Cerita Bersambung
Semalam sangat menyenangkan Sofia. Kau begitu ..." Kevin menggantung kalimatnya.
Wajah Sofia berubah pias, "Katakan! Apa yang terjadi? Apa kau ... Maksudku, apa kita ..."
"Apa ...?" tanya Kevin. Manik coklat tuanya menajam menatap Sofia, perlahan berjalan mendekat.
Sofia surut beberapa langkah, hingga tubuhnya membentur tembok kamar. Kevin mengurung tubuh gadis tersebut dengan kedua tangannya. Sang gadis membuang wajahnya ke samping, bulir-bulir bening mulai jatuh satu per satu.
Kevin menatap Sofia intens, dia mendekatkan wajahnya, hingga bila gadis itu bergerak sedikit saja, bibirnya akan menyentuh pipi halus si gadis.
"Semalam kau mabuk, Sofia. Tanpa sadar kau hampir mempermalukan dirimu sendiri di depanku," bisik Kevin seduktif.
Sofia memejamkan matanya. Malu dan hina! Itu yang di rasakannya saat ini. Ingin rasanya membenamkan diri ke dasar bumi dan tidak akan pernah muncul lagi.
Tangan Kevin bergerak membelai lembut pipi gadis itu.
"Jika aku mau, aku bisa saja memanfaatkanmu tadi malam. Tapi, aku tidak sebejat itu. Aku bukan pria yang biasa mengambil kesempatan saat seorang gadis tidak berdaya. Lagi pula ... apa enaknya bercinta dengan wanita yang sedang pingsan," ungkap Kevin sambil menyunggingkan senyum.
Kevin menjauhkan wajahnya, surut selangkah, memberi ruang pada Sofia.
Gadis itu membuka matanya, tidak percaya dengan pengakuan Kevin. Matanya mencoba mencari riak kebohongan di mata pria itu, tapi tidak dia temukan.
"Be-benarkah? Kau yakin?" tanya Sofia lirih. Ingin meyakinkan.
Kevin terkekeh. Pria itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
"Apa kau merasakan hal aneh di sana?"
Mata Kevin menurun ke bagian bawah tubuh Sofia.
Wajah Sofia bersemu merah, tanpa sadar merapatkan kakinya.
"Tidak, tapi kenapa aku memakai kemejamu," tanyanya gugup, gadis itu benar-benar seperti orang linglung.
Tawa Kevin semakin lebar.
"Setelah menggodaku dengan tubuh triplek itu, kau memuntahkan isi perutmu, hingga membasahi gaun serta pakaian dalammu. Jadi, aku berinisiatif menggantinya dengan bajuku."
Reflek Sofia memeluk tubuhnya sendiri. Baru dia sadari tidak memakai pelapis apa pun di balik kemeja itu.
Kevin tersenyum heran, dalam hati dia bertanya, bagaimana gadis yang semalam terlihat 'nakal dan liar' bisa berubah menjadi kucing manis dalam semalam. Benar-benar membingungkan.
"Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu," ucap Kevin. Berjalan mengambil paper bag yang ada di atas nakas, "pakailah!"
Sofia menerima dengan wajah cemberut. Kesal? Entahlah ... pria di hadapannya begitu sulit di tebak perilakunya.
Kevin berjalan meninggalkan Sofia yang masih menekuk wajahnya.
"Ganti bajumu! Atau aku akan benar-benar menerkam dirimu sekarang juga!"
Kevin mengerling jahil pada Sofia, "by the way ... aku sudah melihat semuanya. Jadi, kau tidak perlu menutupnya seperti itu."
Setelah mengucapkan itu sang pria menghilang di balik pintu, sesaat kemudian terdengar pekik Sofia.
"KEVIIN! DASAR MESUM!"
Pria itu terbahak, kemudian berjalan sambil bersiul riang.
***
Denting sendok terdengar di ruangan makan yang menyatu dengan dapur. Meja bulat kayu yang dilengkapi empat buah kursi berada di tengah ruangan. Lampu model spiral menggantung di tengah ruangan.
Ruangan ini tidak terlalu besar, karna itu antara dapur dan ruang makan tidak bersekat.
Sofia berkali-kali mencuri pandang ke arah Kevin. Mata yang sedikit menyipit dengan manik coklat tua, dibingkai bulu mata lentik, dan alis hitam tebal membuat pesona pria itu semakin bersinar.
"Sudah puas mengagumiku," tegur Kevin lembut.
Sofia tergagap, seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, dia kembali menekuri sarapannya.
"Cepatlah, ada yang harus kita selesaikan," ucap kevin. Dia masih sibuk dengan gawainya, sambil sesekali menyeruput kopi dan menyesapnya pelan.
Hati sofia penuh tanya, pekerjaan apa? Selama ini dia hanya bekerja di Petterson Company. Jadi, apa maksud dari ucapan kevin. Rasa penasaran membuat Sofia menyelesaikan sarapannya dengan cepat.
"Aku selesai," tandas Sofia.
Kevin melirik Sofia sekilas, tangannya bergerak mengusap sudut bibir si gadis yang sedikit kotor karna sisa makanan.
"Apa kau selalu seperti ini," tanya kevin.
"Apa?"
"Menggodaku untuk selalu menyentuhmu?"
Blush ... lagi-lagi pipi Sofia memerah, gadis itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang berubah warna.
***
"Bacalah." Kevin menyodorkan sebuah map coklat kepada Sofia.
Sofia mengernyit. "Ini ...?"
"Surat perjanjian kita."
"Perjanjian?" tanya Sofia dengan wajah bingung.
"Yup! Bacalah dengan teliti detailnya," perintah Kevin.
Sofia membaca surat perjanjian itu, point demi point. Ekspresi gadis tersebut berubah-ubah ketika membaca kertas itu. Beberapa kali gadis itu bergumam dan menggelengkan kepalanya.
Bagaimana tidak, ini adalah surat perjanjian tergila yang pernah dia baca.
Point pertama, Sofia harus bersedia datang ketika kevin memerlukan dirinya, kapan saja dan di mana saja.
Point kedua, Sofia harus bersikap semanis mungkin kepada Kevin, layaknya seorang kekasih di hadapan semua orang.
Point ketiga, setiap weekend, Sofia harus 'stay' bersama kevin.
'Sinting.' Desisnya.
"Siapa yang sinting?" Kevin menaikkan satu alisnya.
"Ini!" Sofia meletakkan kertas perjanjian tersebut ke atas meja, "perjanjian terkonyol dan gila yang pernah kubaca," dengkusnya keras.
Kevin menegakkan punggungnya, kedua siku bertumpu di atas meja dengan jemari yang bertaut. Matanya menajam, menikam dua bola mata Sofia
"Aku tidak meminta pendapatmu, yang harus kau lakukan tanda-tangani kertas itu!" tegasnya.
Sofia terkesiap, pria di hadapannya sekarang terlihat menakutkan. Tapi, dia merasa tidak perlu menanda-tangani apa pun.
"Toh aku tidak rugi apa-apa.' Sofia membathin.
Sofia bangkit. "Maaf, aku tidak merasa wajib menaati Anda, Tuan Kevin! Jadi, lupakan saja perjanjian konyol ini." Suara gadis itu terdengar gemetar. Tapi, dia berusaha terlihat kuat. Sofia tidak ingin 'Frederika' ke luar dan membuat kekacauan lagi. Cukup semalam dirinya dipermalukan.
Sofia berbalik hendak melangkah, tapi suara Kevin menahan kakinya.
"Bagaimana jika ini melibatkan Arya!"
Sofia bergeming.
Gadis itu memutar tubuh, raut wajahnya terlihat bingung. Kevin tersenyum miring, pria itu melempar beberapa foto di atas meja.
"Bagaimana jika kau lihat dulu beberapa koleksi fotoku."
Sofia mendekat. Beberapa foto di ambil nya. Mata Sofia membola, tangannya menutup mulutnya yang terbuka. Shock!
Tangan Sofia gemetar, melihat fotonya bersama Arya. Sejak pertama gadis itu bekerja di Petterson Company, di rumah, di taman belakang, saat dia ke luar dari apartemen Arya bahkan di kamarnya. Semua dari angle yang tepat, sehingga posisi Arya dan dirinya terlihat intim.
"Kau, menguntitku?!"
"Aku punya banyak mata juga telinga. Bukan hal yang sulit mengendus affair kalian," jelas Kevin sinis.
Pria itu berdiri, mendekati Sofia yang masih terguncang.
"Aku tidak menawarkan pilihan. Tapi, aku memberi perintah padamu, dan kau harus patuh atau ..."
"Atau apa?" sela Sofia cepat.
"Atau semua foto ini akan tersebar. Mungkin bagimu bukan masalah besar. Tapi, bagi seorang Arya ini adalah aib bagi keluarga dan juga bisnisnya."
"Karina memegang saham 30% dari Petterson company, aku 35% sisanya 35% milik Arya. Bayangkan jika Karina sakit hati dan bergabung denganku, maka Arya akan tumbang, dan kau yang harus disalahkan," tutur Kevin.
Sofia begitu terpukul. Matanya nanar oleh air mata. Gadis itu tidak menyangka, Kevin sudah lama mengawasinya. Tapi, untuk apa ....
Jika ini persaingan bisnis, kenapa harus melibatkan dirinya. Sekali lagi gadis itu harus menelan rasa kecewa, disaat dia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Kevin, pria itu justru ingin memanfaatkan dirinya, kepolosannya.
'BODOH!' Suara di kepala Sofia memaki.
Hening ....
"Waktuku tidak banyak, Sofia!" ucap Kevin.
Sofia mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, lengkung miring terbit di sudut bibirnya.
"Kau ingin bermain? Oke, let's play," jawab Sofia. "Tapi, i have a rule ... " Sofia mendekati Kevin, memperpendek jarak antara mereka. Mata si gadis menantang manik coklat tua milik kevin.
"Tidak ada kontak fisik dan aku meminta harga dari perjanjian itu!" lanjutnya.
"Sebutkan hargamu," tantang Kevin.
Sofia mendengkus, bibirnya tersenyum sinis, sementara tangannya membelai manja dada bidang pria itu. "Kau! Dan seluruh hidupmu!" jawab Sofia lugas.
"Mustahil!" tolak kevin.
Sofia mundur. "Kalau begitu, lupakan perjanjian konyol itu. Aku tidak punya kepentingan di sana."
"Walau akan merusak reputasi Arya"
"AKU TIDAK PEDULI WALAU DIA MATI," teriak Sofia. Wajah gadis itu merah padam menahan amarah, mulutnya pun terkatup rapat.
Kevin mematung melihat reaksi Sofia. Gadis itu berbalik melangkah meninggalkan kevin yang tertegun.
'Kau ingin menyiksaku, baiklah ... mari tersiksa bersama-sama.' Gumam Sofia.
==========
Sofia duduk menghadap meja rias. Tangannya menyentuh mata yang sembab karna menangis seharian. Sejak pulang dari apartemen Kevin, gadis itu mengurung diri di kamar. Dia tidak habis pikir, apa motif pria itu mengawasinya. Dari foto-foto yang di perlihatkan Kevin, sudah lama aktivitasnya diamati pria tersebut.
Siapa Kevin? Apa hubungannya dengan pria itu?
Banyak pertanyaan berseliweran di benak si gadis. Jika tentang bisnis, tidak mungkin Kevin mengawasinya selama itu. Sesat Sofia gelisah, tubuhnya mulai resah. Gadis itu menghela napas. Dia tidak tahu apa yang terjadi di rumah pria itu, bagaimana dia bisa lolos dan berakhir terbangun di kamarnya dengan memakai piyama. 'Apa Frederika yang melakukannya?' Gumam Sofia.
Sebuah notifikasi membuyarkan lamunan Sofia. Dia meraih ponsel yang ada di atas meja rias tersebut, melihat ada pesan masuk.
[aku di bawah]
Sofia bergeming. Ragu menggelayuti hatinya. Untuk apa Kevin mengirim pesan. Berpikir sejenak, lalu memutuskan membalas pesan tersebut. Jemari gadis itu menari di atas ponselnya.
[ada apa]
[ tentang perjanjian itu, aku setuju syaratmu]
Sofia mengernyit tidak mengerti. Syarat apa? Apa lagi yang telah di lakukan 'Frederika' kali ini. Gadis itu menggigit bibir, langkahnya mondar-mandir di dalam kamar.
Sejurus kemudian Sofia mendekati jendela kamar, melongok ke luar. Benar saja, di halaman terparkir cantik mobil Kevin. Kegugupan melanda dirinya, tepat saat pandangan pria tersebut membidik jendela kamarnya.
[Apa aku harus menjemputmu ke atas]
Sofia meremat ponselnya, menimbang sejenak. Mungkin mereka memang perlu bicara, jadi gadis itu memutuskan menjawab.
[Tidak perlu, aku akan turun]
***
Sofia menganjur napas perlahan, gadis itu selalu saja merasa oksigen di sekitarnya menipis, bila di dekat Kevin. Pria itu sangat sulit ditebak. Kadang dia bertingkah bak pangeran berkuda putih yang rupawan dan baik hati. Tetapi, dalam sekejap bisa berganti menjadi pria berhati batu yang sangat kejam.
Langkah gadis tersebut pelan mendekati Kevin yang duduk di kap mobilnya. Seperti ada keterikatan, si pria merasakan ada yang mendekat, menoleh.
Sofia mendekat dengan kepala menunduk, langkahnya sangat pelan. Sesaat Kevin terkesima melihat penampilan gadis itu malam ini. Piyama berlengan panjang dengan motif 'Doraemon' berwarna merah darah. Rambut panjang yang di cepol asal memperlihatkan leher jenjangnya. Sederhana, tapi sangat manis.
'Sial! Mengapa dia terlihat menggemaskan malam ini.' Kevin mengumpat pelan.
Tak ingin kehilangan kendali lagi, pria itu membuang pandangan ke atas. Langit malam terlihat cerah, banyak bintang bersinar dengan congkak bersanding bersama cahaya bulan.
"Ada apa?" tanya sofia begitu mereka berhadapan.
Kevin bergeming. Masih setia menatap langit.
"Kau bilang ada yang--"
"Ssstt ... diamlah," ujar Kevin seraya menarik lengan Sofia agar duduk bersamanya.
Kevin menunjuk ke langit. "Kau lihat, di sebelah selatan ada rasi bintang. Kau tau namanya?"
Sofia mengikuti arah telunjuk Kevin.
"Bukankah itu rasi crux?" tanya Sofia.
Kevin menoleh, bibirnya melengkung senyum.
"Kau tau?"
"Tentu saja, Crux rasi bintang selatan. Lazimnya kita menyebut rasi gubuk miring. Bentuknya seperti salib, sering dijadikan petunjuk arah selatan oleh nelayan atau musafir. Crux merupakan rasi terkecil dan termasuk 88 rasi bintang modern. Jika kebanyakan rasi bintang dikaitkan dengan motologi Yunani, Crux berbeda. Dahulu Crux merupakan bagian dari Rasi Centaurus, barulah pada tahun 1679, seorang astronom berkebangsaan Prancis menemukan bahwa Crux terpisah dari rasi Centaurus. Nama Crux berasal dari bahasa latin yang artinya salib."
Kevin menatap Sofia tanpa berkedip. Setiap gerak bibir gadis itu seakan menghipnotisnya. Dia terpesona mendengar si gadis menjelaskan dengan begitu detail.
"Luar biasa! Pengetahuanmu cukup luas ternyata," puji Kevin.
"Aku suka melihat bintang. Kau tau ... setiap aku merasa sedih, aku selalu naik ke atap rumah hanya untuk melihat bintang. Aku berharap menjadi salah satu di antara mereka, tapi ..." Sofia menggantung kalimatnya.
"Tapi apa?" kejar Kevin.
"Ngga apa-apa." Sofia memalingkan wajah, mengusap bening yang mengintip di sudut matanya.
Kevin melihat wajah Sofia yang berubah sendu. Hatinya mengetuk agar merengkuh gadis itu ke dalam peluknya, tapi ego dan rasa dendam meluruhkan keinginan itu.
"Sudah cukup basa-basinya. Aku datang menyerahkan ini," ujar Kevin seraya menyerahkan surat perjanjian tadi pagi. Dia tak ingin larut dalam pesona Sofia yang bahkan gadis itu tidak melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya.
Sofia menatap kevin, sebentar saja pria itu bersikap hangat, menit kemudian berubah sedingin kutub antartika.
"Kau serius dengan semua ini?" tanya Sofia meyakinkan Kevin.
"Yup, juga syaratmu. Karna itu tanda-tangani saja," ketus Kevin.
"Sy-syarat apa?" tanya Sofia bingung.
Kevin menggertakkan rahangnya.
"Sofia! Berhenti mempermainkanku. Ada apa denganmu? Bagaimana bisa kau melupakan syarat yang kau ajukan padaku?!" seru Kevin hampir hilang kesabaran menghadapi gadis tersebut.
"Tapi, aku memang tidak ingat. Aku ..."
"Jangan bilang kau suka amnesia dadakan Sofia! Jangan bermain peran denganku tau. kau akan menyesal!" ancam Kevin.
Tubuh Sofia mengkerut, suara Kevin benar-benar membuat nyalinya ciut sebesar kelereng.
"Maaf, aku ... aku tidak bermaksud begitu. Aku ... sakit!"
Kevin tersenyum sinis. "Sakit?! Kau lebih terlihat licik dari pada sakit," dengkus Kevin.
Sofia tersentak, tidak mengira kevin menilainya seburuk itu, sementara sosok lain dalam dirinya mendesak ke luar.
"Jawab, Sofia!" amuk Kevin.
Sofia memejamkan mata, kedua tangannya terkepal kuat. Dia sekuat tenaga menolak tidur dan membiarkan Frederika ke luar untuk membuat kekacauan lagi. Dia mengumpulkan keberanian yang hanya seujung kuku.
Sofia membuka kelopak mata dan menantang manik Kevin. "YA, aku licik, jahat, munafik, tapi bagaimana dengan kamu? Bukankah kau ingin memanfaatkanku? Untuk apa? Apa maksudmu mengawasiku. Apa kau psikopat?" tanyanya sengit, tapi ada getar di suaranya.
Kevin terdiam mendengar jawaban Sofia. Pria itu tidak tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan. Jika ingin menghabisi atau membuat gadis itu sengsara, sangat mudah baginya, bahkan kesempatan itu selalu terbuka lebar. Tapi, dia tak pernah bisa sanggup melakukannya. Pada akhirnya dia akan selalu terjebak dalam pesona gadis tersebut.
"Kenapa kau diam? Kau ingin aku tanda-tangan? Ok ... "
Tangan Sofia bergerak lincah dikertas yang ada di atas kap mobil kevin.
"Sudah! Sekarang kau puas?" tanya Sofia dengan raut datar.
Kevin meraih kertas tersebut.
"Minggu depan kita menikah." ucapnya. "Itu harga yang kau minta bukan?" imbuh dengan wajah datar.
Pria itu masuk ke dalam mobil, kemudian melesat meninggalkannya Sofia yang masih mencerna ucapan Kevin seorang diri di halaman rumah.
***
'Sial, sungguh sial!' Umpat kevin. Pria itu memukul stir mobilnya. Beberapa kali mengusap wajah dengan kasar. Pria itu berhenti di pinggir jalan yang kerap didatanginya lima tahun terakhir. Dia turun dari mobil, mendekat ke pembatas jalan, melihat ke bawah.
Debur ombak memekak menghempas karang di sekitarnya. Kevin menyulut sebatang rokok, menghisap dalam, kemudian menghembuskan ke udara.
'Sudah lima tahun. Tapi, mengapa rasa ini tidak pernah hilang. Tahukah kamu? Rasanya mencintai sekaligus membenci. Andai saja kau ikut mati di sini bersama bajingan itu, aku hanya akan menyesal saja. Tapi, sekarang ... melihatmu sedekat ini membuatku gila. Gila karena masih mencintaimu sekaligus membencimu dan yang paling menyedihkan, kau sama sekali tidak ingat apa pun tentang aku dan Aira.' Kevin bermonolog lirih.
"Jangan bunuh diri," tegur seorang gadis, membuat Kevin menoleh. Dia melihat seorang gadis mengenakan gaun pengantin berwarna putih sedang duduk termenung di atas pembatas jalan. Jika saja gadis itu tidak bersuara, mungkin Kevin tidak akan melihat karena sangat gelap.
"Bunuh diri ngga akan menyelesaikan masalah," lanjut gadis itu lagi, dia menoleh ke arah Kevin.
Samar pria itu bisa melihat wajah si gadis. Cantik. Itu kesan pertama yang pria itu tangkap. Tapi, sangat aneh ada seorang gadis dengan gaun pengantin duduk di tengah malam di jalan yang sepi.
Kevin mendekat, entah mengapa dia merasa gadis itu perlu seorang teman.
"Lalu, apa yang dilakukan gadis sepertimu di tempat seperti ini dengan ..." Kevin memperhatikan gaun yang dipakai sang gadis.
Terdengar tawa dari mulut si gadis. Suaranya sangat merdu dan menenangkan.
"Apa yang ada di pikiranmu benar. Tadinya aku mau terjun dari sini, tapi mendengar kau bicara sendiri, kupikir kau perlu teman," ujarnya menatap Kevin dengan sorot lembut.
Kevin tertegun. Cara gadis itu menatap mengingatkannya pada Aira. Tidak hanya itu, senyumnya pun mirip sang adik.
"Lupakan tentang aku. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kevin lagi.
Gadis itu menghempaskan napas. Tatapannya naik memandang langit.
"Aku harus ke mana. Ini malam pengantinku, tapi suamiku sendiri memasukkan wanita lain ke dalam kamar pengantin kami. Mungkin dia sedang menidurinya sekarang," jawab gadis itu dengan raut datar.
Kevin terperangah, melihat begitu santainya gadis itu bercerita, padahal itu hal yang paling menyakitkan bagi seorang wanita.
"Tidak usah kagum padaku. Tadinya memang sakit. Tapi, sekarang aku mengerti sesuatu. Suamiku itu hanya ingin menyakiti agar aku menyerah. Tapi, dia salah. Aku bukan gadis lemah, akan kubuktikan siapa aku." Gadis itu mengalihkan pandangannya kembali pada Kevin yang hanya terdiam.
"Mengapa kau yakin bisa kuat?" tanya Kevin ingin tahu.
Gadis itu memutar tubuhnya menghadap pria tersebut.
"Jangan remehkan kekuatan perempuan yang sedang terluka. Saat terluka, mungkin kami akan menangis dan rasanya ingin mati saja. Tapi, setelah tangis itu reda, kami akan kembali kuat. Seperti burung Phoenix, yang terbakar bila waktunya tiba. Tetapi, dia akan bangkit dari abunya sendiri dan lebih kuat serta cemerlang dari sebelumnya."
"Jika kau mencintai seorang wanita, jangan pernah menyakitinya sedikit saja. Atau kau akan menyesal seumur hidup. Apalagi jika sebenarnya kau tak bisa mengenyahkan dia dari hatimu," tutur sang gadis bijak.
Kevin terdiam, mencerna kalimat yang ke luar dari sang gadis. Dia baru tersadar saat mendengar mesin mobil dihidupkan. Gegas pria itu menghadang si gadis yang telah berada di dalam mobilnya. Dia menghampiri ketika gadis tersebut membuka kaca mobilnya.
"Apa kita akan bertemu lagi?" tanya Kevin dengan nada berharap.
Si gadis tersenyum. "Mungkin, kalau garis takdir kita bersinggungan," jawabnya ringan.
"Siapa namamu?" tanya Kevin lagi.
"Prameswari Paramitha. Tapi, kau boleh memanggilku, Mitha." Gadis itu menekan gas, lalu mengendarai mobilnya meninggalkan Kevin.
Kevin membuang rokok yang sudah mati, tersenyum tipis. Pria itu masuk kembali ke dalam mobil, memacu benda itu meninggalkan tempat di mana dia pernah bertindak sebagai malaikat maut.
***
Arrggh!
Gadis itu menghamburkan semua benda yang ada di meja rias. Matanya nanar menatap cermin di hadapan.
'Cukup, Sofia! Tidak bisakah kau membela dirimu sendiri? Apa harus aku yang selalu melindungimu? Kenapa kau selalu lemah. Mulai sekarang tidurlah lebih lama, karna perang baru kumulai dan kau, kau terlalu rapuh bagi lawanku!' maki gadis itu.
'Tidak, Frederika! Jangan ... lebih baik kita pergi saja. Jangan libatkan diri dengan mereka.' suara lain di kepala berbicara.
"DIAM! Lebih baik kau diam dan sembunyi saja di sana, biar aku menyelesaikan apa yang sudah kumulai,' Seringai gadis itu.
***
Pagi baru saja menjelang. Matahari menggeliat malas memulai harinya, awan hitam masih setia menggelayuti langit dengan pongah, tersenyum melihat bumi yang kuyup karena perbuatannya, yang tiada henti mencurahkan hujan dari semalam.
Seorang gadis telah bersiap sejak pagi-pagi sekali. Blush lengan pendek berwarna biru langit dengan sedikit renda dibagian kancing, dipadu rok selutut berwarna hitam, memperlihatkan kaki jenjang yang putih bersih, dan sepasang stiletto 10 cm menupang tubuh tinggi semampai si gadis.
Rambut yang tergerai indah serta make-up yang tidak terlalu tebal menambah kecantikannya. Tapi, yang paling menarik perhatian, bibir tipis gadis tersebut dipoles lipstick berwarna merah darah, terlihat berani dan tentu saja sexy.
"Sofia, sarapan dulu, Nak." Suara Halimah memanggil gadis itu.
'Waktunya berperang. Sofia ... tidurlah dengan nyaman.' Gadis itu membathin sambil tersenyum tipis.
"Sofia?!" Halimah kaget melihat penampilan putrinya pagi ini.
"Kenapa, Bunda?"
"Frederika ... mau ke mana, Nak?" Halimah cepat menyadari siapa yang ada di hadapannya sekarang.
"Bunda, Sayang ... hanya Bunda yang selalu mengenaliku dengan cepat," rajuk gadis itu.
"Tentu saja, Bunda yang melahirkanmu, tentu tau anak Bunda sendiri. Sekarang jawab pertanyaan, Bunda," tuntut Halimah.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mencomot roti bakar yang terhidang di atas meja.
"Frederika Sofiana Danu! Bunda menunggu jawabanmu," ucap Halimah tegas.
"Aku mau kerja, Bun. Sofia biarin aja 'tidur dulu.' Hari ini bakalan berat buat dia. Sekantor dengan Arya dan istrinya, Sofia ngga bakalan kuat. Jadi, biar aku melindungi hati dia. Aku ngga mau dia terluka lagi," terang gadis itu.
Halimah menarik napas panjang duduk di kursi dengan lelah. Matanya kembali menatap gadis di hadapan.
"Frederika, kamu jangan buat kekacauan, ya ... kasihan Sofia, Nak."
"Tenang aja, Bun ... aku akan tidur, jika Sofia bisa mengendalikan semua." Setelah menyakinkan Halimah, gadis itu berderap meninggalkan rumah.
***
"Sofia, tolong bawa surat kontrak Gemintang grup ke meja saya," pinta Arya melalui intercom. Dengan sigap gadis itu mencari dan menyiapkan berkas yang di minta.
"Permisi ..."
"Masuk."
Sofia masuk ke ruang kerja Arya setelah meminta ijin. Suara detak stilettonya memancing mata Arya melihat gadis yang dia rindukan.
Pandangan mata Arya menjelajah dari mata, kaki, hingga ke rambut Sofia. Arya terpesona, tanpa sadar pria itu berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati sang gadis yang ada di balik meja kerjanya.
"Gempil! Kamu ..." Terlihat jelas kerinduan di manik hitam milik Arya. Melihat penampilan Sofia yang berbeda pagi ini, membuat jantung pria tersebut berdetak liar.
Rambut sebahu yang tergerai indah, bibir merah merekah, membuat Arya tak kuasa untuk tidak menyentuh Sofia.
Tangan Arya bergerak ingin memeluk Sofia, tapi gadis itu reflek mundur menghindari si pria.
"Gempil, kenapa? Aku merindukanmu," ucap Arya, berusaha merengkuh bahu Sofia.
Gadis itu menepis tangan Arya.
"Maaf, Tuan. Ini berkas yang Anda minta, saya letakkan di atas meja," terangnya tanpa memperdulikan pertanyaan Arya.
Belum sempat Sofia melangkah, Arya mencengkram lengan gadis itu.
"Gempil, ada apa denganmu?"
"Lepaskan tangan anda, Tuan. Perbuatan Anda sangat tidak sopan!" tegur Sofia.
Arya mengernyit, ada kilat kebencian di mata gadis itu padanya.
"Gempil! Ada apa, kau marah padaku!?"
"Anda atasan saya, lagi pula Anda sudah menikah, tolong jaga sikap Anda." Suara Sofia mulai meninggi.
"Tidak, aku masih menyayangimu, Gempil ... tolong, jangan jauhi aku," lirih Arya. Pria tersebut menarik Sofia ke dalam pelukannya. Sontak gadis tersebut memberontak.
"Jauhkan tangan Anda dari calon istri saya!"
Cepat Arya menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu ruangannya, berdiri Kevin dengan wajah datar dan Karina dengan sorot mata menyiratkan kebencian.
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel