Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 19 November 2021

Renjana Cinta #2

Cerita bersambung

Karangan bunga itu masih tergeletak di teras rumah saat ibu menanyakan mau diapakan benda itu.

"Berikan saja bunga-bunga segarnya pada orang yang mau ziarah kubur, Bu," jawabku.

Memikirkan siapa pengirim karangan bunga itu hanya akan menyita waktu. Lebih baik segera mengenyahkannya. Langkah masa depan harus dimulai.
Kugeser layar telepon genggam untuk mencari informasi lowongan kerja di menu pencarian internet. Beberapa informasi perusahaan yang membutuhkan karyawan sesuai pendidikanku telah tercatat dengan detail di selembar kertas.
Surat lamaran kerja beserta dokumen pendukung sudah siap. Mulai besok, aku sudah harus bergerilya memperjuangkan masa depan, demi ibu dan bapak.


Malam ini, tetangga-tetangga mulai berdatangan, doa selamat atas kelulusanku sebentar lagi dimulai. Namun, sosok yang kutunggu tak jua muncul.
Kembali kugeser layar hp, mengecek apakah sudah ada pesan balasannya.

'Kan, malam ini acara syukuranku. Kamu datang kan?' Begitulah pesan yang kukirim.

Aku tertegun, jangankan dibalas, dibaca pun belum. Terlihat dari centang satu abu-abu yang menandainya. Apakah hp-nya tak aktif? Kupastikan melalui panggilan, dan benar saja hanya suara operator yang terdengar.

Kano ... apakah yang terjadi padanya, mengapa sejak pagi telepon genggamnya tak jua aktif? Hatiku resah, ada rasa takut bila kini dia sedang menjauh. Penolakan cinta tak berarti hubungan harus terputus. Apakah kau tak mau menjadi sahabatku lagi?
***

Satu per satu perusahaan yang memuat iklan lowongan kerja telah kudatangi, memasukkan berkas lamaran. Tinggal menunggu panggilan untuk mengikuti tes.

Selama masa itu aku membantu ibu di rumah. Ayah sudah kembali bekerja. Tubuhnya terlihat lebih segar kini, mungkin karena beliau melihat semangat hidupku tak luntur meski sudah mengalami hal pahit.

Tiga perusahaan menghubungi di saat yang hampir bersamaan, beruntung waktu tesnya berbeda. Selama beberapa hari ini aku mondar-mandir ke kota untuk mengikuti tes tertulis. Selain itu, juga untuk mengambil beberapa barang yang masih tersisa di kost-an, sekaligus berpamitan pada ibu pemilik kost.

"Bu, Kano masih ada di kamarnya?" tanyaku pada ibu kost saat itu.
"Selesai wisuda dia pamit ke ibu untuk pergi, katanya agak lama, tapi ibu tak tahu pastinya dia kemana dan kapan akan kembali. Yang jelas katanya dia masih memakai kamarnya," jawab ibu kost.

Kemana Kano pergi, dan mengapa telepon genggamnya tak aktif hingga kini? Toko percetakan tempatnya bekerja menjadi tempat terakhir yang kudatangi untuk menemukannya. Namun sama saja, hasilnya nihil.

"Kano sudah berhenti bekerja di sini sejak selesai wisuda," ucap pemilik toko.

Mengapa Kano tak mengatakan bila dia sudah berhenti bekerja dan hendak pergi dari kota ini. Apakah dia benar-benar ingin menghindar dariku? Rasanya belum siap untuk kehilangan sosoknya dalam hidupku.
***

Satu bulan menunggu akhirnya panggilan wawancara datang. Dengan langkah pasti dan percaya diri kudatangi perusahaan pertama.

"Nona Darla, hasil tes tertulis Anda sangat baik. Anda pun lulusan terbaik. Di usia Anda yang masih, dua puluh tiga tahun, pastilah akan memberikan kinerja yang baik untuk perusahaan ini. Tapi, sekarang kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan untuk memastikan kelayakan Anda menjadi karyawan kami," ucap Kepala Bagian SDM perusahaan itu.
"Baik, Pak," jawabku mantap.

Tak ada satu pun pertanyaan yang tak bisa kujawab. Semua terlahap dengan penuh keyakinan. Kulihat pria paruh baya yang sedang mewawancaraiku pun terus mengangguk dan terkesima.

"Baiklah, Nona, sekarang Anda boleh pulang, beberapa hari kemudian akan kami hubungi lagi untuk memberikan jawaban apakah Anda diterima atau tidak," ucapnya ramah.
"Baik, Pak," jawabku dengan tersenyum.

Namun saat aku hendak berdiri untuk keluar, seorang wanita masuk dengan membawa sebuah telepon genggam.

"Pak, ada telepon untuk Bapak," ucap wanita yang mungkin adalah staf Bapak itu.

Sesaat kemudian Bapak itu tampak berbicara, mengangguk dan mengiyakan. Setelah itu dia kembali menyerahkan gawai tersebut pada wanita tadi, yang kini berlalu meninggalkan ruangan.

"Em ... Nona Darla, tunggu sebentar! Ada yang mau saya katakan. Em ...."

Bapak itu tampak ragu untuk mengucapkannya.

"Katakanlah, Pak. Saya siap mendengarkan," ujarku.
"Maaf, Anda tak perlu lagi kembali. Anda ... tak bisa diterima untuk bekerja di perusahaan ini," ucapnya lirih.
"A-apa, ba-bagaimana bisa begitu, Pak? Bukankah ... tadi Bapak bilang bahwa hasil tes tertulis saya baik, dan saat wawancara tadi semua pertanyaan Bapak sudah saya jawab semaksimal mungkin."
"Maafkan saya, Nona Darla, ini adalah keputusan manajemen. Sekali lagi, saya mohon maaf. Sekarang Anda sudah bisa pergi."

Aku tak berucap lagi. Hanya bisa pasrah menerima hal itu. Pulang dengan perasaan sedih.

"Yang sabar, Nak, mungkin belum rejeki di tempat itu. Besok kan masih ada panggilan tes wawancara si kantor lainnya," ucap ibu menghiburku.

Benar kata ibu, perjuangan belum berakhir. Gugur satu tumbuh seribu asalkan asa tak memudar.

Keesokan harinya kembali kulangkahkan kaki menempuh perjalanan ke kota. Mengadu nasib untuk membangun impian masa depan.
Akan tetapi, entah mengapa hal serupa kembali terjadi. Hasil tes tertulis memuaskan namun saat tes wawancara, penolakan kembali kuterima.

"Kami tak bisa menerima Anda, Nona Darla."

Saat menanyakan alasannya, jawaban yang sama selalu kuterima. Keputusan manajemen menjadi alibi.
Entah keputusan manajemen yang seperti apakah sehingga meskipun hasil tes tertulis dan wawancara baik, aku tetap tak bisa dipekerjakan.

Ya Tuhan, seburuk inikah nasibku? Bila hanya satu atau dua perusahaan yang menolak bisa kupahami. Tapi mengapa seluruh perusahaan itu melakukan hal yang sama?
Tak ada satu pun yang menerimaku untuk menjadi karyawannya, tanpa alasan yang jelas.
Penderitaan apakah lagi yang kurang dalam hidupku? Kehilangan kesucian. Kehilangan cinta. Kehilangan sahabat.
Apakah kini aku harus kehilangan masa depan? Impian membahagiakan ibu dan bapak.

Entah mengapa aku seperti merasakan perputaran poros bumi. Rasa pusing sepanjang perjalanan tadi rasanya tak bisa tertahan lagi saat menyusuri jalan desa kini.
Pandangan semakin gelap, dan kini aku tak merasakan apa-apa lagi.

Bruuukkk!
***

Aroma cairan yang menyengat membuatku perlahan membuka mata. Mendengus. Samar-samar pemandangan di hadapan terpampang. Sebuah ruangan yang besar dengan interior dan perabotan yang mewah.

Dimanakah aku berada? Untuk mengetahuinya, pandanganku mengitari setiap sisi ruangan.
Tempat tidur besar dengan seprai putih, lemari besar, sofa, meja bundar dan meja rias. Aku seperti pernah berada di sini.

"Akhirnya kamu sadar juga."

Kupalingkan wajah padanya, seorang wanita paruh baya dengan sebotol minyak kayu putih di tangannya. Wanita ini pun pernah kujumpai. Dia ... dia adalah wanita yang pernah mengantarku ke ruangan ini.

Kamar Tuan Pras!

Dengan sigap dan terburu aku bangkit untuk duduk, memeriksa setiap bagian pakaian. Ternyata masih lengkap seperti yang kupakai tadi.
Apakah aku sedang bermimpi? Kucoba mencubit lengan.

"Aww ...." teriakku merasakan sakit.

Berarti aku tak sedang bermimpi. Ini nyata! Kembali berada di dalam kamarnya. Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang membawaku ke sini?

"Bu, mengapa saya bisa berada di sini?" Kuberanikan diri bertanya pada wanita itu.
"Panggil saja saya Bik Narti," ujarnya.
Aku mengangguk, "Baiklah, Bik Narti. Tolong beritahu apa yang terjadi pada saya tadi?"
"Tadi Non pingsan di jalanan. Mungkin kebetulan Tuan Pras lewat lalu membawa Nona ke sini. Tuan Pras menyuruh saya untuk menemani Non sampai sadar," jelas Bik Narti.

Kucoba mengingat kejadian tadi. Ya, kepala yang pusing, bumi terasa berputar, gelap, dan ... aku tak ingat lagi. Berarti benar, tadi aku pingsan.
Dan ... Tuan Pras, mengapa harus pria itu yang menolongku? Mengapa bukan orang lain yang lewat di jalan itu.
Sepertinya, sejak bertemu dengannya, hidupku terus saja dilanda kesialan. Dan kini, berada di kamarnya membuat bayang-bayang kejadian malam itu terlintas di pikiranku.

Kami berdansa, kecupannya di bibirku, lenguhan dan isak tangis yang tertahan dalam setiap dernyitan ranjang besar ini. Bagaimana pria tiga puluh tujuh tahun itu merengkuhku dalam kenikmatannya, namun menjadi neraka bagiku.

Tidak! Aku harus segera pergi dari sini.
Dengan tergesa aku menuruni ranjang, melangkahkan kaki hendak keluar.

"Nona, tunggu! Jangan pergi dulu. Kamu baru saja sadar dari pingsan. Minumlah dulu teh hangat ini," seru Bik Narti.

Aku menghentikan langkah dan menoleh.

"Tak perlu, Bik! Berlama-lama di sini bisa membuatku gila."
"Tidak, Nona. Bila saya membiarkanmu pergi, Tuan Pras pasti akan marah padaku."
"Kalau hanya sekadar dimarahi, Bibik pasti sudah terbiasa. Orang angkuh seperti dia pasti sudah biasa memarahi pekerjanya. Tapi jika saya yang lebih lama berada di sini, maka sebuah hal yang lebih buruk bisa terjadi padaku. Lagipula ... malam nanti, Bibik pasti akan mengantarkan seorang wanita lain lagi ke kamar ini."
"Mengantarkan wanita lain ke kamar ini? Apa maksudmu, Nona?" Raut wajah Bik Narti mengernyit.
"Bukankah tugas Bik Narti adalah menyambut para wanita yang datang dan mengantarkannya ke kamar ini untuk menjadi budak nafsu Tuan Muda Bik Narti itu?"
"Tidak Nona. Tidak begitu ...."
"Kenyataannya hal itu terjadi padaku!" Aku membentak Bik Narti.

Wanita paruh baya itu terhentak. Menatapku nanar.

"Biarkan saja dia pergi, Bik!" seru seseorang dari pintu.

Aku dan Bik Narti menoleh serempak.

"Anda sudah datang, Tuan Pras," ucap Bik Narti sambil berjalan menghampirinya.
"Pergilah, bila kau mau pergi!" perintah pria itu padaku.
"Tanpa Anda perintah pun, saya pasti akan pergi!" seruku sembari berjalan melaluinya.
"Terima kasih memang kata yang paling sulit kau ucapkan," ucap pria itu saat aku hendak melewati pintu.

Aku menoleh padanya. Menatapnya penuh kebencian.

"Terima kasih adalah kata yang diucapkan untuk sebuah pemberian yang diterima. Kata itu tak pantas untuk orang yang merampas, seperti Anda!"
"Apa yang kurampas? Bukankah itu harga untuk melunasi hutang?"
"Anda benar-benar tak punya hati nurani. Mengapa Tuhan bisa menciptakan manusia seperti Anda?"
"Untuk menjadi alasan agar Dia menciptakan manusia sepertimu, Nona Darla."
"Anda butuh psikiater, Tuan!" seruku dan segera berbalik melangkah melewati pintu kamar itu.

Samar-samar masih kudengar suara obrolan dari dalam kamar.

"Dia membenci Anda, Tuan." Suara Bik Narti.

Entah jawaban apa yang diberikan Tuan Pras pada Bik Narti karena langkah kupercepat untuk segera meninggalkan kamar serta rumah itu.

==========
Bias-bias cahaya matahari sore yang masuk ke kamar membentuk guratan pelangi di lantai. Begitu indah bias warna-warni itu. Seperti itulah semestinya hidup. Berbagai peristiwa yang terjadi hendaknya melukiskan warna tersendiri. Ketika dirangkaikan akan menjadi pelangi.
Mirisnya, mengapa bias-bias pelangi tak terangkai di alur hidupku. Hanya kelabu yang mewarnainya. Perjuangan yang harus kulalui terlalu berat. Ditambah dengan berbagai peristiwa kelam yang menimpa.

Sudah sebulan menganggur, apa gunanya gelar sarjana yang kuperjuangkan itu kini. Sebagai manusia biasa, tentu ada rasa lelah. Tapi bayang-bayang wajah ibu dan bapak selalu menjadi energi tersendiri untuk bangkit dan terus berjuang.

Informasi lowongan kerja sedang kutelusuri saat terdengar suara ibu memanggil.

"Darla, kemari Nak, bantu ibu di belakang."

Rupanya ibu sudah pulang dari sawah.

"Iya, Bu."

Segera kutuju tempat ibu berada, di pekarangan belakang rumah.

"Sini, Nak, bantu ibu potong-potong sayur genjer ini. Tadi ibu petik di sawah. Lumayan untuk makan malam," ucap ibu setelah melihatku muncul.
"Mau ditumis ya, Bu? Sudah lama Darla tidak makan sayur genjer buatan ibu."
"Iya, Nak, nanti ibu tumisin."
"Tapi, Bu ... tadi Darla lihat minyak gorengnya tinggal sedikit, gula juga. Beras paling tinggal beberapa liter. Apa ibu belum ke pasar?" tanyaku.
"Oh, itu ... anu i- iya, Nak. Ibu belum sempat ke pasar."

Raut wajah ibu tampak berubah, ucapannya pun terbata. Pasti dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Kuraih tangannya, menggenggamnya. Kemudian menatap matanya.

"Bu, jujurlah! Apa ibu sudah tidak punya uang?"
Matanya menjadi sayu, wajahnya menyendu.

"Bapak sudah mengambil panjar untuk sawah yang dikerjakannya sekarang. Uangnya sudah kita pakai sebulan ini. Untuk biaya hidup dan untuk ongkosmu melamar kerja ke kota."

Aku tertegun. Benar saja, beberapa kali bolak-balik ke kota telah menghabiskan biaya yang lumayan banyak. Dan uang itu dari mereka.

"Maafkan Darla, Bu. Doakanlah supaya lamaran kerja yang selanjutnya berhasil."
"Tentu, Nak. Tak pernah sekalipun ibu berdoa tanpa menyebut namamu. Ibu selalu meminta kebahagiaan diberikan untukmu. Cukup sudah derita yang kau alami. Ibu dan bapak pun selalu menitikan air mata bila mengingatnya."
"Cukup, Bu. Jangan diingat lagi. Lembaran kelam itu sudah kita tutup."

Ibu mengangguk. Memotong-motong sayur genjer pun kami lanjutkan.

"Mbok Laila, sedang apakah?"

Seorang wanita berjalan menghampiri kami. Mbok Tarmi, tetangga sebelah rumah.

"Eh, Mbok Tarmi. Ini sedang motongin genjer buat sayur," sahut ibu.
"Eh, ada Nak Darla juga," ujarnya padaku.
"Iya, Mbok, bantuin Ibu," sahutku.
"Ngomong-ngomong Nak Darla belum bekerja ya?" tanya Mbok Tarmi.
"Belum ada lamaran yang diterima, Mbok," jawabku.
"Itu, Nak Darla daripada melamar kerja ke kota, lebih baik melamar ke perusahaan Tuan Besar saja yang ada di desa ini. Tadi Pak RT bilang lagi ada penerimaan karyawan untuk bagian administrasi keuangan. Nah, pendidikan Nak Darla cocok kan?"

Aku dan ibu seketika saling berpandangan saat Mbok Tarmi menyebut nama Tuan Besar. Yang dimaksudnya sudah pasti Tuan Anggoro, ayah Pras.
Keluarga mereka memang memiliki perusahaan di desa ini, bergerak di bidang perdagangan hasil bumi. Semua petani menjual hasil sawah dan kebun mereka ke perusahaan itu yang kemudian diekspor atau dijual lagi ke perusahaan produksi.

"Atau ... Nak Darla tak mau bekerja di perusahaan yang di desa? Kalau begitu tinggal menemui Tuan Pras, minta padanya untuk bekerja di perusahaannya yang ada di kota. Tuan Besar punya hotel, restoran, toko perhiasan, dan banyak usaha lain lagi. Banyak loh, anak-anak desa ini yang bekerja di perusahaan Tuan Besar di kota. Ada yang jadi pelayan restoran, pelayan hotel, OB, macam-macam lah. Si Kanti saja kalau sudah lulus SMA mau saya suruh kerja ke perusahaan Tuan Besar, karena memang beliau lebih mengutamakan untuk mempekerjakan orang dari desa ini," sambung Mbok Tarmi.
Aku dan ibu masih membisu.

"Lagian Pak Darmo kan sudah kenal baik dengan Tuan Pras, jadi tak perlu pakai tes-tes pasti langsung diterima. Eh, kapan hari itu Tuan Pras mampir ke sini kan? Saya sempat melihat dia keluar dari rumah ini."

Aku dan ibu kembali saling berpandangan.

"Iya, Mbok. Tuan Pras cuma kebetulan mampir menanyakan hasil sawah Pak Jono yang sedang dikelola bapaknya Darla," jawab ibu berdusta.

Ibu tak mungkin mengatakan bahwa kedatangan Tuan Pras saat itu adalah untuk menagih hutang yang sudah bertahun-tahun hingga akhirnya diriku menjadi alat untuk melunasinya.

Untung saja hari sudah terlalu sore sehingga Mbok Tarmi tak berlama-lama mengobrol dengan kami. Akan tetapi, bagaimanapun informasi yang diberikannya terngiang-ngiang di ingatanku. Lowongan kerja di perusahaan Tuan Besar di desa ini.

Sebuah dilema besar sedang melanda. Untuk melamar kerja ke kota, aku butuh biaya lagi. Bagaimana akan meminta pada bapak dan ibu bila untuk membeli bahan makanan saja mereka sudah tak mampu. Namun, bila aku bekerja di perusahaan Tuan Besar, kemungkinan akan bertemu pria yang kubenci itu sangatlah besar. Sementara, bila bisa aku tak ingin melihat wajahnya lagi.

Memikirkannya hingga malam ini di peraduan, membuat mataku tak bisa terpejam. Ibu yang mengetahui aku belum tidur datang menghampiri.

"Jam segini, kenapa belum tidur, Nak?" tanya ibu setelah membuka pintu kamarku.
"Ibu juga belum tidur?" Aku bertanya balik.
"Tadi ibu mau ke kamar mandi, lampu kamarmu masih menyala, makanya ibu masuk."

Aku bangkit dari rebahan, duduk bersandar di kepala dipan.

"Bu ... dari cerita Mbok Tarmi tadi, sepertinya Tuan Besar itu orang yang baik?" tanyaku setelah ibu ikut duduk di tepi tempat tidur.
"Iya, begitulah."
"Tapi, mengapa puteranya begitu jahat?"
"Ibu juga tak mengerti, Nak. Selama ini Tuan Pras selalu bersikap baik pada bapak dan ibu. Setiap kali ke kantor Tuan Pras untuk meminjam uang, bapak dan ibu seperti diperlakukan berbeda. Bila yang lainnya hanya bertemu pegawainya, kami akan disuruh untuk langsung bertemu Tuan Pras. Bapak dan ibu pernah menanyakan kepada pegawainya berapa jumlah hutang kami beserta bunganya, tapi pegawai itu bilang bahwa nama bapak tak ada di catatan ataupun data di komputer. Mungkin saja Tuan Pras sendiri yang mencatatnya. Sampai akhirnya dia datang menagihnya ke rumah ini, dan ...."
"Tak perlu dilanjutkan, Bu."

Sesaat hening tercipta.
Mendengar cerita ibu entah mengapa aku jadi semakin membencinya. Sepertinya perbuatannya padaku memang sudah direncanakan. Memperlakukan khusus kedua orang tuaku, menjerat mereka dalam bunga hutang tanpa data dan perhitungan yang jelas.

"Lalu, dimanakah Tuan Besar sekarang, Bu? Seharusnya dia bisa mengawasi puteranya sehingga tak seenaknya sendiri," tanyaku memecah keheningan.
"Tuan Besar sedang berada di luar negeri. Dari cerita orang-orang, Tuan Besar sedang berobat. Tuan Besar mulai sering sakit sejak peristiwa yang menimpa Tuan Pras empat tahun silam."
"Peristiwa apa?" tanyaku penasaran.
"Tuan Pras gagal menikah."

Ingatanku kembali ke masa empat tahun silam, berita rencana pernikahan putera Tuan Besar tersebar di desa ini. Namun saat itu aku sedang fokus mengurus pendaftaran kuliah di kota.

"Mengapa bisa, Bu?"
"Calon isteri Tuan Pras hamil dengan pria lain. Saat itu yang ibu dengar, Tuan Pras mengalami depresi karena patah hati. Selama beberapa bulan dia selalu mabuk-mabukan. Pergi dan pulang tak kenal waktu. Saat itulah Tuan Besar jatuh sakit. Seluruh warga desa sangat prihatin atas kondisi kesehatan Tuan Besar. Bisa dikatakan, semua warga desa ini begitu menghormati dan menyayangi beliau. Hingga akhirnya, Tuan Besar dan Tuan Pras ke luar negeri untuk sama-sama berobat. Tuan Pras sendiri sudah kembali ke desa ini sejak setahun terakhir, sedang Tuan Besar belum."

Cerita ibu membuatku tertegun. Apakah sikap dingin dan kejam pria itu akibat dari depresi yang pernah dialaminya? Namun mengapa diriku yang harus menjadi korbannya?
***

"Bu, berhutanglah dulu di warung. Persediaan bahan makanan kita sudah menipis."

Terdengar suara bapak yang sedang berkata pada ibu di dapur. Aku menghentikan langkah, mengintip di balik tirai penghubung ruang tengah dan dapur.
Bapak sedang sarapan. Segelas air putih dan ubi rebus tergeletak di meja. Gula pasti sudah habis sehingga bapak tak bisa menikmati kopi pagi ini.

Di sebelahnya, ibu sedang mengisi nasi dan tempe rebus di rantang untuk bekal makan siang bapak.

"Hutang yang bulan lalu belum terbayar semua, Pak. Rasanya ibu malu bila harus berhutang lagi. Saat itu ibu belum membayar semua karena Darla butuh ongkos yang banyak untuk melamar kerja ke kota," balas ibu.

Hatiku terasa perih. Rasanya akan menjadi anak tak berguna bila sampai membiarkan orang tua kesusahan, padahal sudah menyandang gelar sarjana. Dan lihatlah, makanan yang akan mengganjal perut bapak, sungguh tak setara dengan tenaga yang akan dikeluarkannya saat bekerja di sawah.

Aku bergegas kembali ke kamar, mengganti pakaian yang pantas, selayaknya orang yang akan melamar pekerjaan.
Ya, hari ini aku akan kembali melamar kerja tapi bukan ke kota karena tak ada biaya untuk itu.

"Bu, Pak ...." ucapku seraya menggeser kursi dan ikut duduk bersama mereka.

Ibu dan bapak saling berpandangan setelah melihat penampilanku.

"Kamu ... mau melamar kerja lagi hari ini, Nak?" tanya bapak.
"Iya, Pak," jawabku sembari menuangkan air putih ke gelas kosong di meja.
"Tapi ... hari ini bapak belum-"
"Darla tak minta ongkos, Pak. Darla melamar kerja jalan kaki saja," sahutku.

Bapak dan ibu kembali saling berpandangan dengan sorot mata penuh tanya.
Setelah menuntaskan tegukan air putih, aku berdiri, menyalami dan mencium tangan mereka.

"Doakan Darla, ya!" seruku sembari berlalu pergi.
***

Gedung yang ada di hadapanku ini adalah bangunan terbesar yang ada di desa ini. Selain berfungsi sebagai kantor, juga sebagai gudang untuk menampung berbagai hasil sawah dan kebun.
Perlahan kulangkahkan kaki memasuki ruang lobi, seorang resepsionis sedang berada di situ.

"Permisi Mbak, apa benar di sini ada lowongan kerja untuk administrasi keuangan?" sapaku.

Wanita muda yang tadi sedang menunduk itu mengangkat kepalanya.

"Oh, iya benar. Apa ada yang bisa dibantu?" balasnya.
"Saya mau masukkan surat lamaran, Mbak."

Kuserahkan sebuah amplop coklat pada resepsionis itu.

"Baiklah, silahkan tunggu sebentar, akan saya masukkan ke HRD. Setelah dari sana baru saya beritahu kapan Mbak bisa datang kembali untuk tes," ucapnya.

Aku mengangguk dan duduk di kursi tunggu, sementara wanita itu telah berlalu masuk ke ruangan dalam.

Sekitar lima menit menunggu, wanita itu akhirnya kembali. Aku segera berdiri dan kembali menghampirinya.

"Mbak, silahkan ikut dengan saya. Mbak akan dites hari ini juga," ujarnya.
"Oh ya? Secepat itukah?" tanyaku.
"Iya, soalnya tenaga keuangan sudah sangat dibutuhkan," jawabnya.

Aku pun menurut, mengikutinya masuk ke dalam. Mungkin seperti biasa, menemui kepala HRD, menjalani tes tertulis, bahkan langsung tes wawancara.
Ruangan yang kami tuju berada di lantai dua. Setelah menapaki anak tangga, wanita itu berhenti di sebuah pintu, mengetuk lalu membukanya.

Suara pintu berdenyit.

"Silahkan masuk, Mbak. Pak Direktur menunggu di dalam."

Apa? Pak Direktur? Entah mengapa jantungku berdegup kencang mendengar sebutan itu. Ternyata yang akan kutemui bukanlah bagian HRD, tapi direktur perusahaan ini.
Aku melangkahkan kaki, masuk ke dalam. Sesaat kemudian pintu kembali berdenyit. Tertutup. Wanita tadi pun sudah pergi.
Seorang pria tampak sedang duduk di kursinya yang berbalik arah dari seharusnya. Membelakangi meja. Artinya dia sedang memunggungiku.

"Selamat pagi, Pak. Saya Darla Prisha, hendak melamar kerja di kantor ini," ucapku perlahan.

Sesaat kemudian ia memutar kursinya, kembali menghadap meja, sekaligus menampakkan wajahnya padaku.
Jantungku semakin berdegup kencang. Walaupun hal ini telah kupersiapkan untuk terjadi tapi harapan sesungguhnya adalah sebaliknya.
Pria itu menatapku tajam. Dingin. Membuat pijakanku seperti terpaku.
Kembali berada di hadapannya dalam keadaan terpaksa, atas hasutan ketidakberdayaan. Tak ada pilihan lain, kembali menjadi alasan.
Aku butuh pekerjaan. Aku butuh gaji. Kembali lagi, semua demi bapak dan ibu.

"Selamat datang, Nona Darla," gumamnya dingin.

Ya, pria yang sedang kuhadapi adalah dirinya, pria yang kubenci itu. Keputusan telah kuambil tadi pagi, melamar pekerjaan di sini, di perusahaan Tuan Pras.


Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER