Lima orang siswi berseragam merah putih, mengerubungi seorang anak perempuan yang bertubuh sangat gemuk. Seragam anak itu kotor penuh lumpur, belum lagi bau menyengat seperti telur busuk yang sengaja dilemparkan ke tubuhnya.
"Hahaha ... rasain, berani nentang kita?"
"Sok berani! Kalau punya badan gede, otaknya seuprit!"
"Makan tuh, telur busuk! Dasar babon!!"
"Badan kayak gajah gini, apaan coba."
"Bukan gajah, tapi Babon!"
Entah hinaan apalagi yang ke luar dari mulut mungil mereka. Bukan hanya sekali anak perempuan itu mereka bully, hampir setiap hari perundungan itu terjadi.
Pengawasan yang longgar dari pihak sekolah, semakin mempermudah akses pembullyan itu.
Frederika Sofiana Danu, nama anak perempuan malang tersebut. Hampir setiap hari perundungan itu terjadi padanya. Semula hanya sebatas ejekan verbal saja, kemudian meningkat dengan mengunci sofia di toilet sekolah, berlanjut dengan menyembunyikan beberapa buku paket pelajarannya.
Seakan belum cukup, bullyan secara fisik mulai terjadi. Cubitan, pukulan dengan buku di lengan dan kepala. Sofia hanya bisa menahan sakit, teman-temannya akan tertawa senang bila melihat gadis kecil yang mereka panggil 'babon' menangis.
Bukan tak pernah dia mengadukan perundungan itu kepada guru, tapi ketiadaan saksi membuat kasus Sofia menguap begitu saja. Setelah pengaduan tersebut siksaan terhadapnya semakin sadis.
Puncaknya, hari itu sofia menolak permintaan kelima temannya, untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Gadis kecil itu selalu ingat pesan Arya sebelum sahabat kecilnya itu pindah, "kamu harus kuat, Gempil. Kalau kamu benar, jangan pernah merasa takut."
Ternyata nyali Sofia tidak sebesar tekadnya. Kelima siswi itu marah mendengar penolakan gadis kecil tersebut. Mereka mencegatnya di gerbang sekolah, menyeret, dan menyekap anak malang itu di gudang, setelah sebelumnya melempar tubuhnya dengan banyak telur busuk serta menyiram dengan air comberan.
"Bunda! Tolongin Sofia ... aku takut," rintihnya. Gadis kecil itu duduk meringkuk memeluk kedua kaki di dada.
Mata bening Sofia menjelajah gudang sekolah yang temaram. Gudang itu memang tidak diberi pencahayaan. Untuk penerangan, hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk dari celah ventilasi yang cukup lebar. Gudang tersebut hanya berfungsi untuk menyimpan peralatan sekolah dan digunakan pada siang hari, sehingga pengurus sekolah merasa tidak perlu memasang lampu.
"Bunda ... aku takut gelap ..." erang lirih Sofia. Dia menyadari hari mulai beranjak malam, tidak lagi terlihat cahaya masuk ke gudang, keadaan di dalam sana gelap gulita.
Gadis berusia sembilan tahun tersebut menangis sesugukkan. Semakin lama tangisannya semakin keras.
"Arya! Tolongin Gempil ... aku takut. Arya, tolong ..." raung Sofia. Tubuh gadis itu bergetar. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. Sofia terlihat gelisah, dia menekan pelipis untuk mengurangi rasa sakit yang menghantam kepala.
"Dasar lemah!"
"S-s-siapa kamu," tanya Sofia, sakit di kepalanya semakin menjadi.
"Aku adalah kamu! Tapi, aku tidak selemah kamu. Biarkan aku ke luar, akan kubalas perbuatan mereka."
"Tidak, tidak ... pergi," usir Sofia.
Perlahan suara itu menghilang. Sofia melihat pintu gudang terbuka dengan paksa, matanya mengerjap, menangkap siluet yang mendekat dengan cepat. Tak lama kegelapan menyelimutinya.
***
"Allhamdulillah ... kamu udah bangun Nak," Halimah tersenyum lega.
"Sofia, di mana, Bun?" tanya sofia.
"Di rumah, tadi kamu pingsan di taman," jelas Halimah.
Dahi sofia mengernyit. 'Kapan aku ke taman, bukankah aku ada di gudang, dan ...' Sofia membathin merasa ragu untuk bertanya.
"Nak, kamu baik-baik aja 'kan?" tanya Halimah lagi.
"Maksud Bunda? Kapan Sofia ke taman?" tanyanya penasaran.
Halimah tersenyum sambil membelai rambut gadis kecilnya. Perlahan sang ibu menceritakan tentang keberanian Sofia, menyelamatkan seorang balita yang tercebur ke kolam di taman, padahal dia sama sekali tidak bisa berenang.
Sofia bingung, dia tidak ingat kapan pergi ke taman. Gadis kecil itu merasa, dia tertidur lama setelah penyekapan, tapi entah mengapa tubuhnya terasa lelah seperti baru saja beraktifitas berat.
Sejak perundingan terakhir, kedua orang tua Sofia tidak mengijinkan putri mereka bersekolah secara formal. Home Schoolling menjadi pilihan untuk meneruskan pendidikan putri mereka.
Bersekolah di rumah tanpa ada teman, tidak membuat Sofia kesepian, karna sejak penyekapan itu, sofia memiliki teman yang selalu ada untuknya setiap saat, namanya ... Frederika.
***
Kevin menatap tubuh yang tertidur di atas brankar rumah sakit. Tubuh tegapnya bersandar di dinding dengan kedua tangan bersidekap di dada. Garis rahang yang tegas, memberi kesan maskulin begitu kuat pada pria berkulit cerah itu.
Sorot matanya yang tajam terus memindai wajah Sofia. Kevin seakan mencari sesuatu di sana. Pria itu menyentuh bibirnya yang kemerahan, bibir yang tadi dikecup dengan panas oleh si gadis. Kecupan yang berubah menjadi lumatan penuh gairah, yang mampu membangkitkan hasrat primitifnya.
Jika saja dering gawai Kevin tidak menginterupsi, entah apa yang akan terjadi. Tetapi, begitu pria itu selesai menerima panggilan dari gawainya, dia mendapati Sofia tidur begitu tenang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"Ada apa dengannya, bagaimana dia bisa tidur senyenyak itu! Setelah ...' Kevin meremas rambutnya.
'Tidak! Fokus Kevin. Bisa jadi ini tipuannya, jangan lengah.' Gumamnya.
Tangan pria itu bergerak di atas gawai miliknya. Mencari kontak seseorang, lalu menempel ke telinga. "Sam, selidiki gadis itu, cari tau semua aktifitasnya setahun terakhir. Ingat! Jangan ada yang luput!" perintahnya tegas pada seseorang.
***
"Kamu sudah bangun?" tanya Kevin.
Sofia menoleh ke arah suara.
"Kevin? Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya wajah gadis itu terlihat heran.
Kevin bergeming. Pertanyaan Sofia membuat dahinya berkerut.
'What the fuck!' Batinnya mengumpat. 'Apa ini lelucon? Bahkan tadi dia menggodaku.' Gumam Kevin.
"Kevin, kamu ngomong apa? Kok komat-kamit gitu?" Sofia heran dengan ekspresi pria di hadapan.
"Eh, ngga. Aku dari tadi di sini, kamu ngga ingat? Bahkan kita ... " Kevin menggantung kalimatnya.
Dia menelisik raut Sofia, tapi ... gagal. Gadis itu benar-benar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Biasanya, jika seorang gadis berciuman dengan seseorang, pasti ada dua ekspresi, malu atau marah. Tapi, Sofia wajahnya malah terlihat seperti orang bingung.
"Sial ...' lagi," batin Kevin mengumpat.
"Kevin ..." panggil Sofia lirih.
"Ya ..."
"Kamu, maksudku ... kamu mau jadi kekasihku?" lirih Sofia, takut-takut menatap Kevin, yang tengah menatapnya dengan sorot, entah ....
==========
"Maukah kamu ... jadi kekasihku?" lirih Sofia, nyaris tak terdengar.
Kevin terperangah. Sesaat tubuhnya terasa ringan, ada rasa yang menggelitik hati, membuat raga pria itu menghangat. Entah rasa apa, yang jelas saat ini jantungnya berdetak kencang.
"Kau ... memintaku jadi apa?!"
"Maaf, maukah kau jadi pasanganku. M-m-maksudku ... Tuan Arya akan menikah. Jadi, aku butuh pasangan ke pesta," jelas Sofia.
Kevin menatap lekat. Jemari Sofia bertaut di pangkuan, kepala gadis itu menunduk tidak berani menatap ke arah pria tersebut, atau mungkin dia tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Kevin pikir butuh keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu. Tapi, sepertinya Sofia tidak punya pilihan lain, hanya dirinya yang dipercayai gadis itu saat ini.
Sial!
Kevin menertawakan dirinya sendiri. Apa yang diharapkannya? Sofia jatuh cinta padanya?
'Cih! Yang benar saja! Harusnya aku tidak tergoda padanya. Ini semua karna ciuman sialan itu,' Kevin mengumpat dalam hati.
"Kevin?" Sofia memanggil pria itu lirih.
Kevin tergagap, "Ya! Maaf, aku bingung." Kevin menggaruk tengkuknya, entah mengapa dia merasa gugup.
"Kenapa tiba-tiba kau mengajakku," tanyanya ingin tahu.
"Aku hanya butuh teman. Maksudku..." Sofia menggantung kata-katanya di udara. Dia gelisah. Gadis itu sedikit menyesali kecerobohannya, tanpa berpikir lebih dulu mengajak pria di hadapan.
Kevin memiringkan kepala, menelisik wajah Sofia yang sedari tadi menunduk. Entah mengapa dia merasa ada yang salah, tapi tidak tahu apa.
"Baiklah," jawab Kevin. "Tapi, ini tidak gratis," imbuhnya pelan.
Seketika Sofia mengangkat kepala, manik keduanya saling mengunci. Gadis itu memalingkan wajahnya segera, entah seperti apa rautnya sekarang, yang pasti pipinya terasa panas, tetapi tangan gadis itu sedingin es.
"Baiklah, jadi... berapa harus kubayar," tanya Sofia sedikit ragu.
Kevin terkekeh mendengar pertanyaan polos gadis itu. Apa Sofia benar-benar tidak mengingatnya? Pria itu hanya tersenyum dengan tatapan penuh arti yang membuat si gadis tersipu.
'Pintar. Teruslah bermain peran, Sofia.' Gumamnya.
***
Halimah baru saja selesai menata hidangan yang baru saja selesai dimasaknya. Hari ini Sofia diijinkan pulang, gadis itu sekarang duduk di teras belakang, yang terhubung dengan dapur. Dia tidak sendirian, Kevin juga ikut menemani.
Selama ini wanita itu hanya mengenal Arya sebagai satu-satunya teman putrinya. Tapi, sekarang ada Kevin yang menawarkan diri menjemput dan mengantarkan Sofia pulang. Pria itu juga yang selalu ada menemani sang putri di rumah sakit.
"Makan siang dulu, Nak. Ajak Kevin ayo sekalian," ajak Halimah.
Dengan menuntun Sofia, Kevin menarik satu kursi untuk diduduki gadis itu dan satu kursi untuknya.
"Wah, sepertinya enak, Tante." Mata Kevin berbinar melihat hidangan di atas meja. Sejak lima tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi mencicipi masakan rumahan. Hidup di apartemen menjadi pilihan pria tersebut. Fast food menjadi pilihan cepat untuk mengisi perutnya.
Halimah tersenyum melihat binar di mata Kevin. "Ayo, jangan malu-malu. Tante masak semua buat kalian," jelasnya riang sambil menatap keduanya bergantian.
Sedikit canggung, Sofia menyendok nasi untuk pria itu, meletakkan sepotong gurame goreng, sedikit sambal, dan tumis kangkung belacan. Senyum Kevin mengembang ketika menerima piring yang telah berisi menu lengkap. Ada hangat yang merasuk ke dada pria itu melihat cara Sofia melayaninya.
"Ini, benar-benar lezat, Tante!"
"Ya udah, tambah lagi," tawar Halimah.
"Pasti." Kevin menyendok tumis kangkung belacan ke piringnya.
Sudut bibir Sofia berkedut menahan senyum. Sedari tadi menu yang dijadikan lauk oleh Kevin hanya goreng ikan gurame dan tumis kangkung belacan. Tanpa pria itu sadar, dia sudah menghabiskan satu porsi lauk tersebut.
"Kayaknya, goreng gurame sama kangkung belacan kesukaan kamu?" tanya Sofia.
"Kesukaan Aira juga." Tanpa sadar Kevin menjawab dan menyebut nama Aira.
"Siapa Aira?" tanya Sofia ingin tahu.
Kevin tersedak, Halimah mengangsurkan segelas air padanya. Dengan cepat pria itu meminum air tersebut. Pria itu menatap Sofia, sepertinya gadis itu benar-benar tidak ingat peristiwa lima tahun yang lalu.
"Dia, Adikku." Mata pria itu mencoba menangkap reaksi Sofia.
Nihil .... tak ditemukan riak di selaput bening itu.
"Benarkah? Kapan-kapan aku boleh ketemu dia?" tanya Sofia sambil mengulas senyum.
Pertanyaan si gadis sukses membuat dahi Kevin berkerut.
'Apa dia pura-pura atau memang tidak mengingat sama sekali?' Kevin membatin.
"Sayangnya ... dia sudah meninggal," lirihnya serak. Tenggorokannya tercekat, serasa ada yang mengganjal di sana.
Sofia dan Halimah saling pandang, tatapan mereka berpindah kepada Kevin, ada sesal di wajah Sofia.
"Maaf, aku tidak bermaksud"
"It's ok. itu udah lima tahun yang lalu."
***
"Sayang, ada Arya!"
Tampak di belakang Halimah mengekor Arya. Pria berkulit putih itu tampak sedikit terkejut dengan kehadiran Kevin di kamar Sofia. Wajah Arya mengeras melihat tangan pria tersebut menggenggam jemari kekasihnya.
Arya, berusaha menenangkan badai cemburu di hatinya. Perlahan dia mendekat ke ranjang Sofia. Matanya bersiborok dengan manik coklat tua milik Kevin.
"Maaf, sepertinya... kedatanganku mengganggu kalian." Kata-kata Arya lebih seperti pernyataan, bukan pertanyaan.
Kevin tersenyum simpul, entah mengapa dia menangkap nada cemburu di nada suara Arya.
'Menarik.' Pikir Kevin.
"Tidak, aku mau pulang. Kebetulan juga bertemu di sini." Kevin mengambil satu langkah mendekati Arya, "aku dengar kau akan menikah? Kenapa undangan belum kuterima, Partner."
Arya terlihat salah tingkah. "Maaf, semua di handle Karina. Lagipula ini spontan kemauan Papa, jadi ..." Arya mengedikkan bahu, wajah pria itu seakan mengatakan, i-don't-care.
"Anggap saja, sekarang aku mengundangmu."
Kevin tersenyum dan mengangguk pelan. Terlihat manis di mata Sofia yang sedari tadi memperhatikan interaksi kedua pria maskulin itu.
Entah mengapa saat menatap Kevin ada perasaan takut sekaligus nyaman. Dia merasa sudah lama mengenal pria tersebut, tapi kepala gadis itu seperti dipukul godam besi setiap memaksakan ingatannya.
"Ok, aku pulang dulu." Entah sejak kapan Kevin berada di sampingnya. Tubuh Sofia menegang ketika pria itu mengecup puncak kepalanya lama. "Istirahatlah ... sweet dream, Baby."
***
"Ada apa?" Sofia memutus hening yang sejak lima belas menit mengungkung kamarnya.
Tidak ada jawaban, hanya sorot elang Arya terus menatap mengintimidasi. Pria itu masih setia di posisinya, seperti singa yang murka saat daerah teritorialnya di masuki tanpa ijin. Kedua tangan pria itu bersidekap di dada. Bibirnya terkatup rapat, rahang mengeras, dan wajahnya merah padam. Sepertinya, pria itu gagal menenangkan amuk cemburu di hati.
Sofia jengah dengan tatapan Arya, tapi gadis itu tidak punya keberanian untuk menegur.
"Maaf, tapi... ak--"
"Jadi, ini alasan kamu, Kevin?!" sela Arya cepat.
"Aku, ngga ngerti Arya, mak-"
"Ngga usah berlagak polos, Gempil ... karna Kevin kau ingin aku melepasmu, begitu?!" Lagi, Arya tidak memberi kesempatan Sofia membela diri.
Mata gadis itu mulai berkabut. Tanpa permisi bulir bening jatuh di kedua pipinya. Dia menggigit bibir bawah, meredam sedikit nyeri yang ada.
Arya mengusap kasar wajahnya, melihat air mata Sofia, membuat pria itu menyesali kata-katanya. Dengan langkah lebar dia mendekati gadis tersebut dan membawa ke dalam pelukannya.
"Sorry, aku keterlaluan. Aku ngga suka, kamu dekat sama Kevin. Aku cemburu," bisik Arya lirih di telinga Sofia.
Perlahan Sofia melepas pelukan Arya, mengusap pipi yang basah karna bulir bening yang terus merinai.
"Arya ... kalau kamu benaran sayang aku ... biarkan aku bahagia. Kamu telah memilih jalanmu, jadi biarkan aku memilih jalanku," erang Sofia, terlihat luka di mata gadis tersebut.
"Mencintai tidak harus memiliki. Aku ikhlas atas semua yang sudah terjadi. Ini takdir yang Tuhan gariskan. Jadi, aku mohon ... jangan merendahkanku dengan menjadikan simpananmu," pinta Sofia dengan isak tertahan.
Arya seakan tidak percaya Sofia tetap pada pendiriannya. Dia bergeming. Benar ... apa yang diucapkan gadis itu benar. Tapi, dia sangat mencintai Sofia, jika melepaskannya, Arya takut tidak akan pernah bisa memiliki gadis itu lagi. Jika mempertahankannya pun justru akan menyakiti gadis tersebut.
"Jadi, inikah akhirnya. Tiga belas tahun, Gempil! Selama itu aku merindukanmu, dan beberapa bulan aku bisa memiliki utuh. Haruskah berakhir sekarang?" Parau suara Arya menahan sakit di sudut hati.
Sofia bergeming, rasa bersalahnya semakin besar saat melihat wajah sendu Arya. Tapi, inilah jalan terbaik, sebelum luka itu semakin menganga.
***
Dari sudut ballroom hotel-tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Arya dan Karina- Sofia menatap kedua pengantin dengan sendu.
Karina terlihat anggun dalam balutan gaun pengantin yang dihiasi payet mutiara dan taburan kristal swarovski berwarna broken white. Di sampingnya, Arya tak kalah gagah dengan tuksedo berwarna senada.
Bulir bening perlahan menitik di pipi gadis itu . Jantungnya seperti di hujam ribuan belati, sakit. Menciptakan geleyar ngilu ke seluruh tubuh. Asa untuk bersanding dengan belahan jiwa, pupus sudah karna garis nasib yang tidak berpihak. Untuk kedua kali Sofia harus merelakan Arya.
"Orang akan berpikir kau kekasih yang ditinggal menikah oleh pengantin pria di sana," tegur Kevin lembut di telinga Sofia.
Gadis itu memalingkan wajah, mengusap bening di pipinya. Sofia meremas gaun selutut berwarna baby pink yang dia dikenakan.
"Apa, tebakanku benar?" desak Kevin lagi
Sofia bergeming.
Kevin memutar bahu Sofia menghadapnya, jarak antara mereka hanya dua jengkal saja. Pria itu memaksa wajah si gadis yang tertunduk menatapnya. Mata gadis tersebut berkabut, menambah keyakinan Kevin ada sesuatu di antara keduanya.
"Jawab, Sofia!" tanyanya mengintimidasi.
Sofia menepis tangan Kevin yang mencengkram bahunya. "Maaf, aku ke toilet dulu," elaknya, lalu gegas meninggalkan sang pria yang masih penasaran.
***
Tubuh sofia merosot di atas closet duduk. Tangis gadis itu pecah, debit air yang dia tahan sedari tadi meluncur deras. Dia berusaha tegar menerima perjalanan cintanya yang tragis.
'Kenapa? Kenapa selalu aku? Ambil saja nyawa ini, Tuhan. Aku tidak sanggup.' Rintihnya lirih sambil menekan dada yang terasa sakit.
Gadis itu begitu terpukul, setiap orang yang dia cintai, selalu di renggut dari sisinya. Dia menangis, air matanya meruah membasahi pipi. Tiba-tiba tubuh Sofia bergetar seiring rasa sakit yang menghantam kepala, dia berusaha bangkit. Berjalan ke luar toilet dan melihat kaca di hadapan.
"Kau menyerah?"
"Ya, tolong aku ... Frederika."
***
"Sofia, kau baik-baik saja?" Kevin menyusul gadis tersebut. Si pria merasa Sofia terlalu lama di toilet. Alih-alih terlihat murung. Gadis itu tersenyum menghampiri Kevin yang berdiri di depan pintu toilet.
"Tentu saja, Sayang ... aku tidak pernah sebaik ini."
Kevin mengernyit. Sikap Sofia terlihat berbeda. 'Ada apa dengan gadis ini?' Pikir Kevin.
"Kevin, aku bosan di sini. Bagaimana kau ajak aku ke luar," tawar sambil Sofia mengedipkan matanya.
"Benarkah? Ke mana?"
"Hmm ... bagaimana kalau ke apartemenmu. Kita bisa melakukan sesuatu yang nakal di sana," ajak Sofia sambil mengigit bibir bawahnya, seakan sengaja menggoda pria di hadapan.
Kevin terperangah. Tidak mengira Sofia seagresif itu, tapi tak lama dia tersenyum tipis. "Ok, kuharap kau tidak menyesal, Sofia."
***
Sofia merasakan udara dingin menerpa tubuhnya. Gadis itu menarik selimut hingga menutupi pundak. Harum lavender menggelitik indra penciumannya, sungguh menenangkan.
Namun, Gadis itu menyadari jika kamarnya tak pernah beraroma seperti itu. Dia membuka kelopak mata cepat dan secepat kilat bangkit dari ranjang. Mata Sofia terbelalak ketika mendapati tubuhnya hanya memakai kemeja putih kebesaran yang panjangnya satu jengkal di atas lutut, hingga mengekspos kaki jenjangnya.
Ccklek ....
Sofia menoleh, dari pintu yang baru terbuka, terlihat sosok Kevin yang mengusap rambut basahnya dengan handuk. Wajahnya terlihat segar, dan sialnya pria itu 'shirtless.'
Sofia memalingkan wajahnya ke arah lain, pipi gadis itu panas seperti terbakar.
"Kau sudah bangun?" tanya Kevin.
"A-a-apa yang terjadi ...?" Wajah Sofia terlihat bingung.
"Kau lupa? Semalam ... sangat menyenangkan, Sofia."
Bersambung #7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel