno untuk bersiap-siap didepan lobi" kata Mirna sambil menarik kopornya menuju pintu. Begitu benar-benar menjadi keluarga, Mirna tak lagi memanggil suaminya dengan sebutan bapak.
"Eeeh... nggak, masa aku digendong? Aku mau jalan sendiri saja," kata Anggi yang kemudian bangkit dan mencoba berdiri. Tapi dirasanya kepalanya berdenyut denyut. Anggi memegangi kepalanya.
"Pusing ?"
"Nggak, aku nggak apa-apa, biar aku jalan sendiri saja."
Tapi Adhit tak memperdulikan kata-kata Anggi. Dengan sigap digendongnya tubuh Anggi. Anggi yang semula meronta, tiba-tiba merasa nyaman dalam gendongan orang yang dicintainya. Lalu direbahkannya kepalanya didada bidang itu. Angannya serasa terbang, dan pusing yang semula menderanya mendadak hilang entah kemana.
***
Setiba dirumah sakit itu dokter hanya menyarankan untuk beristirahat, dan memberikan obat yang sama. Anggi menolak ketika diminta untuk istirahat dirumah sakit.
"Nggak, aku nggak mau opname lagi. Aku ini kan nggak apa-apa," katanya.
Sesampai dirumah, Mirna merawat Anggi dengan sangat penuh kasih sayang. Sejak menikah ia tak lagi bekerja diluar. Sekarang, ketika Anggi sakit, Mirnalah yang selalu menjaganya, menyiapkan obatnya dan melayaninya ketika Anggi membutuhkan sesuatu.
"Mirna, aku ini kayak orang sakit keras saja, sudahlah, hanya so'al makan saja, aku bisa kok mengambilnya sendiri," katanya.
"Nanti kalau tante sudah benar-benar sehat, tante boleh melakukannya. Sekarang biar Mirna yang melayani tante."
Mirna bahkan menyuruh Adhit tidur dikamar Anggi selama Anggi sakit. Biasanya Anggi menolak, memilih tidur sendiri, tapi tidak kali ini, karena Mirna dan Adhit memaksanya.
Hanya tiga hari Anggi tak kuasa bangun dari ranjang. Malam itu ia menolak ketika Adhit kembali tidur disampignya.
"Mas, sudahlah, aku sudah sehat, lebih baik mas tidur dikamar Mirna," kata Anggi.
"Anggi, kamu ini juga isteri aku, apa tidak boleh aku menjagamu?"
"Aku sudah sehat mas, jangan berlebihan."
"Berlebihan? Apakah berlebihan seorang suami memperhatikan isterinya?"
"Tapi mas kan sudah punya Mirna. Bukankah mas ingin segera punya momongan?"
"Iya, tapi nggak ada bedanya bagi aku, diantara kamu dan Mirna."
"Masa mas, nggak ada bedanya? Aku ini perempuan yang tidak sempurna.. Cintailah mbak Mirna, dan segeralah punya momongan, aku akan belajar merawatnya juga."
"Anggi, apa kamu tau? Aku mencintai Mirna, tapi aku juga mencintai kamu," kata Adhit sambil mengelus kepala Anggi.
Anggi memiringkan tubuhnya, menatap pria ganteng yang terbaring disisinya, yang sedang menatapnya juga dengan pandangan yang menggetarkan. Itu pertama kalinya Anggi mendengar kata cinta dari bibir Adhit. Benarkah Adhit juga mencintainya? Anggi membiarkan Adhit mempermaiankan anak rambut yang tergerai dikeningnya, menikmati kehangatan yang bernama cinta, yang baru saja diucapkan dari bibir priya ganteng yang selalu dipujanya.
"Pasti kamu tidak percaya," bisik Adhit sambil tak henti tangannya bermain-main di keningnya.
"Benar, aku tidak percaya. Yang aku tau adalah bahwa mas menikahi aku karena kasihan pada nasibku."
"Itu tidak benar, perlahan cinta itu tumbuh, dan bermekaran, lebih-lebih ketika aku menyadari betapa luhur dan mulia hatimu. Betapa kamu mencintai aku dan dengan rela mengorbankan perasaanmu, rela berbagi dengan perempuan lain, rela memberikan ranjangmu, rela suamimu mencintai perempuan lain. Itu luar biasa. Kamu adalah bidadari surgaku," bisik Adhit yang kemudian mencium lembut kening Anggi, lalu hidungnya, lalu bibirnya dan semua yang ada pada isterinya.
Hati Anggi bergetar, tubuhnya juga bergetar. Ini adalah malam kesekian ketika Adhit mencumbuinya, tapi yang pertama kali dirasakannya dengan cinta yang membara. Aduhai, apakah ini buah dari pengorbananku? Aku tak harus kehilangan cinta, aku bahkan mendapatkannya, bisik batin Anggi sambil menenggelamkan kepalanya didada bidang dan yang terus mengelusnya.
***
Ketika Mirna bangun pagi itu, dan menyiapkan sarapan bagi seisi rumah, dilihatnya Anggi keluar dari kamarnya dengan tubuh wangi.
"Tante sudah mandi? Dengan air hangat bukan?" tanya Mirna khawatir.
"Nggak, dengan air dingin yang sejuk. Aku merasa sehat Mirna, jangan terlalu menghawatirkan aku."
"Syukurlah tante, aku hampir membawakan sarapan untuk tante kedalam kamar."
"Jangan Mirna, aku benar-benar sudah merasa sehat," kata Anggi sambil duduk dimeja dimana Mirna sudah menyiapkan teh hangat disana, dan juga irisan roti bakar kesukaan Adhit.
"Mas Adhit masih tertidur?" tanya Mirna karena tak melihat Adhit keluar bersama Anggi.
"Iya tuh, masih pules kelihatannya."
"Biar Mirna bangunin, katanya mau ke kantor hari ini," kata Mirna yang kemudian menuju kekamar Anggi, dimana tadi Adhit tidur.
"Mas, katanya mau kekantor hari ini," kata Mirna yang kemudian melipat selimut yang tadi terserak dilantai, Ia juga melihat alas tidur yang berantakan, kusut tak beraturan, dan Mirna tak perlu bertanya apa yang terjadi. Ia tau ia harus berbagi, hari-hari dan malam-malamnya, dan juga cinta kasihnya.
Dilihatnya Adhit menggeliat, lalu menampakkan dadanya yang telanjang, kekar berotot, penuh bulu yang membuatnya merinding.
"Mas,"
Adhit membuka matanya dan sedikit terkejut ketika melihat Mirna didekatnya.
"Tante Anggi sudah selesai mandi, dan sedang menunggu mas di ruang tengah."
"Oh, ma'af..."
"Mengapa harus minta ma'af? Mas mandi dulu, biar aku siapkan baju mas untuk ke kantor."
"Bajunya ada disini Mirna, biar aku siapkan," kata Anggi yang tiba-tiba sudah ada dikamar itu.
"Oh ya tante, saya baru mau bertanya dimana mengambil baju-maju kerja mas Adhit.
"Di almari ini, nanti biar yu Supi memindahkannya ke kamar kamu."
"Mengapa harus dipindah tante? Biar disini saja, tak akan ada yang berubah, semua akan seperti semula," tukas Mirna sambil tersenyum.
Adhit melangkah ke kamar mandi, membiarkan kedua isterinya mnyiapkan baju-bajunya. Bahagiakah punya isteri dua? Yang membahagiakan adalah keduanya saling mengasihi dan memperhatikan, dan keduanya sangat dicintainya dan pastinya juga mencintainya.
***
Bulan demi bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Adhit begitu tenang dan bahagia. Orang-orang tua mereka merasa, tak ada yang perlu dikhawatirkan pada keluarga muda yang saling mangasihi itu. Mereka selalu ingat kata-kata Anggi, bahwa mereka akan bahagia ber sama-sama.
Anggi benar-benar merasa sehat, barangkali rasa senang dan bahagianya juga menunjang pulihnya kesehatannya. Ia kemudian rajin mengerjakan tugas rumah tangga ber sama-Mirna. Memasak bersama, menyiapkan makan pagi, siang dan malam bersama. Alangkah nyaman hidup rukun itu.
Tapi pagi itu Anggi heran, karea Mirna belum bangun padahal biasanya selalu bangun lebih dulu. Anggi ingin mengetuk pintunya tapi sungkan, karena Adhit juga ada didalamnya. Akhirnya dengan dibantu yu Supi Anggi membuat teh hangat dan sarapan untuk semuanya.
Sekarang bu Broto tak pernah lagi mengurus dapur, kecuali cucu-cucu menantunya menanyakan sesuatu. Kedua isteri Adhit sudah pintar mengurus rumah tangga, dan bu Broto selalu dilarang mengerjakan apapun.
"Eyang itu harus dilayani, bukan melayani. Jadi duduklah saja dan biarkan kami mengerjakan semuanya, kata Anggi dan Mirna.
"Mirna mana? Kok kamu sendirian didapur?"
"Belum keluar dari tadi eyang, barangkali tidur kemalaman. Eyang duduk saja disana, biar Anggi bawa sarapannya ke meja."
"Kelihatannya Mirna masuk angin, tolong berikan air hangat Anggi," tiba-tiba suara Adhit mengejutkan mereka.
"Ya ampun, masuk angin? Biar Anggi bawa teh hangatnya ke kamar," seru Anggi yang segera mengambil cawan berisi teh hangat, lalu dibawanya ke kamar Mirna.
Dilihatnya Mirna masih terbaring, sambil memegangi kepalanya.
"Mirna, kamu sakit?"
"Nggak tau tante, kepala Mirna pusing sekali, dan mual sedari tadi," jawab Mirna sambil berusaha bangun.
"Sudah, tiduran saja, ini tante bawakan teh hangat, minumlah biar perutmu terasa lebih nyaman."
"Terimakasih tante, saya merepotkan bukan?"
"Nggak Mirna, dulu ketika aku sakit, kamu melakukan lebih dari ini. Ayo minumlah, ini ada sedotan, minumlah sambil tiduran."
Mirna meneguk teh hangatnya, tapi tiba-tiba perutnya terasa mual. Ia bangun dan lari kekamar mandi, lalu muntah-muntah disana.
"Ya ampun Mirna..." kata Anggi yang kemudian mengejarnya ke kamar mandi. Dipijitnya tengkuk Mirna, sampai dia selesai memuntahkan semua isi perutnya di kloset.
"Ma'af tante," kata Mirna.
"Sudah, tiduran saja dulu, biar ini aku yang membersihkan."
Mirna kembali tertidur, sedikit sungkan melihat Anggi membersihkan kotoran di kamar mandi itu.
"Mas Adhit harus membawa kamu ke dokter," kata Anggi sambil menggosok perut Mirna dengan minyak kayu putih.
"Bagaimana?" tanya Adhit yang tiba-tiba masuk.
"Mas harus membawanya ke dokter," kata Anggi.
"Tapi pagi ini ada meeting di kantor, aku kensel saja lebih dulu."
"Kalau begitu biar aku saja yang mengantarnya mas," kata Anggi.
"Kamu? Baiklah, nanti biar pak Sarno mengantar kalian. Kalau ada apa-apa kabari aku ya."
***
Ketika mau berangkat ke rumah sakit itu, mendadak Ananda rewel minta ikut. Semenjak menjadi keluarga, setiap pagi Mirna menggendong Ananda, mengajaknya jalan-jalan. Mungkin di kebun, atau bahkan diajaknya keluar rumah, belanja atau hanya sekedar jalan-jalan saja. Memang ada sedikit perbedaan antara Anggi dan Mirna dalam mengasuh anak, Mirna kelihatan lebih luwes dan Ananda suka padanya.
Pak Sarno sudah menunggu didepan, dan Anggi sudah menggandeng Mirna menuju mobil. Melihat Ananda menangis, Mirna tak sampai hati. Ia berhenti dan kedua tangannya siap menggendong Ananda. Tapi tiba-tiba Anggi mencegahnya.
"Awas Mirna, jangan gendong Ananda dulu, kamu harus hati-hati."
"Tapi kalau hanya menggendong saja kan nggak apa-apa tante, pusingnya sudah sedikit berkurang. Mungkin dengan digendong sebentar saja tangisnya akan berhenti."
"Tapi aku khawatir Mirna, jangan-jangan kamu hamil," kata Anggi mengejutkan Mirna, sementara Adinda sudah menangis semakin keras.
"Hamil, tante?"
"Kemungkinannya, tapi aku berharap begitu. Jadi jangan dulu menggendong Ananda, Ananda itu badannya besar, bobotnya mantap. Kalau ada apa-apa dengan kandunganmu bagaimana?"
"Ya Tuhan, benarkah ?"
"Ananda, ikut sama bude Anggi saja ya? Ayuuk..." kata Anggi sambil mengacungkan kedua tangannya. Tapi Ananda menolaknya.
"Yah, dia memang kurang dekat sama aku," keluh Anggi.
"mBak, tolong ajak Ananda menjauh dulu ya, kami mau ke dokter," kata Mirna kepada perawat yang mengasuh Ananda.
Anggi segera menggandeng Mirna menuju mobil, sementara Ananda menangis semakin keras.
Benarkah Mirna hamil?
==========
Berdebar menunggu hasil pemeriksaan itu, Mirna menggenggam tangan Anggi kuat-kuat.
"Semoga dugaanku benar... betapa bahagianya kita," bisik Anggi.
Mirna begitu senang mendengar Anggi mengatakan bahwa betapa bahagianya kita. Berarti Anggi juga turut merasakan kebahagiaan itu. Genggamannya semakin erat.
"Semoga anak kita kembar,"bisik Anggi lagi. Mirna tekejut, memandangi madu yang duduk disampingnya dan sedang tersenyum nakal.
"Kembar ya ?"
"Iya, siapa tau Tuhan akan memberikaan satu anak per ibu?" lalu keduanya tertawa renyah. Mirna mengambil minyak kayu putih dari dalam tasnya, den mnciumnya kuat-kuat.
"Mual lagi?" tanya Anggi khawatir.
"Sedikit... nggak apa-apa..ini sudah mencium bau minyak kayu putih, agak mendingan."
"Lama sekali sih hasilnya."
Dan hampir bersamaan dengan keluh Anggi, tiba-tiba nama Mirna dipanggil.
Angggi segera menuntun Mirna masuk kedalam ruang dokter.
Mereka melihat doktr itu sedang membuka lembaran lembaran kertas, yang mungkin hasil dari lab tadi.
"Mana suaminya?"
"Kerja dok..." jawab Anggi setelah mereka duduk.
"Wajah dokter itu tiba-tiba muram. Mirna dan Anggi menatapnya dengan hati berdebar. Mirna kembali menggenggam tangan Anggi. Tampaaknya hasilnya tidak bagus. Ya Tuhan, keluh mereka dalam hati.
"Dalam hal seperti ini harusnya suami ibu ada disini."
"Oh, pentingkah? Saya akan menelponnya dokter," kata Anggi.
"Oh, tidak.. tidak..tidak usah," dokter itu meletakkan lembaran lembaran diatas mejanya, tangannya terulur kearah Mirna.
"Selamat, anda akan menjadi ibu," kata dokter itu yang kemudian tersenyum lebar.
Ya ampuun.. tadi sampai merengut segala, wajahnya gelap, seperti akan mengatakan sesuatu yang menghawatirkan. Ternyata dokter itu hanya ingin mengganggu mereka. Pikir Mirna dan Anggi.
"Coba sekarang ke dokter kandungan, ini pengantarnya. Harus ada pemeriksaan teliti mengenai hasil yang saya temukan. Supaya ibu puas." kata dokter itu lagi.
"Jadi ini belum pasti?" tanya Anggi ragu-ragu.
"Bukan belum pasti, di dokter kandungan nanti ibu akan diperiksa melalui USG Kehamilan, dari situ ibu akan yakin akan hasil yang saya utarakan."
"Baik dok, terimakasih banyak." jawab Anggi sambil menerima surat pengantar dari dokter tadi.
***
Mereka sudah ada didepan ruang praktek dokter Arini. Dokter kandungan yang ditunjuk. Ada satu pasien lagi yang masih menunggu sebelum giliran Mirna. Anggi menelpon Adhit agar menyusulnya kerumah sakit.
"Memangnya ada apa? Gawatkah penyakitnya?" jawab Adhit dari seberang sana, dengan nada khawatir.
"Nggak mas, pokoknya mas datang aja kesini, karena mas juga harus mendengar hasilnya. Meeting sudah selesai?"
"Sudah baru saja, aku akan segera kesana."
Anggi menutup telephone dengan tersenyum.
"Mas Adhit mau kesini sebentar lagi."
"Bukankah tadi bilang ada meeting pagi-pagi?"
"Sudah selesai tuh, dia bilang."
" Oh, syukurlah, " jawab Mirna sambil terus mencium bau minyak kayu putih yang selalu digenggamnya,
Ketika giliran nama Mirna dipanggil, belum kelihatan Adhit menyusul. Anggi lupa mengatakan bahwa mereka ada di dokter Arini, dokter kandungan. Maka kemudian Anggi menelponnya lagi.
"Mas, ada dimana ?"
"Sudah dirumah sakit nih, mencari-cari kalian? Di dokter siapa sih?"
"Dokter Arini mas, dokter kandungan."
"Haaa... dokter kandungan?" teriak Adhit, mirip sebuah sorakan, yang kemudian dengan setengah berlari Adhit menuju kearah klinik kandungan. Sampai disana sudah tak dilihatnya lagi kedua isterinya. Pasti sudah masuk. Adhit mengetuk pintunya kemudian masuk kedalam. Diihatnya dokter sedang memeriksa perut Mirna melalui USG. Dokter Arini menoleh sejenak kearah Adhit, tapi sebelum bertanya Anggi sudah mengatakan.
"Suami Mirna, dokter"
Dokter itu mengangguk lalu melanjutkan pemeriksaan.
"Baru berumur empat minggu." kata dokter itu.
"Isteri saya hamil?"
"Lihatlah, ini kantung bayi sudah kelihatan. Ini embrio, calon bayi, masih sangat kecil."
Adhit tersenyum lebar, didekatinya Mirna dan diciumnya tangannya dengan senyum bahagia. Lalu ia memperhatikan apa yang terlihat dalam layar USG itu dan mendengarkan kata-kata dokter Arini dengan seksama.
***
Ayud yang sore harinya menjemput Ananda, gembira mendengar Mirna mengandung. Ia juga terharu melihat Anggi merawat madunya dengan sangat baik. Ia menyiapkan obat-obat yang harus diminum sebelum makan agar mengurangi mual-mual yang mengganggunya.
"Beruntung aku ini, waktu mengandung ananda tak pernah merasa terganggu. Tidak mual apalagi muntah. Bisa bekerja sampai hampir melahirakan, dan doyan makan dari awal kehamilan. Dasar gembul aku ya," kata Ayud tertawa.
"Setiap wanita merasakan hal yang berbeda pada kehamilannya. Ada yang tak merasakan apa-apa seperti Ayud, tapi ada yang merasa lemas dan muntah-muntah tanpa henti, bahkan ada yang sampai opname dirumah sakit karena sama sekali tak bisa kemasukan apapun diperutnya, tapi biasanya, gangguan sa'at ngidam itu akan hilang setelah usia kandungan mencapai empat atau lima bulan," kata bu Broto menimpali.
"Bagaimana waktu ibu mengandung Adhit, eyang?" tanya Adhit ingin tau.
"Wah, ketika kamu dalam kandungan, ibumu rewel setengah mati, berbeda ketika mengandung Ayud, ibunya hanya suka makan serabi tapi tidak rewel."
"Tuh, pantesan setelah lahir sampai tua mas Adhit nih orangnya rewel ya eyang," kata Ayud meledek kakaknya.
"Enak saja, tanya saja sama kedua isteriku itu, benarkah aku rewel?"
"Mas Adhit sangat baik dan tidak rewel kok.. ya kan Mirna?"
Mirna hanya tersenyum, sambil terus mencium minyak kayu putih ditangannya.
"Anggi, aku titipkan Mirna ditanganmu ya, aku yakin kamu akan merawat Mirna dengan baik," kata Adhit sambil merangkul Anggi.
"Iyalah, tanpa diminta aku pasti juga akan merawatnya, bukankah anak yang akan dilahirkan juga akan menjadi anakku?" jawab Anggi sambil menyandarkan kepalanya dibahu suaminya.
"Terimakasih tante," kata Mirna sambil tersenyum. Bahagia rasanya berada diantara keluarga yang saling mengasihi diantara satu dan yang lainnya.
***
"Anggi, kamu sibuk merawat Mirna, tapi lupa minum obatmu sendiri, gimana sih?" kata Adhit menegur Anggi karena melihat obatnya masih banyak trserak dimeja.
"Aduh.. iya mas, sering lupa, tapi Anggi semakin hari semakin merasa sehat kok. Lihat saja, Anggi sudah bisa makan banyak. Sungguh, dan keluhan yang tadinya ada sudah nggak terasa lagi kok."
"Kamu sukanya begitu, meremehkan keadaan kamu sendiri."
"Lho, mas Adhit kok malah marah-marah sih, memang aku sehat kok."
"Kamu hanya merasa sehat karena kesenengan merawat Mirna. Jangan gitu dong, kamu nggak ingat waktu di Tawangmangu, gara-gara lupa membawa obat, dua hari nggak minum obat, kamu lemas sampai pingsan."
"Itu kan dulu mas, sudah lama Anggi merasa segar kok."
"Kamu jangan ngeyel, Ayo sekarang diminum obatnya. Kalau kamu sakit lagi, aku ini juga akan merasakan sakit. Tau?!"
Anggi tersenyum, alangkah bahagia tetap diperhatikan suami, walau ada isterinya yang lain dan akan memberinya anak pula.
"Anggi, jangan senyum-senyum begitu, obatnya... obatnya..."
"Iya.. iya.. aduh mas, jangan galak-galak dong."
"Kalau untuk kesehatan isteri, aku harus galak."
Anggi berdiri, memilih-milih obat yang bisa diminumnya sekarang.
"Kalau obat itu habis, kita kontrol lagi, kalau dokter menyatakan kamu sehat, pasti tak akan dikasih obat-obat itu lagi."
"Iya, baiklah."
***
Dan memang Anggi tak pernah merasa sakit untuk hari-hari selanjutnya. Ketika obat-obat yang harus dimimumnya itu habis, lalu kontrol ke dokter, dokter benar-benar menyatakan sehat. Anggi hanya diberikan vitamin-vitamin, dan harus tetap menjaga kesehatan dengan makanan dan minuman sehat. Aduhai..
Bahagia karena merasa dicintai, ditambah lagi mujizat yang diberikan Alloh, ternyata bisa membuat Anggi segar dan sehat. Ia tak pernah berhenti memperhatikan Mirna, sampai lewat lima bulan kandungannya, dan Mirnapun tidak lagi merasa lemas dan muntah-muntah. Ia bahkan rajin membantu yu Supi didapur bersama Mirna, seperti kebiasaannya pada awal pernikahannya. Hanya saja Mirna selalu mengingatkan agar jangan terlalu capai.
Jalan-jalan pagi diudara segar bertiga bersama Adhit selalu dilakukan. Banyak orang iri akan kebahagiaan Adhit, yang bisa hidup berbahagia bertiga bersama kedua isterinya. Itu pemandangan yang langka.
"Hallo... bidadari surga..!" teriakan nyaring itu memecah perhatian Mirna dan Anggi yang sedang menata masakan dimeja.
"Dinda?" sapa Anggi gembira, yang kemudian memeluk Dinda dengan hangat.
"Hallo, mbak Mirna," sapanya kepada Mirna, lalu memeluknya juga, dilanjutkan dengan mengelus perut Mirna yang membuncit.
"Keponakanku hampir lahir. Apakah dia akan kembar?" canda Dinda.
Mirna dan Anggi tertawa.
"Itu keinginanku, agar kami masing-masing dapat bayi satu. Tapi ternyata tidak."
"Nanti kalau bayi itu punya adik, mintalah pada mas Adhit supaya membuatkan bayi kembar." canda Dinda sambil mencomot tempe goreng yang sudah ditata dimeja.
"Kebetulan kami sudah selesai masak, jadi nanti Dinda bisa makan sama-sama kita," kata Mirna sambil menambahkan satu piring lagi untuk Dinda.
"Memang aku datang jam-jam segini, karena mengharapkan bisa merasakan masakan sepasang isteri yang hebat ini."
"Huh, dasar anak kost, haha... aku menirukan mas Adhit kalau meng olok-olok kamu anak kost."
"Iya, memang anak kost aku ini. Mas Adhit apa akan pulang sa'at makan siang begini?"
"Selama isterinya hamil, dia selalu menyempatkan untuk makan siang dirumah. Sebentar lagi pasti dia datang," kata Anggi.
Mirna sudah selesai menata meja makannya. Lalu mempersilahkan Dinda dan Anggi untuk duduk sambil menunggu kepulangan Adhit.
"Lhoh, kok sudah ada tamu disini? Aduuh, jangan-jangan sudah dihabiskan lauk kesukaanku," pekik Adhit begitu memasuki ruang makan.
"Enak aja! Aku baru nyomot tempe goreng satu, tau!" sanggah Dinda yang kemudian berdiri dan memeluk Adhit.
"Hm, senang melihat kamu dirumah ini Dinda, Anggi bilang kamu kesal sama aku."
"Iya dulu, sekarang aku akan sering datang, karena aku senang, so'alnya mas Adhit bisa membahagiakan kedua isterinya."
"Iya lah, Adhit gitu lhoh. Eh, mana eyang, apa nggak makan bersama kita siang ini?"
"Iya, Aku sudah bilang, sebentar lagi katanya. Mas cuci tangan dulu sana, lalu kita makan bersama-sama." kata Anggi.
"Iya baiklah, keburu pingsan tuh si anak kost karena kelaparan."
"Ih, mas Adhit kumat jahatnya sama aku deh." kata Dinda sambil cemberut, tapi Adhit justru terbahak, diikuti oleh tawa kedua isterinya.
***
Hari itu Adhit harus membawa Mirna kerumah sakit. Usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih dan sudah sa'atnya melahirkan. Sejak pagi Mirna sudah sesambat perutnya sakit, lalu Anggi melarang Adhit untuk pergi ke kantor.
"Jangan ke kantor hari ini, karena Mirna sudah kesakitan sejak tadi."
"Iya, kita berangkat ke rumah sakit sekarang saja."
Bu Broto mengatarkan keberangkatan cucu-cucunya ke rumah sakit, sambil membisikkan do'a-do'a keselamatan bagi semuanya. Ada bening air mata yang mengambang di mata tuanya, karena haru yang menyesak.
"Aku hampir punya cicit," bisiknya sambil memeluk Adhit.
"Do'akan kami eyang."
"Pasti le, do'a terbaik untuk cucu dan cicit eyang. Jangan lupa kabari pak Kadir, dan juga bu Susan." pesan bu Broto.
"Iya eyang, Adhit sudah menelpon keduanya."
Dan bayi itu lahir pada sore harinya, seorang bayi laki-laki yang tampan, yang menangis keras pada sa'at lahir, menebarkan aroma bahagia disekitar orang-orang yang menungguinya.
Dengan berlinang air mata, Adhit memeluk Anggi begitu tangisan bayi itu terdengar.
"Anak kita telah lahir, Anggi, sesuatu yang kamu impikan juga. Dan selalu kita pegang dalam hidup kita, bahwa kita akan bahagia bersama-sama."
Anggi terisak dalam pelukan suaminya, disaksikan oleh bu Susan dan pak Kadir yang menunggui sejak siang harinya. Ada bahagia membuncah dihati mereka, ketika melihat anak-anak mereka bahagia.
Begitu perawat membuka pintu kamar bersalin sambil menggendong bayi tampan itu, Anggi segera menghambur dan meminta untuk menggendongnya.
Adhit tersenyum. Ternyata Anggi juga pantas menggendong bayi.
Mencari bahagia itu terkadang susah, tapi akan nikmat ketika kita sudah menggenggamnya.
--- T A M A T ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel