Cerita Bersambung
Oleh : Darellofa santoso
Gladi bersih untuk acara wisuda besok akhirnya usai. Dengan wajah sumringah kami melangkah keluar gedung serbaguna itu. Sesekali saling melempar senyum dan bergurau. Tentu saja karena kami merasa bahagia. Masa yang dinanti selama empat tahun akhirnya tiba, menyandang gelar Sarjana Ekonomi.
Saatnya menunggu bus yang menuju ke desa. Aku akan pulang untuk menjemput ibu dan bapak. Dua orang yang selama ini sudah bersusah payah membiayai kuliah serta segala keperluan hidupku di kota. Mereka harus hadir menyaksikan hari bersejarah itu.
Senyumku merekah menatap tas yang tertenteng. Isinya pakaian kebaya dan toga yang akan kupakai besok. Juga kebaya untuk ibu dan batik baru untuk bapak. Pakaian itu baru kubeli tadi, dengan uang yang selama ini kusisihkan untuk hal ini.
Masih berdiri menunggu bus, saat tiba-tiba merasakan seseorang menggenggam tanganku. Ternyata dia, yang sedari tadi bersamaku.
Tidak, bukan hanya sedari tadi, tapi selama empat tahun ini. Dia selalu bersamaku, setiap saat.
Namanya Kano, seorang perantau dari kota lain yang mencari ilmu ke kota ini. Entah mengapa, dia menjadi satu-satunya sahabatku di kampus. Walaupun dia pria dan aku wanita, tapi persahabatan kami tetap menyenangkan. Mengerjakan tugas bersama, makan bersama hingga saling menguatkan dan memberi semangat.
Asrama kost kami pun berdekatan. Pergi dan pulang kampus selalu bersama. Hanya saja, dia bekerja paruh waktu di toko percetakan untuk membiayai kuliahnya. Katanya, uang kiriman dari orang tuanya tak akan cukup bila ia tak bekerja. Sedangkan aku, mengandalkan beasiswa yang diberikan seorang donatur tetap di kampus serta kiriman ibu dan bapak yang hanya buruh tani di desa.
"Apaan sih, Kan? tanyaku sambil mencoba melepaskan genggamannya.
Anehnya, dia justru semakin mengeratkannya.
"Besok kita wisuda, La," gumamnya.
"Iya, kan saya sudah tahu. Terus ini maksudnya apa? Lepasin dong!" seruku.
"Ini yang kutunggu selama empat tahun."
"Bukan hanya kamu yang tunggu wisuda ini. Saya juga!" seruku.
"Bukan hanya karena wisuda ini, tapi karena kamu, Darla."
"Hah?" Aku menatapnya bingung.
Kano menatapku lekat. Ada binar-binar bahagia di matanya.
"Darla ... empat tahun ini kita selalu bersama. Tidakkah kau menyadari sesuatu? Kita seperti sudah saling terikat, tak bisa lepas, tak bisa jauh. Entah sejak kapan rasa ini timbul, tapi selalu kutahan. Selama ini kau selalu bilang, tak ingin menjalin hubungan cinta dengan siapapun sebelum lulus kuliah. Dan ... hari ini ...."
Sejenak ia berhenti berucap, menatap sendu padaku yang masih bingung. Namun, dalam kebingungan itu, entah mengapa jantungku berdetak semakin kencang. Menunggu setiap kata terucap dari bibirnya.
"Dan hari ini?" tanyaku akan kelanjutan ucapannya.
"Hari ini saya saya ingin mengungkapkannya bahwa saya ... suka padamu. Bukan hanya suka sebagai sahabat, tapi lebih dari itu. Saya ingin kamu menjadi kekasihku."
Aku menahan nafas. Memang benar yang dikatakannya, selama empat tahun ini aku tak pernah menjalin kasih dengan siapapun agar dapat fokus menyelesaikan kuliah.
Bagaimanapun gelar sarjana sangat penting bagiku agar kelak dapat mendapat pekerjaan yang baik guna merubah taraf hidup keluarga.
Dan ... hari ini Kano telah mengungkapkan perasaannya, memintaku menjadi kekasihnya. Sejujurnya ... aku bahagia.
Tak ada yang kurang dari pria ini. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi atletis. Perilakunya baik, terlebih sifatnya yang gigih dan pekerja keras. Sebenarnya, selama ini banyak wanita di kampus yang menyukainya. Hanya saja, sikapnya yang dingin membuat para wanita itu mundur dengan teratur.
"Kano ... saya ... saya akan menjawabnya besok usai wisuda."
Sesaat setelah mengatakan itu, aku melepaskan genggamannya, berbalik dan berlari menaiki bus yang telah berhenti di halte itu.
Kano masih berdiri di pijakannya, terus mengamatiku. Kemudian melempar senyum saat wajahku muncul di jendela bus dan memandangnya.
Pandangan dan senyum kami terus beradu. Rasanya seperti memercikkan sesuatu yang membuat semuanya menjadi indah. Debaran irama jantungku seolah melantunkan senandung cinta.
Sebenarnya, ada rasa resah bergejolak dalam kalbu menjelang wisuda ini. Kebersamaan selama empat tahun ini mungkin akan berakhir. Kano pasti akan kembali ke kotanya, dan entah kapan kami bisa berjumpa lagi.
Namun, resah itu seakan mulai sirna kini. Dia telah mengungkapkan perasaannya, ingin menjadikanku kekasihnya. Jarak yang akan terbentang tak lagi menjadi kendala. Kano sudah membentangkan jembatan, tinggal menunggu aku melewatinya.
Dan kini, bus telah melaju, membawaku dengan sebuah janji untuk memberinya jawaban, esok.
***
"Bu, Pak, Darla datang," seruku sambil berlari dari halaman ke pintu rumah.
Tiga jam perjalanan akhirnya membawaku sampai ke desa. Rumah sederhana yang selalu kurindukan kini berada di depanku. Pintu rumah tampak terbuka.
"Bu, Pak-." Aku tersentak begitu memasuki ruang tamu.
Ibu sedang duduk bersimpuh di lantai. Dia menangis. Di sampingnya ayah duduk di kursi kayu, wajahnya pucat.
Dua orang pria berdiri, seorang lagi duduk dengan mengangkat salah satu kakinya, bertumpu di atas lutut kaki yang lainnya.
Tas yang kupegang terjatuh, aku mempercepat langkah menghampiri ibu.
"Bu, ada apa ini?" tanyaku.
Ibu memelukku dan masih terus menangis.
"Dengar, kami beri waktu sampai malam ini, kalian sudah harus enyah dari rumah ini!" seru seorang pria yang berdiri.
Mendengarnya berbicara seperti itu sontak aku berdiri. Menatap tajam wajahnya.
"Apa maksud Anda? Siapa kalian hingga mau mengusir kami dari rumah sendiri?"
"Dengar! Orang tuamu sudah berhutang kepada Tuan, sampai sekarang tak bisa membayar. Jadi, rumah ini akan disita."
"Hutang? Ayah, Ibu, benarkah begitu?" Aku berpaling pada mereka.
"Maafkan Ayah, Nak. Kami terpaksa berhutang," jawab ayah sambil menutup wajahnya dengan sebelah tangan.
"Untuk apa?" tanyaku lirih.
"Untuk membayar kuliahmu, Darla." Ibu yang menjawab.
"Kuliahku? Be- berapa banyak, Bu?"
"Kami sudah berhutang sejak kamu daftar masuk kuliah. Selama empat tahun setiap kamu butuh uang tambahan, kami selalu mengusahakannya walau harus meminjam lagi pada Tuan," sahut ibu.
Aku kembali berpaling pada kedua pria yang berdiri.
"Katakanlah, berapa jumlah hutang orang tuaku? Saya yang akan membayarnya."
Mereka tersenyum sinis.
"Bagaimana mungkin kau bisa membayarnya?" ucap salah seorang.
"Kuliahku sudah selesai, saya akan mencari kerja dan membayar hutang mereka. Tolong beri saya waktu."
"Ha-ha-ha. Ha-ha-ha." Mereka tertawa.
"Orang tuamu sudah berhutang selama empat tahun, bagaimana mungkin kau bisa langsung melunasinya dengan cepat. Bekerja berpuluh-puluh tahun pun kau tak akan sanggup," kata salah seorang lagi.
"Apa?! Memangnya sebanyak apakah hutang itu?"
"Seratus lima puluh juta!"
"Hah?! Bagaimana mungkin bisa sebanyak itu?"
"Hitung saja sendiri bunga selama empat tahun."
"Bunga? Dasar rentenir!" ucapku ketus.
"Heh, Nona. Mana ada orang pinjam uang tanpa bunga? Tuan bukan yayasan amal!"
"Tuan? Mana Tuanmu, saya akan menemuinya!" tantangku.
"Aku di sini."
Sebuah suara menghentakkanku. Pria yang sedari tadi duduk, bersuara. Astaga, sedari tadi aku hanya fokus pada dua pria yang berdiri sampai lupa bila masih ada seorang lagi di ruangan ini.
Pria yang duduk itu mengangkat kepalanya. Menatapku tajam. Aku pun membalas tatapannya.
Inikah Sang Tuan? Orang terkaya di desa ini? Si rentenir itu? Pria itu tampak berusia di bawah empat puluh tahun. Sorot matanya terasa semakin tajam di bawah galis alisnya yang tegas.
Sejak kecil aku memang sudah sering mendengar sebutan Tuan Besar di desa ini. Ia memiliki seorang putera. Isteri Tuan Besar sudah meninggal sejak putera mereka masih kecil. Namun selama ini belum pernah melihat sosok mereka.
Pria ini pasti bukanlah Tuan Besar, ia belum terlalu tua untuk itu. Apakah dia adalah putera Tuan Besar?
Empat tahun silam, saat aku baru lulus SMA, kabar rencana pernikahan putera Tuan Besar tersebar di desa ini. Konon ia akan menikah dengan seorang gadis kota. Saat itu yang kutahu usia Tuan Muda sekitar tiga puluh tiga tahun.
Tapi setelah itu aku tak tahu lagi karena sibuk mengurus persiapan kuliah ke kota. Pun tak ada dugaan akan berurusan dengan keluarga mereka.
Namun hari ini, pria itu tengah berada di rumah kami, hendak mengambil alih kepemilikannya. Bilakah dia berkenan, aku akan bernegosiasi dengannya.
"Tu- Tuan. M- maaf saya tidak memperhatikan Anda tadi," gumamku.
Dia hanya menatapku tanpa bersuara.
"Tuan, saya mohon beri saya waktu untuk membayar hutang itu. Saya akan-."
Dia berdiri, mendekat padaku.
"Aku mau malam ini juga hutang itu harus dibayar," desisnya padaku.
"Itu tidak mungkin, Tuan," sahutku.
Sesaat, ia berjalan menghampiri jendela yang terbuka, memandang ke luar, menghela nafasnya lalu berkata, "Kalau begitu, tinggalkan rumah ini atau ... kuseret ayahmu ke penjara."
"Apa? Anda sangat jahat, Tuan!"
Dengan sigap ia berbalik, menghampiriku hingga tubuhnya yang tinggi tepat berada di hadapanku. Wajahku mendongak, membalas tatapannya.
"Jahat? Selama empat tahun uangku sudah membiayai kuliahmu tanpa pernah kembali sepeser pun. Kamulah yang sebenarnya jahat! Kuliah tanpa melihat kondisi keuangan orang tuamu. Apa pernah mereka mengatakan tidak saat kamu meminta kiriman uang? Tentu saja tidak pernah karena mereka selalu mengandalkan diriku!"
Aku terdiam diterjang kata-katanya yang tajam. Mataku mulai berkaca. Bagaimanapun yang dikatakannya ada benarnya.
Sesaat dia kembali berbalik, memunggungiku.
"Sekarang semua tergantung dirimu," ucapnya lagi.
"Ini rumah kami satu-satunya. Bila harus pergi dari sini, kami harus tinggal di mana? Ayah pun sudah mulai menua, saya tak akan membiarkan dia dipenjara. Berilah saya waktu, Tuan. Saya akan bekerja dan mencicilnya." Kucoba bermohon lagi.
"Waktu?" Dia tersenyum mencibir. "Waktu hanya akan membuat bunganya semakin besar," lanjutnya.
"Lalu, apa lagi yang bisa kulakukan selain meminta waktu? Mengertilah, Tuan," pintaku lagi.
Sesaat dia berbalik, menatapku lagi.
"Jika kau mau menerima tawaranku, semua hutang itu lunas," ucapnya.
"Ta- tawaran?"
"Ya!"
"Apa itu, Tuan? Katakanlah."
Sebuah senyum tersungging di bibirnya, lalu berkata, "Datanglah ke rumahku malam ini. Aku menunggumu di kamarku."
"Apa?!"
"Temani aku malam ini atau ... temani ayahmu di penjara," desisnya sembari berjalan menuju pintu.
Namun sebelum melewati garis pintu, ia berhenti, "Kau harus sudah sampai sebelum jam sembilan malam. Bila tidak, kupastikan besok pagi ayahmu berada di bui."
Aku terpaku di pijakan tanpa sepatah kata. Hanya bisa menatapnya berlalu pergi diiringi kedua pengawalnya.
Menemani di kamarnya malam ini? Artinya ... aku akan melewati malam bersamanya? Tak ada lagi arti yang lain, dia sedang meminta harga diriku untuk menebus hutang itu.
***
Hembusan angin terasa dingin malam ini. Beberapa kali terdengar bunyi petir, menandakan langit sedang mendung. Awan-awan gelap, mungkin sebentar lagi akan menangis.
Aku duduk di tepi jendela, menatap kosong ke atas. Berharap mukjizat dapat terjadi, menyelamatkanku dari bencana yang mungkin akan menghancurkan hidupku ini.
"Darla ...." Panggil ibu.
Aku tak bergeming. Dentangan jam dinding berjumlah delapan kali, menyentakkan lamunanku.
Seketika aku bangkit, berjalan ke dalam kamar, berganti pakaian. Ibu mengikuti dari belakang. Raut wajah sedihnya terus terukir.
"Kamu akan ke sana, Nak?" tanya ibu lagi.
"Tak ada pilihan lain, Bu."
Uhuk ... uhuk ....
Terdengar suara batuk ayah. Sepertinya beliau terlalu lelah memikirkan semua ini sehingga tubuhnya yang mulai merenta lebih mudah terkena sakit.
Aku menghampiri ayah.
"Ayah jangan pikirkan hutang itu lagi, beristirahat lah, besok subuh kita berangkat ke kota. Ayah ingin melihat Darla diwisuda kan?"
Wajah menua itu menatapku nanar.
"Maafkan ayah, Nak," lirihnya.
"Tidak, Yah. Darla lah yang seharusnya minta maaf. Semua ini terjadi karena keinginan Darla untuk kuliah. Karena itu, Darla lah yang akan menyelesaikan semuanya."
***
Gerimis mulai turun saat aku keluar dari rumah. Menapaki jalan yang basah. Menggenggam sebuah payung usang yang kadang mendoyong diterpa angin.
Bagaimanapun berlindung dari payung tua itu, pakaianku tetap saja basah. Tubuhku menjadi dingin, sedingin hatiku kini.
Rumah besar dengan tembok pagar menjulang tinggi telah tampak di hadapanku. Setelah menyebutkan nama pada penjaga, dia mengantarku masuk ke rumah.
Aku berhenti di ruang tamu. Mengamati interior rumah itu. Bergaya klasik eropa, megah. Putih dan emas menjadi warna yang mendominasi dinding, lantai, langit-langit dan perabotannya.
"Neng, mari kuantar naik ke atas. Tuan Pras sudah menunggu di kamarnya." Seorang wanita paruh baya menghampiriku.
'Tuan Pras?' gumamku di dalam hati.
Aku menatap wanita itu sesaat lalu beranjak mengikuti langkahnya. Menapaki anak tangga menuju ke lantai atas. Tiba di depan sebuah pintu besar, ia berhenti dan mengetuk pintu.
"Tunggu sebentar," ucapnya kemudian berlalu masuk.
Tak lama kemudian dia keluar, membuka lebar pintu dan mempersilahkanku masuk. Aku melangkah pelan dengan nafas yang tertahan.
Jantungku berdetak tak karuan. Berjalan masuk ke kamar megah ini seolah sedang menapaki jalan ke neraka.
Pintu kamar telah tertutup. Wanita paruh baya itu sudah pergi. Pandanganku mengitari isi kamar itu. Di sisi sebelah kanan ada sebuah meja bundar dan dua kursi. Sebotol minuman dan dua gelas berkaki tertata di meja. Di belakangnya sebuah sofa panjang membentang membawahi karpet berbulu.
Di sisi sebelah kiri diisi sebuah meja rias dengan cermin yang besar. Di sampingnya berdiri kokoh lemari kaca berisi berbagai botol parfum.
Aku menoleh ke sudut dalam, sebuah tempat tidur berukuran besar dengan seprai dan selimut putih. Lampu hias indah mengapit di kedua sisinya.
"Selamat datang di kamarku, Nona Darla."
Spontan aku menoleh ke arah suara itu. Di sudut ruangan seorang pria sedang duduk di sofa tunggal, di bawah cahaya redup lampu hias. Memegang sebuah gelas minuman.
Satu tegukan dituntaskannya sebelum menaruh gelas itu di atas nakas dan berjalan menghampiriku.
Sesaat dia melirik jam tangannya.
"Pukul sembilan kurang lima menit. Wow, kau tepat waktu. Aku suka orang yang tepat waktu," gumamnya.
"Tak perlu berbasa-basi, Tuan. Sekarang katakanlah pekerjaan apa yang harus kulakukan di sini? Membersihkan rumah, mencuci pakaian, atau memasakkan makanan untuk Anda?" tanyaku dengan nada tegas.
"Ha-ha-ha ...." Dia tertawa.
"Mengapa Anda tertawa? Anda menyuruh saya datang untuk menjadikan saya budak Anda, kan?"
"Budak? Ya, kau akan jadi budakku malam ini, Nona Darla. Tapi bukan untuk melakukan pekerjaan seperti yang kau sebutkan tadi."
Dia mendekatkan tubuhnya padaku, seketika memegang daguku, menghadapkan ke wajahnya.
"Kau akan melakukan pekerjaan yang lain. Melayaniku di atas ranjang."
Seketika kutepis tangannya. Artinya dugaanku benar. Lelaki ini hendak merenggut harga diri dan kehormatanku.
"Jangan coba-coba lakukan itu padaku," ucapku sambil memundurkan langkah.
"Baiklah."
Tuan Pras mengambil telepon genggamnya dari saku celana, memencet beberapa tombol.
"Masukkan laporan polisi malam ini juga!" serunya pada lawan bicaranya di saluran telepon.
"Tidak! Ja- jangan, Tuan. S- saya akan menuruti Anda," lirihku memohon padanya.
Dia menyunggingkan senyum dan kembali mengangkat teleponnya.
"Batalkan!"
Telepon genggam itu kini diletakkannya di atas meja. Sesaat kemudian dia berjalan ke arahku sambil membuka kancing tangan kemeja lengan panjangnya, menggulungnya hingga ke siku.
Aku semakin berjalan mundur sampai akhirnya terbentur di sebuah lemari besar. Pria itu telah memepetiku, mengunci sisi kepalaku dengan kedua tangannya. Nafasku tak beraturan saat pandangan kami saling beradu.
Criitttt.
Tangan kanan Tuan Pras membuka pintu lemari, aku menoleh ke sisi kiri. Dia masih menatapku saat tangannya mengeluarkan gantungan baju bersama gaun yang tersangkut di situ.
"Pakailah ini," ucapnya sambil menghempaskan gaun itu ke tubuhku.
Dia berjalan menuju meja bundar, duduk di salah satu kursinya.
Kubentangkan gaun itu, menjuntai di depanku. Gaun warna merah bertali satu dengan belahan tinggi hingga paha.
Mataku terbelalak.
"Saya tak biasa memakai gaun seperti ini."
"Bajumu basah, gantilah dengan gaun itu daripada kau masuk angin," serunya.
Kuraba baju dan celana jeans-ku. Benar saja, memang basah. Rupanya suasana batin yang panas membuatku tak merasakan lembab dari pakaian basah ini.
"Dimana kamar mandi?" tanyaku.
Dia hanya menunjuk ke sebuah pintu yang ada di salah satu sisi ruangan itu. Aku berjalan menuju ruangan itu, melaksanakan perintahnya untuk berganti pakaian.
Saat keluar dari kamar mandi, polahku seperti kebingungan. Bagian tubuh manakah yang harus kututup dengan tangan. Bahu atau paha.
Tuan Pras menatapku yang sedang panik.
"Tak perlu menutupi bagian manapun. Nanti juga akan terbuka semua," ucapnya.
"Sekarang duduklah di kursi meja rias itu," titahnya lagi.
Walau berat, perintah itu harus kulakukan lagi. Kini aku sudah duduk di meja rias itu, menghadap cermin besar.
Tuan Pras berjalan ke arahku. Menunduk dan membuka laci besar di sisi bawah meja rias. Berbagai kosmetik tampak di dalamnya.
"Beriaslah!" perintahnya.
Mau tak mau harus kulakukan lagi. Satu per satu tahapan riasan kutunaikan. Sedangkan dia telah kembali ke kursinya semula, dan terus memandangiku. Bias-bias bayangannya terpantul jelas lewat cermin di depanku.
"Sudah," ucapku setelah riasan wajah kuanggap selesai.
"Hmm ... rupanya kau pandai berias juga," gumamnya.
Sejurus kemudian dia kembali berdiri, berjalan ke arah meja rias, membuka laci lainnya dan mengeluarkan sebuah kotak besar.
Sepasang selop berhak tinggi terpampang ketika kotak itu dibukanya.
"Pakailah ini!" serunya lagi.
Kuraih selop itu, meletakkannya di lantai dan memakainya. Seketika tubuhku menjadi lebih tinggi. Wajahku kini mampu menjangkau wajahnya.
Tuan Pras memencet sebuah remot. Alunan musik romantis klasik terdengar.
"Berdansalah denganku, Nona Darla," ucapnya seraya mengulurkan tangan kanannya padaku.
Tak ada pilihan selain mengikuti maunya. Kuterima uluran tangannya. Menempatkan tangan yang satu di bahunya. Melangkah mengikuti arah langkahnya. Berdansa.
Matanya yang tajam menyorot lekat mataku. Tubuh kami begitu rapat, dia merengkuh pinggangku erat.
"Kau haus?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kegugupan memang membuat tenggorokanku terasa kering.
Tuan Pras melepaskan tubuhku lalu menuju meja bundar. Diisinya dua gelas yang ada di situ dengan minuman. Sesaat kemudian dia telah kembali ke tempatku berpijak, menyerahkan sebuah gelas berisi minuman padaku.
Aku meneguknya. Setidaknya softdrink itu membuatku bisa sedikit tenang.
Tak lama kemudian, Tuan Pras kembali mengajak berdansa. Irama musik klasik itu masih mengalun.
Sesungguhnya, ini adalah pertama kalinya aku mendapatkan perlakuan seromantis ini dari seorang pria. Memakai gaun dengan selop tinggi, berhias serta berdansa dengan alunan musik romantis.
Tapi bagaimana aku bisa menikmati hal ini sebagai sesuatu yang indah bila terjadi karena sebuah keterpaksaan.
Seketika Tuan Pras mengeratkan rengkuhan tangannya di pinggangku. Membawa wajahku semakin mendekat padanya. Sesaat kemudian tangannya membelai rambut, lalu wajah dan mendarat di bibirku.
"Harus kuakui, walaupun hanya seorang gadis desa, kau begitu memikat. Dan ... malam ini kau adalah milikku, Nona Darla."
Ucapannya berakhir dengan mendaratkan bibirnya pada bibirku.
Aku menahan nafas dan menutup mata. Hanya bisa merasakannya, lembab dan basah.
Hujan semakin deras. Angin berhembus kian kencang. Pintu balkon yang terbuka membuat tirai-tirai bergerak, beterbangan.
"aaaa... a a..adu.h.." Aku yang berada dalam ketidakberdayaan, hanya bisa pasrah dalam rintihan dan isak tangis yang tertahan. sakiit rasanya.
Tuan Pras telah berhasil menuntut haknya, piutangnya telah terbayar lunas.
Dalam kepiluan ini, bayang-bayang wajah Kano melesat di pikiranku. Bukankah besok aku sudah berjanji akan memberikan jawaban atas penyataan cintanya?
Namun jawaban apakah yang bisa kuberikan kini? Aku sudah tak pantas untuknya.
"Hutang orang tuamu sudah lunas sekarang," bisik Tuan Pras di telingaku.
Aku menatapnya sinis, penuh kebencian. Dengan sisa-sisa tenaga berusaha menarik selimut.
"Saya-membenci-Anda-Tuan!" desisku tegas.
==========
Miskin. Apakah hal itu sebuah kutukan, ataukah musibah? Yang jelas kata itu selalu menimbulkan kengerian bagi yang mendengar, apalagi merasakannya.
"Darla ingin kuliah, Pak, Bu." Itulah yang dulu kuucapkan pada bapak dan ibu setelah lulus SMA.
"Kau bersungguh-sungguh, Nak?" tanya bapak.
"Bila punya ijazah sarjana, Darla pasti bisa mendapat pekerjaan yang baik nanti. Kalau hanya SMA, palingan hanya bisa menjadi penjaga toko," jawabku.
"Kita miskin, Nak. Bapak dan ibu hanya buruh tani," ucap ibu.
"Apa hanya orang kaya yang bisa kuliah, Bu? Jika begitu, orang miskin akan selamanya miskin. Dan, yang kaya akan semakin kaya. Ilmu pengetahuan itu sangat penting untuk merubah taraf hidup, Bu," ucapku mencoba meyakinkan.
Ibu dan bapak saling berpandangan, lalu menatapku pilu. Puteri tunggal hasil cinta kasih mereka, yang diberi nama Darla Prisha. Artinya cinta Darmo dan Laila, nama mereka berdua.
"Darla akan kuliah sambil bekerja paruh waktu," lanjutku.
"Tidak, Nak. Kamu tak boleh bekerja, nanti kuliahmu malah terbengkalai. Kamu harus fokus kuliah saja, biar bapak yang bekerja. Bapak akan semakin giat, lagipula banyak pemilik sawah yang memakai bapak untuk bekerja di sawah mereka," ujar bapak.
Ucapan bapak semakin menumbuhkan semangatku. Hingga akhirnya aku fokus kuliah dengan biaya darinya. Beruntung nilaiku baik hingga berhasil memperoleh beasiswa di semester kedua. Beasiswa dari donatur tetap universitas itu setidaknya menolong dalam pembayaran uang semester. Selebihnya untuk biaya hidup, sewa kost, membeli laptop, buku-buku dan lainnya ditanggung oleh kedua orang tuaku.
Kebodohanku saat itu adalah mengapa bisa sampai lupa, pekerjaan bapak bergantung pada musim. Tak selamanya hasil sawah bagus. Tak selamanya tenaga bapak dipakai. Tak selamanya bapak mendapatkan upah.
Kini pil pahit harus kutelan. Terpuruk dalam ketidakberdayaan, miris dan nelangsa.
Kucuran air dari shower membasahi kepala dan tubuhku. Berkali-kali kugosok dan bilas seluruh bagiannya agar sisa-sisa sentuhan pria itu benar-benar hilang. Sudah pukul tiga dini hari, setelah mandi aku harus segera pulang.
Keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap yang kugunakan ketika datang, aku berjalan tergesa hingga tak menyadari bila Tuan Pras sudah bangun dan duduk di sofa panjang dengan segelas minuman di tangannya.
"Biar sopir mengantarmu," gumamnya.
Aku menghentikan langkah, menoleh padanya.
"Tak perlu," jawabku.
"Di luar masih gelap, apa kau tak takut berjalan sendiri?"
"Masuk ke neraka dan bertemu iblis pun sudah kulakukan, mengapa harus takut berjalan sendiri di jalan desa?"
Tuan Pras berdiri, melangkah ke arahku.
"Lidahmu sangat tajam, Nona. Baru kali ini ada wanita yang berani berkata seperti itu padaku," ucapnya setelah berada di hadapanku.
"Wanita-wanita yang sudah Anda perdaya itu pastilah takut sehingga mereka diam. Begitulah orang-orang kaya seperti Anda bertingkah laku. Keangkuhan karena harta dan kekuasaan membuat dengan seenaknya menindas orang miskin dan lemah. Tapi saya tidak takut pada Anda, Tuan! Kewajibanku sudah selesai, sekarang saya akan pergi dan semoga tak pernah bertemu dengan Anda lagi."
"Kau yakin tak akan pernah bertemu denganku lagi?" tanyanya sinis.
"Sangat yakin, Tuan!"
Aku memalingkan wajah darinya, berlalu menuju pintu kamar. Kemudian pergi meninggalkan rumah itu.
***
Lampu di ruang tamu tampak menyala. Kutahu, ibu dan bapak pasti tak bisa tidur nyenyak semalaman, menungguku pulang.
"Darla, kau sudah pulang, Nak," seru ibu saat wajahku muncul di pintu.
"Iya, Bu," jawabku.
"Apa ... kau baik-baik saja?" tanyanya lagi.
"Iya, Bu, Darla baik-baik saja. Ayolah bersiap-siap, Bu, Pak. Jam empat kita berangkat ke kota."
Kebisuan mengiringi perjalanan menuju kota. Tawa bahagia yang seharusnya terjadi hari ini tak tampak. Seolah telah hanyut terbawa deras arus kesedihan.
Riuh ramai sudah tampak saat kami tiba di gedung serbaguna. Senyumam dan rona kebahagiaan terpancar dari setiap insan bertoga yang telah hadir. Begitu juga dengan keluarga yang datang untuk menyaksikan peristiwa penting ini.
"Bu, Pak, tersenyumlah, ini hari yang istimewa. Dan ... nanti Darla akan maju ke depan sebagai lulusan terbaik dari fakultas," kataku setelah mengantar mereka di tempat duduk untuk keluarga.
Ibu dan bapak menggenggam erat tanganku. Mata mereka mulai berkaca. Satu per satu dari mereka mendaratkan kecupan di keningku.
"Kami bahagia, bila kau bahagia, Nak," ucap ibu.
Bulir bening yang tertahan akhirnya menetes juga dari sudut mata ibu.
"Hari ini, lembaran baru hidup kita akan dimulai. Darla tak akan membiarkan air mata ibu dan bapak jatuh lagi," ucapku sambil menyapu air mata di pipi ibu dan bapak.
"La!" Seseorang berseru di belakangku.
Suara yang kukenali itu membuatku menoleh.
"Kano ... dengan siapa?" ujarku sambil melirik ke arah seseorang di sampingnya.
"Ini saudara sepupuku yang kebetulan ada kegiatan kantor di kota ini, jadi sekalian menggantikan orang tuaku untuk menghadiri wisuda ini," tutur Kano.
Ya, kota asal Kano memang di pulau lain, jauh dari kota ini. Transportasi yang digunakan adalah pesawat yang harganya tak murah. Sama seperti keluargaku, keterbatasan ekonomi pun terjadi di keluarganya.
Setelah saudara sepupu Kano mengambil tempat duduk bersama orang tuaku, aku dan Kano berlalu untuk menempati tempat duduk kami di barisan kursi wisudawan. Kebetulan, kursi kami bersampingan.
"La, kamu cantik sekali," bisik Kano padaku.
"Teman-teman yang lain jauh lebih cantik tuh, apalagi mereka dandannya di salon. Kalo saya kan cuma dandan sendiri" sahutku.
"Dandan sendiri saja sudah cantik begini, gimana kalau nanti didandanin pakai gaun pengantin di acara pernikahan kita ya?" ucapnya lagi sambil senyum-senyum.
Sontak aku menoleh padanya, tergelitik dengan kata pernikahan yang dituturkannya. Kano membalas tatapanku, binar di matanya lain dari biasanya. Sebuah binar kebahagiaan.
"Pernikahan kita?" lirihku.
"Iya, Kano Mahesa dan Darla Prisha. Cocok kan?"
Aku tak menjawab. Nuraniku bergejolak. Kano berbicara tentang pernikahan kami. Seserius itukah arah pernyataan cintanya?
Namun, apalah dayaku kini. Rasanya tak sanggup menerima cintanya. Itu takkan adil baginya. Kano berhak untuk mendapatkan wanita yang lebih baik, wanita yang suci.
Bila saja peristiwa semalam tak terjadi, mungkin hari ini benar-benar akan menjadi hari yang paling bahagia sepanjang hidupku. Memperoleh gelar sarjana sekaligus memperoleh cinta sejati.
Sungguh ... teringat hal itu membuatku kebencianku padanya semakin menjadi. Dia, orang kaya yang angkuh itu, yang telah merusak alur cerita hidupku dengan nafsu dan keegoisannya.
***
Acara pun dimulai. Sambutan-sambutan dari para petinggi silih berganti hingga tiba acara pemberian sambutan oleh donatur tetap di universitas ini. Sebenarnya aku pun sangat ingin melihat sosok beliau. Pun bila bisa, ingin mengucapkan terima kasih.
Yang kutahu beliau adalah orang yang kaya raya. Mau berbagi hartanya sebagai donatur pendidikan menandakan beliau adalah sosok yang dermawan.
"Acara selanjutnya, sambutan dari donatur tetap universitas yaitu Bapak Anggoro, yang diwakili oleh putera beliau Bapak Pras Dylano Anggoro. Kepada Bapak disilahkan," ucap protokol.
Mendengar nama 'Pras' jantungku berdegup. Semoga saja hanya nama yang sama, semoga bukan tuan yang sombong itu.
Pria itu berjalan menaiki podium. Tepat setelah berada di situ, dia mengangkat kepalanya. Mulai memberikan sambutan.
Tatapan yang kuarahkan padanya membuatku nyaris pingsan. Ruangan ini terasa berputar, aku pusing seketika. Sesaat kucoba menggeleng-gelengkan kepala, menutup mata dan mencoba melihat lagi.
Jangan, aku tak boleh pingsan. Ibu dan bapak ada di sini. Takkan kubiarkan kesedihan mereka bertambah. Bagaimanapun aku harus kuat menghadapi kenyataan ini.
Kenyataannya adalah donatur tetap yang memberikan beasiswa di universitas ini adalah Tuan Besar di desa kami. Dan puteranya, yang saat ini sedang berbicara di podium adalah pria yang memaksaku bersamanya semalam.
Pria yang kubenci.
***
Inti acara wisuda akhirnya tiba. Wisudawan terbaik dari setiap fakultas telah dipanggil untuk maju pertama, menjalani pemindahan tali toga oleh rektor.
Saat namaku disebut, aku berdiri. Namu saat hendak melangkah, Kano memegang lenganku.
"Selamat ya," gumamnya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Kemudian berlalu menuju posisi rektor berpijak. Menunaikan prosesi inti wisuda.
Sesaat ketika akan turun dari tempat itu, aku melihat wajahnya. Dia yang berada di jajaran tamu kehormatan, pria berjas yang memberikan sambutan tadi, Tuan Pras.
Pandangan mata kami saling bertemu. Tatapannya yang dingin kubalas dengan sinar mata yang sinis.
Mungkin dalam hati dia sedang tertawa, penuh kepuasan. Menertawai deritaku atas rasa malu yang telah mengetahui bahwa dialah donatur pemberi beasiswa padaku.
Kini, seluruh rangkaian acara telah usai. Seluruh tamu mulai keluar dari gedung. Bapak dan ibu pun sudah menungguku di dekat pintu keluar.
"La, mau ke kost dulu apa langsung balik ke desa?" tanya Kano saat aku hendak beranjak dari kursi.
"Langsung ke desa, Kan. Ibu dan bapak mau membuat syukuran kecil-kecilan. Hmm ... kamu sendiri, kapan kembali ke kotamu?"
"Saya mau ke rumahmu dulu menghadiri acara syukuranmu," ujar Kano.
"Oh, iya baiklah, nanti kukabari," ucapku sembari berbalik hendak beranjak pergi.
"La, tunggu!" Kano menahan lenganku.
"Ya?"
"Soal jawabanmu? Kau janji setelah kita wisuda kan?"
Aku terdiam sejenak. Kano sedang menagih janji, jawaban atas pernyataan cintanya.
Ya, Tuhan ... jawaban apa yang harus kuberi? Bila hatiku dapat berbicara, kata-kata cinta pasti sudah diucapkannya. Permohonan untuk selalu bersama, tak ingin ditinggalkan pasti sudah dilantunkannya.
Namun apalah dayaku kini? Aku hanyalah seorang gadis tak beruntung, tak pantas lagi disanjung dengan cinta.
"Kano ... selama empat tahun kita sudah bersama sebagai sahabat, maka ... biarkanlah hubungan kita tetap seperti itu. Selamanya ...."
"Darla ...."
Aku langsung berbalik, bergegas pergi, meninggalkan Kano. Tak ingin mendengar kelanjutan kata-katanya.
Maafkan aku Kano, harus menyakitimu saat ini. Tapi itu lebih baik daripada menyakiti di saat rasa cintamu semakin dalam.
***
"Permisi, Pak Darmo, Tuan Pras menyuruh saya untuk mengantar Bapak, Ibu dan Nona kembali ke desa. Tuan Pras sudah menunggu di mobil." Seorang pria yang berpakaian seperti sopir menghampiri kami saat keluar dari gedung.
Bapak dan ibu saling berpandangan, lalu serentak memalingkan pandangan padaku. Mereka pasti sedang meminta jawabanku atas tawaran pria itu.
"Katakanlah pada tuanmu, kami orang miskin, tak biasa naik mobil mewah. Kami takut di perjalanan mual dan muntah sehingga bisa mengotori mobilnya yang mengkilap itu," ucapku pada pria itu.
Tanpa berkata banyak dia pergi meninggalkan kami, kembali ke mobil tuannya.
Aku menyunggingkan senyum sinis. Entah hal apa yang sedang direncanakan tuan angkuh itu dengan mengajak kami pulang bersamanya menumpangi mobil mewah miliknya.
***
Sampai di desa, banyak tetangga yang sudah menunggu di depan rumah kami. Menyambut dengan riang gembira.
"Selamat ya Pak Darmo, Bu Laila, akhirnya puterinya jadi sarjana."
Satu per satu mereka menyalami bapak, ibu dan aku. Hingga sebuah pemandangan di teras rumah membuat kami terkejut.
"Lho, siapa yang kasi ini?" tanyaku sambil menunjuk sebuah karangan bunga yang berdiri di teras.
"Tadi ada yang bawa, dari tempat pembuatannya, katanya ada yang suruh," jawab seorang tetangga.
Kubaca tulisan di karangan bunga itu 'Selamat atas Gelar Sarjana Ekonomi yang diperoleh Darla Prisha'. Ada sebuah amplop terselip di sisi pinggirnya. Segera kuraih dan membukanya. Sebuah kertas dengan tulisan yang membuatku tercengang.
'Semoga karangan bunga ini bisa menghilangkan kesedihanmu akibat patah hati karena tak bisa menerima cintanya.'
Siapakah sesungguhnya pengirim karangan bunga ini? Mengapa dia bisa tahu tentang apa yang terjadi antara aku dan Kano?
Tidak! Tak ada orang yang tahu tentang pernyataan cinta Kano padaku. Dan tak ada yang tahu pula tentang penolakanku padanya.
Ya, Tuhan ... misteri apakah ini?
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel