Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 18 September 2021

Cincin Untuk Acha #7

Cerita Bersambung

Matahari sudah hampir tergelincir dilangit sore  saat mereka mendarat di helipad agak jauh dari rumah Yangti.
Rumah itu terlihat kecil dari pandangan Acha.
Acha tersipu malu saat  Adhitama  memeluk pinggangnya untuk membantunya turun, tapi sepertinya pilot heli itu bahkan tidak melihat kearah mereka, karena sedetik kemudian deru kendaraan itu kembali mengudara meninggalkan mereka berdua yang berjalan menuju rumah dikejauhan.
Yangti sudah menyambut diteras saat mereka berdua menginjak tangga pertama rumah itu.

Rumah ini sangat bersahaja dan elegan, sangat berbeda dengan rumah Adhitama, berbentuk rumah panggung dengan desain teras yang berfungsi sebagai ruang tamu.

"Assalamualaikum Yangti," ucap Acha sambil mencium punggung tangan keriput Yangti dengan takzim.
"Walaikumuussalam," jawab Yangti sambil tersenyum dan mengelus kepala Acha.

Yangti masih terlihat bugar meski keriputnya tidak bisa menutupi usianya yang pasti sudah diatas 80 tahun.
Masih gesit dan suara nya juga masih jelas saat memerintahkan mbak Lin untuk membantu dan mengantarkan cucu dan istrinya itu kekamarnya.
Pesan Yangti hanya satu setelahnya harus ngumpul  di Aula samping rumah yang berfungsi sebagai mushola karena sebentar lagi maghrib.
Kamar tidurnya mungil hanya lebih besar sedikit dari kamarnya, dan hanya ada tempat tidur  ukuran Queen.
Jika Adhitama tidur disana, dimana dia akan tidur malam ini.
Ah, dipikirkan nanti saja karena berkompromi dengan Adhitama tidak mungkin saat ini apalagi mulai terdengar suara Adzan Maghrib dari kejauhan.
Dan  melaksanakan sholat maghrib dan isya bersama Yangti pertama kali adalah hal menyenangkan yang sangat sulit untuk dilewatkan.

Masalah baru terjadi saat jam tidur dimulai, karena tidak mengepak ulang pakaiannya Acha tidak menemukan piyama untuk tidur, ...matanya tertumbuk pada bungkusan kado kak Ais yang sangat tipis, namun saat membukanya, kado itu terasa membakar tangannya.
Kak Ais memberinya kado "baju tidur".
Mengapa baju tidur dalam tanda kutip karena baju itu bahkan tidak menutupi apapun, warnanyapun tidak biasa, navy dan ungu.
Acha buru buru memasukkan hadiah eksotis dari kakak iparnya itu dan menjejalkannya di dasar koper, jadi tidak ada piyama dan daster.
Acha memutar bola matanya menyadari kecerobohannya tidak mengecek isi travel bag yang ia bawa.
Tidak mungkin tidur dengan gamis, karena gamisnya hampir semua berbahan creepe dan katjep, pasti akan kusut dan aneh dipakai untuk tidur.
Atau dia bisa meminjam kaos suaminya, bukan kaos polo cukup kaos oblong yang sepertinya nyaman sekali untuk tidur.
Acha sudah bermaksud untuk tidur dengan diam-diam dan berdoa semoga Adhitama tidak menyadari jika dia memakai salah satu kaos oblongnya.

Saat matanya terpaku pada betapa minimalnya perabot dalam kamar itu, Acha memutar matanya hanya ada satu tempat tidur, meja rias dan kursi panjang yang tidak nyaman untuk tidur.
"Hai,"
Terdengar suara maskulin dibelakangnya yang membuat Acha terlonjak kaget.
"Hai," jawab Acha malu.
Wajah Acha memerah dadu, ini adalah pertama kali dia berada diruangan tidur yang sama dalam keadaan terjaga dengan suaminya, karena malam pertama sebelumnya dia tertidur sebelum suaminya masuk kamar dan bangun tidur lebih lambat dari suaminya.
"Aku pinjam kaosmu, aku lupa bawa daster."
Adhitama tersenyum sambil memandang kearah Acha.
"Terlihat lebih bagus dibadanmu."
Acha mengarahkan pandangan pada kursi yang ada dibawah jendela.
"Kelihatannya kursi itu sangat nyaman bukan?" kata Acha sambil tersenyum                         
"Ya, sangat nyaman,"
Adhitama menyetujui dengan serius.
"Kurasa kursi itu sama nyamannya dengan ranjang. Orang pasti akan bisa tidur nyenyak diatasnya."
"Tentu saja,"
Jawab Acha sambil tersenyum lega karena suaminya menyetujui pendapatnya.
Adhitama melihat air muka Acha dan  tersenyum kecil sambil melangkah menuju kamar mandi.

Saat kembali ke kamar tidur, Acha sudah berbaring diranjang dengan selimut menutup hingga lehernya. Mata wanita itu tertutup rapat.
"Sudah tidur?" tanya Adhitama pelan.
Acha tidak menjawab, dia berusaha mengatur nafasnya agar teratur seolah olah ia benar-benar tertidur.
Tubuhnya terasa tidak nyaman berpura-pura tidur, namun jika ia menjawab Adhitama akan mengajaknya bercakap-cakap.
Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika suaminya itu bermaksud merayunya?
Acha bahkan belum siap untuk menolak semua pesona suaminya.

Acha ingin bergerak, cukup sekedar beringsut, namun kaos pinjaman yang ia pakai terasa ketat dibadannya terasa mengekang dan detak jantungnya yang bergemuruh seakan memberontak pikirannya untuk menyuruh seluruh anggota badan pura-pura tidur.
Adhitama dapat mendengar perubahan suara nafas Acha dari yang tadi sudah begitu pelan menjadi tarikan nafas panjang-panjang.
Adhitama tersenyum ketika mematikan lampu dan naik ke ranjang.

Acha spontan bangun terduduk saat kasur yang ada disebelahnya tertekan oleh beban yang ada diatasnya.
Entah ranjangnya yang mengecil atau Acha yang terlalu sensitif karena dia bisa merasakan panas tubuh suaminya itu meski tidak bersentuhan.
"Apa yang kau lakukan?"
Adhitama menguap.
"Bersiap untuk tidur. Kenapa? Apa kau ingin melakukan hal lain?"
Acha menyalakan lampu nakas dengan tangan gemetar.
Ia masih sangat terkejut dan sekaligus bersemangat saat melihat pria itu berbaring disebelahnya, bahkan hanya mengenakan celana pendek yang membuat muka Acha merah padam karena malu.
"Kau tidak tidur disini."
"Ya, aku akan tidur disini."
"Tapi...tapi kau bilang kau akan tidur dikursi," sembur Acha.
Adhitama menggeleng,
"Aku tidak mengatakan itu, Cha. Kau yang berkomentar kalau kursi itu tampak nyaman, aku menyetujui kata katamu, kau yang salah mengartikannya. Kau pikir aku akan tidur disana, dan kau salah. Ranjang ini cukup besar untuk kita berdua dan ku ulangi sekali lagi, aku tidak akan tidur dikursi itu."
Acha melongo dan bengong karena tidak mengira Adhitama akan berkata seperti itu.
"Kau?"
"Terserah padamu, aku mau tidur,"
Kata Adhitama sambil memukul-mukul bantal dan membetulkan posisinya.
Acha menatap tak percaya pada pria itu.
"Apakah itu kata-kata terakhirmu mengenai masalah ini ?"
"Kurasa kita sudah cukup berdiskusi tentang ranjang dan kursi malam ini,"
Kata Adhitama dengan bosan.
"Baiklah, kalau kau tidak mau tidur dikursi biar aku saja yang tidur disana."
"Oke."
Adhitama berbalik dan mulai memejamkan mata.

Acha menatap punggung itu dengan kesal, Adhitama sungguh-sungguh dengan kata-katanya, begitu pula dirinya.
Dengan frustasi diambilnya bantal dan dia tidak ingin menarik selimut karena selimut itu dipakai oleh Adhitama.
Ternyata Acha salah, kursi itu memang bukan untuk tidur, rasanya benar-benar tidak nyaman.
Karena terlalu gengsi untuk mengakui Acha tetap harus tidur disana.
Acha berbalik dan rasa frustasinya kian memuncak saat mendengar dengkur lirih Adhitama.

Ketika malam semakin larut frustasi itu berubah menjadi kemarahan dan bulir-bulir air mata panas mulai membanjiri ujung matanya.
Acha merasa sendirian, takut dan diabaikan.
Mungkin karena sekarang sudah hampir tengah malam dan Acha bahkan tidak bisa tertidur, dadanya terasa sesak dan ia merasa menjadi orang yg paling tidak diinginkan didunia.
Adhitama terbangun saat mendengar isak kecil tergugu dari arah bawah jendela, ia mengernyitkan dahi dan mengabaikannya namun suara isak itu kembali terdengar.
"Mengapa kau menangis Cha?" tanya Adhitama dengan lembut.
"Aku tidak menangis."
Adhitama menarik nafas panjang.
"Kursi ini tidak nyaman, kakiku bahkan tertekuk."
"Kau punya pilihan,"
Kata Adhitama sambil menepuk ruang kosong disebelahnya.
Dengan merengut Acha mengambil bantalnya dan tidur dibagian paling tepi dari ranjang itu.
"Hati hati Cha, kau bisa terjatuh," kata Adhitama dengan geli ditahan.

Adhitama memang berencana merayu istrinya, namun entah mengapa saat ini waktunya tidak tepat.
Tidak saat melihat airmata yang mengering dan bibir Acha yang gemetar seakan gadis itu adalah makhluk paling rapuh.
Adhitama turun dari ranjang mengambil selembar celana training dan memakainya sebelum akhirnya naik ke ranjang kembali.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menghilangkan ketakutanmu bahwa aku akan mencari kesempatan, lihat aku berpakaian pantas sekarang, kemarilah,"
Kata Adhitama sambil beringsut mendekat kearah istrinya.
"Tidak."
Itu yang dikatakan Acha, namun anehnya meski mulutnya mengatakan tidak tapi tubuhnya mendekat dan beringsut kearah suaminya.
Adhitama memeluk istrinya erat kemudian mulai mengusap lembut rambut yang ada dipelipis istrinya.
"Tidurlah Cha."
Dengan dengusan terakhir Acha meringkuk dalam dekapan suaminya dan rasanya seperti pulang kerumah, seperti masuk dalam kehangatan rumah setelah sebelumnya berada di tengah dinginnya kabut udara luar, seperti inilah seharusnya yang mereka jalani, membuat kehidupan yang lebih akrab setelah hampir seminggu tidak bertemu.
***

Saat Alarm gawainya mengingatkan akan jam sholat malam, bantal yang disebelahnya sudah kosong, sambil terkantuk kantuk Acha menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Melewatkan suasana subuh dan sarapan pagi dengan suasana hening karena Yangti banyak bercerita tentang masa kecil Adhitama.
Meskipun rumah itu kecil namun Acha beruntung pagi itu tidak menemukan moment yang membuatnya merona selain  peristiwa sebelum tidur tadi malam.
Yangti mengajaknya ke teras samping saat meminta kepada Acha untuk dipotongkan buah mangga.

Saat terdengar suara riuh heli dari kejauhan Yangti menggerutu.
"Kenapa Adhitama tidak mengajakmu Cha? Kau harusnya berbulan madu agar aku segera punya buyut."
"Adhit pergi kemana Yang?"
"Dia tidak pamit padamu?"
Acha menggeleng, karena memang suaminya tidak berkata apa-apa.
"Anak itu perlu diingatkan bahwa dia  sudah menikah,"
Kata Yangti dengan mata bersekongkol.
"Karena jika dia terlalu sering pergi sendirian, wanita-wanita yang biasanya mengelilinginya tidak akan tahu jika Adhit sudah menikah, apalagi pernikahan kalian belum tersiar."
Kata kata Yangti itu membuat tangan Acha tersentak dan pisau buah yang ia pegang tidak sengaja mengiris ibu jarinya.
Cepat-cepat Acha meletakkan pisau itu saat setitik darah merah tua muncul dan mulai menetes ke meja kayu.

==========

"Ibu jarimu terluka," kata Adhitama lembut.
"Oh, tak apa apa."
"Tak apa apa?" gumam pria itu.
"Sini, biar kulihat!"
Acha menggeliat tak nyaman saat Adhitama memegang tangannya yang terluka dan mulai meneliti ibu jarinya.

Jika dilihat sekilas apa yang dilakukan Adhitama adalah kontak yang biasa biasa saja, namun tidak demikian yang dirasakan oleh Acha.
Kontak biasa itu membuat otaknya kosong, berdesir aneh diperut dan deg degan yang tidak biasa di dadanya.
Dia merasa salah tingkah dan tidak tahu harus melakukan apa selain ikut memandang apa yang dilakukan oleh suaminya itu.
Suaminya pulang tadi pagi setelah dua malam melewatkan waktu diluar bahkan tanpa pesan ataupun telpon yang harusnya pantas ia dapatkan sebagai pengantin baru yang harusnya tengah berbulan madu seperti ijin cuti yang ia ajukan.
Desir aneh dan rasa melilit diperut itu kembali terasa saat tangan suaminya membalik telapak tangannya, meski senang dengan perhatian Adhitama namun hal itu tidak menghilangkan perasaan tak aman dan cemburu yang menghantui selama 2 malam terakhir.
Bagaimana jika Adhitama mendapatkan perhatian diluar sana?
Karena sampai dengan saat ini, suaminya itu bersikap sopan terhadap dirinya, tidak pernah mencoba merayunya bahkan saat tidur seranjang kemarin dulu.

Menghabiskan waktu berdua dengan Yangti membuat Acha sedikit banyak mulai bisa mengerti keanehan sikap suaminya terkait ketidak inginannya untuk tidak memiliki anak.
Papa dan mama Adhitama bercerai saat suaminya itu berusia 6 tahun, dan hak asuh Adhitama jatuh pada mamanya.

Sejak saat itu Papa Adhitama tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya, Adhitama merasa dibuang oleh ayahnya.
Pun demikian dengan sang ibu yang terlalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga melupakan bahwa putra kecilnya itu tidak hanya membutuhkan materi.
Membayangkan Adhitama kecil yang kesepian dan sendirian membuat Acha mengerti bahwa suaminya itu hanya takut ia akan melakukan hal yang sama seperti ayah ibunya jika nanti punya anak.
Acha menatap suaminya dengan sayang, meski senang karena kepulangannya pagi tadi, namun Acha tidak bisa menghilangkan perasaan tidak aman dan cemburu atas apa yang dilakukan suaminya selama 2 malam berjauhan darinya.
"Bagaimana kejadiannya?"
Kata Adhitama sambil serius melihat melihat dan meneliti jempol Acha.
"Aku terluka karena pisau buah."
"Kau ceroboh."
"Ya,"
Acha ingin melarang Adhitama memegang tangannya, tapi tidak ada kata kata yang keluar dari mulutnya.
Karena meski tindakan itu tampak seperti pemeriksaan biasa biasa namun Acha merasakan syaraf-syaraf tangannya hidup semua saat berada dapat genggaman suaminya.
Acha menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan berharap hal tersebut mampu meredakan desiran dan cubitan kupu-kupu yang menyebar diseluruh badannya, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata,
"Jadi, apa yang kau kerjakan kemarin?"
Sebuah pertanyaan yang bahkan tidak ingin Acha tanyakan.
Untuk sesaat Adhitama tidak menjawab pertanyaan itu, dia melepaskan tangan Acha, tersenyum miring dengan lekuk lekuk bibir sedikit mengejek,
"Jadi aku harus melaporkan semua agendaku padamu?"
"Emh...iya..emh ...tidak juga,"
Acha tergagap gagap menjawab karena tidak mengira akan mendapat pertanyaan balik.
Adhitama tersenyum,
"Seharusnya aku mengajakmu."
"Haruskah?"
Adhitama menaikkan kedua alisnya,
"Tidak ada yang mengharuskan sih, hanya saja hal itu akan memudahkanku untuk menghindari banyaknya tawaran yang ada."
"Tawaran seperti apa?"
"Kau tahulah...."
"Tawaran yang melibatkan selimut bernafaskah?" tanya Acha dengan suara bergetar.
Adhitama hanya tersenyum miring.
"Kenapa kau sangat suka melukaiku?" tanya Acha dengan mata berkaca kaca.
"Bukankah luka adalah hal yang tak terelakkan dalam sebuah hubungan?"
"Kau pernah terluka dalam sebuah hubungan? Dengan seorang gadis?"
"Bukan seorang gadis."
"Kau terluka oleh ibumu? Oleh ayahmu?"
Adhitama tersenyum masam,
"Tidak ada gunanya lagi untuk dibahas."
"Selalu perlu untuk dibahas jika itu membuat kita punya  masa depan."
"Ibumu atau ayahmu mengacuhkanmu Dhit ?"
"Aku tidak tahu, yang aku tahu ibu terlalu dingin padaku, dia jarang memelukku, menciumku bahkan hanya sekedar menyentuhku, aku sering merasa beliau menjadikanku beban yang harus ia selesaikan pasca berpisah dengan ayah, dan ayahku, dia tidak pernah kembali setelah aku memilih untuk ikut ibu."
  
Acha menarik nafas panjang, berusaha mengerti dan mengurai benang rumit yang bermuara dimasa kecil suaminya.                       
"Cha, kita tidak harus membahas ini."
Elak Adhitama dengan lelah.
"Tapi aku ingin membahasnya karena ini adalah masalah dasar dalam sebuah pernikahan, sebuah rumah tangga harus didasari oleh kepercayaan."
"Dan apakah kau percaya padaku?"
"Aku tidak tahu, karena aku bahkan tidak tahu seperti apa duniamu, aku bahkan belum menjadi istrimu yang sesungguhnya," jawab Acha lirih sekaligus malu.
"Haah, dan apakah kau mau menjadi istriku yang sesungguhnya?"
Tanya suaminya dengan alis terangkat satu, terlihat tampan, seksi, begitu mudah disentuh dan laki laki itu sah miliknya.
Muka Acha merah padam, tidak mengira jika akan menerima pertanyaan sevulgar itu.
Adhitama tersenyum, Acha sudah akan menjawab saat terdengar suara Yangti memanggil mereka berdua untuk masuk.
***

Saat makan malam Acha merenung, tak ada salahnya ia mencoba salah satu kado dari kak Ais, suaminya hanya perlu di beri kesempatan bahwa ia lebih baik dari ayah dan ibunya dalam mencoba berkeluarga.
Suaminya itu perlu mendapat dukungan bahwa ia bisa menjadi seorang ayah yang baik seperti kesabarannya yang ia tunjukkan saat menangani Arkan keponakannya.
Dia hanya belum yakin bisa menjadi ayah yg baik karena belum mencobanya.
Saat lampu kamar sudah dipadamkan Acha menangkupkan selimut itu hingga batas lehernya, kado dari kak Ais benar benar membuat urat malu nya habis, baju tidur itu bahkan tidak mempunyai fungsi menutupi, baju itu lebih bisa dikatakan sebagai etalase yang akan menyenangkan para suami.
Dan saat ini Acha menyembunyikan semua dengan rapi dibawah selimut yang terlipat rapi di bawah dagu.

Ketika suara pintu kamar terdengar dibuka dari luar, Acha sudah berpura-pura tidur, namun pijar lampu yang dinyalakan membuat matanya tidak mampu dengan sempurna berpura-pura tidur.
Saat melihat kernyit tipis diujung mata istrinya, Adhitama tersenyum dia tahu bahwa Acha hanya berpura-pura tidur.
Mungkin istrinya itu hanya malu karena akhirnya memutuskan untuk tidur seranjang dengannya, apalagi melihat penampakan selimut yang tertutup rapat.
Acha merasakan beban kasur melesak, kemudian suara badan beringsut dan selanjutnya bibir lembut yang menyapu keningnya.
Saat beban itu beringsut pergi, Acha menarik nafas lega.
Namun ternyata hanya sampai terdengar bunyi klik saklar lampu, saat suasana kembali gulita beban lesakan itu mendekat, kemudian ada tangan yang meletakkan kepalanya dilekukan bahu sebelum akhirnya tangan itu melingkari pinggangnya.
Acha menahan nafas dan pura-pura tidur, dia bingung apa yang harus dia lakukan, pura-pura tidur namun dag dig dug atau bangun dan membuat suasana yang seperti mantra itu menghilang.
Acha menarik nafas panjang dan menghembuskannya lambat-lambat dengan harapan mampu membuat detak jantungnya melambat, juga berharap suaminya tidak menyadari bahwa ia belum tertidur.
Acha tidak tahu jam berapakah ia akhirnya tertidur karena setelah sangat lama mendengarkan detak jantung hangat yang teratur dibawah pipinya mimpi itu mulai menyapanya.

Mimpi melihat Adhitama kecil yang menangis karena bingung memilih diantara tangan feminine dan tangan maskulin  terulur di dua arah yang berbeda, mimpi itu membangunkannya dengan rasa sesak didada dan saat membuka matanya Acha tersipu melihat bekas  lekukan bantal yang ada disampingnya, suaminya selalu bangun lebih awal dari dirinya.
Acha berjingkat menuju kamar mandi saat mendengar suara suaminya lirih membaca Al-Quran, dia  tersenyum malu teringat bahwa jadwal sholat lail suaminya yang lebih teratur dari dirinya.

Perempuan memang memerlukan azzam yang kuat untuk menjalani rutinitas sholat lail apalagi setelah selesai siklus bulanan, setan sangat pandai menghembuskan rasa malas dan nyaman dalam tidurnya sehingga memulai lagi rutinitas sholat lail membutuhkan tenaga ekstra untuk memulainya.
Mereka berjalan bersama dengan Yangti menuju masjid yang terletak lumayan jauh dari rumah utama, untuk sholat subuh.
Acha baru menyadari betapa luas rumah Yangti dan ternyata tempat itu juga merupakan tempat Adhitama mengembangkan beberapa macam  spesies kuda , belum sampai masuk ke spesies kuda terbaik namun kuda yang dibiakkan disana terlihat cukup bagus dan berkualitas.
***

Pagi itu Adhitama menawarkan kepada Acha untuk mengajarinya naik kuda dan Acha berbunga bunga karenanya.
Berkuda termasuk olahraga sunnah, bahkan kak Andre tidak  membolehkannya berkuda dengan alasan keamanan, tapi sekarang Acha merasa aman belajar berkuda dengan suaminya.
Adhitama meluangkan waktu paginya untuk berkuda bersamanya, meski bukan berkuda yang berdua seperti yang romantis di film-film itu, namun Acha merasa aman mereka berkuda berdua bersisian menikmati udara pagi.
Acha merona ketika teringat tadi malam memakai "baju tidur" hadiah dari kak Ais dan suaminya bahkan tidak memperhatikannya.
Apakah suaminya sudah mendapatkan perhatian itu ditempat lain?
Acha merutuk dalam hati, kemudian beristighfar karena pikiran jeleknya itu telah mengurangi keindahan pagi ini.

Dalam cahaya pagi yg cerah, Adhitama melihat beragam kecantikan istrinya pagi ini, tertawa, sedikit ketakutan, tersipu malu, merona bahagia dan saat ini wajah istrinya sedikit merenung, ah....mungkin ia hanya sudah mulai lapar.
"Cha, balik yuk, kita sarapan dulu."
Acha terlihat sedikit kaget saat mendengar suara suaminya.
"Aku belum lapar."
"Trus kenapa cemberut?"
"Emh ..gak apa-apa."
"Aku gak akan tahu lho,kalau kamu nggak ngomong."
"Kemarin."
Acha terlihat ragu ragu dan malu untuk bertanya pada suaminya.
"Ya.."
"Kemarin, saat pergi kamu sendirian khan?"
Adhitama menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka hal itu yqng menganggu istrinya.
"Maksudnya?"
Muka Acha merah padam karena malu, ihh ...masak Adhitama tidak paham dengan pertanyaan nya.
"Iya, sendirian saja seperti saat berangkat dari rumah."
"Kenapa kau menanyakan ini?"
"Karena kau tidak pamitan dan tidak ada berita selama 2 malam kita berjauhan?"
"Harusnya kau ikut dengan ku..."
"Seperti itu juga kata Yangti ,"
"Dan mengapa kau ingin tahu."
"Aku istrimu kan?"
Mata Acha mulai berkaca kaca karena kesal dan waspada.
"Benarkah ?"
"Apa maksudmu dengan benarkah ?"
"Secara dejure ya kau adalah istriku.."
Acha malu sekali karena tanpa dikatakanpun ia tahu bahwa secara fakta saat ini dirinya masih perawan, suaminya belum mengambil hak nya dan ia belum menjalankan kewajibannya sebagai istri, tapi apakah ia tidak boleh cemburu?
Secara tiba tiba Acha menghentikan langkah kudanya dan kemudian turun untuk kemudian berlari, dia tidak tahu harus kemana menyembunyikan rasa malu dan cemburunya.
Adhitama terhenyak kaget menyadari apa yang dilakukan oleh Acha sangat berbahaya, perlahan ia turun dari kudanya kemudian menuntun kuda itu dan berjalan bergegas mengejar istrinya.
"Hei..."
Pegangan tangan dan ucapan itu menghentikan langkah tergesa Acha.
Adhitama merutuk dalam hati saat melihat kolam airmata di mata istrinya.
"Maafkan aku jika membebanimu," kata Acha lirih.
"Membebaniku ..apa? sebenarnya ini ada apa cha? adakah kata kataku yang salah?"
" Tidak ada yang salah....aku yang salah..."
Adhitama melepaskan tali kekang kudanya dan memeluk istrinya.
" Ssst....sst...aku minta maaf, seharusnya kemarin aku tidak meninggalkanmu tapi ada kondisi urgent yang harus ditangani, seharusnya aku mengajakmu tapi jadwalku padat disana, aku takut mengabaikanmu."
Acha masih terisak.
"Setidaknya disini kau bisa lebih dekat dengan Yangti."
"Taapi...tapii...kata Yangti..."
Adhitama menangkup wajah cantik istrinya yang kini ternoda oleh air mata, dengan ibu jarinya dihapusnya air mata itu, ditatapnya mata Acha sambil bergumam,
"Lagian kemarin aku hanya bekerja."
"Tidak ada gadis yang menemanimu?"
Sebenarnya Adhitama ingin menggoda istrinya, namun melihat wajah sedih Acha ia tidak tega, dalam hati ia tersenyum, istrinya peduli padanya, Acha hanya cemburu.
"Tidak, aku hanya bekerja ."
"Benar?"
"Benar."
"Sebenarnya aku membawakanmu oleh oleh yang belum sempat kau buka "
Acha memandang takjub suaminya, ia bekerja dan masih berpikir untuk membelikannya hadiah? Ah, sepertinya suaminya memang mengingatnya meski tengah jauh dari dirinya.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER