Cerita Bersambung
Setelah membuat pengakuan cinta secara tiba-tiba, sekarang Varel sering mampir ke tempat kerjaku. Entah hanya untuk membeli sepotong roti, atau hanya sekedar menerobos masuk demi untuk menyapaku. Sungguh, terkadang tingkahnya menyebalkan, tapi sekaligus menggemaskan.
Lelaki tampan dengan senyum menawan itu juga kerap memberiku kejutan.
Di suatu hari tiba-tiba ia sudah muncul di hadapanku seraya memberiku seikat bunga. Dan di hari yang lain, tiba-tiba saja ia akan duduk manis di tokoku sembari menikmati secangkir kopi dan berpuluh-puluh potong roti. Ia dapat melakukan hal itu selama hampir seharian penuh. Sungguh.
"Apa kamu nggak punya kerjaan?" tanyaku ketus ketika hari itu, pagi-pagi sekali aku sudah mendapatinya di depan toko roti. Toko itu bahkan baru akan dibuka setengah lagi.
"Punya," jawabnya enteng.
"Kalo gitu untuk apa kamu terus menerus berkeliaran di dekatku?" Aku mengeram kesal.
Ia mengangkat bahu cuek. "Emang inilah kerjaanku. Berkeliaran di dekatmu, menguntitmu," ia menyeringai.
"Ngapain sih kamu ngelakuin hal kayak gini?" Aku nyaris saja mengayunkan tongkat elbowku karena jengkel.
"Hei, Nana. Kamu ini bodoh atau gimana sih? Ketika ada seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan, tentu saja ia akan mengikuti kemanapun Ia pergi," ia membela diri.
"Oh iya, hari sabtu nanti kamu ada acara gak? Aku punya dua tiket ke pameran seni. Ayo ke sana," dan tiba-tiba saja ia mengubah topik pembicaraan seperti biasanya. "Akan ada pameran lukisan berskala internasional di sana. Dio bilang kamu hobi banget melukis. Lukisan yang terpasang di toko Dio itu hasil karyamu 'kan? Woah, ternyata kamu hebat juga. Kereeen," lanjutnya antusias.
Kedua matanya yang bening bergerak-gerak dengan indah. Dan ekspresi seperti itu benar-benar terlihat menggemaskan.
"Bisa ya? Please."
Aku terdiam, mencoba menimbang ajakan lelaki tersebut. Pergi ke pameran lukisan sepertinya menyenangkan.
"Baiklah, akan kuusahakan," jawabku kemudian. Varel nyaris bersorak.
"Oh iya, kamu udah sarapan? Nih," ia menyodorkan sebuah kotak makan yang sejak tadi ia tenteng. "Restoran ayahku sedang mencoba menu baru. Jadi aku minta pada chef untuk bikinin kamu ini," ia tersenyum bangga. Aku menerima kotak makan itu dengan bingung.
"Ayahmu punya usaha restoran? Lalu kenapa kamu berkeliaran seperti ini? Harusnya kamu ada di sana, bantuin bisnis ayahmu," protesku.
Bibir Varel berdecih.
"Duh, apa kamu nggak tahu yang namanya pegawai? Restoranku udah penuh dengan orang-orang kepercayaan. Tanpa aku ada di sanapun, tempat usaha itu tetap berjalan dengan baik. Aku cuma sesekali aja ke sana untuk berkunjung. Ayahku bahkan sering ke luar kota untuk ngurusin bisnisnya yang lain," kilahnya.
Aku mencibir.
"Woa, keren. Kamu pasti tipe anak muda yang gemar berfoya-foya dengan uang orang tuanya. Ya 'kan?" sindirku.
Varel menggigit bibirnya dengan gemas.
"Lah, jangan salah ya. Aku juga
kerja, nyari uang. Kamu lupa kalo aku punya band? Bandku lumayan terkenal. Setiap malam kami tampil di kafe-kafe dan pesta orang kaya. Honornya besar. Kalo hanya sekedar ngasih bunga setiap hari dan mengajakmu kencan setiap malam minggu, aku masih mampu melakukannya," sanggahnya. "Beda lagi kalo kelak kita nikah dan punya banyak anak, baru aku akan mengambil alih restoran ayahku," lanjutnya.
Aku mendelik. "Kenapa kamu ngomongin pernikahan dan anak-anak denganku?!" teriakku.
Varel terkikik.
"Ah udahlah. Sarapan yang banyak ya," ia mencubit pipiku dengan gemas. "Astaga, pipimu tuh menggemaskan banget. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu," lanjutnya.
Aku kembali berteriak kesal. Dan belum sempat cubitanku bersarang di pinggangnya, pemuda itu sudah terlebih dulu melarikan diriku.
Dan ia masih sempat-sempatnya berteriak, "NANA, AKU CINTA PADAMU!"
Aku merasakan mukaku memerah ketika beberapa orang mulai memperhatikan kami dengan senyum tertahan. Aku menyembunyikan wajahku di balik kotak makan pemberian Varel lalu tertatih memasuki tempat kerjaku yang baru saja dibuka.
Ah, orang itu benar-benar menyebalkan.
Tapi ... ia lucu.
***
Dan hubunganku dengan Amipun memburuk.
Sebenarnya sejak dulu kami memang tidak terlalu dekat. Padahal kami saudara kandung dan hanya selisih satu tahun.
Kami bukan tipe adik kakak yang terbiasa duduk bersama, bercanda, berbagi cerita, maupun mengobrol tentang hobi dan tokoh idola. Kami juga tidak pernah menghabiskan waktu luang untuk sekedar shopping bersama seperti yang biasa dilakukan sesama saudara perempuan. Ataupun membicarakan lelaki idaman.
Aku juga tidak ingat kapan terakhir kali kami menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Mungkin sudah puluhan tahun yang lalu, saat usiaku baru 7 tahun.
Kalau tidak salah itu terakhir kalinya kami bermain boneka bersama. Kemudian aku sering jatuh sakit.
Dan begitulah, hubungan kami renggang. Hingga saat ini.
Kami seperti orang asing yang tinggal serumah. Setiap kali bersama, kami hanya akan bicara ala kadarnya. Setelah itu ia akan masuk kamar dan menghabiskan waktunya di sana untuk belajar. Sementara aku sendiri juga akan menghabiskan waktuku dengan mengurung diri di kamar.
Setiap kali berkomunikasi, interaksi di antara kami kaku. Seakan kami tak punya ikatan batin sama sekali, padahal kami saudara sedarah.
Seperti yang terjadi sore itu ketika kami sama-sama sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Kami melewati momen itu dengan tenang, hening tak ada pembicaraan. Ayah dan Ibu sama-sama bekerja di kantor asuransi, sehingga mereka terbiasa pulang larut.
"Kak, apa kamu membenciku?" Ami memecah keheningan tanpa melihat ke arahku. Tangannya sibuk menyiapkan lauk pauk.
"Kali aku membencimu, aku nggak bakal mau kamu panggil Kakak," jawabku cepat sembari menata piring di meja makan.
"Apakah Kak David masih sering menjemputmu ke tempat kerja?"
"Nggak," aku kembali menjawab cepat, mencoba berbohong.
"Bohong," Ami terkekeh sinis. Aku sempat menangkap tatapan matanya ke arahku, sekilas.
"Aku tahu kalo dia masih menemuimu di tempat kerja. Ya 'kan?" ujarnya lagi.
Aku mengangkat bahu.
"Emang, dia kesana hampir setiap hari. Tapi aku selalu menolak dijemput olehnya. Jangan khawatir," jawabku.
Hening sesaat.
"Kak, bisakah aku memiliki David untuk diriku sendiri?" Dan mau tak mau pandangan kami beradu.
"Aku nggak suka ia bertindak berlebihan padamu," lanjutnya.
Aku mendesah.
"Ami, dia milikmu. Dan aku nggak tertarik untuk mengambil atau bahkan memilikinya kembali," kalimatku ketus. Sungguh, aku tak suka pembicaraan ini.
"David mencintaimu, dia milikmu. Lalu apa yang harus kamu takutkan?" ujarku kesal.
"Aku tahu, tapi Kak David masih menyayangimu. Dia nggak akan pernah bisa mengabaikanmu. Aku bisa melihatnya. Setiap kali kalian bertemu, ia masih saja menatapmu dengan lembut. Ia juga masih saja begitu perhatian padamu. Dan terkadang, aku takut Kakak akan mengambilnya dariku," Ami terdengar protes.
Aku merasakan rahangku kaku.
"Dan aku nggak tertarik. Lagipula aku nggak meminta ia untuk selalu bersikap baik padaku 'kan? Aku nggak memintanya untuk datang ke tempat kerjaku. Aku nggak memintanya untuk menjagaku. Ayolah, Ami. Bisakah kita menjalani hidup kita masing-masing. Silahkan berpacaran dengannya tanpa melibatkan aku karena aku juga nggak mau dilibatkan dalam urusan kalian. Sudah cukup apa yang telah kalian lakukan padaku," desisku.
Kuraih tongkat elbow di sisiku lalu dengan tertatih aku bangkit. "Aku mau keluar sebentar. Aku pengen jalan-jalan," aku beranjak.
"Kakak nggak makan malam dulu?"
"Nanti," aku tak menoleh ke arahnya dan terus berjalan pelan.
"Kak, aku akan bicara jujur pada Ayah dan Ibu tentang Kak David," ucapan Ami membuat langkahku terhenti.
Aku menoleh ke arahnya, "Terserah," jawabku kemudian, untuk selanjutnya kulangkahkan kembali kakiku, meninggalkannya.
Tepat ketika aku baru sampai di halaman rumah, tampak mobil David sudah terparkir di depan pagar. Pemuda itu keluar dari sana dan segera berlari kecil menghampiriku.
"Aku tadi ke tempat kerjamu dan mereka bilang..."
"Aku libur," potongku. "Masuklah, Ami ada di dalam menunggumu." Aku buru-buru ingin mengakhiri obrolan kami.
"Kamu mau ke mana?"
"Minimarket. Membeli sesuatu," jawabku cepat.
"Kuantarkan." David beranjak.
"Nggak usah," aku menggeleng. "Nggak perlu."
"Tapi..."
"Aku akan pergi sendiri," kutatap ia dengan tajam.
Dan David masih saja menatapku dengan lembut. Merasa tak gentar sama sekali.
"Oke, Oke," ia merapatkan sweaterku, "tapi setidaknya pakailah jaket yang lebih tebal. Udaranya dingin banget. Bentar ya, akan kuambilin jaket," lanjutnya.
Lelaki itu bisa saja berlari ke dalam rumah demi untuk mengambilkanku jaket jika saja aku tak mencegahnya.
"Vid..." aku menarik lengannya.
"Jangan..." kalimatku tertahan.
Kulepaskan genggaman tanganku ketika Ami muncul dari balik pintu.
"Aku pergi." Dan tanpa menunggu David berkata-kata lagi, aku beranjak. Meninggalkan mereka.
***
Aku menghabiskan waktuku membeli makanan kecil dan memakannya di taman.
Mengesampingkan cuaca dingin yang kian menusuk, aku sengaja duduk di sana berlama-lama.
Satu jam kemudian, aku baru memutuskan untuk kembali ke rumah. Ketika sampai di sana, mobil David sudah tidak ada. Sayup-sayup aku malah mendengar keributan dari dalam rumah.
Dengan hati cemas, tertatih aku berusaha mempercepat langkahku memasuki halaman. Dan tiba-tiba saja langkahku terhenti. Dari dalam sana terdengar ada keributan. Ami berteriak, Ibu juga berteriak, Ayah kadang-kadang ikut serta bersuara.
"Dasar anak nggak tahu malu! Kenapa kamu tega melakukan ini pada kakakmu?! Kamu tahu bahwa David adalah pacar kakakmu, kenapa kamu merebutnya?!" suara Ibu.
"Ibu, aku nggak merebutnya! Aku nggak serendah itu! Tapi tiba-tiba aja semua terjadi! Aku dan David terlibat cinta dan perasaan kami saling terikat satu sama lain! Kami saling menyayangi! Lalu kami harus bagaimana?!" Ami berteriak.
Terdengar sesuatu di banting.
"Jika kamu tahu lelaki itu adalah pacar kakakmu, kamu nggak seharusnya menggodanya!"
"Aku nggak menggodanya!" Ami menjerit.
"Harusnya kamu paham atas penderitaan kakakmu. Dengan keadaannya yang cacat seperti itu, akan sangat sulit sekali baginya untuk mendapatkan pendamping. Sekarang, ketika kakakmu hampir mendapatkan seorang suami, kenapa kamu tega menghancurkan impiannya? Adik macam apa kamu ini?!"
"Apa Ibu pikir hanya Kak Nana yang menderita, hah? Aku juga merasakan hal yang sama, kenapa Ibu nggak memahami perasaanku?!"
Kedua wanita itu terisak.
Aku hanya mampu berdiri mematung di depan pintu.
"Ibu... Kenapa Ibu perlakukan kami dengan berbeda? Kenapa Ibu nggak bisa memberikan kasih sayang pada kami berdua dengan porsi yang sama?" Ami terisak.
"Ami, bicara apa kamu ini?"
Adik perempuanku itu terus meraung.
"Sejak kecil Ayah dan Ibu memperlakukan kami dengan berbeda. Kalian lebih menyayangi Kak Nana daripada aku. Ketika dia sakit, kalian begitu heboh merawatnya. Tapi ketika aku sakit, kalian cuma menyuruh bibi atau orang lain menjagaku."
"Ami!" Ayah dan Ibu bersuara, bersamaan.
"Kalian senantiasa berbicara lembut dengannya, tapi denganku, kalian nggak segan-segan untuk membentak dan memakiku. Sejak kecil kalian lebih sering menjaganya daripada aku. Apa yang dia minta, kalian selalu menurutinya. Baju baru, sepatu baru, mainan baru, kalian selalu menurutinya. Sementara aku? Aku hanya akan mendapatkan barang-barang bekas darinya!"
"Ami!" Ibu terisak.
"Berapa kali kalian menggendongku? Berapa kali kalian menyuapiku makan? Berapa kali kalian mendampingiku belajar? Yang Ibu dan Ayah pikirkan selalu saja Kak Nana. Apa kalian lupa kalau aku juga anak kalian?!"
"Kamu tahu kan kalau kakakmu sering sakit-sakitan?" suara Ibu tercekat.
"Aku tahu dia sering sakit-sakitan! Aku tahu ia cacat! Tapi bukan berarti kalian bisa memperlakukannya dengan begitu istimewa. Memperlakukan Kak Nana seolah dia adalah anak kalian satu-satunya! Apa aku harus cacat juga demi bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari kalian, hah?!"
Plakkk... Aku mendengar suara tamparan. Lalu isak tangis lagi. Dan dadaku perih.
Aku memutuskan untuk memutar tubuhku lalu beranjak, meninggalkan rumah tersebut. Dan air mataku menitik ketika sayup-sayup aku kembali mendengar Ibu berteriak, lalu terisak.
Aku menangis.
Ami, andaikan kau tahu, jadi orang cacat itu tidak enak!
***
Aku duduk termenung di bangku pinggir jalan, sendirian, dan menggigil kedinginan. Dan aku ingat bahwa aku tak membawa uang sama sekali.
Bersyukur saja karena aku masih membawa ponsel. Benda mungil itu berdering beberapa kali dan berisik. Dan ternyata telpon dari Ibu. Mungkin ia cemas karena aku sudah keluar beberapa lama.
Tak berniat menjawab panggilan tersebut, aku malah mengirimkan pesan singkat padanya yang berbunyi : Ibu, malam ini aku tidur di rumah temanku, besok pagi-pagi sekali aku harus ke tempat kerja. Jangan khawatirkan aku.
Putus asa karena tak punya tempat untuk dituju, aku memutuskan untuk menelpon Dio.
"Dio, kamu masih di toko nggak?" tanyaku ragu.
"Iya nih, aku masih di toko. Tapi bentar lagi mau tutup. Ada apa?"
Aku terdiam sesaat.
"Dio, sepertinya... aku butuh bantuanmu..."
***
Aku meremas-remas tanganku dengan gusar. Kurapatkan sweater tipisku tapi itu tetap tak bisa mengurangi dinginnya angin malam yang kian menusuk. Tubuhku mulai menggigil.
Aku berniat kembali mengecek ponselku ketika sebuah taksi berhenti mendadak di seberang jalan dan sosok itu keluar dengan tergesa-gesa lalu berlari, ke arahku. Aku tertegun menatapnya.
"Varel?" Aku mendesis bingung.
Lelaki itu menatapku lega sambil menata nafasnya yang naik turun.
Ia terengah-engah.
"Ah, syukurlah aku menemukanmu." Ia menelan ludah.
"Bagaimana kamu...?" bibirku gemetar.
"Ketika kamu menelpon Dio, aku sedang berada di sampingnya. Dan aku segera memutuskan mencarimu, ke sini," ia bergerak mendekatiku. "Astaga, kenapa kamu pake baju kayak gini sih? Ini musim hujan, cuaca gak nentu, kamu bisa sakit tahu," ia mengomel sembari melepas jaket oranyenya, lalu memakaikannya padaku, merapatkannya berulang-ulang.
"Ayo kuantarkan ke tokonya Dio," ajaknya.
Aku menatapnya dengan takjub. Tanpa mampu menjawab.
"Nana, kamu nggak apa-apa, kan?" Lelaki itu berlutut di hadapanku dan menangkup wajahku dengan cemas. Kurasakan kehangatan menjalar dari telapak tangannya.
"Nana?" panggilnya lagi.
Aku menggerakan bibirku. Merasakannya bergetar lagi. Tadinya aku berniat menjawab bahwa aku baik-baik saja, tapi akhirnya kalimat lain yang terucap.
"Aku... kedinginan..." desisku pelan.
Dan aku merasakan tubuhku limbung.
Untungnya Varel mendekapku erat, sebelum tubuhku sempat ambruk, tak sadarkan diri.
==========
Varel sempat membawaku ke klinik setelah aku sempat tak sadarkan diri. Dan ketika aku membaik, aku ngotot meminta padanya agar mengantarkanku ke toko Dio tapi ia menolak dengan dalih toko Dio tidak aman.
"Toko itu cuma punya satu ruang kosong di dekat gudang. Dan aku nggak yakin kamu aman menginap di sana," protesnya.
"Aku pernah menginap beberapa kali di sana kok. Dan itu aman," sanggahku.
Varel menarik nafas. "Nana, aku nggak tahu apa yang membuatmu kabur dari rumah, tapi ..."
"Aku nggak kabur dari rumah," aku memotong kesal.
"Kalau begitu biarkan aku mengantarkanmu pulang?"
"Enggak," jawabku sengit.
Kami berpandangan.
"Baiklah. Tapi aku tetap nggak akan mengijinkanmu menginap di tokonya Dio. Jadi pilihanmu adalah, kamu tetap menginap di sini, di klinik ini? Atau, kamu membiarkanku mengantarkanmu pulang? Atau ... ikut pulang bersamaku ke apartemenku?"
Aku tak menjawab. Mencoba memikirkan jawaban. Tinggal di klinik tidak mungkin. Aku tak punya uang sama sekali untuk biaya perawatan. Pulang ke rumah juga tak mungkin, aku belum siap bertemu Ayah, Ibu, dan juga Ami. Selain itu, aku sudah terlanjur bilang kalau aku tidur di rumah kawan.
Menginap di apartemen Varel? Itu terdengar ...
"Dio orang baik 'kan?" Pertanyaan Varel memecah keheningan.
Aku menatapnya bingung. "Kenapa?"
"Dio orang yang baik. Dan percayalah ia juga punya teman-teman yang baik. Dan aku salah satu temannya. Jadi, kamu juga harus percaya padaku bahwa aku orang yang baik. Kamu aman menginap di apartemenku," jelas Varel.
Lama aku terdiam dan menimbang ajakannya. Hingga akhirnya aku setuju dengan idenya.
***
Apartemen Varel tidak bisa dikatakan mewah. Minimalis, dan elegan. Tapi itu lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga yang lumayan berada.
Ketika sampai di sana ia menyilakan aku untuk menempati sebuah kamar kosong di samping ruang baca. Ia meminjami aku beberapa bajunya yang muat kupakai beserta jaket tebal. Ketika aku sudah selesai berganti baju, ia bahkan menyiapkan makan malam dan mengantarkannya ke kamarku.
"Kamu tampak pucat. Masih kedinginan?" ia meletakkan nampan berisi makanan ke nakas lalu buru-buru mengambil selimut dan menyelimuti kakiku. Tak lupa ia menyingkirkan terlebih dahulu tongkat elbow di sisiku, lalu meletakkannya di samping meja.
"Agar kamu bisa makan dengan leluasa. Kecuali kalau kamu mau kusuapi?" ia terkikik.
Dan aku tersenyum sembari menggeleng.
"Aku udah besar dan nggak perlu disuapi," jawabku. "Tapi aku belum terlalu lapar. Aku akan makan nanti aja," lanjutku. Lelaki itu manggut-manggut.
"Ngomong-ngomong, kamu tinggal sendirian di sini?" tanyaku.
Varel mengangguk.
"Ayahku tinggal di apartemen sebelah, dengan istrinya," jawabnya jujur.
Aku menatapnya bingung.
"Ibuku meninggal sejak beberapa tahun yang lalu. Kemudian ayahku menikah lagi dan memutuskan untuk menempati apartemen sebelah. Jangan khawatir, hubungan kami, maksudku ayahku, ibu tiriku dan juga aku baik-baik aja kok. Kami nggak punya cerita kelam seperti yang ada di dalam drama," ia terkekeh.
"Sudah lama ibumu meninggal?" tanyaku lagi. Tiba-tiba aku merasa kasihan padanya.
"Kamu mau mengobrol?" Varel balik bertanya.
"Hm?"
"Aku belum mengantuk. Aku bisa menemanimu mengobrol kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi cerita," ia menyarankan.
Dan akhirnya aku mengangguk. "Tapi kamu nggak akan naik ke ranjangku 'kan?" candaku.
Varel tertawa.
"Aku masih perjaka. Dan aku nggak akan menyerahkan keperjakaanku pada sembarang wanita," ia tergelak. Dan segera sebuah bantal kulayangkan ke kepalanya. Ia masih saja tertawa ketika mengambil bantal tersebut di lantai kemudian menyerahkan kembali kepadaku.
Lalu ia beranjak dan duduk di sofa beludru, di samping meja.
"Ibuku meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Sakit," ujarnya.
"Ngomong-ngomong kenapa kamu kabur dari rumah? Apa ada hubungannya dengan lelaki itu?" Ia mengubah topik.
"Lelaki yang mana?" tanyaku bingung.
Varel memperbaiki letak bantal sofa agar ia bisa bersandar dengan nyaman.
"Aku sering melihat seorang lelaki menungguimu sepulang kerja. Siapa dia?"
"Mantan pacarku," jawabku cepat, tanpa ragu.
Varel menggumam. Tak terlihat kaget sama sekali.
"Sudah kuduga,"
"Kamu tahu?" tanyaku.
Ia mengangkat bahu.
"Hanya menduga aja. Aku sering melihatnya menungguimu dan setiap kali kalian bertemu, kamu bersikap ketus padanya. Kalian bahkan terlihat sering beradu argumen. Ah, tetap saja ia bisa menjadi saingan yang berat buatku," bibirnya mengerucut. "Kenapa kalian bisa putus?"
Aku tak segera menjawab.
"Nggak ada kecocokkan di antara kami. Sekarang ia pacaran sama adikku," jawabku.
Seketika Varel menegakkan tubuh.
"Serius?"
Aku tersenyum kecut dan mengangguk.
"Enggak, jangan salah paham. Adikku nggak merebutnya. Mereka berdua memang lebih cocok satu sama lain. Adikku terkadang menyebalkan, tapi sejujurnya ia baik, pintar dan menyenangkan. Aku nggak menyalahkannya. Bagaimanapun juga ia saudaraku, dan aku menyayanginya," uraiku.
Aku menangkap tatapan tak percaya dari mata Varel.
Aku sendiri tak percaya dengan apa yang kukatakan. Kenapa aku bisa menceritakan masalah ini padanya? Sudah lama aku tak melakukannya. Sudah lama aku tak berkeluh kesah, tak berbagi cerita dengan orang lain. Tapi kepada Varel, entahlah.
"Kelak kalau kamu bertemu dengan adikku, kamu akan tahu bahwa dia perempuan yang baik dan cantik," ucapku lagi.
"Aku udah ketemu dengannya kok," potong Varel.
Kali ini kedua mataku mengerjap.
"Sungguh? Kapan?"
"Beberapa waktu yang lalu aku ke rumahmu. Adikmu memesan makanan di restoran ayahku dan aku yang mengantarkannya," jawabnya enteng.
"Kamu tahu itu rumahku?" aku memastikan.
Lelaki itu menyeringai.
"Ya, aku tahu itu rumahmu. Kan aku udah bilang kalau aku menyukaimu. Jadi aku banyak bertanya pada Dio, termasuk di mana kamu tinggal. Waktu itu secara nggak sengaja aja aku melihat list pesanan. Dan dari situ aku melihat pesanan yang diminta dikirimkan ke alamat rumahmu. Tadinya aku berharap aku akan bertemu denganmu, tapi ternyata tidak." Varel tampak kecewa.
"Jadi kamu bertemu dengannya? Dengan adikku. Bagaimana dia? Dia cantik 'kan? Apa kau terpesona dengannya?" Di antara sekian banyak pertanyaan, entah kenapa hal itu yang kutanyakan lebih dulu.
"Woa, aku mencium aroma kecemburuan di sini." Lelaki itu terkekeh.
Aku menggigit bibirku."Aku tidak..."
"Tenanglah. Aku tidak seperti mantan pacarmu itu. Adikmu memang cantik, tapi kamu lebih imut. Dan bagiku, kamu yang tercantik," ucapnya.
Aku merasakan wajahku memanas. Astaga, apa-apaan ini?
Apa aku terlihat cemburu? Aku pasti kelihatan konyol sekali.
"Bisa kamu buatkan satu lukisan untukku? Aku ingin memberikannya pada ayahku sebagai kado ulang tahun. Jangan khawatir, aku akan membelinya," dan tiba-tiba saja ia kembali merubah topik pembicaraan, lagi.
"Lukisanku tidak bagus," jawabku.
"Bohong, aku melihat lukisanmu di toko Dio, dan itu bagus sekali. Aku berniat memberikannya pada ayahku agar ia bisa memasang di restorannya hingga semua orang bisa menikmati hasil karyamu."
Aku teringat dengan sebuah lukisan tentang landscape kota di sore hari yang sengaja kuberikan pada Dio. Lukisan itu sebagai hadiah ketika ia membuka toko untuk pertama kalinya. Saat ini lukisan itu masih terpajang dengan rapi di dinding tokonya.
Sebenarnya banyak yang memuji lukisan karyaku. Banyak pula yang menyarankan agar aku membuat lukisan lalu menjualnya secara online. Tapi karena selama ini aku hanya menganggapnya hobi, aku masih enggan melakukannya.
"Gimana? Bisa 'kan?" Varel menatapku dengan dalam. Dan seolah tersihir oleh tatapan itu, aku mengangguk.
"Oke, akan kuusahakan," jawabku.
Kami terus saja mengobrol hingga larut. Aku tak sadar hingga jam berapa aku tertidur. Kami bahkan melewatkan makan malam.
***
Keesokan harinya ketika bangun, Varel sudah menyiapkan sarapan dan juga baju ganti. Baju perempuan.
"Pagi-pagi sekali aku mendobrak toko Dio dan membeli ini. Ini sudah termasuk saran darinya, jadi aku yakin baju ini pasti cocok untukmu. Dan jangan berpikir untuk menggantinya dengan uang," ia memperingatkan.
"Aku punya harga diri tinggi, Nana. Jika hanya sekedar menghadiahimu baju, aku masih mampu. setelah selesai sarapan, bersiap-siaplah. Aku akan mengantarkanmu ke tempat kerja," ucapnya seraya beranjak. Meninggalkan diriku yang terdiam takjub.
Dan aku terharu.
***
Malamnya ketika aku baru pulang dari bekerja, aku mendapati Ibu duduk termenung di ruang tengah. Sendirian.
"Ami belum pulang. Ayahmu juga," ucapnya sesaat setelah aku menyapanya.
"Bagaimana tidurmu semalam? Kamu menginap di rumah teman perempuan 'kan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ibu. Lalu aku mengangguk. Berbohong sedikit tak apa-apa 'kan?
Merasa tak berniat mengobrol lebih banyak, aku memutuskan untuk beranjak ke kamarku. Baru beberapa saat aku duduk di pinggir ranjang dan meletakkan tongkat di sisiku ketika Ibu masuk ke kamar.
"Nana ..." panggilnya lirih. Ada nada tertahan pada suaranya. Semacam getaran orang yang nyaris menangis.
Perlahan perempuan itu ikut duduk di sampingku.
"Ami sudah menceritakan segalanya. Bahwa ia dan David... bahwa mereka ..."
"Ibu ..." segera kuraih tangan perempuan tersebut dan menggenggamnya erat. Dan segera tangisnya pecah.
Ibu menangis dengan hebat, kedua bahunya terguncang.
"Ibu, kenapa? Kenapa Ibu menangis? Aku baik-baik aja. Aku udah merelakan mereka. Aku ..." suaraku tercekat. Menyaksikan Ibu menangis sehebat itu, dadaku sesak.
"Maafkan Ibu, Nana. Maafkan ibu," ucap ibu di sela-sela isak tangisnya.
"Kenapa ibu? Kenapa ibu harus minta maaf?" Kali ini air mataku menitik.
Ibu terus saja terisak.
"Maafkan ibu. Maafkan ibu karena kamu terlahir nggak sempurna. Maafkan ibu karena kamu sering sakit-sakitan. Melihatmu seperti ini, ibu merasa bersalah. Ibu merasa nggak mampu menjagamu dengan baik."
"Ibu, cukup ..." potongku lirih. Air mataku berderaian. Dan tangisku pecah ketika ibu menghambur ke arahku dan memelukku erat. Kami sama-sama terisak.
Tidak Ibu ...
Bukan salahmu.
Bukan.
Tolong berhentilah menangis.
***
Aku sengaja pulang kerja lebih awal demi bisa mampir ke toko Dio. Aku punya sedikit tabungan dan berniat membeli sesuatu. Membeli sebuah hoodie untuk Varel sebagai ucapan terima kasih karena telah bersikap baik padaku. Selain itu sebagai hadiah ulang tahunnya, meskipun itu sudah lewat sebulan lalu. Kemarin ketika berkunjung ke apartemennya tanpa sengaja aku melihat foto semasa kecilnya, dimana di sana tertulis tanggal ia lahir. Dan akhirnya aku tahu kalau bulan lalu ia berulang tahun.
Ah, andaikan aku tahu lebih awal, aku pasti akan membuatkannya sup rumput laut.
"Wow, apa kamu punya pacar lagi? Kamu ingin membeli sebuah hoodie, pasti kamu punya cowok spesial," ujar Dio.
Aku tersenyum.
"Varel. Aku ingin memberi ini padanya. Yaah, sebagai ucapan terima kasih aja karena selama ini ia baik," jawabku.
Dio tersenyum sumringah.
"Apa ini pertanda akan ada couple baru?"
Aku mencubit lengannya dengan gemas.
"Dio, kami hanya teman," bantahku.
"Iya, teman istimewa. Arti lainnya, pacar,"
Aku mengerucutkan bibirku dengan kesal.
"Bagaimana menurutmu? Mana yang lebih cocok? Kira-kira dia lebih suka yang warna biru tua atau yang hijau zaitun?" Aku menunjuk dua hoodie dengan warna berbeda.
Dio terdiam sesaat. Senyum di bibirnya menghilang.
"Bukankah semua warna bagi dia sama aja?" balasnya.
Aku menatapnya bingung. Tapi perlahan aku tergelak.
"Ya, ya, ya. Semua warna bagi dia sama aja. Dia kan suka banget memakai sesuatu yang warnanya bertabrakan. Terkadang tampak nyentrik, terkadang tampak norak. Ah, aku heran dengan selera fashionnya. Maksudku, apa ia nggak bisa mempadu padankan warna yang cocok? Kemarin aku bermain ke apartemennya, dan kamu tahu? Suasananya sama dengan cara ia berpakaian. Warna warni dan saling bertabrakan. Dalam satu ruangan aku bisa menemukan 10 warna yang berbeda. Bisa kamu bayangkan itu? Dan semuanya nggak matching. Ada merah, hijau, biru, oranye..."
"Nana..." Raut muka Dio yang tiba-tiba serius menghentikan rentetan kalimatku.
"Apa?" tanyaku bingung.
Dio terdiam sesaat.
"Jadi kamu belum tahu?"
"Tahu apa?" Aku bingung.
Dio menelan ludah.
"Varel mengalami ... errr... semacam monokromasi," ujarnya kemudian.
Kedua mataku mengerjap. Makin bingung.
“Mo-.... Apa?”
"Dia buta warna." Dio melanjutkan.
Aku ternganga. Tongkatku bergetar. Bukan, bukan tongkatku sebetulnya. Tapi lenganku yang gemetar. Bahkan kakiku juga.
"Kamu butuh duduk?" Dio tampak cemas melihat diriku yang terlihat syok. Aku menggeleng tanpa sadar.
"Jadi ... Varel..."
"Dia buta warna. Bukan sekedar buta warna parsial, tapi betul-betul buta warna yang ... monokromasi. Yang dia lihat dunia ini hanya warna hitam, abu-abu dan putih."
Aku menelan ludah. Jadi ... itu yang ia alami?
Sekarang aku ingat pertemuan kami pertama kali. Waktu itu aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan syal warna hijau, tapi kemudian ia marah-marah tak jelas padaku.
Bukan karena ia pemarah ataupun ceplas ceplos, itu karena ia memang tak tahu mana yang berwarna hijau.
Sekarang aku juga tahu alasan ia kerap kali mengenakan baju warna-warni. Itu karena menurutnya, semua warna sama. Hanya terlihat hitam, putih atau abu-abu. Itu saja.
Oh, Varel yang kasihan...
***
Dengan naik taksi, aku menuju kafe tempat Varel dan band-nya perform. Dio yang memberitahuku bahwa ia ada jadwal manggung di sana.
Sebenarnya Dio sudah menyarankan padaku untuk menunggu ia selesai, lalu ia akan menelpon Varel agar menemuiku di tokonya. Tapi aku tak sanggup. Aku tak sanggup lagi menunggu lebih lama untuk bisa bertemu dengan lelaki itu. Hingga akhirnya aku nekat menyusulnya ke cafe tersebut dengan taksi.
Ketika sampai di sana, pertunjukkannya belum selesai. Dan aku sabar menunggunya di halaman.
Kafe itu hanya dikunjungi oleh orang-orang dengan ID Card member, sehingga mereka tak mengijinkanku masuk.
Varel tampak kaget luar biasa ketika menyaksikan aku menunggunya.
"Nana?" Ia berdiri dengan kaku sembari menatapku dengan bingung.
"Apa kamu kabur lagi dari rumah?" tanyanya lagi. Aku tak menjawab.
Kutatap sosok itu dengan pilu. Membayangkan ia hanya mampu melihat dua variasi warna di dunia ini, tiba-tiba hatiku sakit. Alangkah kasihan sekali dia. Ia yang tak bisa menikmati birunya langit, ia yang tak bisa menikmati indahnya bunga di taman, ia yang tak bisa mengagumi warna pelangi. Ia yang hanya bisa menikmati warna hitam dan putih saja.
Tanpa sadar, kedua mataku berkaca-kaca. Untuk yang pertama kalinya aku menyesali kakiku yang cacat. Jika saja aku punya sepasang kaki yang sempurna, aku yang akan berlari ke arahnya pertama kali. Menghambur padanya, lalu memeluknya erat, mencoba menguatkannya. Meski aku tahu ia tak membutuhkannya.
"Nana?" Sekarang nada suaranya tampak cemas.
"Varel..." panggilku lirih. "Suasana hatiku sedang nggak bagus. Tiba-tiba aja aku teramat ingin bertemu denganmu, berkeluh kesah padamu. Aku ingin berlari ke arahmu dan memelukmu. Tapi kamu tahu 'kan kakiku nggak sempurna dan aku nggak bisa melakukannya," ucapku getir.
Varel menatapku dalam.
"Kalau begitu tetaplah di situ, biar aku yang akan menghampirimu dan memelukmu," jawabnya.
Ia menjatuhkan pelan kotak gitar di tangannya lalu bergerak ke arahku, kemudian tanpa berkata-kata ia meraih tubuhku dan memelukku erat. "Kamu hanya perlu bilang padaku, dan akulah yang akan berlari ke arahmu," bisiknya, lembut.
Dan tangisku pecah.
Aku terisak dalam dekapan Varel.
---------------
Note:
Buta warna parsial : buta warna dimana mata gagal mengenali satu atau beberapa warna saja. Misalnya, tidak bisa membedakan warna hijau dan biru, kuning dan oranye, dan lain sebagainya. Dikenal juga dengan klasifikasi Trikomasi dan Dikromasi.
Buta warna monokromasi : buta warna total, dimana mata hanya mampu mengenali warna hitam, putih, abu-abu. Penderita buta warna pada jenis ini hanya mampu melihat semua di dunia layaknya foto hitam putih.
Kemampuan pandang dari Anomalous trichromacy, Dichromacy, Monochromacy bisa dilihat pada gambar.
Jika ada yang lebih tahu tentang hal ini, silahkan koreksi saya. Terima kasih.
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel