Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 02 Oktober 2021

Takdir Cinta #1

Cerita Bersambung
Karya : [un-known]

Sofia meletakkan ransel yang disandang di atas nakas, kemudian merebahkan tubuh rampingnya di atas pembaringan yang dialasi sprei motif bunga Tulip. Dia memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Baru saja memejamkan mata, kilasan kejadian tadi siang mengusik pikirannya.

"Sial! Kalau ketemu sama cowok sinting itu lagi, kucakar mukanya." Sofia mengumpat dalam hati.

Gadis itu kembali memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan tubuh yang lelah. Namun, lagi-lagi gagal, dering ponsel mengusik telinganya.

"Assalammualaikum, Bunda."
" .... "
"Di rumah, kenapa, Bun?"

" .... "
"Oo ... ntar sore, ya, Sofi anter."
" .... "
"Ok, dah, Bunda. Assalammualaikum."

Sofia mematikan sambungan telepon setelah mendengar jawaban dari ujung telepon. Perlahan memejamkan mata, tidak berapa lama, gadis itu jatuh dalam tidur yang sangat lelap.
***

Sofia telah bersiap. Sore ini dia dimintai tolong Halimah mengantar beberapa dokumen penting ke yayasan sosial yang di bina oleh sang ibu. Yayasan itu milik Sarah, karena wanita itu menetap di Bali,  semua urusan yayasan diserahkan kepada Halimah.

Tidak butuh waktu lama, gadis itu sampai di depan bangunan bergaya modern minimalis. Sofia masuk ke ruangan yang menjadi tempat kerja Halimah, akan tetapi sang Bunda tidak berada di sana. Sembari menunggu, dia mendengarkan lagu favorit dari ponselnya.
Tanpa disadari Sofia, Arya juga memasuki ruangan tersebut. Pria itu terkejut mendapati ada seorang gadis di sana, duduk dengan mengangkat kedua kaki ke atas meja.

"Tidak sopan!" Gerutu Arya.
"Hei, ngapain kamu di sini!" hardiknya begitu keras, mungkin suaranya terdengar hingga ke luar ruangan.

Sontak gadis itu menoleh ke sumber suara. Begitu melihat sosok yang membentaknya, mata Sofia membulat sempurna, reflek dia berdiri.

"KAMU!" Kata itu serempak ke luar dari mulut mereka.
"Ternyata kamu cewek bar-bar! Ngapain di sini? Mau maling ya?" tuduh Arya tanpa tendeng aling.

Wajah Sofia memerah, emosinya melesat naik ke ubun-ubun.

"Eh, itu mulut apa comberan!  Sebaiknya di sekolahin dulu yang bener, ngga asal ngomong," sahut gadis itu dengan wajah tak kalah garang.
"Ngga usah bahas sekolahan! Aku yakin kamu ngga pernah makan bangku sekolah," sindir Arya dengan senyum mengejek.

Sofia berjalan cepat, gadis itu ingin segera merobek mulut tajam pria di hadapan. Baru saja tangannya bergerak, dering gawai Sofia menginterupsi. Tanpa melepaskan pandangan dari sosok di hadapan, Sofia memilih menjawab panggilan tersebut.

"Hallo, ya Bun."
"..... "
"Udah, aku tarok di atas meja."
" .... "
"Iya, aku langsung pulang Bun, takut kalau ke mana-mana, ntar ketemu psikopat lagi." Sofia melirik Arya.
" ..... "
"Ok, dah Bunda."

Arya yang dari tadi mendengar percakapan Sofia mendekat.

"Siapa yang kamu bilang psikopat? Aku?!"

Sofia mengedikkan bahu acuh, sudut bibirnya terangkat, mengulas senyum tipis. "Jangan kegeeran. Aku ngga bilang ya, kamu sendiri yang ngaku."
"Kamu!" Arya mendesis menunjuk wajah Sofia dengan sorot kesal.

Sebelum Arya menyelesaikan kalimatnya, gadis itu bergegas pergi.

"Hei! Urusan kita belum selesai!" raung Arya.
Sofia berbalik sebentar. "Emang gue pikirin," balasnya seraya menjulurkan lidah, kemudian dengan cepat menghilang dari pandangan pria itu.

Arya mendengkus, gadis itu benar-benar membuatnya marah. Dua kali bertemu, dua kali pula emosinya terpancing. Sungguh ini bukanlah dirinya. Pria dingin yang sulit direngkuh. Biasanya, para wanitalah yang bertekuk lutut dihadapan, mengabdi dan mengemis cinta padanya. Tapi, gadis itu dengan berani mencari gara-gara dengannya.
Entah kenapa dia selalu terpancing berkonfrontasi dengan gadis itu. Ada rasa yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata, hanya saja pria itu merasa jantungnya berdebar kencang bila bersama gadis itu.
Pun Sofia merutuk pertemuan tadi. Entah kesalahan apa yang diperbuatnya, hingga sehari ini, dua kali dia bertemu dengan pria arogan itu, Sofia meremas ranselnya gemas.
***

Ini hari pertama Sofia bekerja di Petterson Company. Gadis itu terlihat rapi dengan mengenakan kemeja putih, rok hitam selutut, blazer berwarna senada dengan bawahan, dan sepatu hitam setinggi lima centi.
Rambut panjangnya diikat ekor kuda, beberapa helai rambut, jatuh di sisi telinga dan tengkuk Sofia, membuat leher jenjang nan putih terekspos. Dia hanya mengenakan riasan tipis diwajah dan sapuan pemerah bibir berwarna merah jambu sebagai sentuhan terakhir.

Tiga puluh menit waktu yang ditempuh Sofia. Saat ini gadis itu berada di lobi kantor. Terlihat Pak Hendra kepala HRD tengah menunggu. Pria itu mengajak Sofia duduk di sofa yang ada di sana. Beberapa berkas dia berikan untuk ditandatangani. Menurut penjelasan yang didengar Sofia,  itu adalah surat kontrak kerjanya.

Walau terasa janggal, gadis itu tidak curiga sama sekali. Tanpa membaca isi kontrak tersebut, Sofia membubuhkan tanda tangannya. Pak Hendra tersenyum puas, kemudian mengajak gadis itu ke sebuah ruangan yang cukup mewah. Putih dan coklat mendominasi warna ruangan tersebut. Terdapat satu set sofa di pojok sebelah kiri, beberapa foto terpajang di dinding. Di sudut sebelah kanan, dekat dengan jendela, diletakkan sebuah meja dan kursi yang kini diduduki sosok jangkung yang terlihat sibuk dengan dokumen di tangan.

"Tuan, nona Frederika sudah datang."

Pria itu mengibaskan tangan tanpa mengangkat wajah, sebagai isyarat agar Pak Hendra pergi, dengan patuh pria paruh baya itu menunduk hormat, lalu meninggalkan Sofia di sana.

"Waktunya bekerja nona Frederika." Pria itu memecah hening setelah mereka tinggal berdua di ruangan itu.

Sofia bergidik, suara pria itu begitu dingin, menusuk hingga ke hati. Sepertinya, dia kenal dengan suara itu, tapi entah di mana mendengar. Gadis itu hendak beranjak pergi, tapi suara bariton itu kembali terdengar.

"Ke mana, Nona? Aku bilang kamu mulai bekerja, di sini, sebagai sekretarisku."
"Apa! Anda pasti salah. Saya mendaftar untuk mengisi staff acounting, bukan sekretaris." Dahi Sofia berkerut, dia bingung.
"Baiklah terserah kamu. Tapi, kalau kamu menolak, kamu harus membayar denda dua puluh kali lipat dari gajimu, dan juga biaya perbaikan mobilku." Arya mengangkat kepala yang dari tadi menunduk hingga Sofia bisa melihat dengan jelas wajah pria itu.

Pandangan mereka bertemu membuat mata bulat gadis itu terbelalak.
"Kamu! Ngapain di sini?!"

Arya bersandar ke sandaran kursi, bibirnya melengkung senyum kemenangan.

"Tentu saja bekerja. Perusahaan ini milikku!" jawabnya ringan, tapi mengisyaratkan intimidasi.

Sofia hanya mampu mematung menatap pria tampan di depannya dengan mulut terbuka.

==========

Arya tersenyum penuh arti menatap gadis yang sedang kebingungan di hadapan. Ingatan pria itu mundur ke beberapa hari sebelumnya, saat dia meminta daftar nama calon karyawan kepada kepala bagian HRD.

"Apa mereka semua berkompeten, Pak?" Arya memeriksa satu persatu berkas yang ada di atas mejanya.
"Sangat kompeten, Tuan. Hampir semua memenuhi kualifikasi yang kita minta."
"Hampir? Itu artinya ada yang tidak?" tanya Arya dengan  dahi berkerut.

Pak Hendra menunduk, tak berani beradu pandang dengan sang CEO.

"Iya pak, ini ... gadis ini tidak punya pengalaman kerja, tapi dia pernah magang di sini. Kinerjanya sangat bagus." Pak Hendra menyerahkan sebuah cv. kepada Arya.

Manik hitam Arya membulat sempurna, begitu melihat foto gadis yang ada di dalam CV. Seketika senyum licik terbit di sudut bibirnya.

"Hm, Frederika SD. Lulusan terbaik, ipk 3.97, fasih empat bahasa dan single." Gadis yang menarik gumam Arya, "oke! Dia pengecualian, jadikan sekretaris saya."
"Tapi, Tuan ... " Suara Pak Hendra mendadak hilang , begitu mendapat tatapan tajam dari Arya.

"Baiklah Tuan. Saya akan buat kontrak kerja baru."
"Bagus, buat kontrak itu menguntungkan buat saya." Tegas Arya.

Sofia bahkan tidak merubah ekspresinya setelah hitungan detik berlalu. Senyum pria di hadapan, membuat tubuh gadis itu beku dan lidahnya pun ikut kelu.

"Ini perusahaanku, dan mulai hari ini, kamu adalah sekretaris saya."
"Aku ngga mau! Lebih baik aku ngga jadi kerja di sini." Sofia bangkit, gegas melangkah menuju pintu ke luar.
Baru saja tangan gadis itu menyentuh handle pintu, suara Arya mematikan langkahnya.

"Silahkan. Tapi baca lagi kontrak kerja Anda. Membatalkan kontrak atau menolak keinginan saya, artinya Anda akan didenda dua puluh kali lipat dari gaji yang akan Anda terima." Suara Arya terdengar tenang, tapi sarat ancaman.

Sofia memutar tubuh, memicingkan mata menatap pria itu. Wajah si gadis memerah menahan amarah.

"Licik!" dengkus Sofia.

Bibir Arya melengkung sempurna. Puas rasanya melihat gadis keras kepala itu bertekuk lutut di depannya. Satu yang tidak disadari Arya, perlahan, tapi pasti Sofia mulai mengambil tempat di sudut terkecil hati pria dingin itu, walau dengan cara tidak biasa.
***

Sofia tidak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Dari tadi 'Bos gila' nya itu seperti mencari-cari kesalahannya. Mulai dari meminta gadis itu merubah letak sofa, membongkar semua buku yang ada di lemari pajang yang menempel di dinding, dan menyusun kembali sesuai ejaan. Baru lima menit selesai, di bongkar lagi, lalu disusun sesuai ukuran buku, bongkar dan susun lagi sesuai ejaan.

Ingin rasanya saat ini sofia mencekik 'bos gila' itu sampai mati. 'Fuih, rugi aku kalau masuk penjara karna si gila itu.' Umpat Sofia dalam hati.

Sementara Arya sangat puas mengerjai sekretaris barunya. Entah mengapa melihat gadis itu memasang wajah kesal dan mempelototinya, menjadi sebuah kesenangan baru bagi pria itu
***

Sofia masuk ke dalam rumah dengan langkah diseret, tubuh gadis itu lelah sekali. Seharian 'bos gila' itu mengerjainya. Entah apalagi yang akan dilakukan pria  itu besok. Memikirkannya membuat Sofia bergidik ngeri.

'Aih, amit-amit! Kenapa aku bisa terjebak kerja sama cowok sinting itu.' Sofia bergidik geli.

"Sayang, Sofia ... hei!" Sofia tersentak. Terlihat kedua orang tuanya menatap gadis itu heran.

"Dari tadi dipanggil-panggil, diam aja. Ada apa?" tanya Danu yang heran dengan sikap putrinya.

"Eh, ngga papa kok, Yah. Sofi kecapekan aja," Gadis itu berkilah.
"Ya udah, mandi dulu gih, setelah itu kita makan malam bareng ya ..." sela Halimah lembut.

Sofia mengangguk. Ibundanya benar, mandi yang dibutuhkan saat ini. Setidaknya, bisa menenangkan hati yang  kesal karna ulah sang bos.
***

Setelah makan malam, keluarga kecil itu bercengkrama. Sofia bergelayut di bahu sang bunda, meski sudah dewasa, sifat kekanakan gadis itu masih terlihat. Suara bel menginterupsi obrolan mereka, setengah hati Sofia bangkit, membuka pintu rumah yang bercat coklat tua.

"KAMU!" Sofia shock begitu pintu terbuka. Lagi-lagi bos gila itu ada di hadapannya.

Arya tidak kalah kaget, mengapa gadis bar-bar itu ada di rumah teman kecilnya.

"Ngapain Bapak kesini?! Bapak ngikutin saya, ya?" cecar Sofia dengan nada ketus.
"Ngapain saya ngikutin kamu, ngga penting!" jawab Arya sinis.
"Ooo, saya tau. Bapak terobsesi sama saya 'kan? Makanya ngikutin sampai ke rumah," tebak Sofia lagi.
"Sorry, kamu bukan tipe saya. Lagian ngapain kamu di sini."
"Suka-suka saya, ini rumah saya."
"Apa! Jadi, kamu ... Gempil?"

Mata bening milik Sofia membesar, hanya satu orang yang memanggil dia dengan nama itu dan orang itu telah lama tidak dia jumpai, seakan hilang ditelan bumi. Kaki gadis itu  surut ke belakang dua langkah saat Arya mendekat padanya. Sofia dan Arya saling tatap, kedua mata mereka beradu, mencoba membaca lewat jendela hati tersebut.

"Sofia ..." Akhirnya bibir Arya menyebut nama gadis itu.
"Arya ..." Suara Sofia bergetar mengucapkan nama yang dirindukannya siang dan malam selama tiga belas tahun.

Perlahan mata keduanya berkabut, ada rindu yang tidak bisa diungkap oleh kata. Bulir-bulir lembut jatuh di pipi Sofia, gadis itu masih tidak percaya kalau pria yang ada dihadapan sekarang adalah Arya.

Arya terus mendekat, mengikis jarak yang membentang antara mereka, rasa rindu di dada semakin membuncah, dengan sekali sentak tubuh mungil Sofia berada di pelukan Arya. Gadis itu hanya diam saat sang pria memeluknya, kesadaran si gadis masih di awang-awang.

"Gempil, aku kangen ... kangen banget sama kamu," lirih Arya.

Sofia tergugu, bulir-bulir lembut di matanya semakin menganak sungai. Gadis itu tak mampu bersuara, seolah pelukan tangan mungilnya cukup menjawab betapa dia juga merindukan Arya.
***

Halimah dan Danu sangat bahagia dengan kedatangan Arya. Mereka tidak menyangka Arya tumbuh dengan baik. Bocah kecil itu sekarang menjelma menjadi pria dewasa yang sangat tampan, bahkan berhasil menjadi pengusaha sukses, dan yang lebih membuat mereka bahagia, ternyata Arya adalah atasan Sofia.

Hening ... dari tadi Halimah dan Danu sudah masuk ke kamar mereka, meninggalkan Sofia dan Arya berdua di gazebo belakang rumah.

Arya berdehem, mencoba memecah kesunyian antara dia dan sofia. Gadis itu bergeming. Aroma kecanggungan terasa di sekitar mereka.

"Kenapa nama kamu Frederika di CV?" tanya Arya ingin tahu .
"Nama aku emang Frederika. Lengkapnya, Frederika Sofiana Danu." jelas Sofia.

Mereka saling tatap, kemudian tertawa geli, Arya mengacak rambut panjang gadis itu.

"Maaf, ya, aku udah nyerempet motor kamu."
"Jadi bener kan kamu yang salah."
"Iya, maaf, ya." Arya tersenyum manis.
"Aku juga minta maaf udah ngatain kamu."
"Aku juga udah ngerjain kamu tadi di kantor." Arya meringis.
"Ooo, jadi tadi kamu ngerjain aku, dasar Bos gila!"
"Kamu ngatain aku gila?"
"Iya, kenapa? Keberatan? Mau denda aku dua puluh kali lipat lagi?" sindir Sofia
Arya tertawa, menggeleng cepat. "Ngga, kalau kamu jadi istri aku gimana?"
Sofia menoleh dengan cepat. "Aih, udah pintar ngegombal sekarang. Berapa cewek yang udah dikadalin?" godanya.
"Cuma kamu." Arya menatap Sofia hangat. "Aku selalu ingat kamu, Gempil. Siang dan malam." lirihnya.

Hati Sofia menghangat, dia terenyuh mendengar pengakuan pria itu. Namun, gadis itu terlalu sungkan mengakui perasaannya.

Arya menatap wajah Sofia lekat. Gadis itu sangat jauh berbeda, dia terlihat lebih cantik. Jantung pria itu berdetak kencang, ada rasa yang merasuk ke dalam relung hati. Perlahan tangan pria itu bergerak menyelipkan beberapa helai rambut Sofia-yang dipermainkan angin malam-ke belakang telinga. Wajah gadis itu merona, bibirnya tersenyum simpul.

Sofia berjengit ketika tangan Arya menggenggam jemarinya. Pandangan mereka saling mengunci.

"Sofia ... aku sayang sama kamu," ujar Arya sambil menatap lekat.
Sofia tersenyum. "Aku juga," balasnya.
"Bukan, bukan sayang seperti itu, tapi ..." Arya menjeda kata-katanya.
"Tapi apa?" tanya Sofia penasaran.

Arya menggeser tubuhnya lebih dekat, menggenggam kedua tangan gadis itu erat. "Sofia, be mine ...."

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER