Cerita Bersambung
Aku sudah sadarkan diri sesaat setelah dibawa ke Rumah Sakit. Aku bahkan sudah bisa berkomunikasi dengan baik ketika dua orang suster kembali memeriksaku di IGD.
Mereka bilang, aku tidak mengalami luka serius. Hanya sedikit syok dan mengalami luka benturan di kepala. Itupun bukan luka yang fatal.
"Suster yakin aku tak mengalami luka serius? Kakiku, tanganku, tak ada yang patah, kan?" tanyaku was-was. Suster itu menggeleng, lalu tersenyum lembut.
"Kamu baik-baik saja kok, Mbak. Cobalah bangun dari tempat tidurmu, kamu pasti baik-baik saja," jawabnya.
Dan segera aku mengikuti sarannya. Sempat merasa sedikit pening, tapi akhirnya aku mampu bangkit dan duduk dengan sempurna. Suster itu benar, aku baik-baik saja.
"Tongkatku?" tanyaku bingung ketika aku tak mendapati sahabat setiaku tersebut.
"Oh, ini." Salah satu suster bergerak, lalu mengambilkan tongkatku yang berada di sisi nakas.
"Bagaimana sang pengemudi? Apa dia baik-baik saja? Apa ia terluka parah?" tanyaku sambil menerima uluran tongkat tersebut. Aku mulai panik setelah ingat akan David.
Salah satu suster menjawab lembut, "Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Tapi dia belum diijinkan pulang karena---"
"Apa ia terluka parah? Apa ia gegar otak? Apa ada yang patah? Apa ia kritis? Amnesia?" potongku. Mendadak saja ketakutan luar biasa menghinggapiku.
Suster iku kembali tersenyum dan menggeleng.
"Enggak, Mbak. Tenanglah. Dia nggak mengalami gegar otak, nggak mengalami patah tulang, nggak juga mengalami luka fatal, atau bahkan amnesia. Hanya sedikit memar di tulang bahu dan juga beberapa jahitan di kepala. Mungkin dia hanya perlu tinggal di sini 2 hari saja. Tenanglah, dia nggak mengalami cidera serius kok."
"Boleh aku menemuinya?"
Dan suster itu mengangguk.
***
Aku tidak segera masuk ke kamar tempat David dirawat. Aku lebih memilih mengintip dari kaca pintu yang kebetulan tirainya tidak ditutup. Dan dari sana aku bisa menyaksikan David terbaring lemah dengan mata tertutup, belum sadarkan diri. Ada perban menempel di kepala, hanya itu. Selebihnya ia terlihat baik-baik saja.
Aku mengurungkan niatku untuk masuk ke sana dan lebih memilih untuk duduk-duduk di kursi tunggu yang berada tepat di depan kamar. Tadi dalam perjalanan dari IGD ke sini aku sudah menghubungi Ami dan memberitahu tentang kecelakaan yang menimpa kami. Tak ada alasan khusus. Aku hanya merasa bahwa dia harus tahu - dan harus yang pertama kali tahu - tentang musibah ini. Selain itu, David pacarnya, kan? Walaupun...
Pengakuan David sebelum kecelakaan itu terjadi kembali terngingang.
Aku hanya tak mengerti, kenapa ia harus mengungkapkan segalanya di saat aku mulai merelakannya?
Kenapa dia harus mengatakan bahwa ia masih mencintaiku ketika aku sudah mulai berdamai dengan diriku sendiri?
Kenapa dia berusaha menggoyahkan kembali hatiku ketika Varel telah mulai mengalihkan duniaku?
Kenapa ...
"Kak!" Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh untuk selanjutnya menyaksikan perempuan tinggi semampai tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. Ami.
"Bagaimana keadaan Kakak? Apa Kakak baik-baik aja?" Itu yang pertama kali ia tanyakan ketika ia telah dekat denganku. Aku sempat tertegun. Tadinya aku mengira hal pertama yang akan ia tanyakan adalah keadaan David, tapi ternyata ia malah bertanya tentangku dulu. Ini sepele, tapi ... luar biasa menurutku. Sungguh.
"Aku baik-baik aja," jawabku kemudian.
"Kakak yakin?"
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Lalu bagaimana dengan David?" tanyanya lagi.
Dengan daguku, aku menunjuk ke arah kamar perawatan David.
"Dia di dalam sana, belum sadarkan diri," jawabku.
Ami tampak makin syok.
"Belum sadarkan diri? Apa lukanya parah? Apa ada yang patah? Apa ia gegar otak? Apa ia akan---"
"Ami," potongku. "Dia baik-baik aja. David hanya mengalami luka ringan. Ia akan segera sembuh, kamu nggak perlu cemas."
Ami menatapku dengan sesenggukan. Sesekali tangannya terangkat untuk menghapus air mata di pipinya. Dia terlihat rapuh dan terluka.
Merasa iba, aku bangkit dengan tertatih.
"Ami..." panggilku lirih. "Aku tahu hubungan kita nggak terlalu baik. Tapi percayalah, aku menyayangimu sebagai saudaraku. Aku memang bukan kakak yang baik, tapi aku akan berusaha. Mulai sekarang, kamu bisa memelukku jika merasa letih. Kamu bisa bercerita padaku jika ingin berkeluh kesah. Mari kita ..." Air mataku juga nyaris tumpah. "Mari kita perbaiki hubungan kita, adikku," lanjutku.
Tangis Ami pecah. Ia menghambur ke arahku lalu memelukku. Dan ini, untuk yang pertama kalinya, ia menangis di bahuku. Aku mengelus punggungnya, berharap cara itu mampu membuatnya tenang.
Aku tak tahu sejauh mana hubungan kami sudah membaik, tapi setidaknya kami bisa berpelukan dan saling menguatkan.
"Masuklah ke ruangan dan lihatlah David. Kamu harus tahu keadaannya," bisikku.
Aku merasakan Ami mengangguk. Ia menarik diri dari pelukan kami lalu menatapku.
"Lalu Kakak?"
"Tadi aku udah menemaninya, sekarang giliranmu. Aku akan pulang naik taksi," ucapku. Ami kembali menghapus air matanya lalu mengangguk. "Aku akan ke dalam," ia beranjak.
Sesaat setelah tubuh Ami menghilang di balik pintu, aku memutuskan untuk memutar langkah. Menyusuri lorong rumah sakit, menuju pintu keluar. Tapi aku baru beberapa langkah dari ruangan David ketika sampai di depan ruangan itu.
Beberapa blok dari kamar perawatan David, nomer tiga dari kanan, tertulis sebuah nama pasien yang tertera jelas.
Varel Mahendra.
Aku tahu ada banyak nama yang sama di negara ini. Tapi deretan huruf di depan pintu tersebut seolah menarik kakiku dengan sendirinya. Tiba-tiba dan dengan begitu saja kakiku bergerak mendekat, lalu tanganku terangkat dan memutar knop pintu.
Varel, hanya itu yang terlintas di benakku.
Dan ketika pintu sudah terbuka, sosok itu duduk di sana, di pinggir ranjang, menghadap jendela. Dan tanpa tahu wajahnya, aku sudah tahu siapa sosok itu hanya dari punggung dan bahunya.
"Varel?" panggilku lirih.
Ia menoleh, dan tampak terkejut melihat keberadaanku. Kedua mata beningnya melebar, seolah ingin memastikan bahwa ia sedang tak salah lihat.
"Nana? Bagaimana kamu ... bisa di sini?" bibirnya bergerak pelan.
"Apa kamu sakit? Sakit apa?" Reflek aku bergerak mendekat. Namun langkahku tertahan ketika tiba-tiba Varel bangkit, menghadap ke arahku, lalu menatapku tajam.
"Keluar kau," desisnya dengan gigi terkatub.
Aku terkesiap. "Varel?"
"KELUAR!" Ia membentak.
"KELUAR DARI SINI! SUDAH KUBILANG, AKU NGGAK MAU KETEMU DENGANMU LAGI!" Pemuda itu bergerak ke arah pintu, membukanya. Dan dengan gerakan kasar ia menarik tubuhku dan mendorongku ke arah pintu yang sudah terbuka.
"Varel, tapi..." dan tanpa mempedulikan kakiku dan langkahku yang tertatih, ia kembali mendorongku.
Dan kemudian terdengar pintu dibanting dari dalam. Aku menatap ke arah pintu yang barusan dibanting itu dengan bingung.
Apa Varel masih marah padaku?
Apa ia masih terluka karena menganggap aku merasa kasihan padanya?
Lalu, kenapa ia sampai dirawat di Rumah Sakit?
Apa sakitnya parah?
Pertanyaan itu terus saja terngiang di benakku hingga dalam perjalanan pulang.
***
Keadaan David sudah jauh membaik ketika sore itu aku mengunjunginya. Aku tahu Ami masih ada kuliah dan belum bisa ke sini, sehingga aku sengaja datang berkunjung.
"Tadinya aku sempat khawatir sekali dengan keadaanmu. Aku takut kamu terluka parah," ucap David lega. Ia berusaha bangkit, dan aku membantunya duduk.
"Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu cemas," jawabku. "Kamu sendiri, kapan boleh pulang?" tanyaku lagi.
"Mungkin besok," jawab pemuda tersebut sambil sesekali meraba perban di keningnya.
"Kamu udah ngasih tahu Ami kalau besok kamu udah boleh pulang?"
David tak menjawab pertanyaanku.
"Vid..."
"Apa yang kukatakan malam itu adalah sebuah kebenaran, Nana." Pemuda itu memotong. "Aku mencintaimu, dan akan selalu begitu," lanjutnya.
Tatapan matanya yang indah menatapku dalam.
"Bahkan jika kamu memutuskan untuk bersama lelaki lain, perasaan itu takkan berubah. Aku akan tetap berbuat baik padamu, menyayangimu, dan memperhatikanmu." Kali ini kalimatnya lirih.
"Lalu Ami?" Kalimatku getir.
"Ada apa dengannya?" David balas bertanya.
Aku menarik nafas berat. "Vid, kamu nggak bisa memperlakukan kami seperti ini. Kamu nggak bisa meninggalkanku begitu saja demi untuk menguatkan adikku dan setelah adikku merasa tergantung padamu, kamu berniat mengabaikannya."
"Dia nggak tergantung padaku, dia udah lebih kuat sekarang. Dan aku nggak berniat mengabaikannya," jawabnya ketus. "Maksudku, aku nggak akan meninggalkannya begitu aja. Begitu pula denganmu."
Aku terduduk dengan lemas di pinggir ranjang, di samping David. Keadaan hening sesaat.
"Aku memang memilih bersama Ami karena aku kasihan padanya dan ia membutuhkanku. Dan aku tahu keputusanku itu salah. Aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku ingin memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah kutimbulkan." David meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku tak berusaha menampiknya.
Tapi kemudian aku menggeleng lirih.
"Ini udah terlalu terlambat, Vid," desisku. "Nggak ada yang perlu diperbaiki lagi. Ini---"
"Kamu jatuh cinta pada lelaki itu? Lelaki yang buta warna itu?"
Aku memberanikan diri menatap David, lurus ke manik matanya."Ya," jawabku tegas.
Dan seketika aku menangkap kekecewaan di telaga bening tersebut. Seolah ada ribuan luka yang berdarah-darah di sana.
"Kamu nggak mencintainya. Kamu cuma kasihan padanya," David menelan ludah. Berusaha membohongi dirinya sendiri. Dan kedua mata itu berkaca-kaca ketika aku kembali menggeleng.
"Enggak, Vid. Aku mencintainya," ucapku tegas.
Tatapan kami terkunci. Dan tiba-tiba saja David bergerak, mencondongkan tubuhnya lalu mendekatkan wajahnya ke arahku.
Dan ciuman itu terjadi. Ia mencium bibirku, menyesapnya pelan.
"Aku harap ciuman ini mampu menahanmu untuk tetap di sisiku," bisiknya lembut di atas bibirku.
Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku, perlahan.
"Aku nggak bisa, Vid. Aku nggak bisa lagi bersamamu," jawabku. "Aku udah merelakanmu," lanjutku.
Aku meraih tongkatku lalu tertatih bangkit.
"Aku akan pulang. Sebentar lagi Ami pasti datang ke sini menemanimu, jadi---" Aku tak mampu melanjutkan kalimatku ketika kulihat air mata David menitik. Pemuda itu terisak.
"Vid, kumohon... Jangan seperti ini..." bisikku pilu.
Aku kembali bergerak mendekatinya dan membantu menghapus air matanya.
"Vid, please..."Aku meraih kepalanya dan mendekapnya erat. Dan untuk sesaat, aku membiarkan ia menangis dalam dekapanku.
***
Aku memutuskan mengunjungi Varel setelahnya.
Tapi begitu sampai ke kamarnya, tempat itu sudah kosong. Aku pergi ke ruang perawat untuk menanyakannya dan mereka mengatakan ia sudah pulang.
Dan tanpa berpikir dua kali, aku memutuskan untuk pergi ke apartemennya. Lama aku di sana, mengetuk pintu berkali-kali. Tapi tak ada respon. Apartemen itu seakan tak berpenghuni. Sepi.
Aku mencoba hal yang sama pada apartemen ayahnya yang berada tepat di sebelahnya. Tapi lagi-lagi, di sanapun tak ada respon. Apartemen itu sama sepinya dengan milik Varel. Tak berpenghuni.
Merasa bingung dengan apa yang terjadi, aku memutuskan untuk menemui Dio di tokonya.
"Apa yang terjadi pada Varel?" tanyaku segera setelah aku sampai di sana.
Dio menggeleng. "Aku nggak tahu," jawabnya.
"Dio, aku tahu kamu bohong. Kalian bersahabat sejak lama. Nggak mungkin kamu nggak tahu tentang dirinya. Bilang padaku, apa yang terjadi pada Varel? Kemarin aku melihatnya di rumah sakit. Ketika hari ini aku mengunjunginya lagi, dia sudah nggak ada. Mereka bilang ia sudah pulang. Tapi aku nggak bisa menemukan ia di apartemennya, maupun milik ayahnya," uraiku.
Dio tak menjawab.
"Dio!" bentakku kesal.
Pemuda berpipi chubby itu mendesah, menyerah.
"Temui saja ayahnya. Dia yang akan menjelaskannya padamu," ia memberiku alamat kantor ayahnya. Dan tanpa menunggu lagi, aku menyambar kertas alamat tersebut lalu bergerak memanggil taksi.
Ketika sampai di kantor ayah Varel, lelaki itu tampak bingung melihat kedatanganku.
"Selamat sore, paman. Saya Nana, teman Varel," buru-buru aku memperkenalkan diri.
Ayah Varel tertegun sesaat setelah mendengar aku memperkenalkan diri.
"Saya tahu Varel sedang sakit, jadi..."
"Kemarilah, Nak. Mari bicara sambil duduk," ia menyilahkanku untuk duduk di sofa beludru, dekat dengan meja kerja.
***
Aku melangkah buru-buru menyusuri lorong rumah sakit. Setelah dari kantor ayah Varel, aku segera kembali ke sini. Dia bilang, Varel belum pulang dari rumah sakit. Dia hanya pindah kamar, dan berada di lantai yang berbeda.
Varel hanya ingin menghindariku.
Setelah menghabiskan waktu yang lebih lama dari orang berkaki normal, akhirnya aku sampai di depan kamar tempat Varel dirawat.
Dan tanpa mengetuk pintu, aku memutar knop dan menyeruak masuk. Seorang pemuda yang duduk mematung di pinggir ranjang terlihat terkejut melihat kedatanganku.
"Varel," panggilku. Suaraku tercekat. Pemuda itu bangkit dan menghadap ke arahku. Keterkejutan masih terlihat jelas di matanya.
"Bagaimana kamu bisa menemukanku?" ia menggumam tanpa sadar, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
"Ayahmu," jawabku. "Aku bertemu ayahmu dan dia menceritakan segalanya padaku," lanjutku lagi.
Varel tertawa hambar.
"Apa dia juga menceritakan padamu bahwa ada tumor di kepalaku dan hidupku tak lama lagi?" ujarnya getir.
Aku merasakan dadaku sesak.
"Ya," air mataku menitik.
Pemuda itu kembali tertawa hambar.
"Well, begitulah. Inilah keadaanku yang sebenarnya. Aku buta warna, pengidap tumor dan mungkin sebentar lagi ---"
"Aku mencintaimu, Varel," potongku.
Rahang Varel kaku. Ia mematung.
"Bohong," ia mendesis lirih.
"Enggak, aku mencintaimu!" teriakku.
"Bohong! Kamu nggak mencintaiku! Kamu hanya kasihan padaku!"
"AKU MENCINTAIMU, VAREL. AKU MENCINTAIMU!" Aku menjerit frustasi. Air mataku berderaian.
"Bukan karena kamu buta warna, bukan karena ada tumor di kepalamu, bukan karena hidupmu nggak akan lama. Tapi aku mencintaimu, karena itu kau. Karena itu adalah kau, Varel." Bahuku terguncang.
Aku menjerit lirih ketika tiba-tiba pemuda itu bergerak ke arahku, menyingkirkan tongkat di tanganku, lalu menarik tubuhku kemudian membantingku pelan ke atas tempat tidur. Dan ia menindih tubuhku dengan tubuhnya.
Pemuda yang kini berbaring di atas tubuhku itu menatapku dalam diam. Ia tak mengatakan apapun, tapi aku bisa menyaksikan ada jutaan luka di sana. Di kedua mata beningnya yang syarat dengan cerita.
"Aku mencintaimu," ucapku lagi, memecah keheningan. Dan aku merasakan pipiku basah.
Bukan.
Kali ini bukan oleh air mataku, melainkan oleh air mata Varel.
Air mata pemuda itu berjatuhan dan membasahi pipiku, wajahku.
Dan seketika hatiku remuk, tak terbentuk.
"Aku mencintaimu, Nana," bisiknya parau.
"Aku tahu," aku mengangguk.
"Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku."
"Aku tahu," lagi-lagi aku mengangguk.
"Dan aku nggak ingin meninggalkanmu. Aku nggak mau mati." Ia meratap dan kembali air matanya berjatuhan, membasahi pipiku.
Aku mengangkat tanganku dan membelai wajahnya dengan lembut.
"Kamu nggak akan kemana-mana. Kamu akan selalu di sisiku," bisikku. Aku melingkarkan tanganku ke lehernya dan memeluknya.
Pemuda itu menyurukkan wajahnya ke leherku dan bahunya terguncang. Ia terisak dengan hebat.
Dan aku juga.
Kami, dua insan manusia yang kali ini hanya mampu menangis meratapi nasib.
==========
Varel berbaring di ranjang perawatan, dan aku pun ikut berbaring di sisinya. Ia bahkan merelakan satu lengannya untuk kujadikan sandaran kepalaku, sementara lengan yang satunya melingkupi tubuhku, memelukku erat dengan sikap posesif.
Sesekali aku merasakan ia mengelus punggungku, dan sesekali pula aku merasakan ia mendaratkan ciuman lembut di puncak kepalaku. Ia melakukannya berkali-kali, sesaat setelah kami sama-sama lelah menangis. Entah apa maksudnya melakukan itu. Mencoba menenangkanku, mungkin.
"Sejak kapan?" Suaraku yang serak karena terlampau banyak menangis memecah keheningan.
"Apanya? Mataku? Ataukah tumor otak di kepalaku?" Varel balas bertanya, suaranya sama seraknya dengan punyaku.
"Bukan ...," jawabku.
"Hm?" Lelaki itu berdehem lembut di dekat telingaku.
"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" lanjutku kemudian.
Dan kudengar ia tertawa lirih. "Apa kamu begitu penasaran?"
"Ya."
Kurasakan ia kembali mengecup puncak kepalaku.
"Sepertinya aku sudah pernah menceritakannya padamu. Tapi lebih tepatnya, aku jatuh cinta padamu sejak kedua kalinya aku melihatmu. Tanpa sengaja aku satu bis denganmu ketika kamu dalam perjalanan pulang dan aku melihatmu tertidur. Enggak, kamu nggak ngorok ataupun ngiler. Waktu itu aku berbohong. Kamu tertidur dengan begitu tenang, begitu damai. Dan aku langsung terpesona padamu. Kamu terlihat luar biasa cantik ketika tertidur, dan aku nggak bohong," jelasnya.
Aku mengulum senyum. Aku masih ingat kisah yang itu.
"Kalau kamu? Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Ia balik bertanya.
"Sejak kamu memperlakukanku dengan normal."
"Aku selalu memperlakukanmu dengan normal, Nana," sergahnya.
"Berarti sejak saat itulah aku jatuh cinta padamu," ujarku.
Aku merasakan Varel kembali tertawa lirih seraya mempererat dekapannya.
"Apa kamu buta warna sejak kecil?" tanyaku lagi.
"Begitulah," jawabnya langsung.
"Lalu sejak kapan kamu merasakan sakit di kepalamu?"
"Aku sudah sering mengalami sakit kepala. Tapi nyeri terparah kualami beberapa waktu yang lalu, ketika kita pulang dari galeri lukisan. Aku pingsan di apartemenku dan ayah segera melarikanku ke Rumah Sakit. Dan setelah menjalani serangkaian test, dokter mengatakan bahwa ada tumor sebesar bola tenis di kepalaku dan ..." lelaki itu menelan ludah, seolah tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Aku mendongak, menangkup wajahnya dengan kedua tanganku lalu menatap mata beningnya dengan lekat.
"Kamu akan sembuh, pasti," bisikku. Dan aku yang berinisiatif untuk mengecup bibirnya, lembut dan ringan.
Varel sempat terlihat kaget dengan tindakanku. Dan aku tak ambil pusing dengan reaksinya. Ia menatapku dalam, seolah tengah memikirkan sesuatu.
Dan selanjutnya, ia merengkuh tubuhku lebih erat, lalu kali ini, ia yang mencium bibirku. Awalnya ciuman itu juga ringan, tapi selanjutnya berlanjut lebih intens. Ia melumat bibirku lembut, dan menyesapnya pelan. Dan aku membalasnya.
"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Ia berbisik di atas bibirku.
"Hm?" Aku hanya berdehem bingung.
"Biasanya sebentar lagi suster akan ke sini memeriksaku. Jika mereka memergoki kita seperti ini, maka aku akan bertanggung jawab," ucapnya lagi.
"Aku nggak mengerti apa maksudmu?" balasku.
Varel menggigit bibirnya sebelum kembali berkata-kata. "Well, seperti yang kau lihat. Kau berbaring di ranjangku, berada dalam dekapanku, begitu ... intim, dan kita bahkan berciuman beberapa kali. Jadi, kurasa aku akan menikahimu."
Aku mendelik, "Eh?" kedua mataku membulat.
Sementara pemuda itu hanya terkikik.
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, tiba-tiba pintu terbuka dan dua orang suster muncul dari sana. Aku dan Varel bangkit dengan tiba-tiba sementara dua orang suster itu menatap kami dengan raut muka malu-malu.
"Maaf, sepertinya kami ..." Wajah mereka bersemburat merah.
"Suster, dia calon istriku," cetus Varel dengan suara bahagia. Aku menatap pemuda itu dengan kaget.
"Varel?" desisku. Ia tersenyum dan balas menatapku lembut.
"Kita akan menikah," ucapnya.
Aku melotot.
Hah?
***
Jujur ini memang langkah yang sedikit buru-buru. Tapi aku dan Varel sepakat menikah. Kami saling mencintai dan ingin menghabiskan waktu bersama-sama, lalu apalagi yang harus kami tunggu.
Pemuda itu masih harus tinggal di Rumah Sakit dan menyelesaikan serangkaian pengobatan ketika suatu malam aku mengutarakan rencana pernikahan itu pada orang tuaku. Aku jujur pada Ayah dan Ibu perihal niat kami. Aku juga jujur pada mereka tentang penyakit yang di derita Varel.
Dan Ibu adalah orang yang pertama kali mengatakan keberatan.
"Ibu nggak akan setuju dengan pernikahan ini," ujarnya tegas.
Malam yang kelam sempat terasa sunyi sesaat. Ayah yang duduk di sampingnya terdiam. Ami yang duduk di kursi belajarnya juga tak bersuara.
"Lelaki itu menderita penyakit mematikan, Nana. Kematian bisa mendatanginya kapan saja. Lantas apa yang akan terjadi padamu jika kamu menikahinya? Kamu akan terluka, kamu akan menjadi janda di usia muda! Enggak, ibu nggak akan setuju kamu menikah dengannya!" Tak pelak, air mata merebak dari mata Ibu. Ayah hanya terdiam. Lelaki yang mulai menua itu tampak terpukul.
Air mataku menitik seketika, tak mengira akan menerima penolakan seperti ini.
"Ibu, aku mencintainya..." isakku.
"Enggak. Kamu hanya merasa kasihan padanya karena sebentar lagi ia mati, ya 'kan? Kamu nggak benar-benar mencintainya, kan?" Ibu juga menangis, sementara Ayah sibuk meremas bahunya, berusaha menenangkannya.
Aku menggeleng.
"Enggak, Bu," jawabku.
"Aku mencintainya, tulus. Aku ingin bersamanya, menghabiskan waktu yang tersisa bersamanya. Dengan segenap jiwa ragaku, aku mencintainya," lanjutku.
Ibu menggeleng.
"Enggak, kamu nggak boleh menikahinya. Pokoknya nggak boleh!" Ia berteriak lalu bangkit, melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Ayah juga bangkit, memilih untuk menyendiri di ruang kerjanya dan meninggalkanku sendirian.
Aku sesenggukan. Ami bangkit dan menghampiriku.
"Kak," panggilnya lirih. Aku mendongak dan menatap gadis cantik tersebut. Dan kulihat air matanya juga berderaian. Ia duduk di sampingku lalu memelukku, mencoba menenangkanku.
"Aku mencintainya, Ami. Aku ingin menikah dengannya bukan karena aku kasihan padanya. Aku mencintainya," isakku. Ami mengangguk seraya terus memelukku.
"Aku akan bicara lagi dengan Ibu," aku menarik diri dari pelukan Ami lalu beranjak meraih tongkatku kemudian bangkit. Tertatih aku melangkah menuju kamar Ibu.
Ketika sampai di sana, kulihat Ibu berbaring di kasur lantai membelakangiku. Bahunya terguncang, terlihat jelas ia masih terisak.
"Ibu..." panggilku putus asa sambil duduk di sampingnya. Kusentuh bahunya dengan lembut.
"Ibu..." panggilku lagi.
Perempuan itu bangkit lalu berbalik menatapku. Kedua matanya sembab.
"Ibu nggak akan mengijinkanmu menikah dengannya, Nana. Nggak akan pernah! Kamu harus tahu bahwa Ibu menyayangimu dan nggak mau kamu terluka. Kamu sudah menderita sejak kecil dengan kekurangan fisikmu. Tidak bisakah kamu menemukan lelaki sehat yang bisa menemanimu hingga tua? Yang bisa memberikanmu kebahagiaan hingga bertahun-tahun lamanya?" ia tampak putus asa.
Aku menelan ludah.
"Aku nggak ingin kamu terluka, Nana. Jika dia meninggal, kamu akan terpuruk, kamu akan hancur!"
"Lalu bagaimana kalau dia bisa sembuh?" bantahku.
"Dan bagaimana kalau dia tetap mati?!"
Kami berpandangan.
"Ibu menyayangimu dengan sepenuh jiwa raga, Nana. Dan Ibu nggak akan rela kau tersakiti. Ibu nggak sanggup melihat kamu terpuruk dan hancur jika dia mati!" ucapnya lagi.
"Dan aku akan tetap hancur jika nggak menikah dengannya," jawabku.
"Ibu..." aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya erat.
"Aku ingin menikah dengan Varel karena aku mencintainya, bukan karena aku kasihan padanya. Dia memang sakit, dan kemungkinan penyakit itu ---," aku menelan ludah. "--- akan merenggut nyawanya." lanjutku serak. "Jika dia pergi dari dunia ini untuk selamanya, aku pasti akan menangis, aku pasti akan terluka. Tapi aku nggak akan hancur. Varel telah mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Bersamanya aku tahu rasanya menjadi perempuan normal, bukan sekedar perempuan berkaki pincang yang patut dikasihani. Bersamanya aku tahu bahwa dunia ini terlalu indah untuk hanya dinikmati dari perspektif kami, manusia yang penuh kekurangan. Dan dengan bersamalah aku tahu artinya mencintai dengan sepenuh hati, apa adanya. Kami memang manusia tak sempurna. Tapi cinta yang kami miliki telah melengkapi ketidak sempurnaan itu."
Air mataku menitik lagi, begitupun dengan Ibu.
"Aku bahagia bersamanya. Walaupun hanya beberapa hari, beberapa saat, kebahagiaan itu sebanding dengan semua luka yang pernah kurasakan selama ini."
"Tapi Nana __,"
"Ibu ... " aku mempererat genggaman tanganku.
"Percayalah padaku. Aku nggak akan hancur, aku tidak akan terluka. Bahkan jika Varel ... pergi ... aku akan tetap menjadi perempuan yang paling bahagia karena pernah menghabiskan waktu bersamanya," isakku.
"Ijinkan kami menikah, restui kami. Karena ... aku nggak akan sanggup jika ..."
"Nana..." Ibu menghambur ke arahku, memelukku erat.
Dan kami sama-sama terisak.
***
Aku termenung di pinggir ranjangku ketika ponselku berbunyi. Melihat sekilas ke arah layar dan menemukan nama Varel di sana, aku beranjak menerima panggilan tersebut tanpa perlu berpikir dua kali.
"Halo," aku yang menyapa duluan. Sebuah tawa lembut terdengar dari sana.
"Halo, sedang apa sekarang?" ia bertanya.
"Sedang memikirkanmu," jawabku. Varel kembali tertawa.
"Woa, Nana, sekarang kamu pintar merayu ya?" ujar Varel.
Aku tertawa lirih. "Kamu sendiri sedang apa?"
"Aku baru selesai melakukan pemeriksaan lagi. Oh iya, besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang. Aku sudah mengatakan semua pada ayah tentang kita. Dan besok kami berencana berkunjung ke rumahmu. Kamu sudah mengatakan pada orang tuamu 'kan tentang rencana pernikahan kita?"
Aku tak segera menjawab.
"Nana?"
"Hm?" Aku tergagap.
"Kamu sudah mengatakan pada orang tuamu tentang rencana kita?"
"Itu ..." kalimatku terhenti.
"Apa orang tuamu berkeberatan? Karena aku cacat? Karena aku sakit? Atau karena ada alasan lain?" Lelaki itu bertanya langsung.
Aku tak menjawab. Tak mampu menjawab lebih tepatnya.
Hening sesaat.
"Varel, aku __"
"Nggak apa-apa. Kita bisa mendapatkan ijin orang tuamu secara pelan-pelan," potongnya.
"Tapi __"
"Udah malam. Tidurlah. Aku ... juga akan istirahat. Good night, Nana."
Dan ia memutus pembicaraan.
Aku merasakan kedua bahuku luruh. Jendela kamar yang kubiarkan terbuka menyebabkan angin malam berdesir menerpa tubuh dan wajahku. Dingin dan menusuk, namun aku tak peduli, tak berniat juga menutup jendela.
***
Aku tengah berbaring di tempat tidur, baru bisa memejamkan mata beberapa saat yang lalu dan tak tahu jam berapa ketika tiba-tiba Ami menyeruak masuk ke kamarku.
"Kak," panggilnya tergopoh-gopoh. Aku bangkit menyalakan lampu.
"Ada apa?" tanyaku seraya menyipitkan mata.
"Kak, lelaki itu datang kemari. Ia sedang berbicara dengan ayah dan ibu di ruang tamu," ucapnya antusias. Aku mengernyitkan dahiku.
"Lelaki siapa?"
"Itu ... Varel."
Aku membelalak. Segera kusibakkan selimutku lalu aku bergerak meraih tongkat atas bantuan Ami, dan atas bantuannya juga kami beranjak. Meninggalkan kamarku dengan langkah tergopoh-gopoh menuju ruang tamu.
***
Dan aku melihatnya. Di sana, di ruang tamu, tengah duduk ayah, ibu, dan seorang pemuda berwajah pucat. Varel.
"Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?" tanyaku penuh emosi. Ketiga manusia yang tengah duduk dengan serius itu menoleh bersamaan ke arahku. Tapi tatapanku terpaku pada Varel saja. Pemuda itu menatapku mantap, lalu tersenyum.
"Aku nggak kabur dari rumah sakit kok, tenanglah. Aku sudah ijin pada perawat dan juga dokter untuk keluar sebentar. Aku bilang pada mereka karena ada kepentingan yang sangat mendadak. Jangan khawatir, ada seorang perawat yang ikut bersamaku. Sekarang ia bersamaku, menungguku di dalam taksi yang ada di luar," jelasnya.
Aku menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan hatiku mencelos seketika. Dia bahkan masih mengenakan baju Rumah Sakit. Bekas infus yang ditutup plester masih terlihat jelas di pergelangan tangannya.
Aku sempat melirik ke luar rumah dan tak kulihat taksi di sana. Dan aku tahu, Varel berbohong.
Ia kabur dari rumah sakit.
Ada apa dengannya?
Kenapa ia pergi terburu-buru dari Rumah Sakit?
Kenapa ia kabur?
Apa ia berlari ke sini begitu saja?
Apa ia tak memikirkan sama sekali keadaannya?
Penyakitnya?
"Kamu ini bodoh atau apa sih?! Apa yang membuatmu datang kemari?! Kenapa kamu harus repot-repot datang ke sini?! Ada apa denganmu?! Kamu sedang sakit!" jeritku frustrasi. Air mataku menitik. Kurasakan Ami menggamit tubuhku agar aku tidak ambruk.
Varel menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu pandangannya kembali ke arah kedua orang tuaku.
"Ini memang terlihat tidak sopan karena malam-malam begini saya kemari. Tapi saya bahkan tidak bisa menunggu sampai besok." Varel bangkit. Lalu ia membungkuk dengan dalam ke arah kedua orang tuaku.
"Saya mencintai Nana. Tolong ijinkan kami menikah. Saya akan berlutut jika perlu demi mendapatkan ijin dari ayah dan ibu. Jadi saya mohon, ijinkan kami menikah," ucapnya lagi.
Tangis ibu pecah. Ayah bergerak meraih kepalanya dan memeluknya, menepuk punggungnya dengan pelan.
Kutatap Varel yang masih membungkuk. Dan kulihat ia juga terisak. Aku berniat bergerak ke arahnya. Karena terburu-buru, aku lupa bahwa kakiku tak sempurna. Aku nyaris saja terjungkal jika saja Ami tidak sigap menahan tubuhku.
"KAMU SEDANG SAKIT! KAMU NGGAK SEHARUSNYA BERADA DI SINI! KAMU SEHARUSNYA MASIH ADA DI RUMAH SAKIT!" jeritku.
Isak tangisku meledak, dan Ami berusaha menenangkanku.
Varel bergeming. Ia bahkan tak melihat ke arahku. Ia masih saja membungkuk, bahunya terguncang, dan ia menangis, terisak, putus asa.
Aku meratap.
Kenapa kamu harus seperti ini, Varel?
Kenapa?
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel