Cerita Bersambung
Sebuah mobil sport berwarna merah, terlihat memasuki area pemakaman. Lokasinya terletak di pinggiran kota Jakarta, jika dilihat sekilas, tidak tampak seperti pemakaman. Pepohonan tumbuh dengan teratur di sepanjang jalan beton menuju area makam.
Dari gerbang masuk, terlihat berbagai jenis bunga yang sengaja ditanam di kiri-kanan jalan. Tempat itu jauh dari kesan menyeramkan, malah lebih mirip taman dari pada kuburan, karna memang dirancang untuk kenyamanan para pelayat.
Tidak sembarang orang bisa dimakamkan di sana. Area pemakaman itu milik pribadi, hanya keluarga yang menyandang nama Gemintang saja yang boleh dimakamkan di tempat itu. Sosok pria bertubuh tegap ke luar dari mobil tersebut. Langkahnya tenang menyusuri satu demi satu makam. Berjalan di komplek pemakaman tersebut, seperti mengunjungi para leluhurnya.
Langkah pria itu terhenti di sebuah makam yang ditumbuhi bunga lili. Bunga yang disenangi oleh sosok yang terbaring tenang di dalam makam.
"Apa kabar Aira. maaf, harusnya kemarin kakak mengunjungimu, tapi ...." Pria itu menggantung kata-katanya. Manik coklat tuanya perlahan meredup. Peristiwa lima tahun yang lalu kembali mengusik memori, membuat tidur malamnya tidak lagi lena.
***
[Kak, jangan lupa jemput ya]
[Jam berapa]
[Siangan, deh]
[Oke, Princes]
Kevin Briantama Gemintang. Kakak yang sangat menyayangi adik satu-satunya. Sejak orang tua mereka meninggal karna kecelakaan dua tahun yang lalu, semua tanggung jawab jatuh ke pundak Kevin.
Pria dua puluh tiga tahun itu, menggantikan posisi almarhum sang ayah sebagai Presiden Komisaris sekaligus pemilik saham terbesar di Gemintang Grup. Dia melanjutkan membangun jaringan bisnis keluarga sekaligus menjaga adik satu-satunya.
Kevin selalu mengawasi gerak-gerik Aira di mana pun gadis itu berada. Jantung gadis itu yang tidak sempurna, membuat Kevin over protectif terhadapnya.
"Kak!" Aira memanggil Kevin setengah berlari.
Melihat gerakan gegabah adiknya itu, gegas Kevin mendekat.
"Aira! Ngga usah lari-lari, kakak juga ngga ke mana-mana," tegur kevin.
"Maaf, kak. Kita mampir ke toko buku dulu ya, Sofia juga ikut."
Kevin baru menyadari ada gadis lain berdiri di samping Aira. Gadis yang selalu mengusik ketenangan, mencuri lamunan, dan selalu mengirimkan getar-getar aneh ke dalam dadanya.
Sofia, nama itu sudah satu tahun mengisi hati pria itu. Gadis pemalu, sederhana, dan memiliki wajah cantik meski tanpa make-up, semakin memancarkan pesona alami dirinya.
Sofia sangat irit bicara. Jika Kevin mencoba berinteraksi, jawabannya hanya satu-dua saja. Namun, suara gadis itu mampu membuat jantung pria itu berdegup kencang. Jika beruntung, Kevin bisa melihat senyum Sofia.
***
"Aira, Sofia udah punya cowok belum," tanya Kevin. Butuh keberanian besar untuk pria itu bertanya kepada sang adik. Dia tahu, setelah ini gadis itu akan meledeknya habis-habisan. Tapi, Kevin sudah tidak mampu menahan jantungnya yang berdetak seperti genderang perang bila bersama Sofia, bahkan hanya mengingat senyum gadis itu, membuat kepalanya pening didera rindu.
Benar saja, sejurus kemudian terdengar tawa Aira menggema di kamar tidurnya.
"Kakak, naksir Sofia?" Mata Aira menatap jenaka.
"Hem ..." Kevin mengangguk, tak mampu bersuara, lidah pria itu mendadak kelu.
"Kak, ditanya kok jawabnya gitu." Aira terus menggoda kakaknya.
"Iya, Sayang ... kakak suka sama Sofia. Suka banget." Kevin menegaskan perasaannya, masa bodoh setelah ini dikerjai habis-habisan oleh Aira.
"Belum, sih, kak, cuma ... banyak yang naksir. Secara dia cantik, pintar, dan baik. Siapa aja pasti bakal tertarik sama dia."
Entah mengapa kevin menangkap nada getir dalam suara Aira. Gadis itu membenamkan kepalanya di antara kaki yang ditekuk, kedua tangan memeluk lututnya.
Kevin sangat mengenal adik kecilnya ini, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Aira, ada apa? Cerita sama kakak, sedih jangan dipendam sendiri." Kevin mengelus rambut sebahu Aira.
Perlahan Aira mengangkat kepala, menatap kakaknya.
"Seno, dia suka sama sofia. Dia bilang, bakal perjuangan Sofia sampai kapanpun. Bahkan sekarang Seno sering antar-jemput Sofia ke kampus," tutur Aira terdengar putus asa.
Kevin menarik napas pelan. Ada nyeri di hatinya. Dia tahu, Seno, pemuda yang dicintai Aira sejak kecil. Rasa suka itu berubah menjadi cinta ketika Aira tumbuh remaja, bahkan semakin berkembang hingga mereka menuntut ilmu di kampus yang sama.
"Gimana, kalau kamu comblangin kakak sama Sofia?" entah dari mana ide gila itu datangnya. Mungkin, kalau Sofia menjadi miliknya, Seno akan berhenti mengejar gadis itu.
"Maksud kakak?" Dahi Aira mengernyit mendengar ide Kevin.
Dengan percaya diri pria itu menjelaskan rencananya. Tidak berapa lama kemudian terdengar tawa riang keduanya.
***
Rencana berjalan sempurna, Sofia mulai sering tersenyum pada Kevin. Tidak jarang mereka jalan berdua, walau belum mengikat Sofia dalam sebuah status, tapi Kevin cukup senang. Hingga suatu hari ....
"Di mana, mbok?!"
"Di kamar, Den ...."
Bergegas Kevin mendatangi kamar Aira. Terdengar raungan dari dalam kamar.
"Aira, Sayang ... buka pintunya." Kevin menggedor-gedor pintu kamar sang adik.
" Pergiii! Aku benci! Mereka semua pembohong!" Terdengar raungan histeris gadis itu dari dalam kamar.
"Aira, buka pintunya. Kita omongin baik-baik, ya," bujuk Kevin, suaranya terdengar parau campur kuatir.
PRANG!!
Suara benda pecah terdengar dari dalam kamar Aira yang terkunci. Firasat buruk segera menyergap Kevin, dengan sekuat tenaga berusaha mendobrak pintu yang tertutup rapat.
Begitu pintu dibuka paksa, terlihat kamar Aira yang berantakan. Barang-barang berserakan di lantai, pecahan kaca bertebaran di mana-mana. Sepertinya gadis itu baru saja mengamuk.
Kevin bergegas mendekati tubuh Aira yang bersandar lemah di kaki ranjang. Darah segar mengucur dari pergelangan tangannya yang tergores. Kevin panik, pria itu mengikat luka di tangan sang adik dengan dasi yang dipakainya.
"Mbok! Telepon rumah sakit," raung Kevin membopong tubuh Aira menuju mobil.
"TONO, KE RUMAH SAKIT, CEPAT!" Perintah Kevin kepada sopirnya, dengan sigap Tono mengemudikan mobil menuju rumah sakit.
"Kak, mereka mengkhianati kita. Sofia ...."
"Jangan bicara, diamlah."
"Tidak, kak ... Sofia, d-d-dia penipu, dia bersama Seno. Mereka ja-jahat," jelas Aira terbata.
Kevin bergeming. "Jadi Aira seperti ini karna Seno dan ... Sofia? Kalau Seno mungkin iya, tapi Sofia? Tidak mungkin!' Kevin sibuk bermonolog.
"Kak, dingin ... aku mau ikut Mama sama Papa aja. A-aku ngga ma-u ke-te-mu me-re-ka lagi," lirih Aira terbata. Napas gadis itu mulai tersengal.
"Tidak, Sayang ... bertahanlah, kakak mohon, jangan pergi ..." bisik kevin. Dia panik ketika tubuh Aira menggigil. Pelupuk mata gadis itu perlahan menutup. Kevin meraung memanggil nama Aira, ketika tangan gadis itu terkulai.
***
Kevin mendekap tubuh yang tertutup kain putih di atas brankar rumah sakit. Raut wajahnya datar dan dingin, sorot mata pria itu memancarkan kebencian. 'Aira, tenanglah di sana. Kakak janji, mereka akan merasakan kesakitan yang kamu rasakan
Semilir angin sore membelai beberapa helai rambut Kevin yang jatuh di pelipis, membuyarkan lamunan pria itu. Matanya kembali menatap nisan yang bertulis nama sang adik.
"Aira, akhirnya kakak menemukan dia. Sebentar lagi, akan kuhantarkan neraka untuknya, sampai dia meminta kematiannya sendiri." Gumam kevin dengan suara mengandung murka.
***
Kevin menatap lama kamar yang pernah di tempati Aira. Sejak kematian adiknya, pria itu tidak pernah tinggal di rumah itu lagi. Bayang-bayang adiknya ada di seluruh penjuru rumah. Dia juga tidak bisa melupakan saat membopong tubuh gadis itu menuju rumah sakit.
Barang-barang Aira tidak pernah disentuh sama sekali, meski lima tahun telah berlalu, tapi luka itu masih berdarah hingga kini.
Enam bulan setelah kematian Aira, Seno menyusul. Mobil yang dikemudikan pemuda itu menabrak pembatas jalan. Dia tewas di tempat, sedangkan Sofia yang duduk di kursi penumpang koma selama dua bulan. Menurut polisi rem mobil sang pemuda tidak berfungsi.
Kevin tersenyum ketika orang bayarannya melapor, tapi kebahagiaan pria itu tidak sempurna, ketika mendengar Sofia selamat. Gadis itu terbangun setelah tertidur selama dua bulan. Sofia kehilangan separuh ingatannya. Ingatan gadis itu berhenti di tiga tahun sebelum kecelakaan.
Itulah sebabnya Sofia tidak mengingat Kevin. Tapi, hal itu tidak menyurutkan dendam pria tersebut, sempat kehilangan jejak selama tiga tahun, sekarang takdir mempertemukan mereka. Kevin seperti singa lapar yang mengincar buruannya, dia menunggu, dan siap menerkam saat sang mangsa masuk ke dalam perangkapnya.
***
Sofia menatap pantulan wajahnya di cermin rumah sakit. Gadis itu seakan-akan meneliti wajahnya sendiri. Suara-suara asing terdengar di dalam kepala. Menghasutnya, membisikkan rencana-rencana kotor.
Dia merasa tenggorokannya begitu kering. Berpaling ke arah meja kecil yang diletakkan di sebelah brankar rumah sakit, mendekati meja itu, lalu mengambil gelas yang berisi air dan meminumnya. Suara-suara itu makin nyaring terdengar. Gadis itu menutup kedua telinganya, jangankan berkurang, bisikan itu semakin jelas.
'Mereka jahat, mereka hanya memanfaatkanmu. Bunuh mereka Sofia. Bunuh!' Hasutan itu memenuhi kepala si gadis.
"Tidak!" Sofia menjerit, gelas yang ada di tangan dia lemparkan ke cermin yang berada tepat di hadapan.
PRANG!
Kaca berhamburan, sebuah serpihan kecil mengenai pipi Sofia, darah menetes dari luka itu. Gadis itu mengusap pipinya dan melihat darah yang menempel di tangan. Sedetik kemudian ekspresi gadis itu berubah, dia tersenyum, lalu tertawa nyaring.
==========
Dua bulan yang lalu.
Sofia duduk di ruang tunggu sebuah klinik psikiatri. Sejak empat tahun terakhir, gadis itu rutin datang setiap satu bulan sekali.
"Nona Sofia, dr. Ratna sudah menunggu, silahkan." Seorang perawat mempersilahkan gadis itu masuk ke ruang praktek.
"Apa kabar, Sofia?" sambut dr. Ratna, mempersilahkan Sofia duduk.
"Baik, Dok."
"Bagaimana, 'dia' masih sering keluar?"
"Jarang sekali dok. Tapi, mimpi buruk itu selalu datang, setiap bangun pakaian saya selalu basah dan kotor," jelas Sofia.
"Apa kamu sudah ingat gadis dalam mimpimu itu?"
Sofia menggeleng, wajahnya terlihat putus asa.
"Gadis itu hanya menangis sambil menatap saya. Setiap didekati dia menghilang, kemudian saya bangun dalam keadaan basah kuyup, dan tubuh saya terasa sangat lelah."
dr. Ratna bergeming. Sudah empat tahun beliau menangani Sofia. Gadis itu menderita Dissociative Identity Disorder (DID). Pertama kali mereka bertemu empat tahun yang lalu. Saat itu Sofia baru saja pulih dari komanya, tapi sebagian kecil ingatan gadis itu menghilang.
Diantar kedua orang tuanya, dr. Ratna melakukan observasi terhadap Sofia. Menurut Halimah-ibunda Sofia-gadis itu sering terlihat berbeda.
Mereka acap kali mendapati gadis itu ke luar di malam hari menggunakan pakaian seksi dan berdandan seperti wanita malam. Setiap ditegur, gadis itu menjadi beringas, dia mengaku bukan Sofia tetapi Frederika.
Dengan terpaksa Danu, mengurung anak gadisnya itu di dalam kamar, tapi anehnya di pagi hari Sofia tidak ingat apa yang dilakukannya semalam, bahkan gadis itu histeris melihat dandanannya sendiri.
Hal tersebut sering terjadi. Sofia terkadang menjadi sosok yang berbeda dalam satu hari, bahkan kebiasaan gadis itu juga berubah.
Sebagai seorang psikiater berpengalaman, dr. Ratna mendiagnosa Sofia menderita DID, atau lebih dikenal 'berkepribadian ganda'.
Pada kasus Sofia, ada dua kepribadian yang menguasai tubuhnya. Sofia, sebagai pribadi asli dan Frederika sebagai Alterego.
Alterego adalah pribadi lain yang ingin mendominasi tubuh dan pikiran. Pribadi ini muncul, sebagai bentuk perlindungan dari trauma yang dialami pasien.
Kasus pada Sofia sebenarnya telah menunjukan gejala saat gadis itu berusia sembilan tahun. Pada umur tersebut, Sofia sering menjadi korban pembully-an teman-temannya.
Menurut gadis itu, sering dirinya dikunci di dalam toilet dari pagi hingga jam sekolah berakhir. Belum lagi ejekan teman-teman tentang kondisi fisiknya yang bisa dibilang obesitas.
Mengganggu Sofia, wajib bagi teman-teman sekelasnya, tangisan gadis tersebut seperti hiburan gratis buat mereka. Puncaknya ketika satu-satunya teman yang selalu melindunginya pergi.
Sofia kecil semakin terpuruk, bully-an semakin menjadi-jadi, hingga dia sempat berhenti sekolah selama satu tahun.
Selama tidak bersekolah itulah Sofia lebih banyak mengurung diri di kamar. Gadis kecil itu menjadi seorang introvert, sering Halimah memergokinya bicara sendiri, tetapi dengan suara berbeda.
Sang ibu tidak terlalu acuh, karna dia berpikir adalah hal yang wajar jika anak-anak seusia Sofia memiliki teman hayalan.
Namun, semakin lama, tingkah Sofia semakin membingungkan. Kadang dia menjadi sosok yang keras dan sangat egois, terlihat mengerikan. Tapi, di waktu yang lain gadis tersebut kembali kesifat aslinya, lembut dan manis.
Setelah mengobservasi Sofia selama satu bulan, dr. Ratna menyarankan terapi untuk mengatasi gangguan kejiwaan Sofia, karna jika tidak ditangani secara tepat, DID bisa membahayakan tidak hanya diri sendiri tapi juga orang sekitar. Sebab dua pribadi yang ada dalam tubuh si gadis bertolak belakang dalam sifat, juga kebiasaan.
Yang lebih parah, satu sama lain tidak sadar dengan apa yang telah mereka lakukan, karena ketika pribadi yang satu ke luar, pribadi yang lain akan tertidur.
Sejak ditangani dr. Ratna, kondisi Sofia membaik. Alterego-nya jarang sekali muncul. Kondisi yang nyaman tanpa tekanan juga membuat gadis itu lebih tenang, selain itu dr. Ratna juga meresepkan obat anti depresan untuknya.
"Baiklah, Sofia. Jangan terlalu memaksa ingatanmu. Biarkan semua berjalan secara alami. Hindari stress, jangan memikirkan hal yang berat. Jalani saja hidupmu dengan gembira. Ok!" saran dr. Ratna.
***
"Apa yang terjadi, Bunda!" tanya Arya, ketika melihat pecahan kaca di ruang rawat Sofia.
"Oh, ngga apa-apa, tadi Sofia ngga sengaja mecahin cermin," jawab Halimah gugup.
Wanita yang masih terlihat cantik diusia kepala empat itu, menyembunyikan kondisi kejiwaan putrinya. Halimah tidak mempercayai siapa pun, wanita itu takut mereka hanya ingin memanfaatkan kondisi jiwa Sofia yang rapuh.
Arya lagi-lagi melihat ada yang aneh pada Sofia. Pipi gadis itu terluka, padahal kemarin siang tidak ada. Ingin bertanya, tapi rasanya segan.
"Udah malam, Bun ... sebaiknya, Bunda pulang aja, biar Sofia aku yang nungguin," ujar Arya.
Arya yang mengabari Halimah tentang kecelakaan yang menimpa Sofia. Pria itu tidak rela jika selama di rumah sakit, Sofia hanya ditemani Kevin, sementara dirinya sibuk dengan rencana pernikahan yang digelar dua hari lagi
"Ya, udah, Bunda pulang dulu. Besok pagi Bunda ke sini lagi. Titip Sofia, ya ..." pinta Halimah. Wanita itu merapikan selimut di tubuh Sofia yang sedang tertidur, kemudian pamit pulang.
Arya menatap Sofia yang sedang tertidur nyenyak. Wajahnya sangat cantik, seperti bayi, terlihat sangat tenang. Pria itu meraih jemari Sofia dan menggenggamnya.
"Gempil, maafin aku ... aku sangat lemah, ngga bisa mempertahankan kamu. Maaf, atas semua luka yang aku beri," lirihnya. Pria itu mengecup jemari si gadis yang dia genggam. Dua bulir bening menitik di sudut matanya.
Arya merasa benar-benar tidak berdaya. Di satu sisi, ada gadis yang dicintai sepenuh hati, di sisi lain ada perjanjian yang harus ditepati. Pria itu seperti memakan buah simalakama, tidak ada pilihan yang menguntungkannya saat ini.
Tanpa pria itu sadari, Sofia mendengar semua kata-katanya. Ada nyeri yang menjalari seluruh aliran darah gadis itu, hatinya seperti disayat sembilu. Membuka pelupuk mata perlahan.
Mata bening gadis itu menatap kepala Arya yang dibenamkan di lengannya. Tangannya membelai rambut hitam si pria. Arya mendongak, terlihat sisa air mata di sudut matanya..
"Kapan pernikahannya?" tanya Sofia, tangan gadis itu mengusap pipi kekasihnya.
Arya menahan tangan Sofia di pipi, memejamkan mata sejenak, menikmati kebersamaan yang nanti tidak akan bisa lagi dinikmati.
"Arya, kapan kau akan menikah?" Sofia mengulangi pertanyaannya.
"Lusa ... maaf, aku ..." Arya menggantung kata-katanya. Dada pria itu sesak menahan emosi. Dia marah, kecewa, dan merasa bersalah tidak mampu memperjuangankan Sofia.
"Kita akhiri sampai di sini. Aku tidak ingin menjadi benalu dalam rumah tanggamu nanti," lirih gadis itu terdengar sendu.
"Tidak, jangan! Tetaplah bersamaku, di sampingku. Jangan kejam padaku, Gempil ..." erang Arya, dia belum siap melepas Sofia.
Sofia menarik tangannya, menyerahkan sebuah gelang manik berwarna hitam.
"Aku kembalikan. Seperti yang dulu kau bilang, ini dibuat dengan cinta, jadi kukembalikan dengan cinta. Setelah ini lupakan saja semuanya, jangan pernah merasa bersalah padaku."
Arya terkejut mendengar kata-kata Sofia. Bagaimana mungkin Sofia menyuruhnya melupakan begitu saja semua yang terjadi.
"Tidak! Jangan pernah memintaku melepasmu. Kau milikku, jangan coba-coba memerintahku, Sofia!" tegas Arya.
Sofia menciut, belum pernah dia melihat Arya semarah ini. Gadis itu merasa tidak berdaya, pria tersebut l ingin memonopoli dirinya, bagaimana bisa dia seegois ini, melepas sekaligus mengikatnya. Sofia terisak, tangannya menekan dada yang terasa sesak. Tiba-tiba gadis tersebut merasa gelisah, tangannya berkeringat dan kepalanyaterasa ditusuk ribuan jarum, sangat sakit.
'Tidak, dia akan ke luar. Arya tidak boleh melihatnya.' Sofia membatin.
"Pergi, kumohon ... pergilah," pinta Sofia suaranya terdengar bergetar.
Arya terperangah mendengar permintaan gadis itu.
"Apa! Gempil, kau mengusirku?" tanya Arya tidak percaya.
"KELUAR! Kumohon ... pergilah Arya, aku ingin sendiri!" usir Sofia menyorot nyalang.
Dengan penuh amarah, Arya meninggalkan Sofia. Tepat saat pintu tertutup ....
"Dasar bodoh, kau Sofia ... harusnya kau paksa pria itu meninggalkan jalangnya, rebut dia!
" Tidak Frederika, aku tidak mau ... aku tidak sejahat itu"
"Tolol! Kau masih saja lemah seperti dulu, sekarang ... biarkan aku ke luar"
"Jangan, tetaplah di dalam. Tidurlah, aku baik-baik saja."
"Kau yang tidur! Aku ingin ke luar!"
Hening ....
Terdengar derit pintu kamar rumah sakit terbuka, menampilkan sosok Kevin yang membawa buah tangan untuk gadis itu.
"Sofia, Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
"Tentu saja, tampan ..." jawab gadis itu sambil mengedipkan mata.
Kevin heran, ini bukan gaya Sofia. Sejak kapan gadis itu menjadi genit dan memanggilnya 'tampan'. Kevin mendekat, menyentuh dahi Sofia, tapi dengan cepat gadis itu mengecup bibirnya tanpa sempat pria itu menghindar.
Wajah kevin merah padam. Terbelah antara marah dan suka.
"Kau ...."
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Rabu, 06 Oktober 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel