Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 09 Oktober 2021

Takdir Cinta #8

Cerita Bersambung

"Jauhkan tangan Anda dari tubuh calon istri saya!" Suara Kevin terdengar tegas dan lugas.

Arya segera melepas cengkeramannya pada lengan Sofia. Bukan karna gentar pada Kevin, tapi kehadiran Karina yang datang bersama pria itu.
Kevin mendekati Sofia. Dahi pria itu berkerut, dia memindai penampilan si gadis dari atas sampai ke kaki. Sungguh, bukan style Sofia.


"Kau, baik-baik saja?" tanya Kevin sambil mengelus lengan Sofia.

Gadis itu menoleh. Manik mereka bertemu, sorot keduanya  berbicara di udara tanpa suara. Sofia mengerti, ini waktunya bermain peran. Dia tersenyum penuh arti. Kevin ingin drama segera dimulai, tidak sulit karena gadis itu sudah siap sejak awal.

"Tentu, Sayang. Aku baik-baik saja.Tuan Arya hanya menolong, kakiku keseleo karna hak sepatuku terlalu tinggi." Sofia mulai mengarang cerita bohong lengkap dengan mimik manjanya.
"Sungguh?" Kevin melirik Arya,
"Thank's kalau gitu. Aku ngga mau calon istriku kenapa-napa." Dia melingkarkan tangannya di pinggang Sofia, menunjukkan kepemilikkannya.

"Calon istri?!" tanya Arya dengan nada tidak percaya. Sorot matanya menajam pada Sofia.
"Ya, seminggu lagi kami menikah. Bukan pesta besar, hanya keluarga saja. Kami mengundang kalian berdua, datanglah," undang Kevin sambil mengelus lengan Sofia lembut.
"Wow! Luar biasa. Aku tidak tau kalau kalian punya hubungan, pintar sekali menyembunyikannya. Sejak kapan?" tanya Karina yang sedari tadi hanya diam menyaksikan interaksi ketiganya.

Kevin mengalihkan pandangan pada gadis di sampingnya.
"Sudah lama, dia pemilik hatiku," jawabnya lugas menatap lembut. Pun Sofia, gadis itu tersenyum, manis sekali.
"Kau juga pemilik hatiku, Sayang ..." jawab Sofia tak mau kalah.
Dalam hati dia tertawa, drama yang mereka mainkan sungguh hebat. Dari sudut mata, Sofia bisa melihat raut tidak suka dari Arya.

Pria tersebut mengetatkan rahang, terlihat jelas ada cemburu di sinar matanya. Andai dia punya keberanian lebih, ingin rasanya mematahkan tangan Kevin yang melingkar di pinggang ramping milik Sofia.

Kevin mengangkat sudut bibirnya, tersenyum sinis. Dia tahu ada amarah yang tertahan di dada Arya. 'Bagus! Pancinganku berhasil. Satu peluru untuk dua sasaran.' Kevin membatin.

"Cukup reuninya. Kurasa kita ada jadwal meeting hari ini," ucap Karina mengingatkan.
"Baiklah, saya akan mempersiapkan berkasnya, permisi ..." Sofia berlalu melewati ketiga orang itu.
***

"Siapa yang akan kau goda Sofia?" geram Kevin. Pria itu mencengkeram bahu dan menekan tubuh gadis tersebut ke dinding lift yang baru saja menutup. Hanya ada mereka di dalam, karna lift yang mereka naiki khusus untuk petinggi perusahaan.

Sejak meeting di mulai, Kevin menahan diri untuk tidak memaki para pria yang memandang Sofia terang-terangan. Sebagai sesama pria dia paham apa yang ada di pikiran mereka. Gadis itu tidak berpakaian terbuka, tapi setelan yang dikenakannya cukup memperlihatkan lekuk tubuh. Belum lagi sex appeal yang dimilikinya, membuat apa saja yang dikenakan Sofia terlihat pas dan sexy.

"Tidak ada, kenapa?" jawab Sofia acuh.
"Ada apa denganmu?" tanya Kevin lagi, dia semakin dibuat bingung dengan karakter gadis di hadapan.
"Tidak ada apa-apa, lagipula apa urusanmu?" balas Sofia acuh, bahkan dia tak menatap Kevin saat berbicara.

Kevin semakin mengeratkan cengkeramannya pada bahu Sofia hingga si gadis meringis menahan nyeri.

"Kau, menyakitiku, Kevin. Lepaskan!" sentak Sofia.
"Dengar, ini pelajaran pertama untukmu! Jangan pernah berdandan seperti ini lagi bila kau tidak bersamaku. Jangan pernah memperlihatkan lekuk tubuhmu kecuali di depanku. Kau mengerti!" ancam Kevin posesif.
Sofia melotot marah. "Apa hakmu melarangku!"
"Karna kau milikku, kita akan menikah. Jadi, jangan pernah kau membantahku!"

Sofia menepis tangan Kevin dari bahunya. Maniknya menantang tajam manik milik si pria berwajah aristokrat itu.

"Apa perlu kuingatkan isi perjanjian kita? Tidak ada kontak fisik kecuali aku menginginkannya. Posisi kita seimbang karena kita akan menikah. Itu artinya, aku punya kebebasan yang sama sepertimu."
"Jika kau ingin mundur, maka lakukan sekarang. Aku tidak rugi apa pun," tantang Sofia geram, "Dengar baik-baik Kevin! Aku bukan 'dia' yang bisa kau gertak. Aku lebih kuat dan bisa lebih gila darimu!" ancamnya balik.
"Dia, siapa?" cetus Kevin cepat.
"Lupakan."

Tepat saat lift berhenti di lantai Sofia berkantor, gadis itu melangkah ke luar. Tapi, sebelum melanjutkan langkahnya, dia berbalik.
"Oh, Kevin, sebaiknya jaga hatimu sebelum tercuri olehku." Sofia tersenyum menggoda, kemudian berbalik melangkah dengan anggun.

'Kau sudah melakukannya, Sofia ... sejak dulu.' Bisik Kevin lirih, seiring tertutupnya pintu lift, membawa pria patah hati yang di penuhi dendam dan ambisi tersebut.
***

Arya resah. Entah berapa kali dirinya mencoba mengetik pesan untuk Sofia, tetapi di hapus lagi. Hati pria itu mendidih, setiap mengingat pandangan Kevin ke pada gadis itu.
Dengan lancang dia menyentuh kekasihnya dan yang membuat Arya murka, Sofia membiarkan saja perlakuan pria tersebut.

'Menikah? Tidak mungkin.' Gumam Arya.
"Apa yang tidak mungkin?" tanya Karina. Wanita itu baru saja ke luar dari kamar mandi. Aroma sabun dan shampo mahal menguar dari tubuhnya menggelitik indra penciumam Arya. Tapi, tetap saja fokus si pria hanya pada Sofia.

"Tidak ada."
"Benarkah? Apa ini tentang sekretarismu itu?" tanya Karina menyelidik.
"Bukan urusanmu!" jawab Arya ketus.

Karina tertawa. Wanita itu duduk di meja rias, menyisir rambutnya perlahan.

"Kau, tau Arya ... sepertinya Kevin tergila-gila padanya. Aku heran, bagaimana gadis rendahan itu bisa memikat seorang Gemintang," kata karina sinis sambil menatap Arya dari cermin.
"Tutup mulutmu, Karina! Dia bukan perempuan rendahan," jawab Arya sengit.

Sudut bibir Karina terangkat, "Kenapa kau begitu membelanya, apa kau cemburu?  Mungkin saja jalang itu sudah memberikan tubuhnya pada Kevin." Karina mencoba memprovokasi.
"Kubilang, tutup mulutmu Karina! Atau aku akan..."
"Akan apa?!" sela Karina menantang. Wanita itu berdiri dengan mata nyalang, berderap mendekati Arya.
"Begitu marahnya kau ketika aku menghina dia, lalu bagaimana denganku? Aku istrimu! Istri mana yang tidak terluka bila tubuhmu di sini, tapi hatimu di tempat lain," maki Karina murka.

Arya bergeming. Lidahnya kelu, tak mampu menampik semua tuduhan Karina. Karna sejatinya di hatinya hanya ada satu nama.
Hari ini, untuk pertama kalinya pria itu jijik pada dirinya sendiri. Menginginkan kejayaan serta reputasi melalui Karina, tapi tidak rela melepas-Sofia-gadis yang menggenggam hati dan cintanya.

Karina terisak, tubuh wanita itu gemetar setelah meluapkan emosi yang membuncah. Dia berharap sang suami, menghampiri dan menenangkan, tetapi Arya justru melangkah ke luar kamar, meninggalkan wanita itu bersama kehampaan.
***

Sofia merebahkan tubuh ke atas pembaringan. Kedua tangan dilipat ke belakang dijadikan bantal untuk kepalanya.

'Ah ... lelah sekali. Andai kau lihat wajah mereka ..." Gadis itu memejamkan matanya. 'Aku ingin tidur. Malam ini kau aman, Sofia.'

Dering ponsel memaksa Sofia membuka mata. Gadis itu bangun, merenggangkan tubuhnya yang terasa lelah. Rasa haus memaksa gadis itu bangkit untuk mengambil minum di dapur, melewati cermin yang melekat di pintu lemarinya.
Sekilas dia melihat pantulan diri, beberapa detik kemudian berbalik, menatap dirinya melalui cermin itu lagi.

'Apa ini? Kenapa aku pakai seperti ini?' Sofia bergidik. Lebih terkejut ketika melihat dandanannya. 'Astaga! Frederika ...' keluhnya.

Dering ponsel kembali mengganggunya, dengan gusar Sofia meraih benda pipih itu.

'Arya?' Gumamnya, melihat nama yang tampil di layar 7 inchi itu. Sofia menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak perlu tidaknya menjawab panggilan pria itu. Ponsel terus menjerit, membuat si gadis memutuskan menerima panggilan tersebut.

"Hal-hallo ...."
"Aku mengetuk pintu rumahmu. Bisa kau bukakan?"
"Ada apa."
"Aku ingin bicara."
"Bicara saja sekarang."
"Gempil, please ...."
"B-b-baiklah, sebentar."

Sofia menutup panggilan. Dia berjalan mondar-mandir sambil menggigit kukunya. Sebagian hati gadis itu menolak untuk bertemu, apalagi kedua orang tuanya tidak berada di rumah, tapi dia penasaran apa yang ingin dibicarakan Arya. Jadi, Sofia meneguhkan hatinya untuk turun ke bawah dan membukakan pintu untuk pria tersebut.

"Masuklah ..."
"Kok sepi, Bunda mana?" tanya Arya.
"Bunda nyusul Ayah ke Semarang. Ada urusan keluarga," jawab sofia gugup.

Arya tersenyum, meraih jemari Sofia dan menautkannya. "Ayo, kita ngobrol di taman belakang," ajaknya setengah menarik tangan si gadis mengikuti langkahnya.
"Duduklah di sini Gempil," pinta Arya sambil menepuk ruang kosong di sampingnya.

Sofia bergeming, kepalanya menunduk sambil memilin jemarinya. Dengan gemas Arya menarik lengan gadis itu, memaksa duduk.

"Aku rindu tidur di pundakmu Gempil. Rasanya sangat damai," ungkap Arya. Pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Sofia, memejamkan mata, menikmati semilir angin malam yang membelai wajah lelahnya.
"Apa, kau tidak merindukan aku?" tanya Arya.

Hening ....
Pria itu mengangkat kepalanya, membingkai wajah cantik Sofia dengan kedua telapak tangannya.

"Katakan, kau tidak akan menikah, 'kan? Semua bohong, benarkan, Gempil?" cecar Arya tak sabar.

Sofia menepis tangan Arya di wajahnya, kepala gadis itu semakin menunduk.
"Itu benar, a-a-aku akan menikah," jawabnya lirih.
"Tatap aku, Gempil! Apa dia memaksamu?"

Sofia menggeleng, jawaban gadis itu membuat Arya geram.
"Tidak mungkin! Aku tidak mengijinkan pernikahan itu terjadi. Kau milikku!" seru Arya murka.

Takut-takut Sofia mengangkat wajahnya.
"Arya, sudahlah ... kumohon, lepaskan aku. Kau sudah menikah, kita tidak bisa seperti ini terus," erangnya lirih.
"Tapi, kau mencintaiku! Benarkan?" tanya Arya.

Sofia diam ....

"Katakan Sofia, kau mencintaiku 'kan?!" lagi, Arya bertanya.

Sofia menggeleng perlahan.

"Bohong!" sergah Arya. "Ayo kita buktikan!" dengan cepat pria itu merengkuh tengkuk Sofia, mencoba memaksa mencium bibir gadis tersebut.

Sofia tersentak, mencoba menahan dada si pria dengan kedua tangannya. Tapi, gadis itu kalah dari tenaga Arya. Bayang-bayang kejadian terkutuk itu kembali menghantui dirinya. Berusaha berteriak, tetapi suaranya seolah tertelan ke tenggorokan.

Di saat gadis tersebut merasa tak ada lagi harapan, tiba-tiba tubuhnya seolah tertarik ke belakang seiring bunyi pukulan.
Arya terjengkang, sementara tubuh Sofia berada di belakang punggung tegap seorang pria. 'Kevin ...' Lirih Sofia.

"Jangan melewati batasanmu, Arya! Aku sudah memperingatkanmu, jangan sentuh Sofia!" ancam Kevin dengan dada turun naik dan napas tersengal.

Arya tertawa, mengusap darah yang ke luar dari sudut bibirnya.

"Kau yakin dia mencintaimu? Tanyakan padanya, siapa pria pertamanya?!" tantang Arya pongah.

Wajah Sofia pias, tidak menyangka Arya berkata seperti itu. Kevin menatap gadis tersebut. Rahangnya mengeras, kedua tangan pria itu terkepal kuat. Tanpa aba-aba dia menarik lengan Sofia mengikutinya.

"Masuk!" perintah Kevin sambil membuka pintu mobilnya, kemudian membanting dengan keras begitu Sofia berada di dalam.

Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, napasnya memburu, mata pria itu berkilat penuh amarah.

"Kev-Kevin ...."
"DIAM! jangan bicara sepatah katapun!"
***

"Ke luar!" Kevin membuka pintu mobil begitu mereka sampai di sebuah rumah bergaya klasik.

Sofia bergeming ....

Tak sabar, pria itu menyeret paksa Sofia mengikuti langkahnya. Membanting tubuh mungil itu ke atas ranjang. Gadis itu mengkerut dengan tangan memeluk tubuhnya.

"Katakan, kau tidur dengannya?!" tanya Kevin menyorot tajam. Sorot mata itu seakan menebas tenggorokan Sofia. Gadis itu tercekat, tak mampu bicara.

"JAWAB, SOFIA!"
"It-itu ... tidak seperti dugaanmu," jawab sofia nyaris tak terdengar.
Wajah Kevin merah padam. "Jadi benar! Aku salah menilaimu. Dengan Arya kau selalu bersikap lembut, tapi denganku kau menjadi pemberontak. Apa aku harus menidurimu dahulu?!"

Mata Sofia membola, dia semakin panik ketika Kevin mendekat, menarik tubuhnya paksa ke dalam pelukan pria itu. Sofia berontak, saat tangan sang pria memaksa merobek atasannya, sehingga bahu dan penyangga dada gadis itu terekspos bebas. Mata kevin menggelap, dipenuhi amarah serta gairah. Pria itu seperti singa yang mengamuk, tidak dipedulikan jerit dan tangis Sofia.

Tak ingin kejadian memilukan itu terulang, gadis itu mengumpulkan sisa tenaganya. Merintih, menghiba ... berharap nurani Kevin terketuk.

"Kev-Kevin, kumohon ... bagaimana jika Aira diperlakukan begini," rintih Sofia lemah, daya di tubuhnya telah terkuras habis.

Kevin tersentak, gerakannya berhenti seketika, terdiam, nurani pria itu kembali.
Segera dia mendekap tubuh Sofia ke dalam peluknya.

"Maaf, maaf ... aku khilaf," ucap Kevin di atas pucuk kepala Sofia. Gadis itu tergugu, tangisnya pecah. Sang pria semakin mengeratkan pelukannya, "Tidurlah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maaf ...."
***

Kevin membaringkan tubuh Sofia yang terlelap di dalam pelukannya ke atas ranjang. Menyelimuti tubuh gadis tersebut hati-hati, seakan takut mengganggu tidurnya. Memandangi wajahnya sebentar, kemudian mengecup kening gadis itu lembut. 'Selamat tidur, Sofia.'

Kevin menutup pintu kamar dengan pelan, lalu merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana.

"Sam, bagaimana perkembangannya."
".........."
"Ok, aku ingin laporan itu di mejaku besok pagi."

==========

"Kamu, yakin ini valid?"
"Seratus persen yakin."

Kevin menatap lembaran di atas mejanya. Beberapa foto Sofia berikut rekam medik dari klinik psikiatri, tempat Sofia melakukan terapi selama empat tahun terakhir.

Sam. Salah satu orang kepercayaan kevin. Bukan hal yang sulit bagi lelaki berperawakan tegap dan berkulit sedikit gelap itu mendapatkan rekam medik Sofia.
Uang ... manusia mana yang tidak tertarik bila disodorkan segepok benda mati berharga itu di depan hidungnya. Musuh bisa jadi kawan, haram bisa jadi halal, dan yang tidak mungkin bisa menjadi hal yang lumrah.

"Nona Sofia sudah menunjukan gejala DID sejak kecil. Orang- orang di sekitarnya, sering beranggapan bahwa dia gila, tapi kecerdasan bisa membungkam mulut mereka."
"Kecelakaan lima tahun yang lalu membuat ingatannya terhenti di tiga tahun sebelum kecelakaan. Sejak peristiwa penyekapan yang dilakukan saat dia duduk di kelas lima sekolah dasar, kedua orang tuanya memutuskan sekolah Informal untuk putri mereka."
"Sejak itulah, keanehan mulai terjadi pada Nona Sofia. Tetapi, keluarga hanya menganggap sebagai bentuk mencari perhatian,"  jelas Sam dengan sangat detail.

Kevin termangu mendengarnya. Sekarang terjawab sudah prilaku Sofia yang berubah-ubah. Pria itu menyandarkan punggung ke kursi yang di dudukinya, salah satu sikunya bertumpu di lengan kursi dengan tangan mengampu dagu.

"Sam, buat janji dengan psikiater Sofia. Aku ingin mendengar langsung darinya," perintah Kevin.
"Baiklah, apa ada hal lainnya, Sir?" tanya Sam.
"Tidak, kerjamu bagus, Sam," puji Kevin.

Sam mengangguk, kemudian berderap meninggalkan ruang kerja Kevin.

Kevin masih membaca rekam medis Sofia. Di sana dituliskan bahwa gadis tersebut sering mengalami mimpi buruk selama 4 tahun terakhir. Bahkan beberapa kali dia dirawat jalan disebuah rumah sakit untuk mengatasi gangguan tidurnya. Di sana juga dituliskan bahwa, kepribadian gadis itu terpecah menjadi dua dengan karakter bertolak belakang, alter ego Sofia selalu ingin mendominasi gadis tersebut.

Kevin memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Perlahan setiap kepingan dari masa lalu kembali satu per satu. Senyum Sofia, kepolosannya, dan betapa tertutup gadis tersebut.
Seakan ingin menyusun kembali kepingan itu, memaksa kevin masuk ke dalam kamar almarhum Aira. Kamar yang dulu menjadi tempat favoritnya, tempat dia merencanakan masa depan bersama gadis impiannya dan merengek pada sang adik agar mendekatkan mereka berdua.

Kevin memandangi setiap jengkal kamar Aira. Masih terbayang jelas di pelupuk mata, hari di mana dia mendapati tubuh adik kesayangannya itu, berlumuran darah.

Kevin menutup matanya sejenak, menganjur napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Pelan, tapi pasti sesak di dada pria itu sedikit berkurang.
Didekatinya ranjang Aira yang ada di pojok kamar. Foto sang adik terpajang di atas meja kecil yang berada di sisi ranjang  Di depan ranjang terdapat sofa besar berwarna hitam, kontras dengan warna kamar yang di dominasi warna putih. 

Di sudut lain terdapat lemari besar menyatu dengan dinding. Tirai berwarna putih melambai ketika ditiup angin sepoi yang masuk dari jendela kamar yang terbuka.
Di sebelah jendela, terdapat sepasang meja dan kursi yang biasa di gunakan Aira bila sedang berkutat dengan tugas kampusnya atau bila sedang menulis diarinya.

Diari ....

Kevin melangkah lebar menuju meja tersebut. Memindai setiap sudut dan mengacak semua laci yang ada di sana. Tapi, lima belas menit mencari dia tidak menemukan apa pun.

Kevin terduduk lesu di kursi kayu berwarna mahoni, kedua tangannya dibiarkan terkulai di kedua sisi tubuh. Sesaat pandangan pria itu tertumbuk pada kotak berwarna merah jambu di bawah ranjang.
Seperti menemukan harta karun, pria itu tergesa meraih kotak tersebut dan membukanya. 

'My dream' tulisan di tutup kotak berbentuk kubus tersebut. Mata Kevin berbinar, di dalamnya terdapat banyak sekali foto Aira dan Sofia dalam berbagai pose. Mereka tersenyum, khas anak remaja, juga terdapat foto Seno ... lelaki yang dicintai Aira.

Kevin membongkar isi kotak tersebut dan ... gotcha! 

Kevin sumringah. Buku kecil bersampul merah jambu ada di tangannya. Pria itu duduk di atas ranjang, menarik napas dan menghembuskannya perlahan, dia siap kembali ke masa lalu.

Kevin membalik lembar demi lembar kertas tersebut. Banyak sekali curahan hati Aira di sana. Tapi, yang menarik perhatiannya adalah, tulisan sang adik satu bulan menjelang kematian.

'Aku ngerasa aneh, Sofia kadang terlihat mengerikan, tapi beberapa saat kemudian kembali jadi Sofia yang kukenal.'
'Hari ini, aku lihat Sofia tertawa lepas dengan Seno, padahal Sofia itu paling ngga suka seno.'
'Jahat, Sofia bilang dia suka Seno. Dia nantangin aku buat ngerebut Seno.'
'Munafik, baru semalam bilang suka. Sekarang Sofia bilang dia jijik sama Seno.'
'Sofia bilang dia sakit, sakit apa?'
'Pengkhianat! Mereka pelukan di depanku. Sofia kamu jahat! Aku benci.'

Kevin menutup diari Aira. Sekarang terlihat jelas, yang dilihat Aira bukan Sofia, tapi pribadi lain dari gadis itu. Rasa bersalah merangsek masuk ke hati Kevin, lima tahun hidupnya hanya dipenuhi keinginan membalas dendam, andai dia tahu dari awal, mungkin tidak selama itu tersiksa.
***

Kevin mengetuk pintu kamar di mana Sofia tidur. Gagang pintu kamar bergerak, perlahan kepala Sofia menyembul dari balik pintu.
Pria itu tersenyum, gadis tersebut tampak berantakan. Dengan rambut kusut seperti singa dan wajah bantal, tidak mengurangi pesonanya sama sekali.

"Ini baju gantimu. Setelah mandi turunlah, kita sarapan," ucap Kevin sambil menyerahkan paper bag kepada Sofia.

Sofia mengangguk kikuk. Kevin memutar badannya hendak menjauh dari kamar.

"Kevin! Emm ... terima kasih, semalam ..." Sofia menggantung ucapannya.
Kevin tersenyum, "Tidak, aku yang harusnya berterima kasih. Kau cepat menyadarkanku, kalau tidak ... saat ini aku sudah meratapi kebodohanku," lirihnya.

Manik keduanya bertemu, ada geleyar asing yang merasuk ke dalam sukma mereka.
Sofia menunduk menyembunyikan wajah yang bersemu merah, begitupun Kevin memalingkan wajahnya yang mendadak terasa panas.
***

"Makanlah yang banyak, biar ngga dikira kurang gizi," goda Kevin sambil meletakkan beberapa potong ayam di piring Sofia.
Sofia mendelik, wajahnya cemberut. "Sudah, ayamnya banyak sekali. Aku ngga mungkin ngabisin semua," tolaknya.
Kevin bergeming. "Pokoknya, apa yang ada di piring kamu, harus habis. Kalau ngga, aku ngga nganter kamu pulang," ancamnya santai, sementara dia menekuni makanannya.
"Ini banyak banget," sergah Sofia. 

Gadis itu ngeri melihat tumpukan di piringnya. Dua potong ayam, sebutir telur, setumpuk capcay, dan jangan lupakan nasi putih yang membubung.

"Perutku bisa meledak," imbuhnya. "Lagian aku bisa pulang sendiri," gerutu Sofia sambil berdiri hendak pergi.
"Silakan, kalau kamu sanggup jalan kaki dari Bandung ke Jakarta," jawab Kevin santai.
Mata Sofia melebar. "Kita di Bandung?!"

Kevin mengangguk tanpa suara. Sofia terduduk lemas  di kursi. Dengan masih mengomel tangannya mulai memasukkan makanan ke dalam mulut.

'Nanti kalau aku mati kekeyangan, akan kuhantui dia dan mencekiknya sampai mati." Gumam Sofia.
Kevin tersenyum geli melihat mulut Sofia yang penuh dengan makanan, komat-kamit tak jelas. 

"Pamali ngomel-ngomel di depan makanan," tegur Kevin iseng.

Sofia memicingkan matanya menatap kevin, tangannya bergerak membentuk garis horizontal di leher dan menunjuk ke arah pria tersebut.
Sontak Kevin tertawa terbahak melihat reaksi Sofia. Sesaat gadis itu terpana melihat tawa sang pria begitu lepas, memperlihatkan barisan  gigi yang berwarna putih.
***

"Siap?" tanya Kevin.

Sofia terdiam, matanya terlihat gelisah. Sore ini mereka ada di depan klinik tempat Sofia biasa melakukan terapi. Hatinya bertanya-tanya, untuk apa kevin membawanya ke sini. Apa pria itu sudah mengetahui penyakitnya.
Kevin memutar bahu Sofia agar menghadapnya. Membingkai wajah cantik si gadis dengan tangannya.

"Apa pun keadaanmu, aku akan selalu mendampingimu. Andai aku tahu sejak dulu tidak akan kubiarkan kau menjalani ini sendirian."

Sofia merasakan hangat memenuhi hatinya. Perlahan bulir bening menitik di sudut matanya.

"Kenapa kau peduli padaku, apa kita sudah lama saling kenal? Apa hubungan kita? Kenapa aku hanya samar-samar mengingatmu?" cecar Sofia lirih matanya mulai mengabut.
"Kita sudah lama saling mengenal, mungkin kau lupa, tapi aku tidak. Jangan paksakan dirimu, kita punya banyak waktu," ucap Kevin menenangkan Sofia.

Gadis itu tersenyum ketika Kevin menautkan jemari mereka.
"Ayo, dr. Ratna sudah menunggu."

Mereka turun dari mobil menuju klinik. Seorang perawat mempersilahkan keduanya masuk ke ruangan dr. Ratna.

"Hai, Sofia. Apa kabar?" sambut dr. Ratna ramah.
"Baik, Dok ..." jawab Sofia sambil tersenyum ramah.

dr. Ratna tersenyum, pandangannya beralih kepada pria di samping si gadis.

"Anda ...?"
"Saya, Kevin, calon suami Sofia. Saya yang membuat janji dengan Anda tadi pagi," ucap Kevin sambil mengulurkan tangan.
dr. Ratna menyambut uluran tangan Kevin, tersenyum penuh arti.
"Silahkan duduk."
"Ini kejutan Sofia." dr. Ratna terlihat bersemangat.

Sofia tersenyum simpul, entah apa warna pipinya sekarang, sementara Kevin masih setia menggenggam jemarinya.

"Dok, apa Sofia bisa sembuh?" tanya Kevin lugas.
"Untuk kasus, Sofia ... saya optimis. Alter ego Sofia memang sangat mendominasi kepribadian utama. Tapi, setahun terakhir ini, kami berhasil menyatukan keping demi keping kepribadian yang terbelah agar lebih berkooperatif menjadi satu, walau belum seratus persen. Tingkat DID yang dialami Sofia tidak akut. Dia hanya mengalami kecemasan berlebihan serta perasaan tidak berharga. Diperlukan kerja sama antara keluarga dan psikiater untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi penderita. Ciptakan suasana tenang, jauh dari tekanan, selain  itu yakinkan penderita bahwa dia berharga, dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri," jelas dr. Ratna.
"Tapi, beberapa minggu ini, alter ego Sofia lebih sering muncul. Apa itu artinya dia kepribadiannya tidak bisa disatukan kembali?" 
dr. Ratna mengangguk paham dengan pertanyaan Kevin.
"Apa beberapa minggu ini kamu banyak masalah, Sofia?" dia balik bertanya kepada si gadis yang sedari tadi hanya diam.

Sofia bergeming, dia menatap Kevin dan dr. Ratna bergantian.
"Sebenarnya ... saya sedikit tertekan sejak kecelakaan kemarin."

Kevin menghempaskan napas kasar. Dia sadar ikut andil memperparah kondisi gadis tersebut, belum lagi tekanan dari Arya, membuat pria itu hanya mampu menatap Sofia dengan sorot sendu, seolah meminta maaf.

"Saya rasa kita bisa mulai terapi dari awal lagi. Seperti yang saya katakan, pasien DID tidak bisa menerima tekanan berlebihan. Dia akan mencari bentuk proteksi untuk dirinya sendiri, yang pada akhirnya mendorong alter egonya ke luar. Saya harap, Anda bisa membantu mengembalikan kondisi Sofia," tutur dr. Ratna kepada Kevin.

Pria itu tersenyum. Ada secercah harapan untuk kesembuhan Sofia dan dia berjanji akan selalu mendampingi gadis itu.
***

"Hei, lihat apa," tanya Kevin. Saat ini keduanya duduk di atas kap mobil Kevin yang terparkir di pekarangan rumah Sofia.
Gadis itu tersenyum. "Kenapa sekarang rasi bintang sering kelihatan, ya?" Sofia balik bertanya, sementara matanya masih menatap langit.
Kevin mengikuti arah pandangan Sofia, "Langit sedang cerah, jadi wajar bintang terlihat jelas."
"Kevin, aku ingin suatu hari nanti tinggal di mana aku bisa melihat bintang setiap malam," ujar Sofia dengan mata berbinar.
"Benarkah? Aku tahu tempatnya. Di sana kamu bukan hanya melihat bintang, tapi juga bisa melihat blue flame."
"Islandia terlalu jauh, Kevin! Aku cinta negaraku, lagi pula aku tidak punya banyak uang untuk stay di luar negeri," sungut Sofia dengan bibir mengerucut kesal.
Kevin terkekeh sambil mengacak rambut si gadis.
"Siapa bilang di luar negeri, tempatnya di Indonesia," terangnya.
"Benarkah? Di mana?" tanya Sofia antusias.
"Cari tau sendiri, Sweet heart," bisik Kevin tepat di telinga Sofia.

Gadis itu meremang, semburat merah terbit di kedua pipinya. Cahaya lampu taman rumah Sofia tak mampu menyembunyikan warna merah itu.
Kevin mengeluarkan map berwarna coklat.
"Ini tidak berarti lagi. Semua selesai." Dia merobek kertas yang ada di dalamnya.
"Kevin, itu ..."
"Tidak ada lagi perjanjian gila dan konyol Sofia. Walau kau tidak ingat siapa aku, kenalilah aku yang sekarang. Ijinkan aku memiliki hatimu," pinta Kevin sungguh-sungguh.

Sofia menunduk, tanpa aba-aba air matanya jatuh begitu saja, meruah membasahi pipi. Kevin meraih dagu Sofia, hingga pandangan mereka bertemu. Ada ketulusan di sana, ada hasrat yang murni tanpa nafsu, hasrat ingin dicintai dan mencintai.

Kevin membelai lembut pipi si gadis dengan jemarinya, lalu mengucapkan sesuatu yang mungkin membuat sang bulan di langit ikut tersipu.

"Sofia, aku mencintaimu."

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER