Cerita Bersambung
Varel menyelipkan rambutku yang berjuntaian ke belakang telinga.
"Jadi, apa yang terjadi denganmu? Apa kamu kabur lagi dari rumah? Apa kamu bertengkar dengan adikmu? Apa mantan pacarmu mengganggumu? Atau mungkin kamu cekcok dengan ayahmu, ibumu?" Ia bertanya beruntun.
Aku menatapnya pasrah. "Bisa nggak sih kamu nanya satu persatu?"
"Enggak," ia menjawab cepat.
"Aku khawatir sekali sama kamu. Tiba-tiba aja kamu datang menemuiku sambil menangis. Aku takut hal buruk menimpamu," lanjutnya.
"Kamu mengkhawatirkanku?"
"Tentu aja," ia tampak emosional.
Aku tersenyum, menatapnya dengan lembut.
"Maaf karena telah membuatmu khawatir. Aku hanya ---" kalimatku terhenti.
"Ah, sudahlah. Tak usah dibahas lagi. Sekarang aku sudah merasa lebih baik."
Varel menatapku penuh selidik. "Kamu yakin?"
Aku mengangguk mantap.
"Nggak apa-apa kalo kamu ingin kabur dari rumah. Kamu bisa menginap di apartemenku lagi kok," ceplosnya. Pemuda itu tersenyum lebar.
Aku tergelak. Lalu menggeleng.
"Suasana hatiku sudah membaik. Jadi---" Kalimatku tertahan karena ponselku berbunyi.
Aku meminta waktu sebentar pada Varel untuk menerima telpon. Setelah melihat layar ponsel, aku sempat merasa enggan menerima telpon tersebut. Tapi toh akhirnya aku tetep mengetuk tanda 'ok'.
"Halo," sapaku.
"Aku ingin menjemputmu. Ada yang harus kita bicarakan. Penting. Soal Ami." Suara David terdengar dari seberang sana.
Aku terdiam sesaat. Mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi mendengar ia ingin membicarakan tentang Ami, aku tak punya pilihan.
Akhirnya aku mendongak dan menatap sekelilingku, demi untuk memberi tahu David di mana ia bisa menjemputku.
"Baiklah, jemput aku di ..."
Varel membantuku dengan menunjuk papan nama jalan berikut nama kafe yang berada di seberang kami.
Setelah itu, aku segera menutup pembicaraan di telpon.
"Siapa?" Varel bertanya dengan antusias.
"David," jawabku jujur.
Pemuda itu mengernyit.
"Mantan pacarku," ucapku lagi.
Kedua mata Varel membulat. "Kamu berencana kabur dengannya?!" ia nyaris berteriak.
Aku kembali tergelak lalu cepat-cepat menggeleng.
"Enggak. Dia hanya akan menjemputku lalu mengantarkanku pulang."
"Biar aku aja yang nganterin kamu pulang," ia merengek.
"Enggak. Aku akan ikut dengannya. Ada yang harus kami bicarakan. Tentang adikku."
Bibir Varel mengerut. Dia kelihatan kesal. Demi untuk menghilangkan kekesalan di wajahnya, aku mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasku lalu menyodorkan ke arahnya.
Pemuda itu sempat ternganga.
"Apa ini?" Ia menerima bungkusan itu dengan antusias.
Astaga, ia lucu sekali seperti anak-anak.
Aku sempat tertawa dalam hati.
"Hadiah, untukmu. Anggap aja sebagai ungkapan terima kasih karena selama ini kamu baik sama aku," ucapku.
Kekesalan di wajahnya menghilang seketika.
"Woa, kamu ngasih aku hadiah? Aku terharu sekali," ia memeluk bungkusan itu dengan erat.
"Ngomong-ngomong, jangan lupakan acara besok," aku mengingatkan.
Pemuda itu menyipitkan matanya, seolah lupa akan sesuatu. Dan ganti aku yang kesal.
"Varel! Kamu 'kan udah janji mau ngajak aku nonton pameran lukisan," gerutuku.
Varel mengulum senyum, ia beringsut mendekatiku, lalu mencubit pipiku dengan gemas.
"Aku ingat kok. Jangan khawatir. Besok aku akan ngajak kamu ke sana," ucapnya.
Merasa dikerjai, cubitanku segera bersarang di pinggangnya.
***
Dan malam itu, semenjak aku putus dengan David, untuk pertama kalinya aku pulang dijemput olehnya.
Jujur, jika saja bisa aku lebih memilih diantarkan Varel seperti tawarannya tadi. Tapi karena David mengatakan ada hal penting yang ingin ia bicarakan, akhirnya aku menurutinya. Bukan karena aku ingin berkonflik lagi dengannya, ataupun dengan Ami, justru aku sedang menghindarinya.
"Jadi rupanya kamu udah punya pacar baru ya?" David membuka suara, tetap dengan tangan di atas kemudi dan pandangan lurus ke jalan raya.
"Hanya teman," sahutku pendek tanpa melihat ke arahnya.
Kudengar David tertawa sinis.
"Teman? Omong kosong," ujarnya. "Kalian mengobrol dengan mesra. Ia bahkan memperlakukanmu dengan intim, mencubit pipimu, mengelus rambutmu, woa, teman macam apa itu?" bibirnya berdecih sinis.
Aku memutar bola mataku dengan kesal. "Apa? Apa kamu cemburu? Itu bukan urusanmu, kan? Aku bukan pacarmu lagi. Jadi, aku berhak punya hubungan intim dengan lelaki manapun, kamu nggak punya hak untuk mengomeliku." Kali ini aku menatapnya jengkel.
"Sejak kapan kamu banyak omong seperti ini?" Pemuda bermata indah itu sempat balas menatapku sekilas, sebelum ia kembali berkonsentrasi pada kemudi.
"Aku memang banyak omong sejak dulu, kamu aja yang terlambat menyadarinya. Oh, aku lupa. Kamu keburu berpindah ke lain hati sebelum sempat menyadarinya," bibirku ganti berdecih sinis.
David mendesah kesal. "Kenapa kamu terus membahasnya? Apa kamu akan terus menerus mengingat dosaku?" nada suaranya meninggi.
"Lalu kenapa kau harus membahas tentang teman lelakiku?"
"Nana, sebenarnya kamu atau aku yang masih dilanda cemburu?"
"David!" teriakku jengkel.
Aku nyaris saja memukul kepalanya dengan tongkat.
Membahas siapa yang cemburu? Lancang sekali dia!
Hening sesaat.
“Vid...” Panggilku kemudian.
“Hm?” Ia menyahut pendek.
“Apa kamu tahu tentang buta warna?”
Pria itu mengangguk. “Buta warna, kondisi di mana mata hanya mampu mengenali warna-warna tertentu. Kenapa?”
“Apa bisa disembuhkan?”
“Buta warna adalah kelainan genetik, bukan penyakit. Jadi setahuku sih nggak bisa sembuh,” ia melanjutkan.
“Kenapa kamu nanyain itu?”
Aku menggeleng. “Enggak,” jawabku. "Ngomong-ngomong, apa yang ingin kamu bicarakan tadi? Bicara aja apa yang ingin kamu bicarakan. Sebentar lagi kita sampai rumah. Aku nggak mau Ami ataupun orang tuaku tahu bahwa kamu menjemputku. Kamu bisa menurunkanku di perempatan depan," ucapku lagi.
"Nggak ada," sahut David pendek.
Aku kembali menoleh ke arahnya.
"Maksudnya?" Aku memastikan.
"Nggak ada yang ingin kubicarain. Aku berbohong sama kamu. Kalo nggak gitu, kamu nggak akan mau kujemput," jawabnya enteng.
Aku melotot. "DAVID!!" Aku menjerit. Meneriakkan namanya dengan jengkel.
Dan dia tetap saja menyetir dengan santai, tanpa rasa bersalah sama sekali.
Oh astaga.
Ada apa dengan lelaki ini?
***
Sesuai janji Varel, kami menikmati sabtu malam minggu dengan menonton pameran lukisan. Tak hanya sampai di situ, setelah puas memanjakan mata di galeri, ia mengajakku makan, duduk-duduk di taman sebentar untuk sekedar mengobrol, lalu mengajakku ke toko sepatu.
Awalnya aku bingung, tapi ia bilang ia ingin membelikanku sepatu baru.
"Apa kamu gila? Itu sepatu bermerk, dan harganya mahal," protesku.
"Kamu pikir aku nggak mampu membelinya?" Varel ikut protes.
"Untuk apa? Lihatlah, sepatuku masih bagus. Jika butuh, aku bisa membeli sepatu dengan gajiku sendiri."
"Kalau kamu mau beli dengan gajimu sendiri, beli aja. Aku akan tetap membelikanmu."
"Enggak," sahutku.
"Aku hanya ingin membelikanmu sepatu, ribet amat sih," ia berujar sengit.
Dan aku tetap ngotot menolak ajakkannya untuk masuk ke dalam toko tersebut. Kami bahkan sempat bersitegang di pinggir jalan.
"Kamu mau masuk, atau aku terpaksa menggendongmu ke sana?"
Aku mendelik. "Coba aja kalo berani?" tantangku.
Bukannya menyerah, Varel malah tersenyum puas, dan hanya dengan sekali gerakan ia mengangkat tubuhku, lalu membopongku masuk ke dalam toko di depan kami.
"Apa-apaan sih kamu?" Aku sempat menjerit lirih. Sementara Varel hanya terkikik geli tanpa mempedulikan banyaknya pasang mata yang menatap kami dengan tatapan tersipu. Aku menggigit bibirku sambil menutup mukaku dengan tangan kemudian menyurukkan wajahku di dada lelaki tersebut.
Ah, ini memalukan sekali.
***
Varel mendudukkanku dengan sempurna di sebuah kursi kayu kecil.
"Kamu tinggal pilih yang kamu inginkan, akan kubelikan," ucapnya bangga.
"Sungguh? Walau harganya mahal?" tanyaku.
Ia mengangguk mantap.
"Awas jika kamu bohong. Jika suatu saat tiba-tiba saja kamu nagih hutang sama aku, tamat riwayatmu," peringatku.
Varel menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan.
"Nggak akan. Percayalah padaku, tabunganku masih cukup," jawabnya.
"Oke, kamu yang minta." Aku menatap sekelilingku.
Dan pilihanku jatuh pada sepatu flat warna coklat tua di rak paling ujung.
"Itu, yang warna coklat tua di ujung, bisa ambilkan untukku," ucapku.
Varel menoleh ke arah rak paling ujung. Dan seketika aku menangkap kebingungan di kedua matanya.
Seolah dihempaskan dari ketinggian, tiba-tiba saja aku tersentak.
Dan aku ingat, Varel tidak tahu warna coklat ...
"Ah, biar kuambil aja sendiri. Kamu tinggal bayar," aku meraih tongkatku dan bangkit.
Varel tersenyum kaku dan menahanku.
"Nggak usah, tunjuk aja padaku dan aku akan mengambilkannya untukmu," ucapnya lembut.
Ia baru saja akan beranjak ke rak yang kumaksud ketika seorang ibu-ibu meminta bantuannya.
"Anak muda, bisa kamu bantu aku ngambilin sepatu anak yang berwarna pink itu? Tanganku nggak bisa menjangkaunya," ia menunjuk ke arah rak paling atas.
Aku melirik sepatu yang ditunjuk ibu tersebut. Dan sebelum Varel berkata-kata, aku menjawab, "Nomer dua dari kanan," beritahuku padanya.
Varel menatapku sekilas, lalu menjangkau sepatu kecil nomer dua dari kanan, kemudian menyerahkannya pada ibu tersebut.
"Varel, aku ingin yang ini aja. Bisa kamu bantu aku memakaikannya," buru-buru, aku menjatuhkan pilihanku pada sepatu warna putih yang letaknya dekat denganku dan mudah kujangkau.
Varel kembali tersenyum kaku ke arahku.
"Oke," jawabnya pendek.
Ia meraih sepatu dari tanganku, dan setelah aku duduk kembali di kursiku, ia membantuku memakaikannya.
Ketika tengah mencoba sepatu tersebut, aku menangkap tatapan miris dari sepasang muda mudi yang tengah berdiri tak jauh dari kami. Sesekali tatapan mereka jatuh pada kakiku yang terkulai. Mereka bahkan menatap dengan iba ke arah Varel yang tengah sibuk membantuku memakaikan sepatu tersebut, termasuk pada kakiku yang cacat.
Dan seolah tahu bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian, Varel bangkit dan menatap mereka dengan kesal.
"Kenapa? Apa kalian nggak pernah ngelihat orang cacat membeli sepatu? Pacarku memang cacat, tapi dia nggak perlu dikasihani!!" bentaknya.
Aku menarik lengannya.
"Varel, udahlah," ujarku lirih.
Pemuda itu mangumpat lirih lalu kembali berlutut untuk membetulkan sepatuku.
Dan aku menatapnya dengan pilu.
Membayangkan bagaimana ia kebingungan memilih warna sepatu, lalu tatapan belas kasihan yang ditujukan padaku, hatiku trenyuh.
Alangkah tidak menyenangkanya jadi orang cacat.
"Varel..." panggilku lirih sambil meremas pundak lelaki tersebut.
Ia mendongak. Dan seketika air mataku berjatuhan ketika kulihat kedua matanya berkaca-kaca.
"Ayo pulang ..." bisikku, lirih.
==========
Aku sedang mengepak dua buah lukisan berukuran 35cm x 50cm ketika Ami masuk ke kamarku.
Dua buah lukisan itu akan kuberikan kepada Varel dan ayahnya. Sebuah lukisan tentang landscape kota kami di senja hari, dan satu lagi sebuah lukisan hitam putih bergambar Varel.
Acara jalan-jalan kami beberapa waktu yang lalu lumayan terganggu karena insiden sepatu. Jadi aku berencana memberikan lukisan ini sambil mengatur ulang rencana jalan-jalan kami selanjutnya.
"Kak," panggil Ami lirih.
"Hm?" Aku menjawab tanpa melihat ke arahnya.
"Kakak sibuk?"
"Enggak."
"Aku ingin mengatakan sesuatu."
"Katakanlah," jawabku.
Ami tak segera menjawab.
"Ayah dan Ibu nggak menyetujui hubunganku dengan David."
"Lalu?" Aku bersuara ketus, lagi-lagi tanpa melihat ke arahnya.
"Aku ...," Kalimatnya terhenti.
Karena lama tak menjawab jawaban, aku menghentikan gerakanku melipat kertas kado, lalu menoleh ke arah Ami. Dan aku sempat kaget dengan ekspresinya. Sosok itu tampak lemah, bingung, dan terpukul. Beberapa kali ia menggigit bibir, sementara kedua tangannya sibuk saling meremas tak menentu.
"Err, aku ...." Ia memberanikan menatapku, lalu nafasnya tertarik berat. "Sudahlah, Kak. Nggak jadi," dan ia berbalik, meninggalkan kamarku, meninggalkan diriku.
Sesaat setelah ia pergi, tiba-tiba saja aku membenci diriku sendiri. Ah, Ami ingin bercerita sesuatu? Kenapa aku tak mau mendengarnya?
Ia tampak rapuh, kenapa aku tak merangkulnya?
Rasa kasihan padanya mulai berseliweran di benakku. Rasa menyesal karena telah mengabaikannya padahal ia hanya ingin bercerita. Harusnya aku berkata : Kemarilah Ami, berceritalah padaku.
Tapi karena egoku masih terlalu tinggi, lagi-lagi aku mengabaikannya.
***
Aku tersenyum bahagia ketika menyaksikan sosok yang sudah kunanti selama hampir 15 menit itu kini berdiri dengan tegak di depan toko tempatku bekerja. Tertatih, aku melangkah mendekatinya. "Kukira kamu nggak akan ke sini," sapaku sambil menyunggingkan senyum padanya.
Ngomong-ngomong, aku yang meminta padanya untuk datang ke sini. Aku mengiriminya pesan singkat. Meski aku tahu, Varel akan tetap muncul di hadapanku setiap aku selesai bekerja, walau aku tak memintanya.
"Aku tahu kamu sering kemari. Tapi aku perlu memberitahumu secara khusus untuk datang ke sini, karena ada yang ingin kubicarakan," ucapku lagi. Varel menatapku dalam, lalu menunduk. Tampak tersenyum kaku.
"Ada sesuatu?" tanyaku cemas. Pemuda itu menggeleng.
"Lukisannya udah kamu terima? Tadi pagi aku meminta orang untuk mengantarkannya ke apartemenmu," ucapku.
Varel hanya mengangguk.
"Kamu suka?" tanyaku.
Lagi-lagi ia hanya mengangguk.
"Salah satu temanku memberiku tiket untuk menonton pameran lukisannya. Mau pergi bersama?" tanyaku antusias.
Di luar dugaan, Varel menggeleng.
"Maaf, aku sangat sibuk sekali," jawabnya.
Merasa aneh dengan sikapnya yang tak biasa, aku berjalan mendekat dan menyentuh keningnya.
"Kamu sakit?" tanyaku langsung. Dan aku sedikit terkejut ketika ia menepis tanganku dengan kasar.
"Varel?" desisku.
Varel menelan ludah lalu menjatuhkan pandangannya padaku.
"Jadi kamu udah tahu? Sejak kapan? Apa Dio yang memberitahumu?" tanyanya ketus.
Aku menatapnya bingung. "Apa?"
"Bahwa aku buta warna," jawabnya.
Aku tak segera menjawab.
"Lalu?" Aku berujar kemudian.
Kami kembali berpandangan.
"Nana, apakah itu sebabnya? Tiba-tiba saja kamu bersikap manis padaku, apakah karena kamu tahu aku nggak sempurna?" suaranya parau.
Aku menelan ludah. "Aku nggak ngerti apa maksudmu?" ujarku.
Varel tertawa sinis.
"Selama ini kamu menolak ketika kuajak bepergian, kemanapun. Tapi akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu bersikap sangat baik padaku. Ketika aku mengajakmu jalan-jalan, kamu langsung menyetujuinya tanpa perlu mendebatku. Kamu rajin menelponku, mengirimiku pesan singkat, sekedar untuk menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Kamu bersikap baik padaku, senantiasa tersenyum ke arahku, dan senantiasa perhatian padaku. Jadi ini sebabnya? Karena kamu tahu aku cacat, dan kamu merasa kasihan padaku?" Varel terlihat rapuh.
Aku menggeleng beberapa kali.
"Itu nggak benar. Aku bersikap manis padamu karena kamu baik padaku, dan aku juga ingin berbuat baik padamu."
"Bohong!" Ia memotong dengan suara tinggi.
"Kamu kasihan padaku, sama seperti orang lain yang juga merasa begitu ketika tahu aku nggak sempurna."
"Aku juga nggak sempurna," potongku.
"Tapi aku mencintaimu apa adanya, dengan segala kekuranganmu. Sementara kamu? Kamu cuma kasihan padaku, ya, kan?"
"Enggak, bukan begitu!" Aku nyaris menjerit.
Varel menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ia mendesah getir.
"Ternyata kamu sama aja dengan yang lain, Nana," ucapnya.
"Jangan menemuiku lagi," suaranya parau. "Jangan..." Ia beranjak. Lalu melangkah pergi.
"Varel," panggilku gugup.
Aku beranjak dengan buru-buru. Karena terlampau tergesa-gesa, aku malah terjungkal. Tubuhku ambruk menghantam tanah. Dan seketika aku meringis.
Mengetahui aku terjatuh, Varel berbalik dan menghampiriku. Dan tanpa mengatakan apapun, ia meraih tongkatku lalu mengangkat tubuhku. Kemudian dengan perlahan ia mendudukkanku di kursi panjang yang berada tepat di samping toko roti.
"Untuk kali ini aku masih akan menghampirimu dan menolongmu. Tapi untuk selanjutnya, aku nggak akan melakukannya lagi. Jadi, jangan terjatuh lagi. Jangan mengejarku," pemuda itu seperti memberikan perintah.
Aku menarik lengan kemejanya. "Varel," suaraku tercekat.
Dan tanpa melihat ke arahku, ia bangkit, lalu kembali beranjak pergi tanpa mengatakan apapun.
Aku menatap kepergiannya dengan pilu. Air mataku nyaris tumpah. Ingin aku berlari kembali mengejarnya, tapi aku tak berdaya.
"Buang jauh-jauh pikiranmu untuk mengejarnya kembali. Aku nggak akan mengijinkanmu."
Aku mendongak, dan sesosok pemuda jangkung sudah berdiri di sisiku. David, aku tak menyadari kedatangannya.
"Vid ..." desisku.
David menarik nafas berat, lalu ia keluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya. Dan aku masih tak mengerti dengan apa yang akan ia lakukan ketika tiba-tiba ia berjongkok, lalu menekan luka gores di lututku dengan sapu tangannya. Aku meringis dan mengaduh pelan. Seolah baru tersadar bahwa ada luka di sana, di kedua lututku. Luka itu mengeluarkan darah, dan rasanya sakit. Sama sakitnya dengan hatiku.
Hari ini aku sengaja mengenakan rok pendek yang terlihat begitu feminin demi untuk terlihat lebih cantik di depan Varel. Aku tahu kakiku tak sempurna, tapi Varel pernah memuji bahwa aku punya tungkai kaki yang indah. Dan aku senang sekali mendengarnya. Aku berniat tampil cantik hari ini, di depannya. Tapi ---
"Akan kuantarkan kamu pulang." David bangkit, meraih tongkatku, lalu mengangkat tubuhku. Sesaat sebelum ia memasukkanku ke mobilnya, tangisku pecah.
Entahlah, tiba-tiba saja aku tak mampu membendung perasaanku.
Aku mendengar David membisikkanku sesuatu. Entah apa tepatnya, tapi aku tahu ia berusaha menenangkanku. Kata-katanya lembut, berulang-ulang. Dan ia mendekapku, erat.
***
David membiarkanku menangis selama beberapa saat sebelum ia mengemudikan mobilnya.
"Terima kasih," ucapku.
"Hm." Ia menjawab pendek tanpa menatapku.
"Apa kamu sengaja datang menjemputku lagi, atau kamu kebetulan lewat di sana?" tanyaku lagi seraya menyeka sisa-sisa air mataku. Aku mendengar David tertawa lirih.
"Setiap hari aku selalu ke sana, ke tempat kerjamu. Aku mengawasimu dari jauh, dan ketika lelaki itu sudah bersamamu, aku pulang. Aku hanya sekedar memastikan kamu aman, itu saja," jawabnya. Tatapannya lurus ke jalan raya.
Hening sesaat.
"Apa kamu bertengkar dengan Ami?" Aku memberanikan diri bertanya dan lelaki itu tak menjawab.
"Ami bilang ... ayah dan ibu ..."
"Aku tak ingin membahasnya," potongnya.
Aku kembali mengunci mulutku rapat.
"Apapun itu, semoga hubunganmu dan Ami baik-baik aja. Aku tulus mendoakan kalian," ucapku kemudian. Dan lagi-lagi David terdiam sejenak.
"Jadi sebenarnya, kamu mencintai laki-laki itu? Atau kamu cuma kasihan padanya?" Kalimat dari mulut David membuat tatapanku beralih padanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku sinis.
"Lelaki itu, Varel. Dia buta warna, kan? Jadi apa alasanmu kamu dekat dengannya? Apakah kamu mencintainya? Atau kamu hanya kasihan padanya karena dia cacat?" ia menatapku sekilas, lalu kembali fokus pada kemudinya.
"Dia nggak cacat. Dia sempurna di mataku," jawabku kesal.
"Klise."
"Nggak. Itu benar. Jika kamu mencintai seseorang, dialah yang paling sempurna di mata kita. Apapun keadaannya," sanggahku.
"Jika kamu hanya kasihan padanya, maka keputusannya untuk meninggalkanmu adalah benar adanya. Kamu nggak layak bersamanya. Rasa kasihan hanya akan membuat ia terluka," ucap David lagi.
Aku tergelak mendengar serangkaian kalimat dari mulut lelaki itu.
"Jangan berlagak bahwa kamu tahu segalanya tentang kami. Mengatakan bahwa aku cuma kasihan padanya? Huh, masih pantaskah kalimat itu keluar dari mulutmu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" sindirku kesal.
"Kamu bahkan berpacaran denganku karena kasihan padaku. Dan parahnya lagi, kamu malah jatuh cinta pada adikku, cih," ucapku lagi sembari membuang pandanganku keluar jendela.
"Aku nggak kasihan sama kamu. Aku mencintaimu," tukas David.
Bibirku kembali berdecih.
"Hentikan omong kosongmu. Aku nggak akan percaya lagi sama kamu, kamu cuma kasihan padaku. Itu fakta."
"AKU NGGAK KASIHAN SAMA KAMU!" David membentak lalu membanting setir ke kiri, kemudian berhenti mendadak di pinggir jalan. Rahangnya kaku, dan terdengar ia menarik nafas berkali-kali.
"Aku nggak kasihan sama kamu," desisnya. "Aku memutuskan untuk berpacaran denganmu karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu, sejak pertama kita berjumpa. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku, jiwa ragaku."
"Nggak, kamu nggak mencintaiku. Kamu mencintai adikku," jawabku ketus.
"Aku nggak mencintainya."
"LALU KENAPA KAMU BERPACARAN DENGANNYA?" Aku menjerit.
"KARENA AKU KASIHAN PADANYA!" David ikut berteriak.
Kami berpandangan lagi.
"Omong kosong apa ini?" desisku getir. Kedua mata David berkaca-kaca.
"Ini bukan omong kosong. Ini kenyataan. Aku mencintaimu. Sebaliknya, apa yang kurasakan pada adikmu adalah rasa kasihan semata," jawabnya.
"Kenapa kamu kasihan padanya? Ia perempuan sempurna, bukan perempuan cacat sepertiku," sinisku.
"Karena ia kesepian." David kembali menjawab, lirih.
"Kamu memang nggak sempurna, Nana. Tapi kamu cantik, kamu pintar, kamu menyenangkan. Semua orang menyukaimu. Ketika kamu berkumpul bersama seluruh keluargamu, saudaramu, perhatian mereka selalu tertuju padamu. Bahkan ketika kalian makan bersama, ayah dan ibumu akan terlebih dahulu mengambilkan lauk untukmu. Memenuhi mangkukmu dengan makanan kesukaanmu. Bahkan menyuapimu. Sementara Ami? Nggak ada yang mengajaknya bicara ketika kalian makan bersama. Tidak bisakah kamu melihatnya? Adikmu kesepian, Nana. Ia terpuruk. Ia meratapi kehidupannya. Seolah semua perhatian telah tertuju padamu. Ia merasa sendirian."
Aku menggigit bibirku. Teringat bagaimana adikku yang cantik sempurna itu sering mengurung diri di kamar. Ketika kami semua berkumpul, ia tampak selalu canggung. Dan ketika ayah, ibu dan aku bercanda, ia selalu terlihat sedang berada di bagian bumi yang lain.
Teringat ketika beberapa waktu yang lalu ketika ia berniat berbicara denganku, aku malah menjawabnya dengan ketus. Mencoba mengabaikannya.
"Kamu nggak sekedar kasihan padanya, David. Kamu mencintainya," ujarku getir, mencoba membohongi diriku sendiri. Mencoba menampik fakta bahwa David hanya merasa kasihan pada Ami.
Lelaki itu menggeleng.
"Aku mencintaimu," jawabnya lirih. Dan kulihat kristal-kristal bening di sudut matanya. "Aku mencintaimu, Nana...."
"Aku ingin pulang," bisikku, luruh.
"Jalankan mobilnya dan antarkan aku pulang!" teriakku sengit.
David menggigit bibir, lalu dengan raut muka putus asa, ia menjalankan mobilnya.
Dan aku tak tahu apa tepatnya yang terjadi. Mobil yang kami tumpangi baru saja mengambil lajur kanan, lajur yang sudah seharusnya kami lewati, ketika tiba-tiba saja kendaraan itu oleng lalu menabrak jalan. Aku sempat menjerit ketika David berusaha mengendalikan kemudi, tapi tetap saja mobil itu meluncur, lalu terguling beberapa kali.
"David!" teriakku. Dan entah, mobil itu menghantam pembatas jalan lagi, ataukah bertabrakan dengan mobil lain. Yang jelas, terdengar suara berdebum, keras, dan mobil itu berhenti berguling.
Dan semuanya gelap.
==========
Catatan :
Perbedaan Jalur dengan Lajur:
1) Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan
2) Lajur adalah bagian jalur yang memanjang dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel