Cerita Bersambung
Arya berdiri menghadap jendela kantornya yang berada di lantai 14. Dari sana dia bisa melihat kerlip-kerlip lampu yang menerangi ibukota.
Metropolitan ini, seakan tidak pernah tidur. Selalu menggeliat mengikuti jaman, meninggalkan orang-orang yang masih terpaku pada aturan masa lalu yang mengungkung pikiran.
Arya merasa seperti orang-orang itu. Tiga belas tahun berlalu, tapi setiap saat ingatannya tak pernah lepas dari Sofia.
Setiap kali dia merasa sedih atau kesepian, Arya hanya mengingat wajah gadis itu, rengekan, senyuman, dan celotehannya.
Ada rasa tenang dan nyaman hanya dengan mengenang semua itu. Perasaan yang begitu kuat, hingga saat bertemu kembali rasa tersebut semakin mekar menjadi cinta. Bukan cinta monyet, tapi cinta orang dewasa yang ingin memiliki seutuhnya.
Katakanlah Arya memang pecundang. Seseorang yang terlalu serakah. Menginginkan harta, tahta, dan juga wanita. Sayangnya, wanita yang memiliki harta dan tahta tidak memiliki hatinya, sedangkan wanita yang menggenggam hatinya, hanya dari keluarga sederhana. Keluarga sederhana yang memberi banyak cinta dan mengajarkan arti kebersamaan yang tidak pernah dia rasakan.
"Apa kau berpikir ingin terjun dari sana?" Suara bernada bariton membuyarkan Arya.
Tanpa melihat pun, pria itu tahu siapa yang sekarang sedang mendekatinya. Arya bersidekap, sementara sang pemilik suara telah berdiri di sampingnya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Arya, pandangannya lurus ke depan.
"Mengapa tidak kau pastikan sendiri?" Pria itu membalikkan pertanyaan Arya.
Terdengar embusan lelah dari mulut Arya.
"Kurasa, dia tidak mau menemuiku lagi, setelah ..." Dia menggantung kalimatnya di udara.
"Kurasa, dia tidak mau menemuiku lagi, setelah ..." Dia menggantung kalimatnya di udara.
"Setelah percobaan pemerkosaan yang kedua?!" Kali ini suara pria itu terdengar ketus.
"Kevin ... itu di luar kendaliku. Semua terjadi begitu saja, saat itu aku mabuk berat." Arya mencoba membela diri.
"Aku, sama sekali tidak pernah berniat buruk pada Gempil, maksudku Sofia," lanjutnya mengusap wajah kasar dengan telapak tangan.
"Aku, sama sekali tidak pernah berniat buruk pada Gempil, maksudku Sofia," lanjutnya mengusap wajah kasar dengan telapak tangan.
Kevin memejamkan mata, mencoba menenangkan emosi yang mulai menggelegakkan dada. Sebenarnya, sudah sejak tadi dia ingin menghajar Arya.
Mendengar semua cerita dari Sofia. Tentang masa kecilnya, tentang Arya, dan tentang malam terkutuk itu, membuatnya ingin mengirim si pria ke rumah sakit.
Mendengar semua cerita dari Sofia. Tentang masa kecilnya, tentang Arya, dan tentang malam terkutuk itu, membuatnya ingin mengirim si pria ke rumah sakit.
Namun, logika Kevin bekerja. Dia tahu harus segera memutus benang merah antara Sofia dan Arya. Melepaskan gadis tersebut dari bayang-bayang sang pria.
"Niat atau tidak, yang jelas perbuatanmu meninggalkan trauma pada diri Sofia," geram Kevin menatap Arya dengan sorot menajam.
Arya tercenung. "Apa seburuk itu? Aku mencintainya, Kevin."
"Cinta? Apa kau mengerti artinya?!" tanya Kevin dengan nada sinis.
"Aku yakin Sofia juga mencintaiku, seperti aku mencintainya," jawab Arya percaya diri.
Sudut bibir Kevin terangkat. Pria itu tidak mengerti jalan pikiran Arya. Dia begitu percaya diri, lupakah kalau dia sudah menikah? Lalu status apa yang hendak diberikan pada Sofia nanti? Apa sebagai simpanan? Posisi yang tidak pernah di inginkan oleh wanita mana pun di dunia.
"Lalu, bagaimana dengan, Karina? Apa kau mencintainya?" cecar Kevin lagi, mati-matian dia menahan diri agar tidak menghajar pria di hadapan.
Arya bergeming ....
"Brengsek!" umpat Kevin. Andai saja tidak mengingat pesan Sofia mungkin sejak tadi sudah dipatahkannya tulang Arya dan mengirim pria itu ke rumah sakit. Tapi, Kevin tak ingin gegabah. Dia tidak ingin terlihat konyol.
"Jangan pernah dekati Sofia lagi. Biarkan dia bahagia, apa belum cukup kau melukainya. Apa kau mengerti arti cinta? Melihat orang yang kita cintai bahagia itu sudah cukup, walau harus melebur diri dalam duka. Apa kau mampu melakukannya?! Apa kau mampu meninggalkan Karina dan semua bisnismu? JAWAB!" raung Kevin dadanya turun naik menahan emosi yang mulai tersulut.
Arya tersentak, tidak pernah terpikir olehnya meninggalkan perusahaan yang menjadi kebanggaannya. Pria tersebut terduduk lemah di kursi besarnya.
"Rasa ini terlalu kuat, Kevin! Aku tak bisa menahannya," erang Arya lemah dengan tatapan kosong.
Kevin berdecih.
"Itu bukan cinta, tapi obsesi. Kau terobsesi pada Sofia, pada keluarganya. Kau mendapat kasih sayang bersama keluargnya, hal yang tidak kau dapat dalam keluargamu."
"Itu bukan cinta, tapi obsesi. Kau terobsesi pada Sofia, pada keluarganya. Kau mendapat kasih sayang bersama keluargnya, hal yang tidak kau dapat dalam keluargamu."
Arya menggeleng cepat.
"Kau salah. Ini bukan obsesi. Aku yakin Sofia juga memiliki perasaan yang sama kuatnya denganku."
Arya terus membantah argumen Kevin.
"Kau memang bebal. Terserah padamu. Tapi, ingat! Aku sudah memperingatkanmu!" ancam Kevin, dia berbalik, lalu berderap meninggalkan Arya yang masih termangu
***
"Arya!" Mata Sofia melebar begitu melihat pria itu sudah berada di depan pintu. Lebam masih terlihat jelas di pipinya.
"Boleh, aku masuk?" tanya Arya.
"Sayang, siapa?" tanya sebuah suara menyela, sosok Kevin muncul dari arah belakang.
"Kau?" Kevin mengatupkan bibirnya.
Baru tadi malam memberi peringatan pada Arya, sekarang dia kembali datang, membuat Kevin tidak habis pikir apa yang ada di benak pria tersebut.
Baru tadi malam memberi peringatan pada Arya, sekarang dia kembali datang, membuat Kevin tidak habis pikir apa yang ada di benak pria tersebut.
Pun Arya, dia terkejut dengan kehadiran Kevin di rumah Sofia.
"Kau di sini? Sepagi ini?" tanyanya dengan raut bingung menatap keduanya bergantian.
"Kenapa, ada yang salah?!" jawab Kevin ketus.
Dahi Arya berkerut, matanya menatap Sofia lekat, seakan meminta penjelasan. Tapi, gadis itu bergeming, membuang pandangannya ke samping.
Kevin mendekat.
"Orang tua Sofia masih di Semarang. Jadi, aku menemaninya di sini." Dia melirik Sofia sekilas, "kami tidur terpisah, jika itu yang ingin kau tau.Tapi, kurasa itu bukan urusanmu, toh kami akan segera menikah."
"Orang tua Sofia masih di Semarang. Jadi, aku menemaninya di sini." Dia melirik Sofia sekilas, "kami tidur terpisah, jika itu yang ingin kau tau.Tapi, kurasa itu bukan urusanmu, toh kami akan segera menikah."
Sofia merasakan aura permusuhan di antara Kevin dan Arya. Pandangan kedua pria itu bersiborok, menyorot tajam, tidak ada yang ingin mengalah.
"Emm, Arya ... ada apa?" tanya Sofia, mencoba mendinginkan suasana yang mulai terasa canggung.
"Aku ingin bicara denganmu," jawab Arya. "Berdua saja," lanjutnya sambil menatap Kevin.
"Baiklah ...," jawab Sofia cepat mendahului Kevin yang ingin menyela.
Kevin menatap Sofia dengan sorot tidak senang. Tapi, gadis itu tersenyum. Sinar matanya seakan mengatakan 'Aku baik-baik saja.'
***
Sepoi angin meniup daun pohon mangga yang tumbuh di taman belakang rumah Sofia. Dari gazebo tempat mereka berada, terlihat beberapa buahnya sudah cukup masak.
Arya ingat, dulu dia dan Sofia suka sekali memanjat pohon tersebut. Tapi, hanya dia yang bisa sampai ke atas, sedangkan Sofia hanya mampu sampai dahan terendah, kemudian melorot ke bawah. Arya tersenyum mengingat memori itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Arya menunduk, sikunya menekan paha dan kedua tangan membekap mulutnya. Mencoba merangkai kata di dalam hati, agar bisa di ucapkan dengan mudah, tetapi lidahnya terasa kelu.
"Maaf ..." ucap Arya setelah cukup lama dalam kebisuan.
Hening ....
Arya mengangkat kepala, menatap mata bening milik Sofia.
"Gempil, aku salah. Maaf jika aku terlalu egois. Tapi, sangat sulit menghentikan perasaan ini." Arya terlihat menyesal dan frustasi secara bersamaan.
"Gempil, aku salah. Maaf jika aku terlalu egois. Tapi, sangat sulit menghentikan perasaan ini." Arya terlihat menyesal dan frustasi secara bersamaan.
Sofia mengembuskan napas perlahan, menatap jalinan jemari di atas pangkuannya.
"Aku sudah memaafkanmu. Hentikan semua ini. Aku yakin, Karina wanita yang pantas untukmu. Aku bisa melihat cinta yang besar untukmu di matanya."
"Aku sudah memaafkanmu. Hentikan semua ini. Aku yakin, Karina wanita yang pantas untukmu. Aku bisa melihat cinta yang besar untukmu di matanya."
"Tapi, aku tidak mencintainya, hanya kamu yang ada di hatiku, Gempil!" ujar Arya keras kepala.
"Kalau begitu berusahalah! Buka hatimu untuknya. Jangan lagi terpaku pada masa lalu. Aku ingin berdamai dengan hidupku, dengan diriku sendiri. Aku ingin bahagia, dan itu bukan dengan kamu," tutur Sofia lugas meretakkan hati Arya seketika.
Pria tersebut mencari riak di manik bening milik gadis tersebut.
Pria tersebut mencari riak di manik bening milik gadis tersebut.
Nihil ....
Dia begitu berbeda. Terlihat lebih kuat, tidak ada sorot cemas di matanya.
Begitupun ketika gadis itu berinteraksi dengan Kevin. Wajahnya selalu ceria, matanya berbinar cerah. Jauh berbeda bila bersamanya, gadis tersebut lebih banyak diam, sorot mata Sofia pun begitu dingin.
Begitupun ketika gadis itu berinteraksi dengan Kevin. Wajahnya selalu ceria, matanya berbinar cerah. Jauh berbeda bila bersamanya, gadis tersebut lebih banyak diam, sorot mata Sofia pun begitu dingin.
Hati Arya mencelos.
Akhirnya pria itu menyadari bahwa dia telah kehilangan Sofia, cinta sekaligus semua kenangannya.
Akhirnya pria itu menyadari bahwa dia telah kehilangan Sofia, cinta sekaligus semua kenangannya.
"Apa kamu mencintainya?" lirih Arya, matanya berlari menatap Kevin yang tengah memperhatikan mereka dari teras belakang.
Sofia mengikuti arah pandangan Arya, lengkung senyum terbit di bibir mungilnya.
"Aku tidak tau. Tapi, berada di dekatnya aku merasa nyaman, terlindungi. Aku tidak pernah lagi mengalami mimpi buruk sejak bersama Kevin."
Crash!
Hati Arya patah seketika, dia kalah telak! Tidak ada lagi tempat untuk dirinya di hati Sofia. Denyut nyeri menjalari setiap aliran darahnya.
Perlahan pandangan pria itu memburam, dadanya sesak menahan sakit, serasa ada yang mengiris jantungnya.
Perlahan pandangan pria itu memburam, dadanya sesak menahan sakit, serasa ada yang mengiris jantungnya.
Tapi, pantang bagi Arya menumpahkan air mata di hadapan seorang wanita. Pria tersebut menarik napas perlahan, mencoba berbesar hati menerima keputusan Sofia.
"Baiklah, aku tau yang harus dilakukan. Terima kasih atas semuanya." Arya bangkit dari gazebo tempat mereka duduk, tangannya meraih jemari sofia.
Sofia mendongak. Mata mereka bertemu. Sorot mata kedua insan itu terlihat nanar oleh kabut yang melapisi manik keduanya.
Arya mencoba tersenyum, meski ada sakit di sudut hatinya.
Sesuatu yang lama dijaga, patah berderak, hancur menjadi serpihan, membentur jantungnya, dan menghantarkan detak nyeri yang merambat cepat ke seluruh tubuh.
Arya mencoba tersenyum, meski ada sakit di sudut hatinya.
Sesuatu yang lama dijaga, patah berderak, hancur menjadi serpihan, membentur jantungnya, dan menghantarkan detak nyeri yang merambat cepat ke seluruh tubuh.
Sementara sofia, mencoba bertahan dalam tembok yang baru dibangunnya. Pertahanan itu masih dini dan rapuh, mudah saja luluh lantak jika gadis itu mengijinkan.
Tapi, dia tak ingin terjebak masa lalu. Kadang melepaskan lebih baik dari pada terus-menerus berkalang nestapa.
Tapi, dia tak ingin terjebak masa lalu. Kadang melepaskan lebih baik dari pada terus-menerus berkalang nestapa.
Arya merundukkan tubuhnya. "I still love you ... always," bisiknya lirih terdengar pilu.
Perlahan Arya melepaskan genggamannya, langkah pria itu gontai menghampiri Kevin.
"Terima kasih, jaga dia selalu. Dia terlalu berharga," pintanya lirih sembari melirik ke arah Sofia yang masih duduk di dalam gazebo.
"Terima kasih, jaga dia selalu. Dia terlalu berharga," pintanya lirih sembari melirik ke arah Sofia yang masih duduk di dalam gazebo.
"Tentu saja. Apa sekarang kau benar-benar melepasnya?" jawab Kevin dengan mata memicing curiga.
"Ya, kuharap kita juga bisa berteman," balas Arya menawarkan persahatan, meski dia tidak yakin Kevin menerima.
Kevin terdiam, menatap uluran tangan Arya. Dia berpikir sejenak.
"Teman," sahutnya menyambut tawaran pria tersebut.
"Teman," sahutnya menyambut tawaran pria tersebut.
Dua pria yang hatinya tertambat pada satu gadis, berpelukan layaknya sahabat. Luruh sudah ambisi dan dendam. Mereka melepas pelukan menuju arah berbeda.
Arya, menuju pintu ke luar, mencoba menata hati dan masa depannya entah seperti apa, sementara Kevin berjalan menuju gadis yang digilai hatinya dan bermimpi membangun masa depan berdua.
***
Sofia memasukkan beberapa barang penting ke dalam kotak yang akan dibawanya.
Malam ini, hari terakhir gadis tersebut bekerja di Petterson Company.
Kevin meminta si gadis lebih fokus mempersiapkan pernikahan mereka.
Malam ini, hari terakhir gadis tersebut bekerja di Petterson Company.
Kevin meminta si gadis lebih fokus mempersiapkan pernikahan mereka.
Entah rayuan apa yang diucapkan pria bermanik coklat tua itu, hingga kedua orang tua Sofia menerima lamarannya. Sepertinya mereka sudah jatuh ke dalam pesonanya.
Ting ....
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Sofia. Dia merogoh sling bagnya, lalu merogoh ponsel yang tersimpan di sana.
[Datang ke rooftop, aku ingin menunjukan sesuatu]
Sofia mengernyit membaca pesan dari Kevin yang masuk ke ponselnya.
[Ada apa] gadis itu memutuskan menjawab.
[Datang saja]
Sofia melipat bibirnya, menimbang sejenak.
***
"Kevin ... kau di sini," panggil Sofia, begitu dia sampai di rooftop.
Hening ....
Sofia mendongak, langit malam sangat cerah, bulan bersinar bulat sempurna.
Entah mengapa tiba-tiba dia meremang, merasa ada yang mengawasi, gadis itu melihat sekitar yang begitu gelap, cahaya yang minim membatasi penglihatannya.
Terdengar langkah kaki di belakangnya, reflek dia berbalik. Seseorang tengah menyeringai menatapnya dengan mata berkilat amarah.
Terdengar langkah kaki di belakangnya, reflek dia berbalik. Seseorang tengah menyeringai menatapnya dengan mata berkilat amarah.
"Kau siap mati ... Sofia?" tanya sosok itu sambil mengacungkan benda berkilau dan tajam.
==========
Beberapa saat sebelumnya.
Karina tersenyum puas membaca pesan yang baru diterimanya. 'Bagus.' wanita itu bergumam, kemudian mengembalikan benda pipih itu ke atas meja kerja Kevin, setelah menghapus semua pesan yang baru dikirimnya.
Terdengar suara pintu dibuka dari luar, tergesa wanita tersebut kembali duduk di sofa yang ada di ruang kerja itu.
"Maaf, ini tehnya," ucap Kevin sambil meletakkan teh yang dia bawa di atas meja.
Karina tersenyum, meraih cangkir yang masih mengepulkan uap panas.
"Terima kasih, maaf merepotkan. Entah kenapa tiba-tiba kepalaku pusing, mungkin aku terlalu banyak fikiran," jelas Karina sambil meniup minuman di dalam cangkir berwarna bening itu.
Kevin hanya mengangguk. Saat bersiap menjemput Sofia di ruangan gadis tersebut, tiba-tiba Karina menemuinya dengan wajah sedikit pucat. Wanita itu meminta tolong kepadanya untuk membuatkan teh panas. Karna sudah terlalu malam dan tak ada OB yang terlihat, Kevin pun meluluskan permintaan si wanita.
Karina meneguk beberapa kali teh yang masih mengepulkan uap panas, lalu meletakkan di atas meja. "Kalau begitu aku permisi dulu."
"Lalu tehnya?" tanya Kevin heran seraya menunjuk gelas yang masih penuh.
"Ngga jadi, Aku udah mendingan ..." bergegas Karina meninggalkan ruangan Kevin.
***
"Karina, apa yang kau lakukan? Jangan gila!" teriak Sofia. Gadis itu bergidik ngeri saat si wanita mengacungkan pisau ke wajahnya.
Karina tertawa dengan keras, hingga tubuhnya ikut berguncang.
"Gila?! Ya, aku sudah gila! Aku hancur karna kamu, Sofia. Dulu aku baik-baik saja. Arya begitu perhatian, meski di hatinya belum ada cinta. Tapi, dia peduli padaku." Karina perlahan mendekat, membuat si gadis surut perlahan.
"Sejak kau datang, semua berubah. Jangankan peduli, tersenyum pun tak pernah lagi. Semua telah kukorbankan untuknya, tapi tidak sedikitpun hatinya bergetar," terangnya dengan kilat kebencian di matanya.
"Gila?! Ya, aku sudah gila! Aku hancur karna kamu, Sofia. Dulu aku baik-baik saja. Arya begitu perhatian, meski di hatinya belum ada cinta. Tapi, dia peduli padaku." Karina perlahan mendekat, membuat si gadis surut perlahan.
"Sejak kau datang, semua berubah. Jangankan peduli, tersenyum pun tak pernah lagi. Semua telah kukorbankan untuknya, tapi tidak sedikitpun hatinya bergetar," terangnya dengan kilat kebencian di matanya.
Sofia memucat, tubuh gadis itu gemetar, rasanya tak sanggup menahan bobot tubuh sendiri.
"K-Karina ... aku minta maaf jika telah menyakitimu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud begitu. Aku ..."
Dia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
"K-Karina ... aku minta maaf jika telah menyakitimu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud begitu. Aku ..."
Dia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Karina terus merangsek mendekat, hingga Sofia terpojok ke besi pengaman rooftop. Wanita tersebut mencekal leher si gadis. Matanya menyorot tajam, diselimuti amarah yang menggila.
"K-Karina ... kumohon, kendalikan dirimu." Sofia terus memohon dengan napas tersengal, sementara tangannya berusaha melepaskan cekikkan si wanita.
Namun, Karina menulikan telinganya, melihat Sofia tak berdaya membuat dia semakin beringas.
"Harusnya kau mati saat aku menabrakmu kemarin. Tapi, si tolol itu menyelamatkanmu," desisnya tepat di wajah si gadis.
"Si tolol yang terjerat padamu. Entah apa yang dilihat, kau itu sampah, tidak berharga!" Intonasinya berubah lantang, memaki Sofia.
"Harusnya kau mati saat aku menabrakmu kemarin. Tapi, si tolol itu menyelamatkanmu," desisnya tepat di wajah si gadis.
"Si tolol yang terjerat padamu. Entah apa yang dilihat, kau itu sampah, tidak berharga!" Intonasinya berubah lantang, memaki Sofia.
"Cukup ...," erang Sofia, gadis itu mulai hilang kesadarannya.
Sesuatu dalam dirinya mendesak ke luar dan Sofia tak berniat menghalangi, karna dia memang membutuhkannya. Dia membutuhkan sosok Frderika.
Sesuatu dalam dirinya mendesak ke luar dan Sofia tak berniat menghalangi, karna dia memang membutuhkannya. Dia membutuhkan sosok Frderika.
"Kenapa? Kau sakit hati mendengarnya? Hatiku lebih sakit! Suamiku sendiri tak acuh karna kamu!" Karina semakin mengencangkan cengkeraman di leher Sofia.
"Matilah kau, JALANG!"
"Matilah kau, JALANG!"
Karina menghujamkan pisau ke perut Sofia. Belum sempat benda tajam itu menyentuh tubuhnya, si gadis reflek menangkis. Tangannya menangkap pergelangan Karina, lalu memelintirnya sehingga pisau di genggaman wanita itu jatuh. Wanita itu menjerit karna Sofia terus memberi tekanan pada pelintirannya, membuat cekikan Karina terlepas.
Sofia tak membuang waktu, masih dengan napas tersengal dia balik menyerang Karina.
"Kau ingin membunuhku?! Tanyanya sinis. Keadaan berubah, sekarang dia yang mencengkeram tangan Karina di balik punggung.
"Kau ingin membunuhku?! Tanyanya sinis. Keadaan berubah, sekarang dia yang mencengkeram tangan Karina di balik punggung.
Si wanita terkejut dengan perubahan ekspresi Sofia. Ini di luar prediksinya, gadis tersebut terlihat berbeda.
"S-Sofia ... kau?"
"AKU BUKAN SOFIA. Aku Frederika,"" ujar gadis itu terdengar dingin.
Dia menghempaskan tangan Karina, hingga wanita itu menghadapnya, lalu menampar pipi si wanita sekuat tenaga, membuat tubuh Karina terjajar ke belakang.
Dia menghempaskan tangan Karina, hingga wanita itu menghadapnya, lalu menampar pipi si wanita sekuat tenaga, membuat tubuh Karina terjajar ke belakang.
Karina terbelalak sambil memegang pipinya yang terasa panas. Yang di hadapannya sekarang bukan Sofia yang dikenalnya, dia terlihat berbeda.
Sofia tertawa dengan raut mengejek Karina.
"Kau ingin membunuhku?! Aku yang akan membunuhmu lebih dulu," ancamnya. Gadis itu memungut pisau yang tergeletak di lantai, kemudian ....
"Kau ingin membunuhku?! Aku yang akan membunuhmu lebih dulu," ancamnya. Gadis itu memungut pisau yang tergeletak di lantai, kemudian ....
***
"Kevin, ada apa?" tanya Arya. Pria itu melihat Kevin seperti orang bingung ketika mereka berpapasan.
Kevin mengusap wajah, mata pria itu tidak fokus.
"Sofia ... aku tidak menemukannya," jawabnya cemas.
"Sofia ... aku tidak menemukannya," jawabnya cemas.
Dahi Arya berkerut. "Sofia hilang? Bagaimana bisa?" Ada nada cemas di getar suaranya.
Kevin bertolak pinggang seraya menenangkan degupan jantung yang tidak beraturan.
"Aku tidak tau. Tadi aku menyusul ke ruangannya, tapi dia tidak ada, sementara semua barang-barangnya masih di sana," jelas Kevin dengan nada gusar.
"Aku tidak tau. Tadi aku menyusul ke ruangannya, tapi dia tidak ada, sementara semua barang-barangnya masih di sana," jelas Kevin dengan nada gusar.
Keduanya terdiam, hanyut dengan alur pikiran masing-masing.
Tiba-tiba Kevin tersentak ketika mengingat sesuatu. Dia berharap dugaannya salah.
"Di mana, Karina?"
Tiba-tiba Kevin tersentak ketika mengingat sesuatu. Dia berharap dugaannya salah.
"Di mana, Karina?"
Arya bergeming, dia semakin bingung, apa hubungan hilangnya Sofia dengan Karina.
"Arya, di mana Karina?!" ulang Kevin tak sabar.
"Aku, tidak tahu ... sebenarnya apa yang terjadi?"
"Lacak ponselnya," sela Kevin.
"Apa ...?" Arya semakin tak mengerti.
"Sial! Lacak ponselnya sekarang! Ponsel Sofia mati!" ulang kevin panik.
Arya segera membuka ponselnya, melacak keberadaan ponsel sang istri. Pria itu mengernyit heran saat mengetahui posisi ponsel Karina di rooftop. Kevin yang melihat langsung berlari menuju rooftop diikuti Arya di belakang.
***
Sofia bersiap menghujamkan pisau ke arah Karina. Tapi, kata-kata wanita itu menghentikan gerakannya.
"Aku hamil ... " lirihnya sembari memeluk perut yang masih datar.
Sofia terdiam. Pribadi dan pemikiran yang berbeda berperang di dalam tubuhnya.
'Bunuh ....'
'Jangan ....'
'Habisi sekarang. Wanita itu sama dengan mereka. Selalu melecehkan, merendahkan, dan menghinamu.'
Gadis itu menyeringai, kembali mengangkat pisaunya, bersiap menusuk Karina.
"Sofia, jangan!" teriakan Arya menghentikan gerakan gadis itu.
Sofia berpaling, melihat ke arah Kevin dan Arya yang baru saja sampai. Mata Arya melebar ketika melihat pisau di tangan sang gadis.
Hanya sebentar, karna Sofia hanya melempar senyum sinis pada keduanya, dia kembali bergerak menuju Karina.
Hanya sebentar, karna Sofia hanya melempar senyum sinis pada keduanya, dia kembali bergerak menuju Karina.
"FREDERIKA, hentikan!" Suara Kevin terdengar tegas dan bergema.
"Bukan kau yang akan menanggungnya, tapi Sofia ..." imbuhnya melunak.
"Bukan kau yang akan menanggungnya, tapi Sofia ..." imbuhnya melunak.
"Dia yang memulai, dia ingin membunuh kami! Aku hanya melindungi diri yang tidak bisa dilakukan gadis bodoh itu," jelas Sofia dengan amarah menari di matanya.
Kevin menggeleng pelan.
"Sofia tidak lemah, biarkan dia yang memutuskan. Beri dia kesempatan melindungi dirinya sendiri," bujuknya dengan perlahan mencoba mendekat, diekori Arya dari belakang.
"Sofia tidak lemah, biarkan dia yang memutuskan. Beri dia kesempatan melindungi dirinya sendiri," bujuknya dengan perlahan mencoba mendekat, diekori Arya dari belakang.
Hening ....
Sofia menutup kelopak matanya. Suara di kepala bercampur begitu riuh. Gadis itu surut selangkah memegangi kepalanya. Arya menatap ke arah Kevin dengan sorot bertanya, tapi pria itu hanya diam melihat reaksi Sofia.
Trang ....
Terdengar suara benda jatuh. Pisau itu lepas dari tangan Sofia. Gadis itu berhasil menenangkan alter egonya, dia berhasil mengendalikan dirinya kembali.
"Kevin ... terima kasih." Gadis itu tersenyum, bermaksud menghampiri calon suaminya. Tapi ....
Entah kapan pisau telah berpindah tangan, tak sempat dicegah Karina menusukkan benda itu ke tubuh Sofia.
"Matilah kau!" raungnya dengan senyum kepuasan.
Pisau tersebut menancap di rusuk sebelah kiri Sofia, gadis itu ambruk terhempas ke lantai. Kevin terkesiap tak mengira pergerakan Karina, dia berlari memeluk tubuh Sofia. Arya yang tak kalah terkejut menahan tubuh Karina agar tak mendekat.
"TELPON AMBULANCE! teriak Kevin pada Arya." Pria itu mengalami de javu, dulu Aira sekarang Sofia.
Sofia terbatuk. Kepalanya berada di pangkuan Kevin.
"Aku ingat sekarang. Kau pria itu 'kan? Kau, Aira, Seno ... oh, K-Kevin. Aira salah paham, itu di luar kendaliku. Seno ... dia menghina Aira. A-aku hanya ingin memberi pelajaran. M-membuat dia jatuh cinta, lalu mencampakkan. Aira tak pantas b-bersanding dengan bajingan i-itu ..." Napas Sofia tersengal, terbata gadis itu menceritakan semua.
"Aku ingat sekarang. Kau pria itu 'kan? Kau, Aira, Seno ... oh, K-Kevin. Aira salah paham, itu di luar kendaliku. Seno ... dia menghina Aira. A-aku hanya ingin memberi pelajaran. M-membuat dia jatuh cinta, lalu mencampakkan. Aira tak pantas b-bersanding dengan bajingan i-itu ..." Napas Sofia tersengal, terbata gadis itu menceritakan semua.
"Sudah, berhenti bicara ... " Pinta kevin parau. Dia membelai kepala Sofia lembut, mata pria itu mulai nanar, tangannya tremor parah seirama dengan detak jantung yang berdetak dua kali lebih kencang.
"Kevin, a-aku ingat ... aku pernah men-mencin-taimu dulu. Aku pernah ..." Sofia terus meracau.
"Hentikan ... kumohon Sofia, bertahanlah." Suara kevin bergetar, rasa takut menjalari hatinya dan tubuhnya.
"Kevin ... dingin. Aku kedinginan," keluh Sofia
Kevin semakin gemetar. Bayangan masa lalu menghantam ingatannya bertubi-tubi.
"Sofia ... aku perintahkan kau bertahan. Kau tidak kuijinkan pergi. Kumohon bertahanlah ..." erang lirih Kevin, dia mulai menangis sambil memeluk tubuh Sofia yang mulai diam.
"Sofia ... aku perintahkan kau bertahan. Kau tidak kuijinkan pergi. Kumohon bertahanlah ..." erang lirih Kevin, dia mulai menangis sambil memeluk tubuh Sofia yang mulai diam.
Sofia tak mampu lagi menjawab. Tubuhnya terasa ringan, perlahan kaki gadis itu mati rasa.
'Inikah saatnya? Apa waktuku sudah tiba? Bunda, Ayah ... maafkan aku. Kevin, Arya ... terima kasih,' Bisik hatinya.
Mata Sofia lurus menatap langit malam yang begitu cerah.
Di sana, di sebelah utara. Rasi pegasus bersinar indah, seakan memanggilnya untuk singgah. Dia merasa sang pegasus bergerak mendekat, lalu membawanya melesat ke langit berbaur bersama bintang. Perlahan mata Sofia menutup, suara Kevin pun sayup tak terdengar lagi.
Di sana, di sebelah utara. Rasi pegasus bersinar indah, seakan memanggilnya untuk singgah. Dia merasa sang pegasus bergerak mendekat, lalu membawanya melesat ke langit berbaur bersama bintang. Perlahan mata Sofia menutup, suara Kevin pun sayup tak terdengar lagi.
Lengkung senyum terbit di bibir Sofia. 'Kevin ... lihatlah. Impianku terwujud. Hidup dan tinggal bersama bintang.'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel