Mata Kevin masih terpaku pada sosok yang terbaring diam tak bergerak. Tangannya ditautkan ke jemari Sofia, menularkan rasa hangat dan berharap gadis itu merasakannya. Tak sedetik pun dia melepaskan pandangannya dari sosok si gadis.
Sudah seminggu Sofia tidak sadarkan diri, gadis itu koma. Berbagai peralatan medis terpasang di tubuh mungilnya.
Layar elektrokardiogram masih menampilkan grafik turun naik, pertanda Sofia sedang berjuang antara hidup dan mati.
Tadi pagi, Kevin panik setengah mati. Ruhnya seakan tercerabuti dari raga, saat layar EKG menunjukan garis datar dan denging yang memekakkan telinga.
Seperti orang gila pria tersebut berteriak memanggil dokter dan para suster.
Dia bersandar ke dinding kamar memperhatikan para dokter bekerja, berharap kemurahan Tuhan agar memberinya kesempatan kedua.
Kesempatan membahagiakan Sofia, wanita yang tidak hanya dicintai raga, tapi juga jiwanya.
Tiga puluh menit perjuangan, dokter berusaha melawan maut yang semakin mendekat, tubuh Sofia merespon. Mesin EKG kembali berbunyi normal.
"Sofia, kumohon kembalilah. Ikuti suaraku, kembalilah kepada kami. Ayah, Bunda, kami menyayangimu. Aku ... aku mencintaimu ... kembalilah padaku," bisik Kevin lirih tepat di telinga si gadis.
Pria itu pantang menyerah, selama napas masih diembuskan Sofia, selama jantung gadis itu masih berdetak, selalu ada harapan.
Kevin enggan meninggalkan Sofia, pria itu berharap jika nanti gadis tersebut terbangun dari komanya, dialah orang pertama yang akan dilihat.
Tubuhnya tidak terurus, cambang mulai tumbuh di wajah tampannya. Pria itu tidak peduli apa pun. Baginya, Sofia prioritas utama.
Arya salut melihat keyakinan Kevin. Cinta yang dimiliki Kevin lebih murni dan lebih kuat dari cintanya.
Arya hanya sesekali menjenguk sofia. Dia disibukkan dengan Karina. Kondisi kejiwaan wanita itu labil, hingga harus ikut dirawat di rumah sakit berbeda.
Jauh di sudut hati Arya, ada perasaan bersalah. Kondisi Karina saat ini juga karna dirinya. Ketidak pedulian terhadap sang istri membuat sang istri terbakar cemburu. Apalagi dengan keadaannya yang sedang berbadan dua, membuat emosi wanita itu tidak stabil.
Arya merasa dia adalah pria paling berengsek di dunia, menikahi Karina, menikmati semua fasilitas, tetapi tidak sedikitpun memberi perhatian untuk wanita tersebut.
***
"Hai! Kita pernah bertemu 'kan?" Seseorang menyapa Kevin ketika pria itu baru ke luar dari kantin rumah sakit.
Kevin menoleh, matanya menangkap sosok wanita cantik dengan setelan blazer berwarna merah, rambut wanita itu dibiarkan tergerai menutupi punggungnya.
Kevin merasa familiar dengan wajah itu, dahinya sedikit berkerut, mencoba mengingat siapa wanita yang terlihat elegan itu.
"Kau lupa padaku?" tanya wanita itu setelah jarak mereka cukup dekat.
Kevin menggali ingatannya lebih dalam, lalu dia tersenyum ketika seraut wajah menghampiri benaknya.
"Kau, Mitha? Prameswari Paramitha?"
Wanita itu tersenyum. "Tepat sekali, Tuan ...."
"Kevin Briantama Gemintang. Just Kevin," ujar Kevin menyambut uluran tangan Mitha.
"Jadi, siapa yang sakit?" tanya Mitha, saat ini mereka duduk di kursi di depan kamar rawat Sofia.
Wajah Kevin berubah sendu.
"Calon istriku."
"Kelihatannya kau sangat mencintai dia?"
Kevin menggangguk tanpa suara. Dia menunduk, berkali-kali mengembuskan napas lelah.
Mitha memperhatikan gestur pria yang baru dikenalnya.
Ada perasaan iri melihat betapa pria itu terlihat begitu mencintai kekasihnya.
Sangat berbeda dengan nasibnya. Menikah, tapi tak pernah dianggap, bahkan sang suami selalu saja menguji dirinya dengan kerap berselingkuh.
Entah mengapa tangan Mitha bergerak mengusap rambut hitam Kevin.
Pria itu mendongak hingga tatapan keduanya bertemu.
"Jika kau mencintainya, buat dia kembali padamu. Paksa dia dengan semua kekuatan yang kau punya. Agar tidak ada penyesalan di hati." Mitha menarik tangannya kembali, setelah Kevin menegakkan tubuhnya.
"Aku nyaris menyerah. Aku ..." Kevin memalingkan wajahnya ke sembarang arah.
Entahlah, wanita di hadapannya begitu mudah memancing jiwa melankolisnya ke luar, hal yang tak pernah diperlihatkan kepada orang lain.
Tapi, Mitha berbeda. Dia memiliki kharisma yang memberi rasa nyaman.
Mitha tersenyum.
"Kau tau, hidup dibentuk dengan pikiran kita sendiri. Jika kau merasa gagal, maka kegagalan itu yang akan kau dapat. Tapi, jika kau menolak menyerah dan berjuang sampai garis akhir, maka kemenangan akan menjadi milikmu. Tidak semua yang kita inginkan selalu menjadi kenyataan, tetapi selalu ada harapan bagi yang percaya."
Kevin tertegun. Wanita di hadapannya begitu dewasa, meski terlihat usianya jauh di bawahnya. "Terima kasih. Nasehatmu akan selalu kuingat. Kelak akan kubalas semua jasamu, Sister," balas Kevin menggenggam tangan Mitha.
Mitha menatap genggaman Kevin dengan mata berkabut. Ada perasaan nyaman dan hangat kala pria itu memanggilnya 'sister'.
"Yah. Aku pasti menagih janjimu, Sir Kevin," sahutnya dengan senyum di bibir.
"Buk, saatnya pergi. Aku sudah mengurus semuanya." Seorang wanita berpakaian khas kantoran menyapa keduanya.
Mitha melirik sekilas, lalu berdiri di ikuti Kevin.
"Baiklah, Sampai jumpa, Sir Kevin." Wanita itu mengulurkan tangan hendak pamit.
"Sampai jumpa, Sister."
Kevin menyambut uluran tangan Mitha dan memperhatikan wanita itu berlalu diikuti wanita tadi dan seorang pria yang terlihat babak belur seperti dipukuli.
Dahi Kevin sedikit berkerut melihat penampilan si pria, tapi dia hanya mengedikkan bahu dan masuk ke dalam ruang rawat Sofia.
***
'Sofia ...'
'Kembalilah, ikuti suaraku ...'
Sofia berada di lorong yang gelap. Di depannya ada sedikit cahaya yang samar bisa dia lihat, tapi di belakangnya, suara orang-orang yang dikenal memanggil namanya terus-menerus.
Ayah, Bunda, dan Kevin.
Semakin Sofia mendekati cahaya itu, suara mereka makin nyaring terdengar.
"Sofia, kembalilah ... aku mencintaimu." Suara Kevin kembali terdengar memanggilnya.
Hampir setiap saat pria itu membisikkan kata cinta. Entah mengapa Sofia semakin merindukan pria itu. Tapi, dia terlalu takut untuk kembali, takut menghadapi kenyataan hidup yang tidak pernah berpihak padanya.
"Sofia, aku tau kau mendengar ... aku mungkin bukan cinta pertamamu, tapi kupastikan kau adalah cinta terakhirku, meski aku tak secerah bintang di langit, tapi aku akan selalu bersinar di setiap harimu, meski aku tak sehangat mentari, tetapi mampu menghapus mendungmu. Kembalilah ... tempatmu pulang adalah aku, dan kau adalah ratu di istanaku" bisikan Kevin terdengar lebih jelas dan lantang, membuat sesak dadanya.
'Apa aku harus kembali? Belum saatnya aku mati?' Sofia terpaku di tempatnya.
"Pulanglah, ini bukan tempatmu. Masih banyak yang mencintai, mereka selalu menunggumu ... kembalilah."
"Kau siapa ...?"
"Aku, dirimu yang lain, yang masih terikat di dalam ragamu, yang tidak rela bila harus pergi. Ini belum waktunya, Sofia. Masih banyak yang harus kita lakukan di sana, pulanglah bersamaku."
"Aku takut."
"Atasi ketakutanmu, bahagia dicari, dilihat oleh mata, dirasakan oleh hati, dan diresapi oleh jiwa. Jangan takut sebelum memulai. Kembalilah ...."
***
Kevin tersentak dari tidurnya, genggamannya masih bertaut pada jari Sofia.
Monitor menunjukan grafik tanda-tanda kehidupan semakin menguat.
Pria itu mengucek matanya, berkali-kali menatap monitor EKG itu. Suara alat itu seperti irama surga yang memberi pertanda harapan baru.
Perlahan , tapi pasti dia merasakan gerakan jari Sofia.
Satu ....
Dua ....
Tiga ....
Gerakan jari semakin kentara, perlahan pelupuk mata gadis itu membuka, mata Kevin memburam, hatinya serasa meledak.
"K-Kevin ...."
"DOKTER! SIAPA PUN CEPAT KEMARI! Lekaslah ... Sofia kembali." Kevin berteriak hingga suaranya menggema ke seluruh sudut ruang perawatan Sofia.
***
"Terima kasih ..." ucap Sofia.
"Untuk apa?" tanya Kevin sambil menyuapi gadis itu.
"Untuk segalanya, untuk selalu ada di sampingku, mencintaiku meski aku tidak pantas untukmu," jawab gadis itu lirih, dia berpaling mengusap bening yang menitik di sudut matanya.
Kevin terdiam, matanya menelisik raut Sofia dengan lembut. Diraih dan digenggamnya tangan gadis tersebut.
"Sweet heart ... cinta tidak menghitung pantas atau tidak pantas, cinta itu memberi dengan cuma-cuma. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama, sekarang, dan saat mataku menutup nanti, hanya kamu yang ingin kulihat. Kau jantungku, hidupku, dan satu-satunya yang aku pikirkan. Jadi, jangan pernah meninggalkanku lagi," tutur Kevin tanpa melepaskan pandangan dari manik Sofia.
Deraian bulir bening di pipi Sofia semakin deras, tangannya membekap mulut yang mengeluarkan isak. Gadis itu menangis dan itu tangis bahagia.
***
Dua bulan setelah insiden itu, Sofia terlihat lebih segar. Gadis tersebut sudah melupakan peristiwa mengerikan itu.
Dia memaafkan Karina, si wanita sedang hamil, Sofia tidak ingin menambah beban pikirannya lagi. Bukankah memaafkan lebih baik dari pada menyimpan dendam yang akan menjadi racun di hati.
"Bun, aku ingin pergi sebentar," ucapnya saat mereka menyiapkan makan malam.
Halimah menghentikan pekerjaannya, menatap Sofia tidak mengerti.
"Apa terjadi sesuatu antara kau dan Kevin?" tanya Halimah menatap menyelidik.
Sofia menggeleng. "Tidak, Kevin baik, bahkan sangat baik. Dia mengajak menikah. Tapi ..." Gadis itu menggantung kata-kata di udara.
Halimah mengernyit. "Tapi, apa, Sayang?" tanya Halimah lagi.
"Aku ngga mau mengecewakan Kevin. Karna itu aku ingin menyakinkan hati, sebelum nanti melangkah lebih jauh," jelas Sofia lirih.
Halimah tersenyum, membelai rambut putri tercintanya dengan kasih.
"Jika itu pilihanmu, Bunda hanya bisa merestui. Ingatlah, cinta sejati tidak datang dua kali. Kapan kamu akan pergi?"
"Besok pagi, Bun."
***
Pagi ini Kevin mendatangi rumah Sofia, tidak sengaja dia bertemu Arya di sana.
'Apa dia ingin mengusik Sofia lagi?' Pikir Kevin.
"Aku ingin pamit pada Sofia," jelas Arya, dia mengerti arti tatapan Kevin.
"Pamit?" Dahi Kevin berkerut tak mengerti dengan ucapan Arya.
"Iya, Aku akan kembali ke Amerika bersama Karina. Kami ingin mulai dari awal. Aku harus menebus kesalahanku padanya," jelas Arya dengan raut cerah.
"Bagus, kau sudah bertemu Sofia."
"Sayangnya dia pergi," jawab Arya bernada kecewa.
"Pergi? Ke mana," Kevin terlihat bingung, seketika dia dihinggapi panik.
"Dia ingin menenangkan diri, Nak ..." sela Halimah mencoba menenangkan si pria.
Kevin bergeming.
Sofia tidak pernah memberi tahu tentang kepergian gadis itu. Berbagai pertanyaan hinggap di benak Kevin. Apa Sofia tidak mencintainya? Apa gadis itu menghindarinya?
"Sofia, pergi ke mana, Bun?" tanya Kevin lirih.
Halimah menggeleng. "Dia hanya bilang ingin ke tempat di mana bisa melihat bintang dengan jelas. Dia sudah menemukan tempatnya, tapi bukan di luar negeri," jelas Halimah perlahan.
Kevin terdiam sejenak, mencerna kata-kata Halimah. Tak lama bibirnya melengkung senyum, matanya berbinar terang.
"Aku permisi dulu, Bun," pamit Kevin tergesa tak memperdulikan raut Halimah dan Arya yang bingung dengan perubahan raut Kevin.
Langkah pria itu lebar dan cepat meninggalkan rumah Sofia. Arya yang penasaran dengan reaksi Kevin bertanya, "hei, Kevin! Mau ke mana?!" tanyanya setengah berteriak.
"Menjemput calon istriku," jawab Kevin lantang.
Halimah dan Arya saling pandang, kemudian tertawa geli.
Aah ... cinta memang membuat pelakunya gila.
'Sofia ... tunggu aku. Akan kujemput dirimu ditempat terindah.'
-- Tamat --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel