Karya : Wiwin Setyobekti
Sosok lelaki bermata teduh itu duduk dengan tak nyaman di atas bangku kayu yang berada di depanku. Sementara aku sendiri duduk mematung di seberangnya.
Raut wajahnya tampak bingung. Seolah ia menyimpan banyak cerita yang ingin ia ungkapkan, tapi tak tahu harus mulai darimana.
"Jadi maksudmu, kamu pacaran sama aku karena kamu kasihan padaku gitu?" akhirnya aku membuka suara setelah keadaan sempat hening beberapa saat.
David mendongak.
"Nana, bukannya gitu..." Ia menelan ludah, terlihat dari jakunnya yang bergerak. "Itu..." Dan ia terdiam.
"Diam berarti iya," sergahku ketus.
Ia menunduk, meremas-remas jemari tangannya sendiri, nampak tak berdaya.
David.
Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja di depan toko stationery langgananku.
Waktu itu aku sedang kesulitan mengumpulkan barang-barang belanjaanku yang jatuh berserakan. Dan tiba-tiba saja dia muncul, lalu tanpa kuminta pun ia dengan senang hati membantu memunguti pensil warnaku yang berserakan di pinggir jalan.
Ia juga membantu mencarikan taksi sekaligus membantuku memasukkan barang-barang belanjaanku ke sana.
Beberapa hari kemudian aku kembali bertemu dengannya di tempat yang sama. Dan dengan raut muka malu-malu, ia menanyakan namaku sekaligus nomer ponselku. Dan kami mulai berkenalan, saling kontak.
Kami sering keluar bersama entah hanya untuk mengobrol, ataupun makan siang. Hingga akhirnya ia menyatakan cinta padaku, dan kamipun resmi berpacaran.
David jadi sering bermain ke rumahku. Ia memperlakukanku dengan manis. Ia juga begitu ramah pada ayah, ibu dan juga adik perempuanku satu-satunya, Ami, yang umurnya hanya terpaut satu tahun denganku.
Terutama terhadap Ami, ia bersikap begitu manis, perhatian, dan juga hangat. Mereka begitu cocok satu sama lain.
Ketika mereka sudah mengobrol, mereka terlihat begitu nyaman. Mereka bercanda, mereka bercengkerama, saling menggoda.
Awalnya aku mengira hubungan seperti itu wajar, hubungan antar seorang kakak laki-laki dan adik perempuan. Bagaimanapun juga, Ami sosok perempuan yang cantik, ramah, mudah bergaul, lucu, dan sangat menyenangkan untuk dijadikan teman mengobrol.
Hingga akhirnya aku sadar, interaksi diantara mereka menunjukkan hubungan yang lebih dari sekedar hubungan adik kakak.
Aku tahu David menyayangiku. Aku bisa melihatnya ketika ia menatapku. Sorot matanya menunjukkan perhatian dan juga kehangatan. Tapi dengan Ami, tatapan itu berbeda.
Lebih hangat, lebih intens dan berbinar.
Aku tak terlalu berpengalaman. Tapi aku tahu bahwa binar itu menunjukkan rasa ... cinta.
Di sebuah sore yang mendung, tepat ketika aku baru pulang dari bekerja, aku mendengar Ami terisak.
Dengan tertatih aku berusaha mencari keberadaannya dan aku menemukan ia di ruang tengah, terisak dalam pelukan David. Perempuan yang biasa terlihat ceria itu sesenggukan.
Dan dari situ aku bisa mendengar apa yang ia katakan, dengan jelas.
Di tengah-tengah isak tangis ia berujar bahwa ia mencintai David, tapi ia merasa tak enak hati denganku. Sementara David hanya mampu menenangkannya dengan lembut, mengelus punggungnya, sembari mendaratkan ciuman di puncak kepalanya.
Dan aku seperti kaca yang di hempaskan ke tanah. Hancur berkeping-keping!
"Aku terpesona padamu, Nana. Kamu begitu baik, hangat dan menyenangkan. Waktu melihatmu pertama kali, aku benar-benar terpesona padamu. Aku jujur." Suara David membuyarkan lamunanku.
"Kamu hanya terpesona padaku. Lalu kamu merasa kasihan, dan akhirnya memacariku. Tapi akhirnya kamu sadar bahwa kamu malah jatuh cinta pada adikku. Ya, kan?" tukasku.
Lagi-lagi David hanya mampu menatapku pilu, tanpa mampu menjawab.
"Aku anggap itu jawaban 'iya'," sergahku.
"Baiklah," aku meraih tongkat elbow-ku lalu berusaha untuk berdiri.
Reflek David beranjak dari duduknya dan segera membantuku untuk bangkit.
Aku mengacungkan jemariku ke arahnya lalu menatapnya dengan tajam.
"Jangan.sentuh.aku," aku mengeram.
David tampak terpukul dengan kata-kataku.
"Hubungan kita udah berakhir, dan aku merelakanmu. Kelak, jangan perhatian padaku lagi, jangan merasa kasihan padaku lagi. Karena sikapmu membuatku jijik," rahangku kaku.
Kemudian dengan tertatih, dengan bantuan tongkat elbow di tangan kananku, aku beranjak. Meninggalkan David.
Aku masih sempat mendengar ia meneriakkan namaku, tapi aku tak peduli.
Dengan langkah pelan, aku terus berjalan. Dan aku sadar, air mataku sudah jatuh berderaian.
Aku hanya tak menyangka bahwa sikapnya yang begitu baik padaku ternyata hanya karena ia kasihan.
Aku memang bukan perempuan sempurna.
Sejak kecil aku sudah cacat. Aku kehilangan fungsi kaki kananku sejak dilahirkan. Dokter bilang, ada masalah dengan tulang kakiku hingga aku terpaksa tak bisa berjalan dengan sempurna.
Dulu aku mengenakan kursi roda. Tapi sejak diterapi sekitar 10 tahun yang lalu, aku sudah bisa berjalan sendiri, meski tertatih dan dengan bantuan sebuah tongkat elbow.
Selama ini aku sudah kenyang dengan tatapan penuh belas kasihan dari setiap orang yang kutemui. Awalnya kukira David berbeda, tapi ternyata ia sama.
Ia hanya merasa kasihan pada perempuan cacat sepertiku!
***
Aku duduk mematung di pinggir ranjang. Kamar sengaja kubiarkan gelap gulita sementara jendela kubuka lebar-lebar.
Aku menghabiskan waktu berdiam diri selama hampir dua jam sambil menikmati desiran angin malam.
Ayah dan Ibu sedang keluar sehingga rumah terasa sepi.
Aku masih tak berniat beranjak dari tempatku ketika pintu terbuka. Aku menoleh sekilas dan melihat Ami berdiri di ambang pintu.
"Kak..." Ia memanggil lirih dan bergerak ke samping.
"Jangan nyalain lampunya," titahku. Langkah Ami terhenti.
Gadis tinggi semampai itu berdiri dengan canggung sembari membunyikan buku-buku jarinya. Hal yang biasa ia lakukan kalau ia sedang gusar.
"Kak..." Ia kembali memanggil. Panggilan itu syarat keraguan. Seolah ia tengah berjuang antara bersuara atau tidak.
"Soal kak David dan aku. Tolong maafin aku, Kak..."
Aku tak menjawab.
Reaksi ini memicu ia untuk memberanikan diri maju beberapa langkah.
"Maafin aku, Kak. Aku nggak bermaksud melakukannya. Tiba-tiba saja aku terjebak pada perasaanku sendiri. Tiba-tiba aku menemukan diriku jatuh cinta padanya. Ini diluar kendaliku. Sungguh, tadinya aku cuma pengen nganggep dia sebagai seorang kakak. Tapi..."
"Jangan bicarain itu lagi," potongku.
"Kak, kumohon..." suara Ami bergetar. Dan air mataku merebak.
Seandainya ia tahu perjuanganku untuk tidak menangis.
"Kumohon jangan benci aku, Kak. Aku ... aku nggak bermaksud melakukannya." Dan ia terisak.
Aku menelan ludah.
"Tinggalin aku sendiri," suaraku pelan.
Ami terus saja terisak.
"Tolong jangan bilang pada Ayah dan Ibu dulu ya. Aku belum siap menerima kemarahan mereka." Ia memohon.
Dan seketika wajah Ayah dan Ibu muncul di benakku.
Aku ingat raut muka mereka yang tampak begitu bahagia ketika aku memberitahu tentang David, ketika aku memberitahu mereka bahwa aku berpacaran dengannya. Mungkin karena mereka mengira bahwa perempuan cacat sepertiku takkan pernah bisa punya pendamping.
Ayah tak pernah berhenti menanyakan tentang David. Setiap kali makan malam, ia akan selalu membicarakannya dengan wajah ceria. Ibu juga tak jauh berbeda.
Setiap kali David datang berkunjung, ia akan menyambutnya dengan mata berbinar, raut muka penuh kebahagiaan, lalu menyiapkan banyak hidangan untuknya.
Dan sekarang, apa yang harus kuceritakan pada mereka?
Ayah...
Ibu...
Maafkan aku...
"Kak..."
"Keluarlah, Ami. Aku pengen sendiri," titahku lirih.
Gadis itu sempat enggan beranjak, tapi masih sambil menangis, akhirnya ia berbalik, lalu meninggalkan kamarku.
Dan tepat ketika pintu ditutup, bahuku terguncang.
Air mataku berjatuhan dan tangisku pecah. Aku terisak.
Kenapa harus seperti ini?
Kenapa?
==========
David mencondongkan tubuhya di atas meja counter dan berbicara dengan nada setengah berbisik.
"Bisa bicara sebentar?" tanyanya.
"Nggak," jawabku ketus. "Aku sibuk. Kamu nggak lihat kalo aku sedang kerja?" lanjutku.
David menarik nafas panjang.
"Kalo begitu, aku akan menunggumu. Jam berapa kamu selesai?"
Aku menatapnya kesal.
"Kamu nggak perlu menungguku. Lagipula apa yang ingin kamu bicarakan? Kenapa nggak bicara di rumah aja?"
"Justru karena aku nggak menemukanmu di rumah, makanya aku ke sini. Kamu terus menerus menghindariku," jawab David.
"Aku nggak menghindarimu. Lagipula nggak ada alasan untuk ketemu sama kamu 'kan?"
"Nana..."
"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi, Vid. Kita udah putus."
Kalimatku terhenti ketika ada seorang pelanggan datang untuk membayar.
Aku bekerja di sebuah toko roti sebagai kasir. Tokonya kecil, tapi kami punya banyak pelanggan setia. Sebenarnya aku tak terlalu menyukai pekerjaanku. Tapi sepertinya menjadi kasir adalah pekerjaan yang paling pas untuk orang cacat sepertiku. Yang kulakukan adalah duduk manis di belakang meja dan tak perlu berjalan kesana kemari.
"Akan kutunggu sampai kamu selesai kerja," David ngotot ketika aku sedang melayani pelanggan tersebut.
Dan lelaki itu serius dengan kata-katanya, ia menungguku dengan sabar di luar toko hingga aku selesai bekerja.
"Naiklah ke mobil, akan kuanterin kamu pulang," ucapnya lembut, sama seperti biasanya, seperti ketika ia masih jadi pacarku.
"Kenapa? Kenapa kamu harus nganterin aku pulang? Aku bukan pacarmu lagi."
"Apa kalo nggak jadi pacar maka aku nggak boleh ngenterin kamu pulang?"
"Nggak," jawabku langsung.
David nampak frustasi, dan aku tak peduli.
"Ya udah deh, mau bicara apa sih? Bicara aja. Aku harus segera pergi ke halte," ucapku lagi.
Lelaki berwajah lembut itu menatapku.
"Kenapa kamu menghindariku? Berkali-kali aku ke rumahmu, tapi aku nggak berhasil menemuimu."
Aku terkekeh sinis. "Siapa yang menghindarimu? Aku kerja. Pagi berangkat, malam baru pulang. Lagipula sekarang pacarmu kan Ami. Ngapain juga kamu harus repot-repot menemuiku?" Emosiku nyaris sampai ubun-ubun.
Dan kedua mataku mengerjap ketika tiba-tiba David menangkup wajahku dengan tangannya. Dan bisa kurasakan tangannya yang hangat di pipiku. Tidak hanya itu saja, tanpa sungkan ia juga merapikan jaketku. "Udara malam ini dingin banget. Pake jaket yang betul," ucapnya.
"Jangan sampai kedinginan, nanti kamu bisa sakit," lanjutnya.
Aku mengenalnya dengan baik. Dan tindakannya yang barusan tidak dibuat-buat. Ia melakukannya secara reflek, alamiah saja. Aku tahu ia berkhianat, tapi kenyataan bahwa ia lelaki yang baik dan penuh perhatian takkan pernah bisa kupungkiri.
"Kamu nggak bisa berbuat baik seperti ini terus, Vid. Aku bukan pacarmu lagi. Kamu juga nggak perlu repot-repot menjemputku sepulang bekerja. Aku akan membiasakan naik bis lagi, kayak dulu." Kali ini kalimatku lirih.
"Nana, aku cuma pengen nggak ada yang berubah di antara kita, meski aku telah menyakitimu. Setidaknya, aku pengen menjagamu layaknya seorang ... saudara," jawabnya.
Saudara? Hah, kata-kata itu terdengar begitu menyakitkan karena keluar dari mulut David.
"Aku berniat bicara jujur pada Ayah dan Ibu-mu. Aku akan meminta maaf secara langsung pada mereka setelah apa yang kulakukan padamu, pada Ami..."
"Jangan," potongku. "Jangan bicara dulu pada mereka. Beri waktu padaku, aku yang akan melakukannya."
David menatapku dengan sorot keberatan.
"Aku perlu waktu untuk menerima semuanya. Sungguh ini nggak mudah buatku, Vid. Menerima kenyataan bahwa kamu dan ... Ami ..." aku menelan ludah, nyaris menumpahkan kembali air mataku.
"Biarkan aku menata kembali hatiku setelah kamu menghancurkannya secara berkeping-keping. Biarkan aku menyembuhkan lukaku dengan caraku sendiri. Yang kubutuhkan adalah ... waktu," ucapku lagi.
Tatapan David tampak pilu.
"Aku cuma pengen bersikap baik padamu dan mengantarkanmu pulang, apa itu berlebihan?"
Aku menarik nafas.
"Aku masih pengen berkunjung ke suatu tempat. Pulanglah terlebih dahulu," jawabku, menyerah.
"Ke mana? Ayo kuantarkan."
Aku menggeleng. "Tempatnya dekat, hanya beberapa blok dari sini."
"Kalau begitu akan kutunggu sampai selesai."
"Vid, please ..."
Lelaki itu mendesah lirih.
"Baiklah. Asal kamu berhati-hati," kalimatnya terdengar keberatan.
***
Aku memutuskan untuk berkunjung ke tokonya Dio, sekedar untuk menghindari David.
Dio adalah teman yang telah kukenal sejak beberapa tahun yang lalu. Ia punya sebuah toko kecil yang menjual baju dan asesoris. Toko itu terletak beberapa blok dari tempatku bekerja. Ia sering membeli roti di tempatku, dan akupun sering membeli baju di tokonya.
Baju-baju di tempatnya memang tidak terlalu bermerek, tapi terkenal berkualitas. Selain itu, seleranyapun selera anak muda. Sehingga banyak pelanggannya yang seumuran dengan kami.
Dio menyapaku dengan antusias ketika melihat kedatanganku. Ia bahkan mengacak-acak rambutku dan juga mencubit pipiku dengan gemas. Aku sempat protes dengan kebiasaannya itu. Dia selalu bilang akan menghentikannya, tapi nyatanya tidak.
"Aku sedang suntuk. Aku cuma pengen berkeliling di tokomu. Boleh?" tanyaku.
Dio terkekeh.
"Boleh, asal aku boleh mencubit pipimu yang menggemaskan ini," ia kembali mencubit pipiku, kali ini dengan kedua tangannya. Aku melotot kesal ke arahnya tapi tak mampu menghindar. Ah, padahal dia juga punya pipi yang gemuk menggemaskan.
Awalnya aku hanya sedang melihat-lihat saja ketika mataku menangkap sebuah syal berwarna hijau gelap menggantung di leher manekin.
Tiba-tiba terpikir bahwa syal itu akan sangat pantas sekali dikenakan Ibu.
"Bisa kamu ambilin syal hijau itu?" Aku meminta tolong secara asal pada seseorang yang berdiri di sisiku.
Seseorang yang tidak terlalu kuperhatikan dari awal tapi sepertinya tengah asyik melihat-lihat sebuah baju di sebelah manekin yang tengah kutuju.
Aku menoleh, dia juga.
Seorang cowok tampan bermata indah yang penampilannya cukup nyentrik. Rambutnya dicat warna merah gelap. Dan bajunya, well, terlalu rame. Warna baju yang ia kenakan tampak bertabrakan sana sini.
Topi merah, kaos oranye, jaket hijau dan celana berwana biru muda. Astaga, apa dia model? Atau dia musisi? Penampilannya asal-asalan tapi ... dia tampan.
Cowok itu menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan tak ramah. Kedua matanya singgah ke arah tongkat elbow di tanganku, lalu beralih ke kakiku.
"Sori ya, aku bukan pelayan yang bisa kamu suruh-suruh," ucapnya ketus.
"Oh maaf, tadi aku nggak bermaksud gitu. Maaf kalau kamu nggak berkenan," ucapku buru-buru.
"Yang cacat cuma kakimu, tapi tanganmu enggak 'kan? Kenapa kamu nggak ambil aja sendiri?"
Kedua mataku mengerjap. Tak menyangka akan menerima jawaban seperti itu. Aku menatapnya kaget.
Bibirnya berdecih, lalu ia berbalik, dan berlalu dariku. Begitu saja.
Aku melotot.
"Apa-apaan sih cowok ini?" sungutku lirih.
"Nggak usah marah. Sebenarnya dia baik kok," ujar Dio yang tiba-tiba saja sudah berada di sisiku.
"Kamu kenal?" tanyaku tak percaya. Dio memgangguk.
"Ya kenal lah. Langganan, dan dia salah satu temanku juga. Dia orangnya emang begitu. Nyentrik dan ceplas-ceplos. Tapi percayalah, dia aslinya sangat baik," lanjut Dio lagi.
Bibirku manyun.
"Kelak kalau kamu ketemu lagi sama dia, bersiap-siap aja karena dia tipe orang yang selalu berterus terang. Jangan sakit hati ya," Dio tersenyum lembut.
Aku terdiam.
Sakit hati?
Aku mungkin kaget mendengar kata-katanya, mendengar ia memanggilku cacat, tapi entahlah, aku tak merasa sakit hati sama sekali.
Aku justru merasa ... senang. Sungguh. Memang terdengar aneh, tapi itu benar.
Untuk yang pertama kalinya.
Untuk yang pertama kalinya ada seseorang yang memperlakukanku dengan normal.
Biasanya orang yang kutemui pertama kali akan menatapku dengan tatapan belas kasihan, lalu berbicara dengan lembut dan sopan padaku. Menganggap bahwa aku adalah makhluk yang pantas untuk dikasihani.
Tapi, cowok nyentrik tadi berbeda.
Dia memperlakukanku seperti orang biasa, dan .... normal.
***
Cowok itu muncul di depan tokoku pagi-pagi sekali, tepat ketika aku baru sampai di sana. Penampilannya tetap nyentrik. Bajunya asal-asalan dengan kombinasi warna yang tak serasi. Kalau berdasarkan orang mode, dia pasti norak. Tapi menurutku, ia menawan. Sungguh.
Ia tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arahku.
Sempat merasa bingung, aku menatap sekelilingku. Barangkali saja ia tengah tersenyum dan menyapa orang lain, bukan diriku.
"Hei, aku sedang menyapamu, dasar idiot." Ia melangkah mendekatiku.
Aku kembali menatapnya.
"Aku?" tanyaku.
Dan ia mengangguk. "Iya, aku sedang tersenyum dan melambaikan tangan padamu," jawabnya lagi.
"Aku ingin minta maaf sama kamu atas sikapku yang kemarin. Sepertinya ... aku udah kelewatan dan bersikap kasar sama kamu," ucapnya lagi.
Aku tersenyum kaku dan mengangguk.
"Nggak apa-apa. Aku juga minta maaf ya karena udah nyuruh-nyuruh kamu tanpa permisi," jawabku.
"Bagaimana kamu tahu kalo aku kerja di sini?"
"Aku banyak nanya ke Dio tentang kamu. Ah, aku baru tahu kalau kamu bekerja di sini. Kalo aja aku tahu bahwa ada kasir manis di toko ini, aku pasti rajin ke sini." Ia terkekeh.
Aku kembali tersenyum kaku.
"Namamu Nana 'kan? Aku Varel." Ia mengulurkan tangan. Karena tahu ada tongkat elbow di tangan kananku, ia meraih tanga kiriku untuk bersalaman.
"Sudah lama kamu kerja di sini? Apa rumahmu jauh? Apa kamu selalu ke sini naik bis? Apa kamu suka nonton film? Film apa yang kamu suka? Terus, makanan apa yang jadi favoritmu? Kalo minuman? Minuman apa yang kamu suka? Panas? Atau dingin? Ngomong-ngomong, boleh aku minta nomer ponselmu?"
Aku ternganga mendengar semua pertanyaan yang meluncur dari mulutnya.
"Kok kamu banyak nanya gini sih?" tanyaku.
"Karena sepertinya aku jatuh cinta sama kamu," jawabnya enteng.
Aku mendelik. Hah?
"Kita baru bertemu dua kali dan kamu langsung bilang cinta sama aku?" Aku nyaris menjerit.
"Sebenarnya ini pertemuan kita yang ketiga kalinya. Pertama, yang kemarin, di tokonya Dio. Kedua, semalam tanpa sengaja kita berada di bis yang sama. Dan aku ngelihat kamu tidur. Kamu lucu banget deh. Ngomong-ngomong, kamu ngorok dan mulutmu terbuka."
Aku melongo.
Whatttt??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel