Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 17 November 2021

Hitam Putih Cinta #6

Cerita Bersambung

Dokter dan suster berlalu lalang di ruang perawatan Varel, mencoba menyelamatkan nyawanya.
Sementara mertuaku duduk membisu di ruang tunggu, ditemani oleh Ayah dan Ibuku. Mereka tak henti-hentinya menangis.
Ami juga bersama mereka, mencoba menghibur dengan semua cara yang ia bisa. Memijit lengan ayah, memeluk ibu, dan mengelus lengannya.
David juga hadir. Mungkin adikku yang memberinya kabar tentang keadaan Varel.
Aku?
Aku seperti mati rasa.
***


Tepat hari kedua setelah Varel dirawat di Rumah Sakit, setelah dokter berjuang menyelamatkan nyawanya, mereka berbicara langsung padaku. Pada ayah dan ibu, pada kami, keluarga besarnya.

Mereka bilang: Operasi tak bisa dilakukan. Saatnya berpamitan.
Saatnya berpamitan...
Dan tangisku meledak.
Aku ambruk.
Hancur.
Berkeping-keping.
***

Aku membuka pintu ruang perawatan lalu menutupnya pelan. Tampak Varel terbaring lemah di ranjang.
Matanya terpejam, wajahnya pucat, sementara selang oksigen menempel di hidungnya. Napasnya pendek-pendek, dan hatiku perih, merintih.

Untuk beberapa waktu, aku hanya mampu mematung menatapnya. Menatap sesosok pria yang teramat kucintai, suamiku.
Dan entah secara kebetulan atau memang ia sadar akan kehadiranku di ruangan ini, tubuh lelaki itu menggeliat pelan. Dan kedua matanya juga perlahan terbuka.
Ia menoleh, menatap ke arahku lalu tersenyum lembut.

“Sudah kuduga kau ada di sini,” ucapnya lemah. “Tadi aku tertidur, lalu aku mencium aroma tubuhmu, dan dugaanku benar, kau ada di sini,” lanjutnya.

Aku tak bersuara. Tepatnya, aku tak mampu bersuara. Suaraku tercekat. Membayangkan lelaki itu akan pergi, aku tak sanggup.

“Kemarilah.” Varel kembali berujar sembari menggerakkan jemarinya dengan lemah, memintaku mendekat.

Aku tak bergerak dari tempatku. Perlahan aku menggeleng.

“Nggak mau. Kalau aku ke situ kamu akan pergi.” Akhirnya aku mampu bersuara setelah bersusah payah.

Lagi-lagi Varel tersenyum lembut. Ia kembali menggerakkan tangannya, memintaku mendekat.

“Kemarilah ...” Suaranya lemah. “Aku merindukanmu,” ucapnya lagi.

Dan air mataku kembali berjatuhan. Enggan, tapi akhirnya aku tertatih, mendekatinya.

“Berbaringlah di sini.” Varel menepuk kasur di samping tubuhnya dengan jemari.
Dan aku pun menurutinya. Dengan berlinang air mata aku beranjak, naik ke atas ranjang, lalu berbaring di sampingnya.

Segera kurasakan kedua lengan Varel melingkupi tubuhku. Ia memelukku erat, dan beberapa kali ia mengecup puncak kepalaku, lalu keningku dengan lembut.

“Jangan menangis.” Ia berbisik. Kali ini mengecup kedua mataku, diawali dari mata kanan, lalu ke mata kiri. Ia menyentuh pipiku dengan penuh kasih.

“Sudah berapa lama aku terbaring di sini? Aku merindukanmu.” Ia mengecup keningku ringan. Dan air mataku kembali berderaian tanpa mampu kubendung.

Varel menarik napas sesaat. Lalu kembali merengkuhku ke pelukannya.
Aku menyurukkan wajahku ke lehernya. Dan isak tangisku tertahan.

“Aku mencintaimu, Nana,” bisiknya. “Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku,” lanjutnya.
“Jika aku tiada, tetaplah hidup bahagia...”

Aku menggeleng.

“Jangan takut membuka hati untuk orang lain. Jangan takut untuk jatuh cinta lagi. Jangan takut untuk memberi kesempatan pada dirimu untuk bahagia...”
Kalimat Varel lirih, nyaris tak terdengar.

Aku kembali menggeleng.
Tidak, jangan berkata seperti ini, ratapku.

“Aku mencintaimu, selalu ...” bisiknya lagi.

Dan itu adalah kalimatnya yang terakhir. Karena untuk selanjutnya, pelukannya mengendur, dan kedua tangannya terkulai.
Dan aku sadar, dia pergi.
Aku mendongak dan menatap sosok wajah yang diam dengan mata terpejam tersebut.
Tangisku segera pecah.

“Varel...” panggilku. Berulang-ulang.

Dan sosok itu diam, tak bergerak.
Tidak ...
Kumohon ...
Jangan ...
Jangan pergi ...
Jangan tinggalkan aku.

“Varelll!!”
***

Pemakaman Varel berlangsung sederhana. Dihadiri beberapa keluarga dan juga sahabat dekat. Seluruh keluargaku juga berkumpul mengantarkan kepergiannya ke tempat  peristirahatan terakhir.

Sesaat setelah upacara pemakaman usai, aku memutuskan mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktuku di sana untuk menangis selama berjam-jam. Sampai akhirnya ayah mertuaku masuk ke kamarku dan menyerahkan beberapa lembar kertas surat.
Sempat merasa bingung, toh aku tetap menerima lembaran-lembaran kertas tersebut. Terlebih lagi ketika beliau mengatakan bahwa Varel yang menulisnya.

“Varel yang menulis surat-surat tersebut. Ia sudah berpesan padaku, jika dia ... tiada. Ia memintaku menyerahkannya padamu.”
Suara ayah serak. Dan setelah aku menerima surat tersebut, ia segera berlalu dan beranjak meninggalkan kamarku.

Dengan gerakan terburu-buru aku membuka lembaran kertas tersebut.
Dan tatapan mataku segera dimanjakan oleh deretan tulisan tangan yang begitu rapi.
Merasa emosional, aku menyapukan jemariku di atas kertas berwarna biru muda dengan hiasan-hiasan kecil berbentuk bunga matahari.

Mencoba mengagumi goresan tangan Varel, tangisku kembali pecah.
Kudekap erat lembaran surat itu di dadaku, sebelum akhirnya aku memberanikan diri untuk membacanya kembali.

:::
Nana ...
Ah, bagaimana ini? Aku bingung sekali harus menulis apa. Padahal banyak sekali yang ingin kukatakan.
Aku tak tahu harus menulis dari mana. Mungkin dari pertemuan kita yang pertama? Atau sejak aku jatuh cinta padamu?
Ah, apapun itu, aku benar-benar ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu.

Nana...
Sejak kecil aku tak tahu bagaimana rasanya melihat dunia yang penuh warna. Teman-temanku mengatakan bahwa warna pelangi begitu cantik, tapi aku tak tahu cantiknya di mana.
Ketika mereka mengatakan warna merah dan biru begitu indah, di mataku toh mereka warna yang sama.

Aku memakai baju sesuka hatiku, tapi aku malah ditertawakan. Mereka mengatakan warnanya bertabrakan.
Kadang aku bingung? Apanya yang bertabrakan? Toh di mataku, warna apapun yang kupakai, semuanya sama.
Ah, terkadang ini menyakitkan.

Tapi entah kenapa, sejak bertemu denganmu semuanya berubah.
Selama ini aku melihat dunia dengan hanya dua variasi warna, hitam dan putih. Dan itu terasa begitu membosankan. Tapi kehadiranmu merubah segalanya.

Lucu, duniaku yang hanya ada warna hitam dan putih, sekarang terasa begitu indah.
Itu karena kau ... cantik.
Sungguh, kau begitu cantik. Aku tak bohong.

Pertama kalinya aku merasa bahwa hitam dan putih begitu cantik.
Maksudku, aku tak tahu warna baju apa yang kau pakai, warna lipstik apa yang menempel di bibirmu, tapi kau ... selalu terlihat cantik.

Aku jadi berpikir, sepertinya aku tak butuh warna lain, jika hanya dengan warna hitam dan putih saja aku mampu melihat kecantikannmu.

Kau, Nana, yang di mataku hanya dapat kulihat secara hitam dan putih, adalah yang tercantik.
:::

Aku kembali mendekap lembaran surat tersebut di dadaku, terisak, sebelum kembali membacanya ...

:::
Nana...
Ketika kau membaca surat ini, aku pasti sudah pergi. Meninggalkanmu selamanya.
Aku hanya ingin bilang bahwa kehadiranmu adalah anugerah luar biasa dalam hidupku.
Dan maaf jika aku tak mampu menghabiskan masa tua bersamamu.

Aku hanya ingin berpesan.
Kelak, jangan takut untuk membuka diri pada orang lain. Kau layak bahagia, dan kau pantas mendapatkan kebahagianmu lagi.

Jika suatu saat kau terluka, bangkitlah.
Jangan takut untuk memulai segalanya dari awal, memulai membuka diri lagi, akan kehadiran orang lain.

Anggaplah aku secuil kisah yang tak seharusnya ada dalam hidupmu.
Anggaplah aku hanya sekedar tokoh lalu dalam cerita kehidupanmu yang akan segera berganti dengan tokoh lain dan bisa menemanimu hingga akhir cerita.

Nana...
Aku mencintaimu.
Tapi aku merelakanmu.
Jatuh cintalah lagi.
Dan hiduplah bahagia.

~ Varel.
:::

Aku membaca surat tersebut hingga ke bagian akhir dengan berurai air mata. Kembali kudekap lembaran-lembaran surat itu ke dadaku, menganggapnya sebagai benda keramat yang harus kulindungi dengan nyawaku.

Aku terus terisak, lagi dan lagi.
Aku sempat berjanji untuk tidak hancur jika Varel pergi. Tapi semua janji itu seolah menguar begitu saja, ikut bersama dengan kepergiaan lelaki tersebut.

Ini tak mudah.
Aku meratap, tak sanggup bernapas.
Aku hanya tak menyangka bahwa kepergian Varel, akan terasa sesakit ini.
***

Beberapa hari setelah kematian Varel, aku masih saja seperti mayat hidup. Hari-hari kulewati dengan hanya mengurung diri di kamar. Menangisi semua kenangan yang ditorehkan oleh lelaki tersebut.
Semua sudut di rumah ini mengingatkanku padanya. Dan nyaris setiap inchi dari tempat ini menyebabkanku berurai air mata.
Aku masih mengurung diri ketika sore itu David berkunjungku.

“Kamu baik-baik saja?” Ia bertanya cemas. Aku hanya mengangguk.
“Sudah makan?”

Dan aku kembali mengangguk.
Tapi ia tahu aku berbohong, karena ia kesini dengan membawa beberapa bungkus makanan. Tanpa mengatakan apapun ia membimbingku untuk duduk di kursi makan, lalu menyuapiku, dengan sedikit paksaan.

“Habiskan makananmu, dan kita akan bicara serius. Soal mendiang Varel.”

Mendengar nama Varel disebut, aku buru-buru menghabiskan makanan yang dibawa David. Dan aku meminta dengan tak sabar agar ia segera menceritakan tentang maksud kedatangannya kemari, atau apa saja, yang penting tentang Varel!

Dan David membuka tas dokumen yang ia bawa sejak tadi lalu mengeluarkan beberapa map. Ia menyorongkannya ke arahku melalu permukaan meja.

“Dulu aku pernah bertemu secara diam-diam dengan suamimu, dan inilah alasannya,” ucapnya.

Aku menatap ke arah David lalu ke arah tumpukkan map di meja secara bergantian.

“Varel meminta bantuanku untuk mencarikan sebuah gedung di pusat kota, lalu menyulapnya menjadi sebuah galeri. Dan ia mempersembahkan galeri itu untukmu,” ucap David lagi.
Aku ternganga. “Apa maksudmu?”
“Varel sudah mempersiapkan segalanya. Ia nyaris menghabiskan seluruh tabungannya demi ini. Semua berkas sudah siap. Dan galeri itu resmi diberikan padamu. Dia bilang, itu hadiah pernikahan karena dulu ia belum sempat memberimu apa-apa.”
“Varel memberikanku ... gedung galeri?”

David mengangguk.

“Varel tahu kamu suka melukis. Jadi dia berharap, kamu tetap melanjutkan kesukaanmu pada dunia melukis. Yang nantinya galeri itu bisa kamu gunakan untuk memajang seluruh hasil karyamu dan berharap itu juga bisa menjadi mata pencaharianmu yang mampu menopang hidupmu.”

Aku merasakan air mataku menetes demi mendengar semua penjelasan David.

“Varel menginginkan kamu bangkit, Nana. Bangkitlah dari semua keterpurukan ini, dari semua luka-luka ini. Bukalah lembaran hidup yang baru. Dan wujudkan apa yang diinginkan mendiang suamimu. Anggap saja yang harus kamu lakukan saat ini adalah mewujudkan cita-citamu, dan juga cita-citanya.”

David membuka map di meja, menunjukkan beberapa dokumen penting, dan semuanya atas namaku.
Atas namaku.

“Dia ... mempersiapkan semua ini untukku?” Aku menyapukan jemariku di atas berkas-berkas itu dengan haru. David mengangguk.
“Untukmu, dari Varel,” ulangnya.

Dan bahuku terguncang. Terisak, tak menyangka dengan semua kejutan ini.

“Varel ...” ratapku.

David bangkit dan mendekapku. Dan aku terisak dalam dekapannya.
Kembali meratapi kepergian lelaki yang teramat kucintai.
***

Beberapa bulan kemudian ...

Aku resmi membuka galeri tersebut. Galeri pemberian Varel yang kuanggap sebagai hadiah kejutan. Dan tepat di depan gedung tersebut, tertulis nama galeriku dengan huruf besar-besar. Dan aku selalu dengan bangga memperkenalkannya pada banyak orang.

BLACK AND WHITE GALLERY.
Aku suka nama itu.

Sesuai keinginan Varel, aku membuka galeri pemberiannya sejak beberapa waktu yang lalu. Aku juga mulai melukis lagi. Aku memajang semua hasil lukisanku di galeri ini dan menjualnya.

Hasilnya, luar biasa.
Banyak yang menyukai karya-karyaku dan membelinya dengan harga mahal. Mereka bilang, lukisanku unik.
Unik karena aku melukis hanya dengan menggunakan dua kombinasi warna, hitam dan putih saja.

Varel mengatakan bahwa ia mampu melihat keindahan hanya dengan dua variasi warna tersebut. Dan aku juga berharap, orang lain juga mampu menikmatinya. Melalui lukisanku.

David yang membantuku melewati segalanya. Menemaniku ketika aku hampir ambruk, sekarat.
Ia yang membantuku menyiapkan banyak hal, mengurusi ini dan itu, tak tentu jumlahnya, hingga aku bisa seperti sekarang.
Ah, aku benar-benar bersyukur dengan keberadaannya.

Kami mulai bersahabat kembali. Hubungan kami mulai membaik. Tidak dalam artian yang istimewa. Tapi kami benar-benar kembali menjadi sahabat yang sebenarnya.

Oh iya, ia putus dengan Ami. Mereka berpisah secara baik-baik. Beberapa waktu yang lalu Ami memutuskan untuk melanjutkan study-nya ke luar negeri. Ngomong-ngomong, hubunganku dengan adikku satu-satunya itu juga membaik.

Sekarang kami akrab, layaknya saudara pada umumnya. Ia rajin menelponku, begitupun denganku.
Kami sudah terbiasa membicarakan banyak hal. Terkadang kami bahkan bergosip tentang artis dan juga cowok tampan. Hal yang biasa dilakukan sesama saudara perempuan pada umumnya.
Dan aku benar-benar bersyukur dengan semua kemajuan ini.

Varel, semoga kau melihat semuanya ...
***

Aku berdiri sembari menatap sebuah lukisan berwarna hitam putih yang tergantung di dinding, tepat di tengah-tengah ruang utama.

Itu lukisan istimewa. Dan aku tak berniat menjualnya.
Lukisan seorang lelaki yang tersenyum lembut dan bermata indah.

Lukisan Varel, suamiku tercinta.

Aku melakukan ritual ini seperti biasanya. Sepuluh menit setelah galeri tutup, aku akan berdiri di sini selama beberapa menit. Menatap lukisannya dengan lekat dan mengajaknya berbicara. Dengan begitu, aku selalu merasa dekat dengannya. Selalu merasa bahwa ia masih bersamaku.

“Aku merindukanmu,” bisikku lirih.
“Dan dia juga.” Aku menggerakkan tangan lalu mengusap perutku yang membuncit.

Ada Varel kecil dalam perutku.
Dan beberapa minggu lagi aku akan menyambut kedatangannya ke dunia.

“Jangan khawatir, Varel. Aku akan menjaganya. Aku akan menjadi ayah angkat yang paling baik sedunia.”

Aku menoleh ke arah suara tersebut. Dan David sudah berdiri di sisiku, tersenyum ke arahku.
Aku terkekeh sembari menyikut lengannya dengan lenganku.
“Aku belum menyetujui idemu untuk menjadi ayah angkat bagi anakku,” jawabku.
David mangerucutkan bibirnya dengan lucu.

“Sudah kubilang aku akan menjadi ayah angkatnya. Varel pasti mengijinkanku,” jawabnya.
Lelaki itu membungkuk.

“Junior, halooo ...” Ia berbicara pada perutku dengan suka cita.
Aku mendorong bahunya.
“Dan sudah kubilang, jangan memanggilnya Junior. Namanya bukan Junior,” protesku.
David menegakkan punggungnya dan menatapku.

“Junior itu nama yang bagus,” ia membantah.
“Enggak,” jawabku cepat. “Kemarin aku sudah ke dokter---”
“Kamu ke dokter? Sendirian?” David memotong sambil menatapku dengan tatapan kesal.
Aku mengangguk.

“Kan sudah kubilang, kamu bisa meminta bantuanku untuk mengantarkanmu ke dokter,” ucapnya lagi.

Aku tersenyum.
“Ibu yang mengantarkanku,” jawabku.
“Lalu, apa kata dokter? Junior sehat?”

Aku melotot ke arahnya. “Jangan panggil dia Junior.” Gigiku terkatub.
“Oke, oke. Jadi, apa kata dokter? Dia sehat?”

Aku mengangguk.
“Pinky sehat,” jawabku.
“Pinky?”

Aku kembali mengangguk dengan antusias.
“Dokter bilang dia perempuan. Dan aku ingin memanggilnya Pinky.”

David melongo.
“Pinky?”

David memutar matanya lalu menatap lukisan Varel.

“Varel, dia berniat memberi nama anakmu Pinky?” ucapnya tak percaya.

Aku memukul lengannya.
“Memangnya kenapa? Aku suka nama Pinky, itu nama yang bagus. Dan aku yakin Varel juga suka nama itu. lagipula, aku suka warna Pink.”
“Ah, untung kamu nggak suka warna hitam.” David kembali mengomel.
“David!” jeritku.

Pemuda itu tergelak lalu membantu membawakan tasku.
“Sudahlah, ayo pulang. Sudah malam,” ajaknya. Dan aku menurutinya.

Setelah kembali tersenyum pada lukisan Varel dan mengucap salam perpisahan padanya, kami melangkah menuju mobil David yang terparkir di halaman gedung.

Ia sering menjemputku lalu mengantarkanku pulang. Itu seakan telah menjadi kebiasaan baginya, dan aku tak keberatan ataupun menolak. Ia juga selalu siap ketika kumintai tolong apapun bentuknya.
Tapi sungguh, hubungan kami hanya sebatas teman baik. Teman yang saling menjaga, teman yang saling menguatkan satu sama lain.

Awalnya memang jengah, canggung. Tapi David pernah berkata dengan mantap, “Aku sudah berbicara banyak hal pada suamimu ketika dia masih hidup. Dan jujur dia memintaku untuk menjagamu. Tapi jangan khawatir, bahkan jika ia tidak memintaku menjagamu sekalipun, aku akan tetap melakukannya, memastikan kamu senantiasa baik-baik saja."
"Aku akan mencintaimu dan takkan pernah mengabaikanmu. Tak jadi soal jika kelak kamu akan bersanding dengan pria lain, atau justru memberikan kesempatan pada diriku untuk kembali mendapatkan dirimu. Intinya, aku akan menjagamu. Sebagai permintaan mendiang suamimu, dan atas kemauanku sendiri,” ucapnya waktu itu.

Dan begitulah, persahabatan di antara kami terus terjalin dengan baik. Sangat baik.
Lagipula David tahu bahwa hatiku hanya milik Varel. Dan ia juga tahu bahwa Varel takkan pernah tergantikan oleh siapapun.

Aku akan mencintainya, selalu.

“Vid, terima kasih ya.” Aku berucap tulus ketika kami dalam perjalanan pulang.
“Untuk apa?” David balik bertanya, sembari menatapku sekilas, dan dengan tangan yang sibuk pada kemudi.
“Terima kasih karena waktu itu kau mencampakkanku dan memilih bersama adikku,” ucapku.

David tergelak seketika. Ia tertawa lepas.
“Sebentar, apakah ini ucapan terima kasih? Penghinaan? Atau ... ucapan balas dendam?” Ia kembali bertanya di sela-sela tawanya. Aku ikut tertawa lirih.

“Enggak, aku serius. Aku akan tetap mengucapkan terima kasih karena kamu mencampakkanku. Jika saja kamu nggak mencampakkanku, maka aku nggak akan bertemu dengan Varel, aku nggak akan jatuh cinta padanya, aku nggak akan menikah dengannya, dan nggak akan ada Varel kecil di perutku,” jawabku.

Dan jika kau tak mencampakkanku, aku takkan menemukan cinta sejatiku bersama Varel, batinku.

"Dulu aku mengira hidupku paling menderita. Aku merasa Tuhan tak adil padaku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Varel dan sadar bahwa apa yang kualami tak ada apa-apanya dibanding dirinya. Walau ia tak sempurna, walau dia sakit, dia selalu terlihat tegar dan ceria. Ia mampu menularkan energi positif dan membuat orang di sekelilingnya bahagia. Sungguh, Varel adalah anugerah luar biasa," ucapku lirih.

David tersenyum lembut.

“Selalu ada hikmah yang bisa kita ambil dari semua kejadian di dunia ini, Nana. Jika kita terluka, maka kita akan belajar untuk menyembuhkan diri. Jika kita terjatuh, kita juga akan belajar untuk bangkit kembali.”

Aku mengangguk dan tersenyum lembut ke arahnya.
“Kamu pasti akan bahagia, Vid,” ujarku mantap.
“Dan kamu juga.” Ia membalas.

Dan kami saling melemparkan senyum, sebelum akhirnya asyik dengan pikiran kami masing-masing.
David kembali fokus pada kemudi di tangannya, sementara aku membuang pandanganku ke jalan raya. Menikmati temaram lampu kota di sepanjang jalan dan  juga menikmati setiap kendaraan yang berlalu lalang.

Aku menarik napas sesaat.
Varel ...
Kau pernah mengatakan bahwa kau hanyalah secuil kisah dalam kehidupanku sehingga kau memintaku untuk melupakanmu.

Tidak, kau salah.
Kau bukan secuil kisah. Bukan pula sekadar tokoh lalu. Sebaliknya, kaulah kisah utama. Ibarat buku, kau adalah cerita utuh. Dari halaman depan, hingga halaman terakhir. Dari prolog, hingga epilog.

Kau sudah menjadi bagian dalam hidupku yang takkan bisa lepas, tergantikan atau bahkan terlupakan.

Varel...
Aku akan baik-baik saja.
Aku akan hidup bahagia.
Dan aku akan selalu mencintaimu ...

Selalu.

---Selesai---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER