Sofia membungkus tubuh polosnya dengan selimut tebal milik Arya. Dia berjalan tertatih ke toilet dengan menahan sakit di bagian bawah tubuh.
Gadis itu menangis di bawah guyuran shower. Sakit di tubuhnya tidak seberapa bila dibandingkan luka yang tergores di dalam hati.
'Aku kotor ... aku tidak punya kehormatan lagi. Jawaban apa yang akan kuberi nanti, bila suamiku bertanya.' Pertanyaan itu berputar-putar di benak Sofia.
Isak gadis itu semakin keras, bulir-bulir hangat berdesakan jatuh di pipi. Sofia merasa sangat jijik, dia menggosok seluruh tubuhnya hingga memerah, tapi sampai kulit itu terasa perih, rasa itu tidak juga hilang.
***
Di luar kamar Arya terbangun dari tidurnya. Pria itu duduk di tepi ranjang, tangannya memijit kepala yang terasa berdenyut sakit.
Suara tangis menyayat hati terdengar dari dalam toilet. Arya tertegun, matanya menjelajah isi kamar. Terlihat olehnya pakaian berserakan di lantai, mata pria itu menangkap bercak darah di atas ranjang.
Arya terkesiap, ketika sadar dirinya pun polos tanpa sehelai benang melekat di tubuh. Dia memungut dan memakai celana boxernya, belum sempat otak pria itu mencerna, sosok Sofia ke luar dari dalam toilet berbalut handuk putih selutut.
"Gempil ...," lirih Arya.
Pandangan mereka bertemu. Arya melangkah mendekati Sofia, tapi gadis itu mundur hingga tubuhnya membentur dinding. Tangan Arya bergerak ingin menyentuh wajah Sofia, terlihat oleh pria tersebut pipi gadis itu lebam, sudut bibirnya terdapat luka.
"Jangan sentuh," desis Sofia. Sorot mata gadis itu penuh kebencian terhadap Arya, sementara tangannya berada di dada, mencengkeram handuk yang melilit tubuhnya.
Arya bergeming. Mata pria itu menelusuri bahu dan lengan Sofia. Tampak olehnya bukan hanya wajah, tapi tubuh gadis itu juga penuh lebam. Arya melangkah mundur, wajahnya pias. Dada pria itu seperti dihantam godam besi, kepalanya terasa berat, seolah ditimpa ribuan ton beban. Kejadian tadi malam menerjang benaknya. Arya mengingat jeritan Sofia, tangis gadis itu, semuanya ....
***
Sofia duduk di tepi ranjang. Sorot mata gadis itu terlihat kosong, kedua tangannya memeluk tubuh yang menggigil. Arya hanya mampu menatap Sofia dengan rasa bersalah. Ingin rasanya membawa gadis itu ke dalam pelukan, tapi si gadis tidak memberi peluang pria itu mendekat.
"Gempil, maafkan aku!" lirih Arya, suaranya terdengar serak.
Sofia diam, gadis itu benar-benar terlihat terpukul, wajahnya dingin tanpa ekspresi, mata bening gadis itu tak lagi berbinar. Arya mendekat perlahan, duduk bertumpu pada kedua lutut, tubuh mereka berhadapan.
Arya menatap intens wajah Sofia. Rasa bersalah merangsek masuk ke hati pria itu, jiwanya mengutuk perbuatan semalam. Dia bersumpah tidak akan menyentuh minuman haram itu lagi. Perlahan Arya menyentuh jemari Sofia, gadis itu bergeming.
Melihat tidak ada reaksi penolakan lagi, Arya membingkai wajah Sofia dengan tangan. Memaksa gadis itu mengangkat wajahnya, Arya mengusap sudut bibir Sofia yang terluka.
"Masih sakit?" tanya Arya, saat Sofia meringis. Gadis itu kembali diam.
"Aku menyakitimu semalam. Maaf ...!" lirih Arya. Lidahnya kelu, apa pun yang sekarang dia ucapkan rasanya percuma, tidak akan mengubah keadaan.
"Sudahlah ... waktu tidak akan kembali. Aku sudah hancur, aku ternoda ...," isak Sofia, air mata gadis itu jatuh berderai.
Arya menggeleng cepat, duduk di sisi Sofia.
"Tidak! Kau suci, Gempil. Bagiku tidak ada wanita sebaik dirimu."
"Aku sudah kehilangan kehormatanku! Apalagi yang bisa kubanggakan untuk suamiku kelak?!" raung Sofia, wajah gadis itu terlihat frustasi dengan wajah bersimbah air mata.
"Kau tidak akan menikah dengan siapa pun. Aku yang akan menjadi suamimu. Kau milikku Gempil ... hanya milikku."
Arya merengkuh tubuh mungil Sofia. Tangis gadis itu pecah, terdengar begitu pilu, menyayat hati. Bahunya berguncang hebat seiring tangis yang semakin kencang.
"Tidak mungkin! Kau akan menikah, aku tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaanmu," tolak Sofia di antara tangisnya.
Arya mengetatkan pelukannya. "Bahagiaku bersamamu. Pernikahan ini hanya perjanjian bisnis. Kumohon, menikahlah denganku, jadilah rumahku, Sofia ..."
Sofia hanya tergugu dalam pelukan Arya. Gadis itu benci pada dirinya sendiri. Harusnya dia memaki Arya, mencakar atau menyiksa pria itu. Tapi dia menyadari, jauh di relung hati betapa dia mencintai Arya, mencintai dengan segenap jiwa.
***
"Hai, Mattew ada?"
Sofia yang sedang memeriksa beberapa berkas mendongak. "Oh, Nona Karina. Tuan Mattew sedang rapat, sebentar lagi selesai," jawabnya sedikit kikuk.
Gadis itu berusaha menenangkan hati yang bergemuruh. Ada rasa tidak nyaman setiap kali Karina datang menemui Arya.
'Cemburukah aku?' Pikir Sofia.
'Bukankah aku orang ketiga di antara mereka?' Gadis itu terus bermonolog di dalam hati.
"Baiklah, aku akan tunggu di dalam," ujar Karina, membuyarkan lamunan Sofia.
Namun, baru dua langkah wanita itu berbalik.
"Emm, Sofia. Aku ingin minta tolong padamu, apa kau mau menolongku?" tanya Karina.
Sofia mengangguk pelan.
"Saya akan bantu kalau bisa."
Karina tersenyum, dia kembali mendekati gadis itu.
"Hari ini kami fitting baju pengantin, aku mau kau menemaniku. Aku butuh pendapat seseorang dan kuharap kau tidak menolaknya."
Crash ....
Ada yang patah di dada Sofia. Baju pengantin ... itu artinya sebuah pernikahan akan terjadi. Wajah gadis itu berubah sendu, membayangkan kekasihnya bersanding dalam ikatan suci, sedangkan dia hanya diberi janji dari mulut Arya. Tidak ada jaminan pria itu akan menepati janji. Seketika, Sofia merasa gelar gadis paling tolol sedunia pantas disematkan padanya, tidak seharusnya dia mempercayai ucapan Arya.
"Well ... gimana? Aku tidak menerima penolakan Sofia!" Karina mendesak, jelas dia tidak membutuhkan persetujuan gadis itu.
"Saya harus ijin pada Tuan Matt--"
"Tidak perlu, perusahaan ini juga milikku. Aku berhak mengambil keputusan di sini!" sela Karina tegas.
Sofia kehabisan kata-kata. Tanpa banyak bicara lagi, Karina menarik tangan gadis itu menaiki mobil yang akan membawa mereka ke butik tempat si wanita memesan baju pengantinnya.
***
Arya datang dengan tergesa menyusul Karina dan Sofia. Pria itu tidak habis pikir, kenapa Sofia mau saja di ajak Karina ke butik. Jelas itu akan menyakiti hati gadis itu. Arya tidak mau Sofia berpikiran buruk tentangnya. Dia paham sekali watak Karina, wanita itu memiliki naluri luar biasa. Dia tahu siapa yang berpotensi menjadi lawannya, entah lawan bisnis atau asmara.
Sementara di dalam butik langganan Karina, Sofia sedang menunggu wanita itu mencoba gaun pengantinnya. Perlahan tirai biru di hadapan gadis itu terbuka, menampilkan sosok Karina.
"Bagaimana Sofia, apa aku terlihat cantik?" tanyanya seraya mengamati pantulan dirinya dalam cermin setinggi orang dewasa.
Sofia menatap Karina. Wanita itu memilih gaun model bustier berwarna broken white, taburan kristal menambah kesan elegan pada gaun tersebut. Tubuh Karina yang ramping terlihat semakin cantik dan anggun, seakan gaun itu memang dibuat untuknya.
"Nona terlihat sangat cantik," puji Sofia.
"Apa menurutmu Mattew akan suka," tanya Karina dengan tatapan menyelidik
"Pasti Tuan suka, Nona."
Karina tersenyum lebar, dia berbalik, melangkah mendekati Sofia.
"Akan kuberitahu sebuah rahasia. Aku sangat mencintai Mattew, meski dia tidak mencintaiku. Oh, maksudku sekarang belum. Namun, cepat atau lambat aku akan memiliki tidak hanya tubuh, tapi juga hatinya," bisik Karina.
Dahi Sofia berkerut, dia penasaran.
"Benarkah? Lalu bagaimana jika Nona gagal," tanyanya, tapi detik itu juga dia mengumpat di dalam hati.
Tidak seharusnya bertanya, hal itu bisa memantik kecurigaan Karina, tapi rasa ingin tahunya mengabaikan kemungkinan tersebut.
Karina mengernyitkan dahi, beberapa saat kemudian dia tersenyum.
"Maka akan kuhancurkan Mattew sampai ke akarnya, bahkan jika dia mencintai wanita lain, akan kubuat hidup wanita itu lebih menderita dari pada neraka," balas Karina sambil menyeringai.
Sofia bergidik, wajah cantik Karina seketika terlihat mengerikan.
Tiba-tiba perasaan takut menyergap gadis itu kala Karina bertanya. "Sofia ... apa kau tau siapa kekasih Arya ?"
==========
Mobil Arya membelah kepadatan jalan raya sore ini. Dia sengaja menjemput Karina dan Sofia di butik langganan tunangannya itu. Sejak awal dia selalu menghindar bila wanita itu membahas pernikahan, tapi Karina mengajak Sofia bersamanya. Mau tidak mau dia meninggalkan pekerjaan dan gegas menyusul kedua wanita itu.
Arya sangat mencemaskan Sofia, dia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Karina. Bukan gaya wanita itu meminta saran dari orang lain, dia tipe wanita keras kepala dan otoriter, menghalalkan berbagai cara yang bisa mendatangkan keuntungan untuk bisnis atau diri sendiri.
Di usia dua puluh lima tahun, dia berhasil menduduki posisi sebagai direktur di perusahaan papanya dan satu-satunya pewaris Suryakanta Corp, bahkan berkat bantuan dan tangan dingin wanita itu, Petterson Company tetap kokoh berdiri hingga sekarang--setelah dua tahun lalu mengalami masa sulit--Sayang, bantuan itu tidak gratis, Arya harus membayar dengan sebuah perjodohan.
***
"Sayang, gimana? Kamu suka gaunku tadi?" Karina mengusik hening yang tercipta sedari tadi.
"Suka," jawab Arya ringkas. Sesekali mata pria itu melirik Sofia yang duduk di kursi belakang dari kaca spion mobilnya.
"Syukur deh, besok kita ada janji sama WO, kamu jemput aku ya?" pinta Karina manja.
"Besok aku ada meeting sama Mr. Emil, kau pergi sendiri aja, ya?" tolak Arya halus. Pria itu terus saja menjaga jarak dari Karina. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan, lagipula ada hati yang harus dia jaga. Miris memang ... pria yang berjanji akan menikahi seorang wanita, juga berjanji setia pada perempuan lain. Bathin pria itu mengejek bahwa dia adalah seorang pria brengsek.
Karina menampakkan raut wajah kesal, sedetik kemudian dia tersenyum. "Ok! Kalau gitu, biar Sofia aja." Karina melirik Sofia. "Aku ngga menerima penolakan. Kamu tau 'kan Mr. Mattew aku sangat benci ditolak," lanjutnya.
Arya bergeming, buku-buku tangan memutih mencengkeram setir mobil. Wajah pria itu mengeras dengan rahang terkatup rapat. Karina menyebut nama pria itu dengan nada formal. Artinya, dia mulai menunjukkan taring, dan dia paham, wanita tersebut sedang mengancam perusahaannya. Jika gadis lain, pasti dia membiarkan wanita itu memonopoli sekretarisnya, tapi ... ini Sofia, Arya benar-benar bingung.
"Baiklah, saya akan menemani Nona," Sofia bersuara. Tidak tega rasanya melihat Arya terlihat kebingungan. Gadis itu memperhatikan sedari tadi interaksi mereka, dia melihat jelas tidak ada ketertarikan Arya terhadap Karina. Dia tahu pria itu pasti mencemaskan dirinya, lebih tepat hatinya.
Sontak Arya mengerem mendadak mobilnya. "Gem, eh, Sofia ... kamu yakin? " Arya menatap si gadis dengan sorot cemas.
"Iya, Tuan. Jika Tuan mengijinkan." Gadis itu membuang muka, menatap Karina. Sofia tidak ingin wanita itu mencurigai dirinya.
"Tapi, saya tidak yakin"
"Bagus! Itu artinya, sekretaris kamu milik aku seminggu ke depan," sela Karina cepat.
Arya hanya diam, tidak ingin lagi membantah. Suara Karina menyebarkan aura tidak menyenangkan, hanya berharap pemilik hatinya itu baik-baik saja.
***
Sofia terlihat gelisah malam ini, besok hingga satu minggu ke depan gadis itu akan menemani calon istri Arya.
Dia bersandar di kusen jendela kamar, menatap ke seberang rumahnya. Jendela itu masih tertutup, pasti Arya belum pulang. Setelah mengantar dirinya pulang, pria itu pergi kembali bersama Karina.
"Entah apa yang mereka lakukan, mungkin saat ini pasangan kekasih itu sedang bermesraan, atau mungkin ..." Gumam Sofia.
Ada percik api di hati gadis itu, menyulut cemburu yang membuatnya sesak. Tangan Sofia meremas kerah gaun tidurnya. Ada yang perih di sana, seolah dadanya saat ini tengah disayat, lalu ditaburi garam. Sakit! Andai dia bisa berteriak, ingin menyuarakan kepedihan pada langit malam, berharap luka itu terbang bersama angin dan hilang.
'Mengapa semua ini harus terjadi? Apa salahku? Apa aku tak pantas bahagia?' Gadis itu bertanya dalam hati.
Dia terisak, mata beningnya kembali basah, menatap langit, seakan mencari jawab dari pertanyaannya sendiri. "Aku tidak pernah mau menjadi parasit. Ini bukan mauku, tolong aku Tuhan. Tolong ...."
***
"Gempil, kamu yakin pergi bareng Karina?" tanya Arya ketika Sofia menyerahkan beberapa berkas untuk ditandatangani.
"Apa aku pilihan?" balas Sofia acuh tanpa menatap pria itu.
Arya terdiam. Posisinya terjepit antara takut dan was-was. Takut jika Sofia kelepasan bicara dan was-was seandainya Karina menarik semua sahamnya. Petterson Company akan jatuh. Tidak! Arya tidak bisa membiarkan bisnis yang dirintis keluarganya tumbang begitu saja, dia hanya perlu sedikit waktu untuk menaklukan wanita itu.
"Sebenarnya apa yang kau takutkan?" tanya Sofia penasaran karena Arya tidak bereaksi.
"Aku takut Karina menyakitimu," lirih Arya.
"Benarkah? Jika kau takut wanita itu menyakitiku, lepaskan saja aku!" Sofia menantang manik pria itu, terlihat keterkejutan di sana. Arya tidak mengira Sofia mengucapkan kata-kata itu dengan tenang.
"Tidak, Gempil ... aku tidak akan melepaskanmu. Aku butuh kamu, bertahanlah setahun ini. Setelah itu, aku janji tidak ada lagi air mata." Arya bangkit mendekati gadis itu
Sofia hanya diam kala Arya memeluknya. "Aku tidak sanggup, hatiku sakit setiap kali kalian bersama. Aku tau, tidak pantas merasa seperti ini, tapi ... " Sofia mengerang, tangisnya kembali pecah, dia tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Isak tangis gadis itu kembali terdengar, meski teredam oleh dada bidang Arya. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya, berharap bisa mengurangi rasa sakit Sofia. Hatinya mencelos mendengar semua kata-kata gadis itu, sadar bahwa semua rasa sakit yang kini mendera Sofia berasal dari dirinya.
Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap penuh kebencian, sorot matanya seakan ingin membinasakan dua sosok yang ada di dalam ruangan itu. Iblis pun dengan senang hati membisikkan hasutan yang membuat amarah sosok itu semakin berkobar.
"Sudah kuduga, Arya Mattew Petterson! Lihat saja, permainan baru dimulai dan Sofia ... sebentar lagi neraka akan datang padamu."
Sosok itu mundur perlahan, senyum licik melengkung di bibirnya. Rencana jahat siap dijalankan dan iblis pun menyeringai puas.
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel