Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 16 November 2021

Hitam Putih Cinta #5

Cerita Bersambung

Varel sempat drop setelah memaksa kabur dari Rumah Sakit dan datang ke rumahku. Setelah berhasil berbicara pada Ayah dan Ibu, meminta mereka mengijinkan kami menikah, dan sempat melalui adegan dramatis bertangis-tangisan, pemuda itu ambruk tak sadarkan.
Ayah yang segera membawanya ke Rumah Sakit kembali dengan mobilnya sehingga pemuda itu tidak mengalami kejadian fatal. Selain itu, dokter bergerak dengan cepat dan membuat keadaannya stabil.

Hampir semalaman aku dan Ayah yang menungguinya di Rumah Sakit. Setelah ayah dan ibu Varel datang, barulah kami memohon ijin untuk pulang.

“Kamu akan pulang?”
Varel sempat menahan langkahku dengan lemah. Aku meremas tangannya lalu tersenyum.

“Besok aku akan datang lagi ke sini, aku janji,” ucapku. Dan akhirnya ia merelakan aku pulang.

Dan air mataku kembali menitik ketika dalam perjalanan pulang, Ayah memegang erat tanganku sembari berkata, "Kami merestuimu."
***

Aku membantu David berkemas. Siang itu aku sengaja datang mengunjunginya ketika tahu ia sudah diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit.
David sendiri yang memberitahu lewat pesan singkat tentang kabar tersebut. Aku mengira Ami juga ada di sana, ternyata tidak. Ia tak mau memberitahuku alasannya.

"Jadi kamu akan menikah dengan lelaki itu? Varel?" Ia bertanya tanpa melihat ke arahku. Aku menjawab lirih sambil mengangguk.
"Ami memberitahuku kalau dia sakit parah dan bisa jadi ... umurnya tak lama lagi."
"Dia menceritakannya?"
Pemuda itu mengangguk. "Semuanya," jawabnya.

Lagi-lagi ia tak melihat ke arahku. Awalnya aku mengira ia akan mengutarakan keberatannya. Ternyata yang ia ucapkan malah ucapan selamat.
"Aku berharap kau bahagia," ujarnya.

Ia sibuk memasukkan beberapa peralatan pribadi ke tasnya.
Aku menarik napas panjang.
"Vid, bisakah kamu bicara sambil melihatku?" pintaku.

Pemuda itu tak menjawab, bahkan ketika aku memanggil namanya untuk kedua kali.
"Vid?"

David tetap mengutak-atik isi tasnya hingga membuatku jengah.
Aku tahu ia sedang menahan perasaannya. Aku beringsut lalu menyentuh pipinya dengan pelan, kemudian mengarahkan wajahnya menghadapku. Dan aku melihat kedua matanya berkaca-kaca.

"Apa yang kamu harapkan? Kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Membiarkan dirimu menikahi pria lain, ini menyakitkan buatku," suaranya parau. Kristal-kristal bening menitik dari sudut matanya.
"Aku tahu Varel sekarat. Aku tahu ia membutuhkanmu. Dan aku akan dengan senang hati mendoakan kebahagiaanmu. Tapi jika harus merelakanmu, aku butuh waktu," ucapnya lagi.

Aku menatapnya lembut. Lalu kurentangkan kedua tanganku untuk kemudian memeluknya. Kusandarkan wajahku di dadanya.
"Aku mencintainya, Vid. Dan aku akan bahagia hidup bersamanya," bisikku.

David balas mendekapku, dan kurasakan bahunya terguncang. Pemuda itu terisak.

"Kumohon jangan terluka lagi, Nana. Aku sudah cukup melukaimu, menghancurkan hatimu. Karena itu, jangan terluka lagi. Kamu harus hidup bahagia, apapun yang terjadi padanya," ujarnya dengan suara bergetar.

Aku menelan ludah. Dan perlahan aku mengangguk.
***

Beberapa hari setelah Varel diijinkan pulang dari Rumah Sakit, kami memutuskan menyelenggarakan pernikahan yang sederhana di apartemennya.
Pernikahan itu simpel, hanya dihadiri beberapa keluarganya dan keluargaku. Tak ada pesta mewah, tak ada hiasan berlebih, tak ada suasana hura-hura. Begitu khidmat dan sakral.
Tapi satu yang bisa kupastikan, aku mengenakan sebuah gaun pengantin yang teramat indah.
Gaun pengantin one shoulder berwarna putih salju dengan hiasan mutiara di bagian pinggang.

Varel yang menyiapkan. Aku tak tahu kapan dan di mana ia memesannya, namun tiba-tiba saja ia menyuruh seseorang mengantarkannya ke rumah. Beserta sepasang sepatu cantik yang terbuat dari kaca. Sungguh, itu benar-benar sepatu kaca.
Aku terpesona.

Kami sepakat menikah di apartemennya karena untuk selanjutnya, aku akan tinggal di sana. Selain itu, kondisi Varel tak memungkinkan ia untuk melakukan perjalanan ke sana kemari.
Aku sempat menitikkan air mata bahagia ketika kami telah disahkan sebagai suami istri. Varel pun mengalami hal yang sama.
Menyaksikan kami menangis, orang tuaku dan orang tua Varel juga ikut menangis.

“Aku mencintaimu,” bisik Varel sembari mengecup bibirku dengan lembut.
Aku tersenyum disela-sela isak tangisku. “Aku lebih mencintaimu,” jawabku.

Lelaki itu tertawa getir. Dan tanpa menjawab ia merengkuh tubuhku lalu memelukku erat.
Dan samar-samar aku mendengar ia berbisik di telingaku : Aku mencintaimu sampai mati.
***

Aku terjaga dari tidurku ketika kurasakan sebuah rengkuhan lembut melingkupi tubuhku.
Sebuah lengan kokoh menyusup ke bawah punggungku yang telanjang di dalam selimut, sementara lengan yang satunya melingkari diriku.
Hal itu kontan membuatku menggeliat pelan. Belum sempat aku sadar sepenuhnya dan membuka mata, segera kurasakan kecupan di mana-mana. Di kening, di pipi, di hidung, di bibir, di leher, dan juga di bahuku.
Sayup-sayup aku juga mendengar bisikan lembut dari Varel yang memintaku untuk bangun.

"Selamat pagi, Sayang. Bangunlah, aku mencintaimu." Dan ia kembali mendaratkan ciuman di bibirku, kali ini ciuman yang lebih dalam hingga menimbulkan suara.

Aku tersenyum tanpa perlu repot-repot membuka mata hingga membuat Varel terus saja menggodaku.
Pemuda itu mempererat pelukannya, sembari kembali menghujaniku dengan ciuman.

"Bangun pemalas," bisiknya. Kali ini tepat di dekat telingaku. Aku hanya menggumam kecil, mengabaikannya.

Kesal karena tak mendapat respon, tiba-tiba saja ia menggigiti bahuku kecil-kecil. Aku mengaduh lirih dan akhirnya membuka mata.

"Apa sekarang kamu merubah menu sarapanmu? Bahuku bukan makanan, Varel," desisku. Aku beringsut dan menatap pemuda yang masih sibuk memelukku. Ia terkikik geli.
"Boleh aku memasukkannya sebagai menu sarapan?" Ia menyeringai.
"Enggak," jawabku cepat. Pemuda itu malah tertawa lalu menyurukkan hidungnya ke leherku. Kurasakan ia menghidunya berkali-kali.

"Aku suka aroma tubuhmu. Lembut, dan khas," bisiknya.
“Aku Enggak,” jawabku bercanda.

Bibir Varel manyun. Dan sebuah cubitan kecil kuterima di pinggangku. Aku tergelak.
Kami bergelung di bawah selimut yang sama. Tak mengenakan baju sama sekali. Hanya selimut yang menutupi tubuhku hingga dada, begitu pula dengan Varel.
Tidur tanpa mengenakan baju sudah menjadi kebiasaan baru kami.

“Jika kamu sudah selesai, lepaskan pelukanmu. Aku perlu bangun dan membuatkanmu sarapan,” pintaku.

Pria itu menggeleng.
“Aku belum selesai denganmu, dan aku nggak berencana bangun, nggak berencana melepaskanmu, dan nggak berencana sarapan,” jawabnya.
“Tapi aku yang kelaparan,” bantahku.
“Aku sudah menyiapkan segelas susu dan roti isi di atas meja rias. Kamu bisa sarapan di sini, di tempat tidur. Itu.” Ia menunjuk ke atas meja rias di samping tempat tidur dengan dagunya. Dan kulihat segelas susu dan sepotong roti isi di sana.

Aku menatap suamiku dengan tak percaya.

“Kamu yang menyiapkannya? Kapan?” tanyaku.
“Tadi, pagi-pagi sekali aku menyiapkannya. Berjaga-jaga jika kamu kelaparan, kamu nggak perlu meninggalkan ranjang. Kamu tinggal menjangkaunya dengan tanganmu, lalu memakannya di sini.” Ia berucap bangga.
Aku ternganga.

“Aku perlu bangun untuk bekerja,” bantahku lagi. Ia tertawa.
“Kamu sudah mengundurkan diri dari pekerjaanmu, Nana. Sekarang kamu hanya ibu rumah tangga biasa. Lagipula aku masih punya bisnis kecil-kecilan, dan itu cukup untuk menafkahimu,” ujarnya.
“Oke, baiklah. Terserah kamu Saja.” Aku memutar tubuhku dan kali ini benar-benar menghadap dirinya.

Varel tersenyum penuh kemenangan. Tangannya terulur dan membelai rambutku lembut, lalu menyingkirkan beberapa untaian yang berserakan di sekitar wajahku, kemudian menyelipkannya ke belakang telinga.

“Kamu cantik.” Ia kembali memuji. “Bahkan sehabis bangun tidur pun, kamu selalu terlihat cantik,” lanjutnya.

Buku-buku jemarinya bergerak menyusuri tulang pipiku, lalu turun ke rahang.
Aku meraih tangannya yang berada di pipiku, lalu menahannya di sana.
Kami berpandangan.
Terlalu banyak kalimat yang ingin kami ucapkan satu sama lain, tapi entah mengapa, hanya saling bertatapan, kalimat-kalimat itu seolah menguar begitu saja.

“Nana ...,” panggilnya pelan.
“Hm,” jawabku pendek.

Lelaki itu menelan ludah.
“Aku takut,” ucapnya.
“Tentang?”

Ia tak segera menjawab.

“Dokter bilang ... aku bisa mati kapan saja. Atau, aku bisa saja kehilangan kemampuan motorikku, perlahan-lahan. Dan aku takut.” Wajahnya berubah mendung.
“Bisa saja suatu hari aku kehilangan kemampuanku melihat, atau bisa saja aku kehilangan kemampuanku bergerak, dan ... bisa saja aku kehilangan kemampuanku untuk mengingat.”

Aku menelan ludah.

“Aku takut, Nana. Aku takut nggak bisa melihatmu, aku takut nggak bisa menyentuhmu, dan ... aku takut nggak mampu mengingatmu.” Ia menyentuh pipiku lembut.
“Bagaimana jika aku nggak mengingat dirimu? Bagaimana jika aku nggak bisa melihatmu? Bagaimana jika---”
“Varel,” potongku.

Aku meletakkan jemariku di atas bibirnya.

“Kalau begitu sekarang lihatlah aku, ingatlah diriku, dan sentuh aku. Sesukamu,” ucapku lagi.

Kedua mata Varel berkaca-kaca.
Tangannya kembali bergerak, menyusuri wajahku, turun ke leher, ke tulang selangka, lalu ke bahuku yang terbuka. Dan ia bergerak, mencium keningku, kedua mataku, secara bergantian. Lalu ia mendaratkan ciuman di kedua pipi, di hidung, lalu di bibirku.
Dan pagi itu kami melewatkan acara sarapan kami. Kami lebih memilih untuk melakukan kegiatan lain. Bercumbu, bermesraan, dan bercinta.

Dan setelah lelah, kami memilih untuk tidur lagi.
***

Dua bulan setelah pernikahan kami, keadaan Varel terus memburuk.
Pengobatan demi pengobatan masih ia jalani dengan telaten, tapi bukannya membaik, tumor di kepalanya kian parah.

Beberapa kali aku memergoki ia kehilangan keseimbangan. Terkadang ia kesulitan bergerak, terkadang ia kesulitan memegang sesuatu. Tidak hanya itu saja, hampir setiap hari, sakit kepala yang ia rasakan kian menjadi. 
Seperti yang terjadi malam itu. Tiba-tiba saja aku terbangun ketika mendengar ia mengeluarkan suara rintihan kecil. Dan ketika aku melihatnya, Varel sudah menggigil, bermandikan peluh.
Kedua matanya terpejam dan alisnya saling tertaut, menunjukkan bahwa ia sedang menahan rasa sakit.

“Varel?” panggilku panik. Aku beranjak, menyalakan lampu di meja, dan menyentuh kening Varel yang basah oleh keringat.
“Aku nggak apa-apa, hanya sedikit sakit kepala,” ia menjawab dengan bibir bergetar. Matanya masih saja terpejam.
“Akan kutelepon seseorang untuk membawamu ke Rumah Sakit.” Aku berniat beranjak, tapi Varel keburu menahan lenganku. Ia menatapku dengan sorot mata memohon.

“Jangan, kumohon,” pintanya.
“Aku hanya sakit kepala. Aku sudah meminum obat. Sebentar lagi sakit kepala ini pasti menghilang,” ucapnya lagi.
“Enggak, kamu sakit. Kamu harus segera dibawa ke dokter!” teriakku.
“Nana ...” Ia menahan tanganku. “Kumohon jangan.” Kali ini ia menatapku tegas.
“Aku sudah nggak sanggup lagi menjalani semua pengobatan ini. Ini ... melelahkan. Jika aku ke rumah sakit, mereka akan melakukan banyak tindakan padaku. Hampir setiap hari mereka akan menyuntikku, mengambil darahku, memeriksaku ini dan itu, membawaku ke lab ini dan itu, dan ... aku lelah.” Ia menelan ludah. Perlahan ia menggeleng.
“Aku nggak sanggup lagi menjalani pengobatan ini, Nana. Aku sudah nggak sanggup,” ia meratap.

Air mataku menitik dan aku segera beringsut, memeluknya.

“Kamu harus semangat, Varel. Kamu harus kuat. Kamu pasti sembuh.” Aku nyaris berteriak.

Varel tak menjawab, atau entah ia sudah tak punya energi untuk berkata-kata. Ia hanya terdiam, membiarkanku memeluknya, membiarkanku mengelus lengannya, dan membiarkanku memijit pelipisnya pelan. Berharap bahwa cara itu mampu mengurangi rasa sakit yang ia hadapi.

Dan setelah beberapa saat, rasa sakit di kepalanya memang mereda.

“Varel?”  panggilku ketika menyadari ia hanya terdiam dengan mata terpejam.
“Varel?” panggilku lagi. Aku menyentuh pipinya dengan lembut.
“Hm,” dan akhirnya ia menjawab pelan.
“Apa rasa sakitnya sudah menghilang?”
Ia mengangguk.
“Kalau begitu tidurlah,” perintahku.
Lelaki itu kembali mengangguk.

Dengan dia yang masih berada dalam pelukanku, aku membenahi selimut yang mampu menutupi tubuh kami dari kaki hingga pinggang.

“Jika aku mati, apa kamu akan menangis?”

Pertanyaan itu sontak membuat tenggorokanku tercekat, tak mampu menjawab. Kutatap wajah lelaki yang masih saja memejamkan mata tersebut.  Dan lagi-lagi air mataku tumpah.

“Jika aku mati, menangislah. Tapi jangan lama-lama, oke?” lelaki itu kembali berujar.
“Kamu nggak akan mati,” sanggahku.

Hening.

“Lalu bagaimana jika aku lumpuh? Bagaimana jika aku nggak mampu melihatmu? Dan bagaimana jika aku nggak mampu mengingatmu? Apa kau akan tetap berada di sisiku?” Ia kembali bersuara, lagi-lagi tanpa membuka tatapan matanya.

Aku mengeratkan pelukanku.
“Nggak apa-apa. Aku akan bersamamu. Yang penting kamu harus hidup, itu saja,” jawabku dengan suara bergetar. Dan aku menyadari air mataku kembali berjatuhan.

Yang penting kamu hidup, itu saja.
Kumohon.

==========

Aku baru saja pulang dari berbelanja di minimarket ketika menemukan David berada di apartemenku, mengobrol dengan Varel. Mereka tampak terlibat obrolan yang serius. Itu terlihat ketika mereka tiba-tiba saja terdiam dan menyudahi obrolan mereka manakala melihat kedatanganku.

“David?” sapaku bingung.

David tersenyum dan balas menyapaku.
“Aku kebetulan lewat di depan apartemenmu dan memutuskan untuk mampir,” jawabnya.

Tatapan mataku beralih ke arah Varel. Dan pria itu hanya terdiam lalu membuang pandangannya ke tempat lain. Terlihat ia sedang menyembunyikan sesuatu.
Apa yang sedang mereka bicarakan?
David dan Varel tidak pernah bertemu sebelumnya, mereka juga bukan sahabat, lalu untuk apa sekarang mereka bertemu dan mengobrol?

“Kapan-kapan aku akan berkunjung lagi. Sekarang aku pamit dulu karena harus segera kembali ke tempat kerjaku.” David bangkit. Ia kembali melemparkan senyum padaku ketika beranjak.
“Vid?” panggilku. Pria itu tersenyum lagi lalu memohon diri pada Varel, dan juga padaku.

Sesaat setelah ia pergi, aku menatap Varel dengan bingung.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku langsung.

Ia menggeleng.

“Nggak ada. Ia hanya datang berkunjung.” Lelaki itu menjawab sembari bangkit lalu melangkahkan kakinya menuju kamar tidur. Aku mengekorinya dengan tertatih.

“Kamu menyembunyikan sesuatu?” tanyaku lagi.
“Enggak, sungguh.”

Kami berpandangan.
Ia duduk di kursi di dekat jendela. Lalu terdiam. Dan aku menatapnya, seolah menanti ia mengatakan sesuatu.

“Nana...” Dan akhirnya ia memang bersuara.
“David masih mencintaimu, kan?” tanyanya.
“Kenapa kamu menanyakannya? Apa ia yang bilang begitu?”
“Nggak. Aku hanya sekedar bertanya.” Ia mengangkat bahu, cuek.
“Sepertinya ... dia orang yang baik. Dia pasti ... bisa menjagamu.” Ia terlihat ragu mengatakannya.

Aku menatapnya kesal.
“Varel, aku sudah pernah menonton hal seperti ini di drama. Dan aku nggak menerima ide konyol apapun darimu. Kamu nggak sedang berencana menjodohkanku dengan David, kan? Karena jika sampai kamu melakukannya, aku akan sangat membencimu.”

Dan aku beranjak, meninggalkan lelaki itu, dengan jengkel.
***

David terlihat terkejut ketika melihat kedatanganku. Hari itu, setelah jam makan siang, aku nekat pergi ke tempat kerjanya dan menemui dia.
Aku melakukan sedikit kebohongan kepada Varel dengan mengatakan padanya bahwa aku ingin berkunjung ke rumah Ayah dan Ibu. Padahal, aku ingin menemui David.

Sejak pertemuan mereka, ada perasaan mengganjal dalam diriku. Aku yakin bahwa mereka menyembunyikan sesuatu dan aku harus tahu itu apa. Aku tak dapat mengorek jawaban dari mulut Varel, itulah sebabnya aku nekat menemui David.

"Nana?" David menggumam bingung. Tak menyangka akulah orang yang ingin menemuinya terlebih dahulu.
"Ada... yang ingin kubicarakan denganmu," jawabku ragu. Pria itu tertegun sesaat. Tapi pada akhirnya, ia menyilahkan aku masuk ke kantornya.

"Aku terkejut kamu datang kemari. Ada sesuatu?"

Aku duduk di kursi yang berada di ruangan David dengan canggung. Sempat merasa bingung untuk menjawab, akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara.

“Vid, aku tahu bahwa ini terlihat nggak sopan. Tapi aku nggak tahu harus kemana lagi selain datang kemari. Varel menolak bercerita lebih jauh. Dan aku bisa mati penasaran jika tak mengetahui apa yang kalian bicarakan. Ini seakan kalian menyembunyikan sesuatu dariku. Seolah-olah bahwa dia...”
Melihat diriku frustrasi, David hanya tersenyum lembut.

Ia berjalan memutar lalu duduk di pinggiran meja, di depanku.

“Nggak ada yang kami sembunyikan darimu, Nana.” Ia berujar bijak.
“Suamimu menelponku dan memintaku datang ke rumahnya. Dan setelah itu kami mengobrol. Menceritakan tentang dirimu, tentang diriku, tentang kita di masa lalu, ya ... obrolan yang selayaknya dilakukan oleh kaum lelaki. Aku bahkan baru sadar kalo kami cocok satu sama lain dan sepertinya, kami akan jadi sahabat yang baik. Itu saja,” jawabnya.
“Itu saja?” Aku memastikan.
Dia tersenyum lembut lalu mengangguk.

“Kamu nggak bohong, kan?” Aku memastikan. Senyum kembali tersungging di bibir lelaki tersebut.

Aku menatap kedua matanya dengan dalam, mencari sesuatu yang mungkin saja ia sembunyikan.

“Vid?” Aku kembali berucap lirih.
“Ya?” Ia balas menatapku.
“Varel ... nggak akan mati, kan?” Aku sadar bibirku bergetar. Aku sadar kata ‘mati’ adalah kata paling tabu yang kuucapkan. Dan entah kenapa aku menanyakannya.

Aku hanya berharap jika semakin banyak orang yang mengatakan ‘dia akan hidup’,  maka ‘dia benar-benar akan hidup’.
David tak mampu menjawab. Ia mematung seketika.
Aku menggigit bibirku lalu meremas tanganku yang berkeringat.

“Tolong katakan padaku, Vid. Katakan padaku kalau ia akan hidup. Bahkan walau itu sebuah kebohongan, berbohonglah padaku. Aku ... putus asa.” Pandanganku kabur oleh air mataku sendiri.

David beranjak, berlutut di samping kursi, di sisiku. Tangannya terulur untuk menggenggam tanganku yang gemetar. Ia meremasnya lembut, mencoba menenangkanku.

Dan ia tak menjawab pertanyaanku.
***

Sepulang dari kantor David, tadinya aku berniat berkunjung ke rumah ibu. Tapi akhirnya kuputuskan untuk membatalkan rencana itu karena aku tahu, bertemu dengan ibu akan membuat pertahananku runtuh.
Aku pasti tergoda untuk menceritakan tentang Varel.
Sementara membicarakan tentang Varel sudah pasti membuatku berderai air mata. Dan jika melihatku menangis, ibu pasti sedih. Aku tak ingin itu terjadi.
Oleh karena itu, aku memutuskan untuk duduk-duduk saja di taman kota. Aku sudah menghubungi Ami untuk datang kemari dan mengatakan padanya bahwa aku butuh teman mengobrol. Dan syukurlah, ia bersedia meluangkan waktunya untukku. Izin sejenak dari kantor dan naik taksi kemari. Sekarang, hubungan kami sudah lumayan membaik.

15 menit menunggu, Ami muncul sambil membawakanku minuman hangat.

“Kakak nggak sakit, kan?” Ia bertanya cemas
Aku tersenyum dan menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabku.
“Ayah dan Ibu sehat?”
“Mereka sehat.” Gadis itu menjawab sambil berjingkat dan duduk di sampingku.
“Kakak lama nggak berkunjung ke rumah,” ujarnya.

Aku tersenyum pasrah.
“Aku sibuk sekali merawat Varel,” jawabku.

Kami mengobrol lumayan lama tentang banyak hal. Tentang pekerjaan Ami, tentang hubungannya dengan David, tentang penyakit Varel, tentang ayah dan ibu juga.
Mengingat hubungan kami yang sebelumnya canggung, bisa mengobrol seperti ini termasuk kemajuan yang bagus.

“Bagaimana keadaan kak Varel?”

Aku tak segera menjawab pertanyaan Ami. Dan ia tahu bahwa itu pertanda tak baik.

“Dia...” Suaraku lirih. Aku menarik napas berat.
“Kak...” Ami meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Mungkin saja ia berusaha menguatkanku. Dan aku merasakan bibirku bergetar.

“Ami...” panggilku. Kami bersitatap. “Aku merasa nggak percaya diri,” lanjutku.
“Dulu ketika memutuskan menikah dengan Varel, aku percaya diri bahwa aku mampu menerima semua risiko dari pernikahan kami. Bahwa... bisa saja Varel nggak sembuh. Bisa saja penyakitnya makin parah, bisa saja ... dia meninggal. Aku percaya diri bahwa ... aku akan baik-baik saja menghadapi semua ini. Tapi...”

Ami mengeratkan genggaman tangannya.

“Sekarang kepercayaan diriku hilang, Ami. Aku nggak percaya diri lagi. Dan... dan aku nggak baik-baik saja. Membayangkan Varel pergi selamanya, aku... merasa hancur.” Dan air mataku berjatuhan.
“Kak...” Ami menghambur ke arahku dan memelukku erat. Tangis kami pecah.
“Aku nggak bisa... Aku nggak bisa kehilangan dia... Aku nggak bisa kehilangan Varel...” Dan aku terisak.
***

Merasa tak mendapat jawaban atas maksud kedatangan David ke rumah, aku masih ngambek pada Varel hingga waktu makan malam tiba. Aku hanya menjawab pendek manakala ia mengajakku membicarakan sesuatu.
Aksi itu berlanjut hingga makan malam usai, hingga aku selesai membersihkan piring, dan ketika kami bersiap-siap untuk tidur.

Resah dengan aksiku, lelaki itu menghampiri diriku yang tengah duduk membisu di pinggir ranjang. Ia duduk di sampingku, meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya erat.

"Aku yang menelpon David dan memintanya datang kemari." Ia membuka suara.
"Kenapa?" tanyaku langsung.
"Jujur, aku penasaran dengannya. Aku penasaran saja dengan lelaki yang pernah masuk ke kehidupanmu. Jadi..." Ia mengangkat bahu. "Aku mengundangnya untuk datang kemari agar kami bisa mengobrol. Hanya mengobrol saja. Aku bertanya padanya bagaimana ia mengenalmu, bagaimana kalian bisa bersama-sama, dan ... begitulah. Obrolan antar lelaki," lanjutnya.
“Hanya itu?” tanyaku lagi.

Ia mengangguk.

Aku menatap wajah Varel yang pucat pasi. Wajah tampannya terlihat begitu letih. Dan kejengkelanku seperti menghilang begitu saja. Aku membalas genggaman tangannya.

"Sudahlah, nggak usah dibahas lagi." Akhirnya aku berkata. Varel terdiam sesaat, lalu mulai berujar lagi.
"Nana... aku berencana menerima saran dokter untuk melakukan operasi."

Aku terbelalak mendengar maksud Varel yang begitu tiba-tiba.

Beberapa waktu yang lalu kami memang sudah berdiskusi dengan dokter, dan mereka memberikan pilihan untuk melakukan operasi. Hanya saja, resikonya terlalu besar. Kemungkinan keberhasilan itu hanya sekitar 20%. Dan Varel belum tentu bisa selamat di meja operasi.
Jadi, bisa saja operasi itu hanya akan mempercepat kematiannya.

Aku menggeleng cepat.

"Enggak," aku menolak. "Operasi itu terlalu berisiko. Dokter bahkan nggak bisa menjamin kau selamat. Enggak, aku nggak akan setuju," lanjutku.
"Nana..." Lelaki itu meremas bahuku. "Jika nggak dicoba, kita nggak akan tahu hasilnya. Bisa saja operasi itu berhasil dan aku selamat."
"Tapi..." Suaraku tercekat. Varel bohong. Aku tahu ia bohong.

Aku tahu bahwa operasi itu hanya akan mempercepat kematiannya.

"Jangan ..." Aku mendesis. "Kumohon jangan." Aku menunduk dan air mataku berjatuhan. “Tidak bisakah kita menikmati saat sekarang dengan baik? Tidak bisakah kita...” Suaraku bergetar.

Varel tak berusaha mendebatku ataupun memberikan jawaban. Ia hanya beringsut, meraih tubuhku ke dekapannya lalu memelukku.
Ia tak mengatakan apapun dan lebih memilih untuk membiarkan aku terisak.
***

Dan aku nyaris putus asa.

Semakin hari, keadaan Varel terus memburuk. Pengobatan yang ia jalani seakan tak memberi efek apa-apa. Kemampuan motoriknya semakin berkurang.
Seringkali ia kehilangan keseimbangan. Bahkan ketika kami sedang berbicara, terkadang ia hanya terdiam, seolah ia merasa hilang dan  jiwanya tersesat entah kemana.
Sungguh, terkadang aku tak sanggup melihat penderitaannya, melihat ia kesakitan.
Tapi, aku belum bisa merelakannya. Dan takkan pernah bisa.

Di suatu malam yang sepi, ketika hari sedang hujan, Varel tak sadarkan diri.
Di pelukanku.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER