Cerita Bersambung
Drrt...drrrt...drrt...
Suara gawainya yang ada diatas nakas.
Acha baru saja selesai membuka oleh-oleh dari suaminya, piyama dan daster yang terbuat dari satin dan katun super lembut juga sekotak Fudge yang luar biasa.
Acha mewek, terharu tidak mengira suaminya yang cuek ternyata sangat lembut hatinya dan malam ini baju tidur lingerie hadiah dari kak Ais kembali menempati pojok paling bawah dari kopernya.
Drrt....drrt...drrrt....
Acha menggapai gawainya dan mulai membuka pesan yang masuk.
[Assalamualaikum cha]
[Kaifa haluk ?]
[Walaikumuussalam kak, Alhamdulillah, bi khoir kak]
[Alhamdulillah, eh, suka nggak dengan hadiah dari kakak?]
Acha bengong, jarinya berhenti mengetik.
Dia tidak terbiasa berbohong, tapi kado dari kak Ais membuatnya malu setengah mati.
[Kadonya bagus kak, Acha saja yang katro]
[Katro gimana? kamu sudah memakainya kan?]
[Sudah kak, tapi Acha boboknya selimutan, maluuuu bajunya tipis sekali]
[Ih, Acha kan emang kakak ngasih kamu lingerie]
Haah, kak Ais sengaja ngasih kado itu ...
Acha merah padam mukanya teringat malam kemarin memakai baju itu, untung saja suaminya suka tidur dengan lampu padam sehingga tidak melihat penampakan baju tidur " ajaib" dari kak Ais dan malam ini ia akan tidur dengan baju tidur oleh oleh suaminya.
[Iiih, kak Ais nih, bajunya bikin maluu kak]
[ Lho khan sekarang Acha boleh berdandan buat suami, besar pahalanya, luangkan waktu untuk perawatan juga ya]
Haah, perawatan juga ? Padahal kemarin Acha perawatan karena diajak kak Ais.
Haruskah Acha tanya suaminya? Atau tanya Yangti saja ya?
Acha masih mematut matut baju yang tengah ia pakai didepan kaca, saat terdengar suara pintu dibuka, Acha memandang lurus ke arah cermin dan disana pandangannya bertemu dengan mata suaminya.
Adhitama melihat bayangan cantik istrinya dicermin, dia merutuk dalam hati, bahkan setelah menahan siksaan karena kemarin malam memeluk istrinya yang tidur dengan mengenakan lingerie, memakai piyama yang sopan pun ternyata tidak mengurangi kecantikan Acha.
Adhitama menarik nafas panjang.
"Suka bajunya ?"
"Suka, Jazakallahu khoir,"
"Waiyyaki"
Rona merah itu menyebar dipipi Acha saat suaminya melangkah mendekat dan tangan Adhitama secara perlahan melingkar dipinggangnya, dengan dagu menempel dipundaknya dan pandangan mata yang tak lepas menatap netranya.
"Terlihat bagus disini.."
"Emm..."
Semua kata yang ada di benak Acha kabur terbawa harumnya nafas suaminya, yang sekarang memilih untuk menyelipkan rambut kebelakang telinganya dengan penuh perhatian diikuti dengan tangan satunya kemudian mengangkat tubuhnya.
"Saatnya tidur, biar nanti sholat lailnya tidak kesiangan,"
Gumam lirih Adhitama ditelinga Acha dan Acha tersipu malu sambil menyurukkan kepalanya dileher suaminya.
Getaran muncul dari bawah perut Acha, seperti sayap kupu-kupu yang gugup mencari bunga mekar.
Jantung Acha berdegup kencang dan wajahnya merona karena dia tahu dengan pasti saat ini bukan tidur yang ada dalam bayangan suaminya.
Saat punggungnya menyentuh seprei lembut dan bibir Adhitama mencium lembut Acha menyambutnya.
***
Minggu itu berlalu dengan cepat, meski sempat bersitegang karena Adhitama yang menginginkan Acha tetap dirumah namun pada akhirnya ia memberikan izin istrinya tetap bekerja.
Bekerja sebagai guru itu mendidik generasi, dan Acha semakin berseri-seri saat yayasan amal milik suaminya bahkan bersedia menyelesaikan pembangunan rumah tahfidz sekolah tempat Acha mengajar termasuk membayar semua pengeluaran bulanan untuk semua kegiatan di tempat itu.
Mungkin suaminya memang hanya memerlukan waktu untuk membuktikan bahwa ia tidak seperti kedua orangtuanya, jika untuk menyambung hidup orang yang bahkan tidak punya hubungan keluarga dengan dirinya saja ia sangat bertanggungjawab apalagi untuk anak-anaknya sendiri.
Acha merenung dan tersenyum, ia akan memberikan sebanyak mungkin waktu untuk suaminya sampai Adhitama merasa siap punya anak.
Karena saat ini Acha merasa utuh sebagai Istri meskipun suaminya tetap bersikukuh menggunakan pelindung setiap kali mereka bersama.
Dan masalah itu akhirnya terjadi saat siang itu Fitri menghubungi Adhitama karena Acha pingsan dikelas saat mengajar.
Adhitama tiba dirumah sakit dua jam kemudian setelah melewati jalan kota Jogya yang lumayan padat siang itu.
Akhirnya ia menemukan istrinya masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit.
Meski mukanya pucat namun entah kenapa Adhitama melihat istrinya bertambah cantik siang itu.
Setelah mengucap salam dan mencium lembut kening istrinya Adhitama melihat kelopak mata istrinya mulai membuka lemah dan menjawab salamnya sambil tersenyum.
Belum sempat menanyakan kabar istrinya terdengar suara pintu ruangan terbuka dan masuklah dokter Ana dan suster Ratih, begitu yg tertulis di name tag yang ada di dada mereka.
"Selamat siang bapak, selamat siang ibu."
"Siang dok." jawab Adhitama dan Acha hampir bersamaan.
"Selamat ya bu Acha untuk kehamilannya," ujar dokter Ana sambil tersenyum.
Adhitama terlihat shock meski sedetik kemudian mukanya datar kembali dan dengan sigap menerima uluran tangan dari dokter Ana.
"Kehamilannya baru berjalan sekitar 4 minggu kalau dilihat dari besarnya janin, namun saya perlu tanggal terakhir haid bu Acha."
Acha melirik suaminya dari ekor matanya dan sempat melihat perubahan wajah itu meski akhirnya wajah suaminya datar kembali.
Masih mendengarkan apa yang dokter katakan tentang trisemester pertama yang harus Acha hadapi adalah hal biasa, meski tidak semua wanita mengalami mual dan muntah.
Saran dokter Acha tidak boleh terlalu lelah dan dianjurkan untuk beristirahat ditempat tidur dan akan diobservasi dua kali 24 jam kedepan.
Saat dokter Ana dan perawat itu meninggalkan ruangan, Acha merasakan keheningan itu.
Tatapan menyelidik dari suaminya dan wajah pria itu terlihat gusar.
"Kenapa kau bisa hamil?"
"Karena aku punya suami," jawab Acha lemah.
Adhitama memandang istrinya dengan tatapan tajam yang bahkan mampu melumerkan es.
"Maksudmu kau meragukan ini anakmu?"
"Aku tidak siap punya anak Cha."
"Kalau kau tidak ingin punya anak kenapa kau menikah?"
"Karena doa yang biasa disampaikan sesudah menikah pun tidak mengharuskan untuk punya anak... membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah...tidak ada wadzuriyyatunaa..."
"Kamu salah memaknai doa itu, salah satu tujuan menikah adalah untuk meneruskan keturunan dan untuk doa yang terakhir itu seharusnya itu menjadi doa membesarkan hati pasangan yang belum diberikan keturunan."
"Dan menurut mu kita siap punya anak?"
"Alloh tidak akan memberikan kepada kita seorang anak jika kita tidak siap."
Adhitama menarik nafas panjang kemudian membuang pandangannya keluar jendela.
"Kau harus menghadapi ketakutanmu, aku minta maaf jika masa kecilmu kurang menyenangkan."
Kepala maskulin itu dengan cepat menoleh.
"Apa yang kau tahu tentang masa kecilku?"
"Bahwa kau takut anak ini akan mendapatkan perlakuan seperti yang kau terima waktu kecil dan jangan pernah berani menyuruhku memilih antara anak ini ataupun dirimu," jawab Acha sambil memegang perutnya dengan protektif.
"Aku ingin memiliki keluarga dan mas Andre adalah kakak yang aku temukan saat aku sudah tidak punya ayah...Aku ingin anakku memiliki keluarga yang saling mendukung seperti saat ini...dan jika kau memaksa aku untuk memilih, aku akan memilih anak ini, meski itu berarti denganmu atau tanpamu."
Acha berharap Adhitama akan menceritakan apa yang membuat ia takut mempunyai anak, namun saat ini netra suaminya itu hanya memandangnya kosong, tanpa berkata apapun perlahan mengambil kunci mobil yang ada di nakas sebelah tempat tidur kemudian berkata dengan acuh,
"Aku akan keluar mencari makan."
Apa? Laki laki itu meninggalkannya disini dalam keadaan lemas, masih pusing dan sedikit mual saat mengajaknya berbicara dan dia masih sempat memikirkan perutnya.
Rasanya Acha ingin meninju sesuatu dan berteriak.
Entah siapa yang akan ia ajak bicara karena kak Andre sudah wanti-wanti saat dirinya meminta restu untuk menikah dengan Adhitama, bahwa pria itu sedikit nyentrik kalau bukan antik.
Dan sepertinya Acha memang harus bersabar menghadapi masalah ini.
Bukankah Alloh hanya menyuruh kita untuk sholat dan sabar saat menghadapi masalah?
Saat masih tercenung sendirian itu, terdengar suara klik pintu dibuka.
Acha tersenyum manis dan senyum itu memudar saat melihat yang datang adalah petugas pengantar jatah makan malam.
Karena berada diruangan VVIP jatah makan malam itu adalah satu porsi untuk pasien dan satu lagi untuk penunggu.
Adhitama hanya mencari alasan untuk meninggalkan ruangan, mungkin untuk mencari angin segar atau mungkin pikirannya yang butuh pencerahan.
Acha tidak tahu apakah suaminya itu akan kembali secepatnya, karena terakhir kali suaminya itu meninggalkannya, enam tahun kemudian baru kembali.
Acha menarik nafas panjang, pikirannya lelah, dia tidak punya nafsu makan namun demi janin yang ada di rahimnya ia harus memaksa mulutnya untuk makan.
Meski dengan penuh perjuangan setiap suap makanan itu akhirnya berhasil masuk ke dalam mulut Acha.
Dan sepuluh menit kemudian Acha mulai menguap dan terkantuk-kantuk.
Saat Adhitama masuk kembali ke kamar perawatan, istrinya itu nampak pulas tertidur meski lampu diruangan itu masih terang benderang.
Sambil berjingkat pelan Adhitama mematikan lampu dan menyisakan lampu tidur.
Setelah berganti dengan celana training yang nyaman untuk tidur, Adhitama naik kesisi tempat tidur istrinya, saat mendekat barulah Adhitama sadar ada bekas airmata disudut mata istrinya. Adhitama merutuk dalam hati, besok pagi ia akan meminta maaf kepada istrinya dan membereskan kekacauan yang ia timbulkan hari ini.
Adhitama mengambil bantal tambahan dan menaruhnya disebelah bantal Acha, meski harus tidur miring, Adhitama merasa lebih nyaman disebelah Acha, ia dapat memastikan istrinya baik-baik saja dan dia rindu dengan aroma vanilla strawberry dari rambut istrinya.
==========
Saat jam malamnya berdering untuk sholat lail Acha merasakan berat diperutnya.
Membuka mata perlahan dan Acha melihat tangan maskulin melintang protektif diperutnya, berusaha menoleh pelan dan melihat wajah damai suaminya tertidur disana.
Saat masih pulas wajah Adhitama terlihat damai, terlihat lebih muda dan perlahan Acha mengelus wajah itu, tersadar bahwa saat ini ia yang bangun tidur terlebih dahulu, karena biasanya selalu Adhitama yang membangunkannya untuk sholat lail.
Tiba tiba mata Adhitama terbuka perlahan kemudian tersenyum.
"Hai wife..."
Tangan Acha yg masih separuh jalan itu sempat menegang sesaat.
"Hai Husband..."
Acha tersenyum tipis meskipun masih tersisa sedikit dongkol karena ditinggal pergi tanpa penjelasan semalam, namun rasa dongkol itu sedikit berkurang melihat suaminya kembali dan tidak kabur darinya seperti enam tahun yang lalu.
"Butuh bantuan ke kamar mandi?"
Acha tersipu malu, panggilan alamnya memang yang membangunkannya.
"Iya , aku ingin pipis kemudian wudhu untuk sholat lail."
Adhitama perlahan turun dari bed, menyalakan lampu ruangan kemudian membantu istrinya turun dari tempat tidur dan memapahnya ke kamar mandi sambil mendorong IV.
Acha tersenyum saat menyadari bahwa selama mereka menikah baru hari ini sholat lailnya berjamaah dengan suaminya, karena biasanya Adhitama selalu lebih dulu.
Meski melakukanya sambil tergolek ditempat tidur hal tersebut tidak mengurangi kekhusyukan sholat mereka berdua, apalagi saat menunggu waktu subuh Adhitama larut dalam dzikir.
***
Acha sebenarnya membutuhkan penjelasan tentang sikap Adhitama yang masih angin-anginan, namun sepertinya ia harus sabar menunggu suaminya untuk menjelaskan semua kepadanya dengan rela tanpa paksaan.
Mungkin Acha memang tipikal pemaaf, karena saat melihat suaminya memilih untuk tidur tidak nyaman demi untuk menjaganya sudah membuat hatinya luluh, terlebih lagi saat sarapan pagi ini suaminya bersikeras menunggu dirinya menghabiskan makanannya dengan ancaman Adhitama akan menyuapinya.
"Aku tidak mau kau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirimu atau bayi itu,"
Kilah Adhitama saat Acha memberikan tatapan mata bertanya.
"Bayiku, ini bayiku bukan bayi itu,"
Sahut Acha dengan cepat.
"Bagaimana kalau bayiku mendengarmu dan tahu kalau kau tidak menginginkannya?"
Keheningan panjang terentang ketika Adhitama menatapnya dengan intensitas yang membuat detak jantung Acha memburu.
"Jangan pernah katakan itu," kata Adhitama kaku.
"Benar, aku yang mengaku tidak menginginkannya...tapi nyatanya sudah terjadi dan itu menjadi tanggung jawabku."
"Aku tidak ingin kau bertanggung jawab karena terpaksa, aku bisa melewati ini sendiri,"
Jawab Acha keras kepala.
Memangnya siapa dirinya, jika Adhitama tidak menginginkan bayinya maka ia punya uang lebih dari cukup untuk membiayai anak ini, tranferan pembagian hasil usaha pabrik dan toko batik peninggalan papa yang kini dikelola kak Andre lebih dari cukup untuk bertahan hidup.
"Astaghfirullah Acha, aku berusaha jujur padamu. Jika aku mengatakan aku senang dan menginginkan bayi itu apakah kau akan percaya?"
Seraya menahan airmata yang hampir jatuh, Acha menggigit bibir.
"Tidak."
"Aku memberitahumu perasaanku yang sebenarnya, kehamilanmu membuatku terkejut."
Rambut Adhitama yang mencuat tak tentu arah padahal biasanya selalu rapi cukup menjelaskan seberapa gusar perasaan pria itu atas berita kehamilan Acha.
"Tapi aku akan belajar dan aku ingin bayi itu mendapat kasih sayang seorang ayah."
"B-a-y-i-k-u,"
Desis Acha sambil menaruh tangan diperutnya yang masih rata dengan protektif.
"Sekali lagi kau bilang bayi itu, akan ku tonjok kau."
"Bagaimana kalau bayi kita?"
"Ha..ha..ha," Acha tertawa sarkastis.
"Serius? Kenapa kau tiba tiba setuju?"
Adhitama menarik nafas panjang
"Sebenarnya apa yang kau inginkan Cha?"
"Kenapa kau tidak mau punya anak?" tanya Acha kembali.
Adhitama menatapnya dan anehnya wajah pria itu terlihat pucat. Struktur tulangnya terlihat semakin tegas dengan ketegangan yang tengah melanda pemiliknya.
"Aku adalah seorang anak yang tahu persis seperti apa rasanya selalu dinomor duakan oleh kedua orang tuaku dan aku tidak ingin melakukan hal itu pada anakku."
Ambil nafas, keluarkan, ambil nafas , keluarkan, bisik Acha pada dirinya sendiri.
Acha berharap ada Fitri yang memberikan semangat untuknya, lutut Acha tiba tiba lemas mendapat pengakuan dari suaminya.
Kekerasan psikis yang pernah suaminya alami saat masih kecil menyisakan trauma yang menganggu alam bawah sadar suaminya.
Tiba tiba Acha tidak lagi mempermasalahkan perilaku aneh suaminya yang penyendiri, suaminya memerlukan waktu dan pendampingan agar ia dapat kembali menjadi manusia seutuhnya, menjadi makhluk sosial yang mampu mencintai dan dicintai.
"Jadi selama ini kau tidak mau punya anak karena kau takut kau akan menyakiti mereka, benar?"
"Ya."
Acha menggigit bibir, menunggu dan berharap suaminya akan bercerita banyak.
Saat hening dan tidak terdengar apapun Acha memancing pria itu.
"Ayahmu menyakitimu?"
"Ya."
Acha menatap suaminya dengan putus asa.
"Bisakah kau menjawab lebih dari sekedar "Ya"? Karena ya tidak menunjukkan apa yang kau rasakan, dan aku sudah lelah menebak karena selama ini aku payah dalam menebak dirimu. Seperti tebakanku yang salah 6 tahun yang lalu saat kau tak datang dipernikahan kita, aku menebak kau tidak menginginkanku menjadi istrimu, karena aku terlalu biasa untukmu."
"Aku menginginkanmu, aku hanya takut."
"Benar, dan itu membuktikan betapa payah tebakanku, dan kalau kau tidak mau memberitahu apa yang ada dipikiranmu, aku akan selalu salah menebak dan itu akan sering membuat masalah karena komunikasi yang salah."
Adhitama menarik nafas panjang, kemudian menoleh untuk memandang wajah istrinya.
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Semuanya, bisakah kau menceritakan semuanya."
"Pernikahan orangtuaku tidak bahagia Cha, Ayahku terlalu sibuk membangun bisnisnya hingga melupakan kalau ia punya anak dan istri yang butuh dirinya, bukan hanya butuh uangnya. Ibuku mulai mencari dunianya sendiri, kemudian hingga kemudian terjadi kerenggangan diantara mereka berdua, tidak ada satupun dari mereka yang mau mengalah, ayahku meninggalkan ibuku. Aku disuruh memilih ikut tinggal siapa," ujar Adhitama dengan pandangan jauh seakan ingin melupakan rasa sakit dihati yang ia rasakan kala itu.
"Mereka menyuruhmu untuk memilih diantara mereka berdua?"
Tanya Acha sambil mengumpulkan kepingan-kepingan informasi yang baru saja ia dengar.
"Berapa umurmu waktu itu?"
Acha bertanya sambil mengusap tangan suaminya.
"Enam tahun, aku ingat karena sebulan sesudahnya aku mulai masuk SD. Ayah dan Ibuku menyuruhku memilih diantara mereka berdua, aku memilih ibuku karena aku khawatir apa yang akan terjadi padanya jika aku memilih ayahku. Ibuku pernah berkata bahwa ia tidak bisa hidup tanpaku, tidak ada anak yang ingin ibunya mati."
Mereka memaksa anak umur enam tahun untuk memilih kehidupan?
Acha ternganga dan terperanjat pada saat yang bersamaan, dia tidak bisa membayangkan betapa tertekannya kondisi Adhitama saat itu.
"Aku tidak bisa membayangkannya Dhit, bagaimana dengan ayahmu? tidakkah ia tahu kau tengah kebingungan saat itu?"
Adhitama merengut,
"Ayahku adalah tipikal orang Jawa tulen, baginya anak laki laki adalah kebanggaan yang akan meneruskan nama keluarga, dan karena aku memilih ikut ibuku maka sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu ayahku, dia tidak pernah memaafkanku."
"Tapi.."
"Ayahku dan keluarga besarnya tidak menganggapku ada, ibuku anak tunggal ....hanya Yangti keluargaku,"
Acha menatap dengan penuh kasih kepada suaminya, mencoba memahami luka hati lama Adhitama yang kesepian karena merasa tidak diinginkan.
"Tapi kau berhasil menjadi pengusaha yang sukses Dhit ?"
" Ya, Karena aku ingin ayahku menyesal telah menelantarku."
Acha mengangkat tangannya, mencoba mengusap setitik keringat yang muncul didahi suaminya. Acha tahu Adhitama selalu menutup rapat kehidupan pribadi nya dari siapapun, suaminya mempercayainya dengan megungkapkan apa yang selama ini mengganjal dalam hatinya.
Saat tangan Adhitama menangkup dan mengecup punggung tangannya lembut, Acha tersenyum. Ia akan memberi suaminya sebanyak mungkin waktu agar suaminya menyadari bahwa ia mempunyai semua untuk mencintai dan dicintai bukan hanya oleh dirinya namun juga oleh anak-anaknya kelak.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel