"Jadi sekarang kau mengerti mengapa aku ketakutan ketika kau menginginkan minimal 5 anak?"
Acha mengangguk dan perlahan tersenyum.
"Mulai sekarang kau akan memberitahuku apa yang ada dalam pikiranmu."
"Kita akan menemukan solusi bersama-sama, sekarang yang terpenting adalah kau sehat dulu, dan ingat kata dokter kau tidak boleh terlalu lelah,"
Bisik Adhitama sambil menatap mata istrinya.
"Enam tahun yang lalu kau benar-benar menyakiti ku." balas Acha.
"Aku tahu."
"Kau bahkan tidak memberi penjelasan,"
Acha memandangi bibir Adhitama yang sangat dekat dengannya, ke lekuk sensual bibir suaminya dan bayang-bayang gelap rahang pria itu yang mulai ditumbuhi cambang.
"Kau betul-betul menyebalkan."
"Aku tahu itu juga, aku benar-benar tolelot, aku berharap kita berdua bisa menjalani ini,... bersama,"
Jawab Adhitama dengan suara yang sedikit serak sambil mendekat.
"Janji?"
"Janji." Bibir suaminya tertekuk seksi.
"Dan jangan berani menciumku, kita belum selesai berbicara,"
Acha merengut, ternyata dia cukup mengenal Adhitama, apalagi saat perlahan tekukan bibir itu melebar menjadi cengiran jahil.
"Tapi kau menginginkanku,"
Komentar Adhitama dengan mantap.
"Darimana kau menyimpulkan itu."
"Kau memakai cincinku sebagai bandul kalung dilehermu selama 6 tahun."
Acha tersipu, teringat kenangan itu, kenangan saat Adhitama menciumnya saat mereka bertemu setelah 6 tahun.
"Maaf aku menamparmu waktu itu."
Adhitama tersenyum lebar.
"Aku mungkin tidak akan mengajakmu menikah jika kau tidak menamparku waktu itu, terimakasih sudah menjaga diri dan hati untukku."
Acha salah tingkah, pipinya merona mengingat Adhitama adalah satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya.
Saat ibu jari suaminya itu menaikkan dagu dan memandang wajahnya, dengan lembut ibu jari itu mengelus rahangnya.
"Aku suka kau tidak punya pengalaman, dan pelajaran itu kita pelajari bersama setelah menikah."
Ada jeda lama karena tidak ada satupun dari mereka berdua yang berbicara.
Acha terlalu malu menanggapinya dan Adhitama menarik nafas panjang dengan hati hati seakan takut momen itu akan hilang.
"Nah, jadi mulai sekarang tidak ada lagi rahasia diantara kita berdua, kita akan berdiskusi dan berkompromi,"
Kata Adhitama sambil tersenyum.
"Aku suka berdebat denganmu,"
Kata Acha dengan manis.
"Dan aku juga suka berdebat denganmu,"
Kata Adhitama sambil mengelus rambut istrinya dan memeluknya dengan sayang.
***
Sore itu Acha diperbolehkan pulang, karena masih membutuhkan istirahat dan perawatan sore itu mereka terbang ke Jakarta kerumah Yangti.
Acha hanya diperbolehkan mengurus surat cuti diluar tanggungan karena Adhitama tidak membolehkannya bekerja sampai kandungannya berada di usia aman.
Mama Ayu bersama kak Andre sekeluarga bahkan meluangkan waktu untuk menengoknya ke Jakarta, memastikan bahwa Acha baik-baik saja, dan jangan tanyakan betapa senang dan protektifnya Yangti dengan kehamilan Acha.
Kata Yangti ia akan berhenti cerewet setelah bayi Acha lahir dengan sehat dan selamat nanti.
Adhitama membelikannya buku bacaan yang luarbiasa untuk memastikan Acha beristirahat dengan cukup ditempat tidur, dan hanya hanya tersenyum kecut saat suaminya dengan cengiran jailnya mengatakan karena buku akan membuatnya diam diatas kursi ataupun tempat tidur, buku tidak bisa dibaca sambil jalan jalan.
Ah, perhatian yang luarbiasa meskipun Acha tahu sebagian besar buku yang dikirim itu pasti asisten suaminya yang membelinya, tapi itu tidak menganggunya karena Adhitama memang terbiasa efisien dikehidupan bisnisnya dan dikehidupan cintanya ia sedikit butuh kejutan.
Tinggal bersama Yangti memudahkan Acha untuk berbakti pada suaminya, setidaknya sekarang mereka berada dalam satu atap, dua minggu terakhir bahkan suaminya hanya bekerja dari rumah untuk memastikan ia menurut perintah dokter.
Dan sore ini ia mendapat undangan untuk hadir di acara gathering bersama Adhitama, penampilan pertamanya di muka umum sebagai Nyonya Adhitama.
Acha sempat hampir menolak, namun kata Yangti kehadiran Acha akan membuat gadis-gadis yang biasa bergenit-genit ria kepada suaminya menjadi tereliminir atau setidaknya mereka tahu jika Adhitama sudah ada yang punya.
"Pertemuan nanti malam seperti apa? apa yang harus aku lakukan disana?"
Tanya Acha pagi itu sebelum Adhitama berangkat kekantor.
"Jadilah dirimu sendiri, kau bersedia menemaniku itu sudah lebih dari cukup,"
Jawab suaminya sambil mencium lembut keningnya sebelum masuk ke mobil.
Dan siang ini Acha menemani Yangti melakukan perawatan rutin dari orang salon langganan Yangti, kemudian sederet baju yang datang belakangan dan Acha baru sadar bahwa selama ini bajunya memang terlalu sederhana.
Nina sangat ramah, dan ia menyarankan Acha mengenakan baju warna biru turkhois yang menurut Acha terlalu mencolok, namun Nina meyakinkan bahwa penampilan perdana Acha akan terlihat spektakuler.
"Kau sudah siap?"
Kata Adhitama saat memasuki ruangan itu dengan ponsel menempel ditelinga, terlihat tampan dengan setelan formal, dasinya belum terikat sempurna.
Kerutan tak sabar nampak di dahi suaminya ketika pria itu berusaha menyudahi percakapan dan merapikan dasinya pada saat yang bersamaan, manset peraknya terlihat berkilau.
Acha tersenyum kemudian perlahan mendekat dan dengan berjinjit ia menarik dan merapikan dasi suaminya.
Saat melihat Acha, suaminya berhenti bicara dan Acha tidak perlu cermin untuk tahu Nina telah mengerjakan tugasnya dengan sangat baik, suaminya terpana melihatnya.
Hanya make up tipis dan terlihat natural yang Nina lakukan padanya dan baju biru turkhois ini membuatnya merasa ceria dan gembira.
"Kau terlihat cantik,"
Suara Adhitama terdengar serak dan saat berada didalam mobil untuk melaju menuju tempat acara dalam keremangan cahaya suaminya itu bahkan masih terus memandangnya sambil menggenggam tangannya, dan Acha pun melambung.
Suasana gatheringnya terlihat kaku dan formal seperti yang Adhitama gambarkan pagi tadi padanya, namun Acha bisa melihat betapa para pegawai suaminya terlihat hormat dan segan padanya.
Suasana terlihat mencair saat masuk pada acara hiburan dan lain lain yang diisi dengan makan bersama.
Sebenarnya Acha sudah akan meminta kepada suaminya untuk berpamitan setelah nanti suaminya kembali kemeja saat melihat asisten suaminya mendekat dan mengenalkan seorang pria padanya.
Pria itu mirip sekali dengan suaminya hanya saja umurnya jauh lebih muda mungkin terpaut 10 tahunan, jika tampilan wajah suaminya cenderung serius dan kaku, pemuda yang ada dihadapannya ini memiliki binar mata yang lebih bersahabat dan terlihat humoris.
Acha menangkupkan tangan didada saat pemuda itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan sambil menyebutkan namanya,
"Abimanyu Sumantri."
Acha tersenyum dan senyum itu menghilang saat wajah galak suaminya tertuju padanya.
Adhitama menyambut uluran tangan pemuda itu setelah memberikan tatapan peringatan kepada asistennya, beran-beraninya asistennya itu mengenalkan seorang pemuda pada istrinya tanpa ijin darinya.
"Adhitama Hakim Hernowo." jawab suaminya singkat sambil meraih uluran tangan pemuda itu.
Asisten suaminya terlihat takut dan buru buru berpamitan, sambil tersenyum ramah kepada Acha.
Sumantri, kenapa pria ini memiliki nama yang sama dengan ayahnya dan memiliki wajah mirip dirinya dalam versi yang lebih muda?
Tatapan Adhitama terlihat menyelidik tamunya.
"Maaf menganggu, saya ada perlu dengan mas Adhitama."
What? Cowok ini pede sekali memanggil suaminya dengan panggilan mesra itu, eh maksudnya panggilan sayang kakak.
Acha sudah mau menepi dengan harapan memberi privasi pada suaminya, namun tangan suaminya menariknya mendekat sehingga mau tidak mau Acha berpegangan pada suaminya. Teringat janin yang ada dikandungannya dan juga sepatu modis yang sempat ia tolak dengan alasan ia tidak pernah memakai wedges yang dibalas Nina dengan santai, itulah alasan yang paling mudah agar dapat senantiasa berpegangan pada lengan suaminya, hehehe...
Adhitama akhirnya meminta asistennya ke tempat yang lebih privasi saat melihat tatapan ingin tahu dari beberapa kolega yang ikut diundang malam itu.
Setelah berada ditempat yang lebih privasi dan mempersilahkan tamunya duduk Adhitama mulai membuka pembicaraan.
"Nah, sampai dimana tadi kita Abimanyu?"
"Panggil saja Abim, mas,"
Jawab pria itu sambil tersenyum ramah.
"Begini mas Adhit, saya ditangisi ayah saya yang ingin bertemu dengan mas Adhitama, dapatkah mas Adhitama meluangkan waktu untuk menemui ayah saya? Saya tahu jadwal mas padat, namun ayah saya sangat berharap untuk bertemu dengan mas."
"Sebentar....Apakah aku mengenal ayahmu?"
"Ayah saya bernama Sumantri mas,"
Kata Abimanyu sambil mengangsurkan sebuah foto lama.
Adhitama terhenyak melihat foto lama itu kemudian memandang pria yang ada dihadapannya, pantas saja pria ini sangat mirip dengannya karena mereka berdua memiliki ayah yang sama, Sumantri.
Adhitama memandang wajah tampan di foto yang diangsurkan Abimanyu, teringat dulu ketika tangan itu dengan kasar menyuruhnya untuk memilih diantara dirinya dan ibunya.
Adhitama memandang nanar kearah Abimanyu, tentu saja adiknya itu memiliki wajah yang lebih bahagia dibanding dirinya.
Adiknya mendapatkan ayahnya seutuhnya, jadi kenapa sekarang ayahnya mencari dirinya? Apakah kesuksesannya membuatnya pantas untuk diakui sebagai anak oleh seorang Sumantri?
Bukankah ini dulu yang membuatnya semangat bekerja, agar kelak ayahnya menyesal telah menelantarkannya?
Apakah sekarang saatnya menunjukan kepada ayahnya inilah anak yang tidak pernah dia akui itu?
==========
Acha memandang suaminya dari kejauhan, Adhitama terlihat terbebani dengan pertemuan yang tidak disangka sangka dengan Abimanyu.
Sosok adiknya yang humble dan tidak terpengaruh dengan bahasa suaminya yang ketus, membuat Acha tersenyum.
Adhitama masih memegang kartu nama Abimanyu.
Meski Abimanyu kemarin hanya berharap Adhitama meluangkan waktu agar ia bisa mengantar ayahnya untuk bertemu dengannya, namun Adhitama merasa ada yang harus ia perbaiki dan ia tidak tahu apakah itu.
Cowok yang mengaku sebagai adiknya itu bahkan tidak terpengaruh dengan pembawaanya yang dingin dan angin-anginan.
Abimanyu tetap lancar menceritakan bagaimana keluarganya, tentang ibunya yang perhatian dan cerewet, tentang adik perempuannya yang sudah menikah dan adik bungsunya yang baru mulai kuliah.
Ayahnya sangat baik, dan akhir akhir ini sering bengong dan ternyata Ayahnya memendam keinginan untuk bertemu dengan Adhitama, kakaknya beda ibu.
Abimanyu hanya tertawa, saat mengatakan mungkin Ayahnya merasa bersalah karena meninggalkan Adhitama dan meskipun memiliki anak lelaki yang lain namun anak lelaki yang ini tidak seperti yang Ayahnya harapkan.
Abimanyu memilih untuk menjadi PNS dan hanya membantu usaha ayahnya dengan duduk di komisaris perusahaan ayahnya, sedangkan untuk operasional sudah berjalan lancar dengan direksi yang dipilih oleh ayahnya sekarang.
Adhitama melihat ada kemiripan antara dirinya dan Abimanyu, jika dirinya menempatkan diri sebagai lawan dengan menjadi pengusaha yang lebih makmur dari ayahnya, adiknya itu memilih untuk tidak mau mewarisi usaha ayahnya dengan memilih karir sebagai abdi negara, pilihan yang membutuhkan keberanian karena menjadi abdinegara jelas tidak akan menjanjikan kemakmuran berlebih seperti yang saat ini Adhitama nikmati, kecuali abdi negara itu berlaku curang dengan melakukan tindakan korupsi.
Adhitama menimbang kembali apa yang membuat ia akan menemui ayahnya?
Untuk apa? Dia tidak membutuhkan warisan ayahnya.
Untuk melihat seperti apakah pria yang telah menghilangkannya dari sebuah keluarga?
Untuk membalaskan sakit hatinya dan ibunya?
Jawabnya tidak, tidak dan tidak.
Semua sudah jadi masa lalu dan semua sudah jadi sejarah, ibunya bahkan tidak bisa melihat pencapaiannnya saat ini.
"Coklat Dhit,"
Suara lembut istrinya mengembalikan Adhitama ke masa kini.
Adhitama tersenyum," Terimakasih."
"Akhirnya gimana? Kau sudah memutuskan?"
Adhitama menarik nafas panjang.
"Seperti nya tidak perlu datang kesana atau mengabari Abimanyu untuk mengajak ayahnya kemari."
"Begitu ya."
Jawaban datar istrinya membuat Adhitama menoleh.
"Bagaimana menurut mu?"
Acha tersenyum,
"Menurut ku? Yakin kau akan mempertimbangkan pendapatku?"
"Jika pendapatmu masuk akal."
"Menurutku terlepas seperti apa tindakan ayahmu dimasa yang lalu, sebenarnya beliau tetap berhak mendapat perlakuan yang baik dari anak anak beliau. Bahkan Al Quran pun tidak membolehkan kita berkata ah, berkata pun harus lemah lembut."
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Alloh dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak…..” [QS An-Nisa : 36]
"Jika nabi Ibrahim yang ayahnya pembuat patung dan memusuhinya pun tetap Allah perintahkan agar beliau berbuat baik, lalu kita ini apa?" lanjut Acha.
Adhitama terdiam dan termenung, seakan meresapi apa yang disampaikan istrinya.
Jika Allah bisa menerima semua taubat hambanya lalu alangkah sombong dirinya jika tidak memaafkan kesalahan ayahnya.
Mungkin butuh waktu, karena rasa sakitnya yang lumayan lama, namun ketika semua kita kembalikan kepada Al Quran tidak ada yang tidak mendapatkan jawaban.
"Masih butuh petunjuk yang lain?"
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua..” (QS. Al An’am: 151).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isra: 23).
"...dan ridho Allah itu terdapat dalam ridho orang tua, berbahagialah saat engkau masih memiliki satu pintu gerbang surga yang Allah tinggalkan untukmu didunia."
Adhitama tercenung dan mencoba meresapi kata kata istrinya. Acha memang memiliki pengetahuan yang lebih dari dirinya karena dulu mondok lama di pesantren.
"Aku yakin ayahmu sebenarnya selalu ingat padamu, apalagi melihat wajah Abimanyu yang mirip denganmu, itu selalu mengingatkannya bahwa ada satu anak lain yang ada di luar sana. Kondisi ekonomi mu yang melimpah saat ini, siapa yang tahu kalau ini juga karena doa-doa tidak terucap dari ayahmu, intinya kita harus positif thinking dan aku berharap kelak anakku tidak hanya punya nenek buyut dan nenek tapi dia juga akan punya seorang kakek."
Akhirnya Adhitama mantap menekan nomor yg tertera di kartu nama Abimanyu, dalam hati ia berharap semoga dirinya belum terlambat untuk berbakti kepada ayahnya.
***
Saat memasuki rumah yang tertera dalam kartu nama Abimanyu, Adhitama berharap memasuki rumah yang megah, namun rumah yang berdiri disana hanyalah rumah dengan arsitektur jawa yang lumayan besar dengan halaman luas yang tidak ada apa-apanya dengan rumah yang ia tinggali.
Saat keluar dari mobil, Abimanyu sudah menyambutnya diundakan tangga rumah dengan tersenyum ramah kemudian mengiringi kakaknya masuk rumah untuk bertemu dengan Ayah dan ibu tirinya yang tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.
Adhitama memandang Ayah yang hampir 30 tahun tidak ia temui, lelaki itu masih terlihat tampan meski diusia yang sepuh, didampingi oleh istrinya dan dua orang gadis cantik yang dikenalkan sebagai adik-adiknya, dan dua jagoan cilik yang merupakan keponakan barunya.
Ayahnya sempat terlihat kikuk dan malu, namun binar bahagia dan bangga terlihat diwajah tua nya, Adhitama menghilangkan semua rasa sakit yang ada didadanya dengan memeluk erat Ayahnya.
Jika Ayahnya dulu berbuat kesalahan setidaknya ia dapat belajar dari sana bahwa ia dapat menjadi ayah yang lebih baik untuk anak-anaknya kelak.
Dan istrinya sangat benar saat menyarankannya untuk menghadapi ketakutannya dan bertemu dengan ayahnya, karena hal itu membuat ia menjadi semakin memahami bahwa yang menyatukan sebuah rumah tangga itu bukan cinta tapi agama, ketika ada badai yang melanda kembalikan semua pada agama dan saat badai yang melanda itu hanya dunia, engkau akan dapat bertahan karena menikah dan berumah tangga itu adalah ibadah terlama yang akan mengantarkan ke surga, jika surga akhirat yang menjadi tujuanmu, maka yang ada didunia bahkan hanya recehan yang tidak ternilai.
Bersambung #10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel