Sudah enam bulan Sofia menjadi sekretaris Arya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan, semua di urus Sofia. Gadis itu sangat pintar, Arya tidak salah menjadikan Sofia sebagai sekretaris pribadinya. Pekerjaan pria itu sebagai seorang CEO menjadi lebih ringan.
Dekat setelah tiga belas tahun berpisah, membuat Sofia mengerti karakter Arya yang sangat jauh berbeda. Sekarang, pria itu terlihat sangat matang, dia begitu tenang dan dingin. Sesekali pria itu terlihat mengerikan bila berhubungan dengan kemajuan perusahaan. Dia tidak suka kegagalan, apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya, tetapi bila hanya berdua dengan Sofia, pria itu menjelma menjadi sosok yang hangat, manja, dan romantis.
***
Sore ini, kedua insan berlainan jenis itu duduk di hamparan pasir putih di tepi pantai. Arya merebahkan kepala di bahu kanan Sofia. Tubuh gadis itu menegang, bukan yang pertama pria itu bersikap seperti itu. Tapi tetap saja, berdekatan dengan Arya membuat jantung gadis itu berdengup lebih kencang.
"Gempil ... kamu tau ngga, kenapa matahari dan bulan ngga pernah ketemu?" tanya Arya menatap lurus ke arah matahari yang hampir terbenam.
"Ngga tau, emang dari dulu begitu."
Arya berdecih, mendongak menatap wajah sofia. Jarak mereka sangat dekat, dia bahkan bisa melihat dengan jelas rona kemerahan di pipi gadis itu. Di telusuri lekuk wajah Sofia dengan tatapan lembut, dilihat sisi mana pun gadis itu sangat cantik, lalu pandangan pria itu jatuh ke leher Sofia yang terekspos karena rambut si gadis yang di cepol seadanya. 'Sexy' Pujinya dalam hati. Dia membayangkan mengendus dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Sofia. Dia terkekeh pelan tentang fantasi luarnya.
"Apa yang lucu?" tanya Sofia dengan dahi berkerut. Sesaat mata mereka bertemu, ada getaran aneh menyusup ke dalam hati gadis itu, tapi dengan cepat Sofia memalingkan wajah, tak urung rasa malu menyergap dirinya.
Arya berdehem, dia meluruskan tubuh kembali menatap ke depan.
"Mereka saling menjaga, Bulan mengikuti Matahari, saling mendukung, meski dari kejauhan. Walau ngga pernah ketemu, cinta mereka sangat besar. Tanpa Matahari, Bulan akan tersesat," jelas Arya.
"Ngaco, mana mungkin bulan tersesat," cibir Sofia.
"Benar ... Matahari dan bulan pasangan sejati, saling membutuhkan dan saling melengkapi. Jika salah satu ngga ada, pasti alam raya gelap gulita. Mereka saling mendukung, walau tidak pernah berjalan beriringan. Matahari setia menunggu bulan," tutur Arya lembut.
Sofia tertegun, kata-kata pria itu mengena di hatinya. Arya menatap sofia intens, memutar tubuh si gadis, hingga mereka kini berhadapan. Pria itu menggenggam jemari Sofia,
"Gempil, aku ingin kita seperti itu. Saling mendukung saling menguatkan. Aku ingin kita punya satu tujuan, aku ingin kamu menjadi rumahku, satu-satunya tempat aku pulang," lirihnya menatap penuh harap.
Sofia bergeming, jika ingin jujur, hatinya sedang bersorak kegirangan, berlarian ke sana-ke mari. Ingin rasanya gadis itu melompat dan memeluk Arya , tapi akal sehat segera mengingatkan. Bisa saja yang dirasakan arya itu salah, mungkin pria itu masih merasakan euforia pertemuan mereka setelah belasan tahun berpisah. Sofia takut, itu hanya perasaan sesaat. Mana mungkin seorang CEO mencintai dirinya, mereka bagai bumi dan langit.
***
Pagi ini Sofia sibuk menyiapkan beberapa berkas yang akan dibawa untuk meeting nanti. Pertemuan itu sangat penting, klien mereka adalah salah satu perusahaan yang cukup berpengaruh di pangsa pasar Asia.
"Permisi, Mr. Mattew ada?" Sofia mendongak, melihat sumber suara.
"Emm, maaf ... apa Anda sudah buat janji sebelumnya?" tanya Sofia.
"Oh, baby ... aku tidak perlu membuat janji untuk bertemu Mattew. Bilang saja Karina datang."
Sofia bergeming, entah mengapa ada rasa tidak suka melihat wanita itu.
"Hei, aku harus bertemu Mattew sekarang!" seru Karina terlihat kesal membuyarkan lamunan Sofia.
"Oh, sebentar ... " Sofia menekan intercom, menelpon Arya, "maaf, Pak, ada yang ingin bertemu, namanya Karina."
"Ka-Karina ... " Suara Arya terdengar gugup.
Hanya beberapa detik setelah Sofia meletakkan intercom, Arya telah membuka pintu ruang kerjanya. Raut pria itu pias, bergantian menatap Sofia dan Karina.
"Hello, Baby ... I miss You so much." Karina memeluk Arya erat.
"Karina, kapan kamu datang?" tanya Arya terlihat canggung.
"Baru aja, Papa minta kita mempercepat pernikahan"
"Masuklah ... " sela pria itu cepat.
Karina melenggang masuk ke dalam ruang kerja Arya, sekilas pria itu menatap Sofia yang terpaku di meja kerja.
"Sofia, bisa minta OB membuat minuman ?" pinta Arya.
"Baiklah."
Setelah mendengar jawaban gadis itu Arya masuk menyusul Karina ke dalam ruangannya.
Sofia masih bergeming, Indra pendengaran gadis itu masih sangat jelas. Wanita tadi menyebut pernikahan, siapa yang akan menikah? Tiba-tiba saja prasangka buruk menyergap hati gadis itu.
***
"Sayang, Papa ingin mempercepat pernikahan kita," ujar Karina begitu mereka duduk di sofa dalam ruang kerja Arya.
"Kenapa harus dipercepat, bukankah kita sepakat tahun depan?" Arya terlihat gelisah.
"C'mon, Baby ... cepat atau lambat kita tetap menikah, apa bedanya sekarang?" Karina mengeluh.
Arya menyugar rambut, pria itu membuang pandangan ke luar jendela kantor. Sekilas wajah Sofia melintas di mata, Arya bingung apa yang harus dilakukan.
Dia telah jatuh teramat dalam pada hati seorang gadis bernama Sofia, hanya melihat gadis itu tersenyum, semua lelah dan penatnya seakan sirna. Arya sadar, bahwa dia telah berada jauh dari garis amannya. Hal yang selalu dihindari Arya selama ini adalah jatuh cinta. Sofia sebuah penecualian. Gadis itu mampu menghancurkan batasan yang dia buat sendiri.
"Sayang, bersiaplah hari ini kita fitting baju pengantin, pernikahan tiga minggu lagi." Suara Karina membuyarkan lamunan Arya.
Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar, serempak mereka menoleh. Di sana, di tengah ruang kerja Arya, Sofia berdiri dengan raut wajah pucat. Pegangan gadis itu terlepas hingga teh yang dibawa jatuh ke lantai.
"Sofia ... " gumam Arya.
Sorot matanya redup menatap gadis itu.
"Maaf, saya tidak sengaja. Segera saya bersihkan." Sofia berjongkok membersihkan pecahan kaca itu, ada serpihan kecil menusuk telunjuknya. Namun gadis itu merasa kebas. Dia tidak merasakan sakit di jari, perih di hati gadis itu lebih dalam dan terasa melumpuhkan otaknya.
Arya mendekat, ikut berjongkok sambil menarik lembut tangan Sofia--bermaksud melihat lukanya--tapi segera ditepis si gadis.
"Tidak perlu Tuan Arya yang terhormat. Ini kesalahan saya." dengkus sofia. Begitu selesai membereskan pecahan gelas itu, dia gegas meninggalkan ruang kerja Arya.
Ingin Arya mengejar, tapi kaki pria itu terpaku di lantai melihat luka di mata Sofia.
==========
Sofia duduk dengan memeluk kedua kaki, dia menupangkan dagu di atas lutut. Mata gadis itu terlihat sembab karena menangis semalaman, sisa air matanya masih menggenang di kedua mata bening yang terlihat sembab dan memerah.
Dia menangisi kebodohannya, kesal pada diri sendiri. Mengapa begitu mudah terbuai dengan kata-kata yang keluar dari mulut Arya. Percaya begitu saja ketika pria itu menyatakan cinta.
Sekarang hati gadis itu hancur. Cinta yang mulai tumbuh di dalam hati, perlahan layu sebelum berkembang. Dia sangat terpuruk, tidak pernah mengira Arya membohongi dirinya. Bagaimana mungkin pria itu meminta dia menjadi istri, sementara Arya sendiri sudah memiliki calon.
Sofia tersenyum getir, menertawakan kebodohannya. Harusnya dia sadar diri, Arya seperti matahari, begitu sulit untuk direngkuh, yang terjadi dia akan terbakar dan sirna jika memaksa untuk terus bersama.
Apa yang menjadi ketakutan Sofia terbukti. Arya hanya mengalami euforia, pria itu begitu bahagia bertemu dengannya, hingga dia salah mengartikan perasaan.
Namun, gadis itu sadar. Dia terlanjur jatuh cinta pada pria tersebut, rasanya sulit untuk lepas dari rasa itu. Tapi, Sofia juga tidak mau merusak hubungan Arya dengan Karina.
Sofia memejamkan mata, berharap sesak di dada berkurang, tapi justru isaknya menggema di sudut kamar berwarna putih. Sofia membekap mulut dengan kedua tangan, tak ingin kedua orang tuanya mendengar tangis kepedihan dari hatinya.
Suara ketukan pintu terdengar di pintu kamar Sofia, terdengar suara lembut Halimah memanggil gadis tersebut. Sang bunda memberitahu, Arya mencari dirinya. Sofia bergeming, gadis itu belum siap bertemu pria itu, dia juga tidak mau kedua orangtuanya melihat keadaan dirinya yang terlihat kacau.
***
"Kenapa ngga nunggu aku pulang ?" tanya Arya memecah kesunyian setelah tiga puluh menit mereka hanya terdiam, saat ini keduanya duduk di gazebo taman belakang rumah Sofia. Gadis itu memilih diam, kepalanya sedari tadi tertunduk, jemari dipilin di atas pangkuannya.
Arya menghela napas lelah, pria itu meraup wajahnya kasar.
"Gempil, aku minta maaf. Aku ngga bermaksud bohongin kamu. Semua terjadi begitu saja, aku ... jatuh cinta sama kamu, dan ... " Arya menggantung kata-katanya.
"Anda keliru, Tuan. Anda tidak jatuh cinta pada saya, dari awal saya sudah mengingatkan rasa Anda salah," jawab Sofia dengan suara serak.
"Salah? Maksud kamu apa Gempil? Please ... jangan bersikap formal padaku, panggil aku seperti biasa. Aku rindu nama kecilku, Gempil," lirih Arya menatap lekat dengan sorot sendu.
Sofia melipat bibirnya, mata gadis itu mulai berkabut, tapi dia berusaha tegar. Tak ingin memperlihatkan kelemahan di saat dia memang sedang rapuh. Arya tak boleh melihat dirinya menangis. Sofia tidak ingin dikasihani.
"Maaf, Tuan, saya tidak bisa. Anda atasan saya dan saya hanya pesuruh Anda. Saya tidak ingin lancang," tolak Sofia.
"SOFIA!" bentak Arya, dia menyugar rambutnya, wajah pria itu mengeras, sikap Sofia benar-benar membuat dia frustasi. Sungguh demi apa pun, dia sangat mencintai gadis itu.
Tidak pernah Arya merasa kacau seperti ini, bahkan saat perusahaan papanya hampir kolaps, Arya masih bisa bersikap tenang, hingga dia menerima kesepakatan pernikahan dengan Karina demi bisnis. Keputusan yang saat ini disesalinya.
Arya berlutut di depan Sofia, menggenggam jemari gadis itu erat.
"Gempil, aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya kamu ... kamu yang bisa membuat aku gelisah, kamu yang membuat jantung ini berdebar sangat kencang. Kumohon mengertilah ...."
Sofian menarik tangannya yang digenggam Arya.
"Saya sangat mengerti. Saya tersanjung dengan kata-kata Anda, tapi seharusnya tidak bersikap seperti ini. Sebentar lagi Anda akan menikah, tolong jaga perasaan calon istri Anda."
Arya bangkit, berdiri di hadapan gadis itu. "Ini pernikahan bisnis Gempil, tidak ada cinta, yang ada hanya uang"
"Bagaimana anda bisa mempermainkan sebuah pernikahan? Tidak ada cinta? Omong kosong! Siapa yang bisa menjamin, seiring waktu akan ada cinta yang tumbuh, dan saya tidak ingin menjadi orang ketiga," sela gadis itu cepat. Sofia bangkit, meninggalkan Arya. Sebelum melangkah dia menganjur napas dengan rakus, seakan oksigen di sekitarnya menipis.
"Secepatnya Anda akan menemukan surat pengunduran diri saya. Selamat malam Tuan Arya."
Sofia melangkah masuk ke dalam rumah, air mata yang ditahan sedari tadi meruah membanjiri pipi, tangannya menekan dada yang terasa sangat nyeri. Arya termangu, pria itu tidak menyangka penolakan Sofia. Ada yang sakit di dadanya, sakit yang sama seperti tiga belas tahun yang lalu, ketika kedua orang tuanya berpisah.
***
Hentakan musik keras terdengar merangsek masuk ke indra pendengaran. Cahaya temaram dan lampu kerlap-kerlip membuat suasana semakin panas.
Di sudut salah satu tempat hiburan yang sangat terkenal di kota ini, seorang pria duduk sambil menggenggam botol minuman. Dia, Arya. Ini sudah botol ketiganya, pria itu mabuk berat. Mulutnya tidak henti meracau sedari tadi, kadang dia tertawa, sesaat kemudian menangis. Arya benar- benar terlihat kacau.
Bartender yang melayani Arya menyadari pria di hadapan mabuk berat, tidak mungkin pelanggannya ini mampu pulang sendiri. Sang bartender memeriksa ponsel Arya, mencari kontak yang sering di hubungi pria itu.
***
Sofia bergegas menyalakan Nissa Juke putihnya, setelah menerima telpon dari seseorang yang mengabarkan Arya mabuk berat di sebuah klub malam.
Tidak lama Sofia sampai. Matanya menjelajah ke dalam ruangan klub yang minim cahaya, seorang pria melambaikan tangan, lalu menunjuk sosok pria yang terduduk antara sadar dan tidak. Sofia mendekat, kemudian membayar minuman Arya seraya mengucapkan terima kasih, gadis itu menuntun tubuh dan mengantarkan pria itu ke apartemen.
***
Sofia merebahkan tubuh Arya di atas pembaringan. Gadis itu sering datang ke apartemen pria itu, hingga hapal kode masuk ke dalam. Belum sempat dia berdiri sempurna, tiba-tiba sebuah sentakan menarik tubuh gadis tersebut. Dia jatuh di atas ranjang, dengan cepat Arya mengurung tubuh Sofia yang ada di bawahnya. Mata Sofia membola tak percaya, alarm di kepala gadis itu berdentang, pertanda bahaya sedang mengintai dirinya.
Sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Arya, tapi dia bergeming. Mata pria itu menggelap dipenuhi gairah, bibirnya mendesahkan nama Sofia. Gadis itu bergidik ngeri, Arya terlihat berbeda. Pria itu menyeringai.
"Akan kujadikan kau milikku, Gempil ..." bisiknya seduktif.
Arya menggagahi Sofia dengan brutal, tidak dipedulikan rintihan gadis itu. Hilang sudah kehormatan yang dijaga selama dua puluh tiga tahun. Tragisnya, mahkota itu di renggut oleh pria yang dia cintai.
Malam itu, menjadi malam paling kelam dalam sejarah hidup Sofia, bahkan alam pun mengutuk perbuatan sang pria. Langit menumpahkan hujan deras, gemuruh bersahutan disertai petir dan kilat, seakan ikut murka dengan perilaku binatang salah satu ciptaan-NYA.
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel