Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 20 November 2021

Renjana Cinta #3

Cerita Bersambung

Dalam pijakan yang masih terpaku, kucoba mengumpulkan keberanian untuk mengahadapi kenyataan. Entah tes seperti apa yang akan diberikannya padaku untuk menjadi karyawan di perusahaan ini.

"Duduklah!" titahnya.

Langkah kaki perlahan diiringi bunyi ketukan sepatu mengantarku duduk di kursi yang berada tepat di depannya.

"Paparkan CV-mu," ucapnya lagi.

Sesaat aku menghela nafas sebagai upaya menghilangkan kegugupan. Tak seperti tes-tes sebelumnya yang kuhadapi dengan penuh percaya diri, kali ini benar-benar berbeda. Rasanya seperti menjadi anak ayam yang berada dalam tatapan seekor elang.

"Na- nama saya Darla Prisha, umur dua puluh tiga tahun. Fresh graduate, jurusan akuntansi, dengan IPK tiga koma sembilan."
"Lalu?"
"Saya berniat melamar pekerjaan sebagai tenaga administrasi keuangan di perusahaan ini. Untuk itu, saya siap mengikuti tes, baik tertulis maupun wawancara."
"Tes-tes itu tak perlu. Bukankah nilaimu selalu baik untuk tes-tes semacam itu? Kau akan dites untuk hal yang lain," gumam pria itu.

Aku mengernyitkan dahi. Apa maksud perkataannya? Mengapa dia tahu tentang tes lamaran kerja lainnya yang pernah kulakukan? Kuberanikan diri untuk bertanya padanya.

"Maaf, Tuan. Apa maksud perkataan Anda?"
"Aku tak dipanggil tuan di kantor ini."
"Ma- maaf, Pak Direktur."

Sekilas dia menyunggingkan senyum dingin.

"Selama sebulan ini kau sudah bolak-balik ke kota untuk tes, tapi tak ada satu pun yang menerimamu. Kasihan, sampai pingsan di jalanan."

Bola mataku membesar, terkejut dengan ucapannya.

"Mengapa Anda bisa tahu?"
"Aku tak dipanggil anda di kantor ini."

Aku membuang nafas, "Maaf Pak Direktur, mengapa Bapak bisa tahu tentang penolakan perusahaan-perusahaan yang kulamar?"
"Karena aku mau kau bekerja di sini, Nona Darla. Aku mau kau terus terikat padaku."

Seketika aku berdiri. Bola mataku semakin membesar, menatapnya marah.

"Artinya, ada campur tangan Anda dalam semua penolakan itu?"
"Sudah kukatakan, aku tak dipanggil anda di sini!" Tuan Pras pun berdiri.

Kedua tangannya bertumpu di atas meja, mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Aku tak peduli apapun sebutan Anda. Tapi yang Anda lakukan kepada saya selama ini terlalu jahat, Tuan. Apakah kesalahan saya hingga Anda sebegitu inginnya menghancurkan hidup saya, masa depan, impian dan semua hal tentang saya? Katakan, Tuan!" Nada suaraku meninggi.

Tuan Pras berjalan memutari meja besarnya, menuju ke arahku. Kuputar arah tubuh seiring kedatangannya hingga kini posisi kami telah saling berhadapan.

"Kesalahanmu adalah menyelamatkan hidupku," desisnya.

Pandangan kami saling bertemu, sinar kemarahan yang terpancar dari mataku perlahan mereda. Terlarut dalam sinar matanya yang penuh misteri. Aku melihat riakan kepedihan ada di dalam sana. Binar matanya seperti sedang berbicara, hendak menyampaikan sesuatu padaku.
Apakah yang dimaksud dengan aku telah menyelamatkan hidupnya? Belum juga sempat kutanyakan, Tuan Pras mengalungkan sesuatu di leherku, sebuah benda yang diraihnya dari kotak di atas mejanya.

"Ini ID card-mu. Kau diterima bekerja di sini. Tak ada alasan untuk menolak. Orang tuamu sedang kelaparan."

Pria itu berlalu meninggalkan ruangan itu. Ruangan kerjanya sendiri beserta diriku dengan pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab.

"Mbak Darla, ayo ikut dengan saya. Saya akan tunjukkan ruangan Mbak Darla." Suara seorang wanita muncul dari pintu.

Aku menoleh padanya. Wanita itu berjalan menghampiriku.

"Perkenalkan, nama saya Ratih, bagian HRD. Mbak sudah bisa bekerja mulai hari ini. Mari sekarang kita ke ruangan Mbak Darla."

Kugapai tangan yang diulurkannya. Bersalaman. Kemudian mengikuti langkahnya menuju ruangan yang dimaksud.
Kami telah sampai di sebuah ruangan yang tersekat-sekat. Ada dua orang karyawan di situ, seorang pria dan seorang lainnya adalah wanita. Mbak Ratih memperkenalkan mereka padaku, yang pria bernama Yoga, menjabat administrasi gudang. Yang wanita bernama Ningsih sebagai kasir.

"Mbak Darla nanti yang akan menangani pembukuan dan pelaporan keuangan. Kepala Bagian di sini namanya Pak Bambang, beliau sedang keluar kota. Dan ini adalah meja kerja Mbak Darla," jelas Mbak Ratih.

Sebuah meja lengkap dengan perangkat komputer. Kucoba menduduki kursinya dan menyalakan komputer.
Saat ini perasaanku bercampur aduk. Antara senang dan sedih. Merasakan berada di suasana kantor seperti ini adalah keinginanku. Tapi mengapa harus di kantor ini, milik pria yang kubenci.

"Sekarang kita tanda tangan kontraknya ya," ucap Mbak Ratih.

Sebuah map yang sejak tadi dibawanya dibuka di atas meja. Kubaca dengan seksama isi kontrak kerja itu. Secara umum hak dan kewajiban sama seperti kontrak kerja pada umumnya. Namun ada sebuah poin yang membuat mataku terbelalak.

"Lima juta? Apa ini tidak salah, Mbak? Saya baru masuk, dan sudah mendapat gaji awal sebesar itu? Biasanya kan gaji pertama hanya sebesar UMR, dan di sini UMR-nya dua juta rupiah," tanyaku pada Mbak Ratih.
"Iya, untuk Mbak Darla, manajemen memberi gaji segitu. Makanya kalau sampai Mbak Darla mundur bekerja di sini, rasanya akan rugi. Apalagi, Mbak Darla akan diberikan setengahnya sebagai gaji di muka. Ini Mbak ...."

Mbak Ratih mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku blazer-nya. Amplop yang berisi uang muka gajiku.
Sungguh, ini sangat sulit kupercaya. Secara logika tak mungkin terjadi. Mana ada perusahaan yang memberikan gaji di muka pada pegawai yang baru diterima bekerja?

Akhirnya kontrak kerja itu kutandatangani dan uang muka gaji itu kuambil. Benar kata Tuan Pras tadi, orang tuaku sedang kelaparan di rumah.
Tapi ... mengapa dia bisa tahu? Aku tersadar ... mengapa dia selalu tahu tentang apapun yang terjadi padaku?
Astaga! Karangan bunga itu, jangan-jangan ... dialah juga pengirimnya. Artinya dia pun tahu apa yang terjadi antara aku dan Kano. Kepergian Kano, putusnya komunikasiku dengan Kano, apakah ada hubungannya juga dengan Tuan Pras? Jangan-jangan Tuan Pras sudah mengatakan sesuatu pada Kano!
Tapi mengapa? Untuk apa?
***

Sore ini, matahari perlahan mulai condong ke barat. Orang-orang yang bekerja mulai menghentikan aktivitasnya. Bergegas menuju ke rumah masing-masing. Pulang.
Dua buah kantong plastik tertenteng di tanganku sembari dengan tergesa masuk ke dalam rumah.

"Bu ... Ibu ...." panggilku.
"Ya, Nak. Ibu di dapur," sahut ibu.

Kuletakkan dua kantong plastik itu di atas meja dan mulai mengeluarkan isinya. Lima kilogram beras, satu kilogram gula pasir, satu kilogram tepung, satu kilogram telur, dua liter minyak goreng, sebungkus kopi, sepak teh, beberapa renteng bumbu dapur, sabun cuci, dan perlengkapan mandi telah tertata di atas meja.

"Darla, dari mana barang-barang ini?" tanya ibu keheranan.
"Tadi sepulang kantor Darla ke pasar belanja semua ini," jawabku.
"Kantor? Belanja?" Ibu masih keheranan.

Kuraih tangan ibu, mengajaknya duduk di kursi makan.

"Bu, mulai tadi Darla sudah bekerja. Tau tidak, Bu, gaji Darla lima juta per bulannya. Dan tadi Darla diberikan uang muka gaji setengahnya. Jadi langsung saya pakai membeli semua ini. Dan ... ini, satu juta untuk ibu, bayarlah hutang di warung. Setelah ini, ibu tak perlu lagi berhutang. Bapak tak perlu bekerja terlalu keras. Darla sudah punya penghasilan, Bu."

Kuserahkan lembaran rupiah berjumlah satu juta itu pada ibu. Ibu yang menerimanya masih tampak terheran-heran.

"Kamu bekerja dimana, Nak?"

Aku menatap ibu nanar, menggenggam tangannya lebih erat. Seolah hendak menyampaikan pada ibu, aku kuat dan sanggup.

"Di perusahaan Tuan Pras, Bu."
"Itu ... kau akan lebih sering bertemu dengannya, bagai-"
"Bu ... masaklah telur dadar untuk lauk kita malam ini. Besok, ibu beli ikan ya, sudah lama kita tak makan protein hewani," sergahku memotong ucapan ibu.

Mematahkan kekhawatirannya.
***

Hari terus berganti, seminggu sudah aku bekerja di perusahaan itu. Entah mengapa selama seminggu ini tak pernah bertemu dengan Tuan Pras. Tapi hal itu justru menjadi kebaikan bagiku karena bisa lebih fokus menyelesaikan seluruh pekerjaan.
Sepertinya, posisi yang kududuki saat ini telah lama kosong. Terlihat dari laporan keuangan yang sudah tertunda selama dua bulan. Dari cerita Ningsih, karyawan yang dulu berada di posisiku berhenti sejak dua bulan lalu setelah menikah dan mengikuti suaminya ke kota lain.

"Selamat pagi." Terdengar suara seorang pria yang memasuki ruangan ini.

Kami bertiga serempak menoleh.

"Eh, Pak ... selamat pagi, Pak," sambut Yoga.

Ningsih pun berdiri untuk menyambutnya. Dan aku tentu saja mengikuti mereka.

"Pak, Mbak Darla akuntan baru sudah ada," ucap Ningsih sambil mengarahkan tangannya menuju padaku.
"Oh ... selamat datang di perusahaan ini, Mbak Darla, khususnya di ruangan ini. Saya Bambang, Kepala Bagian Keuangan. Rupanya ini yang namanya Darla, Pak Direktur secara khusus memerintahkan agar posisi akuntan ini dikosongkan sejak karyawan sebelumnya mengundurkan diri. Kata beliau orang yang akan menggantikan sudah ada, tinggal menunggu waktunya, dia akan datang. Dan sekarang, ternyata yang dimaksud adalah Mbak Darla."
"Terima kasih, Pak," gumamku.

Kata-kata Pak Bambang kembali membuatku berpikir. Tuan Pras sudah mempersiapkan pekerjaan ini untuk diriku. Kami baru saja bertemu di hari itu, sehari sebelum aku diwisuda, sedangkan posisi ini sudah kosong sejak dua bulan yang lalu.

Drrrttt ... drrrttt ... drrrttt

Gawaiku bergetar. Sebuah panggilan masuk, membuyarkan hayalku. Nama yang terpampang di layar membuatku terkejut. Si penelepon adalah Kano.

"Halo, Kan ... kamu di mana?" tanyaku setelah menggeser tombol terima panggilan.
"Saya di sini, La. Lagi nungguin kamu pulang," sahut Kano.
"Apa? Kamu kemana saja selama ini?" tanyaku lagi.
"Sudah, La, kamu lanjut kerja saja. Kita ketemu di rumahmu nanti sore. Ini saya mau bantu-bantu ibumu dulu."

Tut ... tut .... Kano menutup teleponnya.
***

Menunggu jam pulang kantor terasa sangat lama. Bayang-bayang wajah Kano terus melintas di pikiranku. Tak bisa kupungkiri, hati ini merindukannya walau untuk saling memiliki sudah tak mungkin.
Sebuah mobil sedan terparkir di halaman rumah. Dalam hati bertanya-tanya, siapakah pemilik mobil ini. Untuk memastikannya kupercepat langkah memasuki rumah.
Bapak, ibu dan Kano tengah duduk mengelilingi meja makan. Berbagai hidangan tertata di meja. Selama empat tahun ini, Kano memang biasa bertandang ke rumahku sehingga keakrabannya dengan bapak dan ibu adalah hal yang sudah lama terjadi.

"Darla, sudah pulang, Nak? sambut ibu yang melihat kedatanganku.
"Iya, Bu. Kano?"

Kano menoleh padaku. Wajah tampannya menguraikan simpul garis tawa. Sebuah senyuman yang kurindukan.
***

Malam ini bulan purnama bertahta di langit. Bintang-bintang yang berkelap-kelip mengelilinginya. Suara hewan malam saling bersahutan. Menghempas keheningan sesaat yang sempat tercipta antara aku dan Kano yang sedang duduk bersampingan di sebuah bangku di teras rumah.

"Mengapa kau pergi tanpa berpamitan padaku?" Aku memulai percakapan.
"Untuk memberimu waktu merasakan kehilangan diriku," jawabnya tanpa menoleh padaku.
"Apa tujuannya?"
"Karena saya tahu apa alasanmu belum bisa menerima cintaku."

Aku tercengang. Seketika langsung menoleh padanya. Meneguk air liur yang tertahan di tenggorokan.

"A- apa?" tanyaku terbata.
"Membahagiakan orang tuamu dulu. Kamu ingin fokus bekerja untuk merubah taraf hidup keluargamu."

Aku menghembuskan nafas yang sempat tertahan. Nafas kelegaan.

"Kuputuskan untuk pergi, menghilang darimu untuk sementara. Kau takkan mampu membohongi hati, kau merindukanku kan?" Kano menoleh, menatap mataku.

Saat kedua mata kami bertemu, binar-binar kerinduan seakan saling berlompatan, ingin meraih satu sama lain.
Jarak yang begitu dekat membuat kami dapat saling merasakan hembusan nafas. Sesaat kurasakan wajah Kano semakin mendekat. Jantungku berdegup kencang.
Jarak itu hanya sebatas satu hembusan nafas kini, saat seketika kata-kata Tuan Pras terngiang di telingaku.

'Malam ini kau adalah milikku, Nona Darla.'
Aku tersentak. Bergegas memalingkan wajah. Dan kini berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mobil itu kau sewa ya?" ucapku sambil menunjuk ke arah mobil sedan yang terparkir itu.

Kano tampak mengerti akan kegugupanku.

"Bukan, itu mobilku," jawab Kano.
"Hah?!" Kupalingkan wajah padanya, penuh tanya.
"Saya tak hanya punya mobil, tapi juga rumah dan perusahaan."
"Rumah dan perusahaan? Untuk membayar kost saja kau harus kerja paruh waktu sewaktu kuliah. Kau sedang berhayal atau sedang demam?"

Kano kembali menatapku, sesaat kemudian membelai rambut di pinggir wajahku.

"Bila kita menikah, saya bahkan bisa membawamu bulan madu mengelilingi dunia."

Raut wajah Kano yang datar, disertai binar mata yang tulus membuatku dilanda kebingungan. Apakah Kano bersungguh-sungguh ataukah sedang berdusta untuk mengerjaiku.

"Menikahlah denganku, Darla. Saya akan membahagiakanmu dan juga orang tuamu," lanjutnya kemudian.
"Kan ... Kano, saya tak mengerti, saya bingung. Kau sedang mengerjaiku? Kebohongan apa yang sedang kau katakan?"
"Saat ini saya tak sedang berbohong. Justru kebohongan yang kulakukan adalah selama empat tahun kemarin."
"Maksudmu?"
"Sesungguhnya, saya berasal bukan dari kalangan biasa. Mendiang papa adalah seorang pengusaha ternama di kota kami."
"Lalu mengapa kau berpura-pura miskin sepertiku?"
"Untuk mendapatkan wanita yang murni, sepertimu."

Wanita yang murni? Apa maksud Kano? Apakah yang dimaksudnya tentang kesucian? Apakah maksudnya bahwa di jaman sekarang, banyak wanita yang sudah tak suci sebelum menikah?
Kano mungkin berpikir diriku masih suci. Tentu saja, karena selama empat tahun ini dia tahu, aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Dia tahu visi hidupku.
Tapi untuk hal kesucian itu, Kano telah salah. Ada peristiwa yang tak diketahuinya. Peristiwa yang telah membungkam mulutku untuk mengungkapkan rasa cinta padanya.
Peristiwa yang tak mungkin kuceritakan padanya!

==========


Berbagai pertanyaan kekalutan masih berputar di benak saat terdengar suara tawa dari seseorang yang sedang duduk di sampingku itu.

"Ha-ha-ha ... ha-ha-ha ...."
"Apa yang kamu tertawakan?" tanyaku heran.
"Ekspresi lucumu. Ha-ha-ha ...."
"Apaan sih?" gerutuku.
"Darla ... Darla, kamu tuh memang paling gampang dikerjai, dan ekspresimu kalau lagi dibohongi itu lucu tau!"

Aku menghembuskan nafas kasar. Sungguh, lelucon yang dilakukan Kano tadi sama sekali tak lucu bagiku. Raut wajahku cemberut.

Drrrttt ... drrrttt ....
Telepon seluler milik Kano bergetar. Sebuah panggilan masuk, Kano bergegas menerimanya.

"Halo .... Iya, saya segera ke sana." Hanya itu yang diucapkan pada lawan bicaranya sebelum menutup panggilan itu.
"La, saya balik dulu, ya," ucapnya padaku.
"Yang telepon siapa?"
"Hmm ...."

Kano tampak berpikir sejenak. Aku mengangkat alis sebagai tanda masih menunggu jawabannya.

"Oh itu, tadi si pemilik mobil ini. Ya, jadi ini memang mobil rentalan. He-he-he ...." jawab Kano akhirnya.

Setelah berpamitan pada ibu dan bapak, Kano kini sudah berada di dalam mobilnya.

"Aku balik ya," ucapnya lagi.

Aku mengangguk. Kami saling melempar senyum.

"Kano ... tunggu!" seruku sesaat sebelum dia akan memajukan perseneling.
"Ya?" Kano kembali menoleh.
"Kita ... masih bersahabat, kan?" gumamku.
"Iya."

Senyumku merekah. Kekhawatiran selama ini ternyata tak terjadi. Kano masih akan ada untukku sebagai sahabat.

"Kita masih bersahabat sampai semua urusanku selesai, dan aku benar-benar melamarmu menjadi isteri." Kano melanjutkan ucapannya.
"A- apa .... Hei! Kano ... Kano, tunggu!"

Sesaat setelah berucap, Kano telah menginjak gas, melajukan mobilnya. Pergi meninggalkanku yang semakin dilanda kebingungan.
Urusan apa yang hendak diselesaikan Kano? Mungkin saja urusan keluarganya. Mungkin juga karena urusan itu, dia menghilang beberapa waktu ini.
Tapi yang terpenting sekarang adalah dia sudah kembali. Berada di sisiku sebagai sahabat.
***

Inti kehidupan adalah perjuangan. Kemiskinan tak mesti menjadi penghalang, atau bahkan menjadi alasan untuk terus terpuruk. Masa kelam yang terjadi dalam perjalanan hidup tak perlu disesali hingga memutuskan asa. Lembah hitam pun tak harus menjadi muara pelarian.
Ikhlas dan sabar disertai doa dan usaha adalah senjata utama. Selanjutnya bangkit dan kembali berjuang. Jalan menuju kelayakan hidup pasti akan ditunjukkan olehNya.
Hal itulah yang menjadi tongkat yang mengiringi perjalananku selama ini. Tidur dengan perut kosong, berjalan kaki ke tempat tujuan atau memakai sepatu tambalan takkan menjadi bayangan hitam yang menghantui masa depan.

Kini, aku telah memiliki pekerjaan dengan gaji yang lebih dari cukup untuk membiayai hidup keluargaku. Bapak hanya tinggal menyelesaikan pekerjaannya saat ini, setelah itu, dia bisa lebih banyak beristirahat.
Tawa bahagia ibu dan bapak adalah visi hidupku, walau dengan membungkus ego, mengenyampingkan rasa perih. Karena bagaimanapun setiap saat aku harus siap untuk bertemu dengannya, pimpinan perusahaan ini.

"Mbak, rapat sebentar lagi dimulai, tolong segera ke ruang rapat. Pak Bambang dan Mbak Darla yang akan hadir dari bagian keuangan," ucap Mbak Ratih di seberang telepon interkom.

Segera kupersiapkan berkas untuk rapat, juga mempersiapkan hatiku. Semoga saja emosi bisa kukendalikan saat melihat wajahnya. Ini kali pertama kami akan bertemu lagi setelah hari pertama aku masuk kerja.
Aku dan Pak Bambang masuk bersamaan di ruang rapat. Semua bagian sudah berkumpul, tinggal menunggu orang yang akan memimpin rapat ini. Pak Direktur.

Derap bunyi sepatu seiring langkahnya membuat semua orang yang duduk mengelilingi meja panjang oval itu seketika berdiri, menyambutnya. Begitupun diriku.
Dia terus berjalan, hingga saat berada di tempatku berdiri, berhenti sejenak dan memalingkan wajahnya padaku. Debar jantungku tak beraturan. Kujatuhkan pandangan ke bawah, menghindari tatapannya.

"Baiklah, rapat kita mulai," ucapnya setelah berada di tempat duduknya.

Semua bagian akan memaparkan laporan masing-masing yang kemudian akan ditanggapi oleh Sang Direktur. Hingga tiba saatnya bagian keuangan yang akan melaporkan.

"Untuk bagian keuangan saya serahkan pada Mbak Darla untuk memaparkan hasil laporan keuangan yang sudah dibuatnya," ujar Pak Bambang seraya menunjuk ke arahku.

Berkas-berkas laporan keuangan yang kubawa tadi segera dibagikan ke semua orang yang ada di situ. Aku pun mulai memaparkan. Sesaat sebelumnya, kucoba menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Ini adalah persentase pertamaku sejak bekerja di sini.
Apalagi ... ini harus kulakukan di hadapannya!

"Saya sudah menyusun laporan keuangan yang tertunda selama dua bulan ini. Dapat di lihat di lembar pertama laporan laba-rugi. Dari laporan itu, dapat dipastikan bahwa perusahaan ini mengalami penurunan omzet yang mempengaruhi perolehan laba. Dalam lampirannya, ada laporan persediaan di gudang. Sepertinya penurunan omzet karena hasil panen yang tak maksimal dalam beberapa bulan ini. Bila ini terus terjadi hingga beberapa bulan ke depan, dapat dipastikan perusahaan akan merugi."

Semua orang menyimak persentase yang kupaparkan dengan seksama.

"Beberapa bulan ini, hasil pertanian dan perkebunan di desa ini memang kurang berhasil," ujar Pak Handoko, Manajer Pemasaran.
"Lalu langkah apa yang bisa kita lakukan? Musim yang berganti dan serangan hama di luar kendali kita," sela Pak Lukman, Kepala Divisi Regional.
"Perusahaan ini bisa melakukan pendampingan kepada para pemilik lahan pertanian dan perkebunan di desa ini. Bila perusahaan bisa mengeluarkan dana untuk mem-backup berbagai kemungkinan yang bisa merusak panen, demi tujuan jangka panjang. Jadi, seperti-"
"Apa? Perusahaan mengeluarkan dana? Yang benar saja, Mbak! Yang ada juga perusahaan tambah merugi." Pak Lukman menyela ucapanku.
"Benar kata Pak Lukman, Mbak. Sepertinya memang sudah tak ada pilihan lain, perusahaan ini harus banting setir." Pak Handoko menambahkan.

Sesaat suara berisik karena saling berbisik terdengar di ruangan ini.
Pak Direktur memajukan badannya yang sedari tadi menyandar di kursi.

"Apa maksudnya dengan banting setir, Pak Handoko?" Suaranya bergema, meredam keriuhan.

Mata elangnya menatap tajam pada Pak Handoko. Entah mengapa aku berani melirik ke arahnya, memperhatikan setiap garis wajahnya.
Wajah itu pernah begitu dekat, tapi aku tak pernah memperhatikan seperti apa detailnya. Dalam perasaan marah dan kebencian, aku hanya bisa menangkap sosoknya yang angkuh dan berwajah menyeramkan.
Alis yang hitam, tebal, mengguratkan ketegasan. Hidung mancungnya begitu sempurna berada di atas bibir yang ditopang belahan dagu. Dan dari semuanya, tentu mata elang yang menyorot tajam itu menjadi magnet tersendiri. Magnet yang dapat menarik siapapun terperangkap dalam misteri di dalamnya.

"Pak Handoko berpendapat seperti itu? Lalu bagaimana tanggapan Anda Nona Darla?" Suara Pak Direktur disertai pengalihan pandangannya padaku spontan mengagetkan, menyadarkanku yang sedang memandangnya diam-diam.
"Heh ... ya? Em ... ta- tanggapan apa ya?" Aku kebingungan.

Semua orang menatap ke arahku. Tak terkecuali dirinya, sorot matanya semakin menambah kegugupanku.
Untung saja Pak Bambang mendekat dan berbisik di telingaku.

"Pak Handoko memberi saran agar perusahaan kita banting setir menjadi perusahaan pengembang. Kita membeli lahan pertanian dan perkebunan milik warga lalu menjualnya lagi pada perusahaan pengembang yang ada di kota untuk dibangun ruko, apartemen dan sejenisnya."
"Apa?!" Pekikanku sontak membuat semua orang semakin melotot padaku.
"Apanya yang apa, Nona Darla?" tanya Pak Direktur.
"Pak, kita tidak boleh melakukan itu. Lahan pertanian dan perkebunan yang ada di desa ini adalah nyawa bagi sebagian besar warga. Pemilik lahan mungkin saja akan mendapatkan dana dan bisa membuka usaha lainnya, tapi bagaimana dengan mereka yang menjadi buruh? Lahan-lahan itu adalah tempat mereka mengais rezeki. Tolong pertimbangkanlah, Pak. Cara yang saya tawarkan tadi selain bisa menyelamatkan perusahaan untuk jangka panjang, juga menyelamatkan sumber nafkah warga desa." Aku menjawabnya.
"Cara itu takkan efektif. Jangka panjang itu sampai kapan? Kalau perusahaan rugi, bagaimana bisa membayar gaji karyawan termasuk gajimu, Nona?" Pak Handoko kembali menyela.
"Cukup! Rapat hari ini selesai." Pak Direktur bersuara.

Tak ada yang berani bersuara lagi kecuali menurut. Semua orang kini membereskan berkas masing-masing, berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan itu.

"Darla, tetaplah di sini!" serunya saat aku hendak beranjak.

Aku menoleh, memastikan yang dimaksudnya adalah diriku.

"Untuk apa?" tanyaku.

Pria itu hanya menatap lurus ke arah pintu. Sepertinya hendak memastikan semua orang telah keluar dari ruangan itu.
Setelah itu, ia berdiri, berjalan menghampiriku.

"Apa yang dilakukan pria itu hingga larut malam di rumahmu?"

Demi Tuhan! Ada apa dengan pria ini? Mengapa menanyakan urusan pribadi di waktu kantor seperti ini? Lagipula ... mengapa dia bisa tahu perihal kedatangan Kano?

"Pertanyaan pribadi seperti itu tak pantas ditanyakan oleh seorang direktur, Pak!" jawabku.

Pras kembali melangkah, semakin dekat padaku.

"Tak ada larangan untuk melakukan apapun bagi seorang direktur di kantor ini," desisnya.
"Hal pribadi saya tak ada hubungannya dengan Anda ... Pak Direktur!"
"Kau sudah menolak cintanya, untuk apa lagi dia datang?!"

Aku tercengang.

"Mengapa Anda bisa tahu? Dan ka- karangan bunga itu, apakah Anda yang telah mengirimnya?" Seketika kata-katanya membuatku teringat pada isi surat dalam karangan bunga yang pernah kuterima.
"Ya!"

Pras kembali maju selangkah. Aku yang merasa terpepet memilih mundur selangkah.

"Hanya karena orang tua saya berhutang, Anda terus mengikuti saya, mencari tahu semua hal tentang saya, menggugurkan cinta yang bahkan belum sempat bersemi, hanya agar saya tak lari dari kewajiban membayar hutang itu? Anda merencanakan jeratan hutang itu dengan tujuan untuk memperdaya saya. Seperti itu kan? Sungguh, Anda benar-benar tak punya perasaan, Pak Direktur!"

Pras tak menjawab, hanya kembali memajukan langkahnya. Kembali untuk menghindarinya, aku memundurkan langkah.
Sialnya, sepatuku mengait sesuatu. Tubuhku hendak terjatuh ke belakang. Tumpuan kaki rasanya tak sanggup bertahan, pasrah bila harus tersungkur.
Dalam kepasrahan itu kurasakan ada tangan yang sigap menahan tubuhku. Merengkuh dari arah depan. Semakin mendekatkan jarak antara kami dengan posisinya yang mencondong ke arahku.

"Justru karena aku memiliki perasaan, bahkan lebih dari itu, aku terobsesi padamu," gumamnya.
"Anda merenggut kehormatan saya, Tuan! Itu bukanlah perasaan tapi kebejatan! Anda tak terobsesi pada saya, tapi pada hawa nafsu!"
"Hanya dengan begitu, kau akan menolak cinta pria lain."
"Cara itu hanya dilakukan oleh seorang begundal, bukan oleh pria terhormat. Kecuali bila setan telah merasukinya."
"Maka biarkan setan itu dibinasakan oleh malaikat."
"Apa maksud Anda?"
"Seorang gadis yang masih sangat muda pernah menjadi malaikat penyelamat hidupku. Ucapan dan perlakuan gadis muda itu telah menamparku, menghidupkan kembali jiwaku yang telah mati."

Gerakan bola matanya menyimpan banyak misteri, sama halnya dengan setiap kata yang terucap dari bibirnya.
Aku tak paham arti lisannya.

"Saya tak mengerti, Tuan. Sekarang lepaskanlah saya!" seruku.
"Tak akan pernah! Satu minggu ini aku sudah menahan diri untuk tak mengganggumu agar kau fokus menyelesaikan pekerjaan, sama seperti aku menahan diri untuk tak mengganggumu selama empat tahun ini agar kau fokus menyelesaikan kuliahmu," desisnya.

Tangannya merengkuh tubuhku semakin erat. Perlahan wajahnya maju, merapat pada wajahku.
Adegan seperti ini pernah terjadi di dalam kamarnya. Dan itu seketika membuatku memalingkan wajah.

"Bila tak Anda lepaskan, saya akan teriak!"

Perlahan rengkuhannya melonggar. Segera kudorong tubuhnya. Bergegas mengambil berkas-berkas di meja dan berlari menuju pintu. Keluar dari ruangan itu.
Toilet adalah tujuanku. Setidaknya di ruangan ini aku bisa merenggangkan urat saraf yang menegang tadi. Mengatur kembali irama nafas yang tak beraturan.
Guyuran air dari tangan ke wajah yang barusan kulakukan setidaknya telah menghapus peluh yang bercucuran. Kutatap wajah yang terpantul di cermin.

Pras Dylano Anggoro, pria yang selama ini tak pernah kukenal, tiba-tiba hadir dalam hidupku dengan cara yang tak wajar.  Merenggut segalanya.
Bagaimana bisa tanpa saling mengenal dia bisa terobsesi pada gadis miskin sepertiku. Bukankah dalam hidupnya, dia telah bertemu dengan banyak wanita yang sederajat dengannya.
Obsesi apakah yang dimaksudnya? Dan ... ucapannya tentang gadis penyelamat hidupnya ....

Tunggu! Bukankah hari itu dia menyebut kesalahanku adalah telah menyelamatkan hidupnya?
Ada apa ini? Ada apa antara aku dan Tuan Pras?
***

"Darla, pulang kantor nanti kamu singgah ke rumah Pak Direktur untuk mengantarkan berkas ini ya!" seru Pak Bambang sembari meletakkan sebuah map berisi berkas di meja kerjaku.
"Mengapa tidak diserahkan sekarang saja di ruang kerjanya, Pak?" tanyaku.
"Usai rapat tadi, Pak Direktur langsung pulang karena kurang enak badan."

Aku tak bisa menolak. Pak Bambang adalah atasan, melaksanakan perintahnya adalah  salah satu tugas bawahan.
Untuk kedua kalinya aku berada di depan rumah itu. Rumah termegah di desa ini. Setelah mengucapkan nama dan maksud kedatangan pada penjaga, pintu pagar dibukakan. Aku melangkah masuk, menapaki jalan hingga kini telah memasuki rumah itu.
Seorang wanita paruh baya yang telah kukenali kembali menyambutku.

"Non Darla mau bertemu Tuan Pras ya?" tanyanya.
"Tidak, saya hanya mau mengantarkan berkas ini. Bisakah saya titip pada Bik Narti saja? Hari sudah terlalu sore, saya mau lekas pulang," ucapku.
"Tapi, Tuan Pras mengatakan pada saya, bila Non Darla sudah datang agar mengantar ke ruang kerjanya."
"Dia tahu saya yang akan mengantar berkas ini?"
"Seperti itulah yang dikatakan Tuan. Mari, Non, kita ke ruang kerja Tuan."

Bik Narti mulai melangkahkan kakinya, hendak menuju ke ruangan yang disebutnya tadi.

"Bik, tunggu!" sergahku.
Dia menoleh.
"Ada apa, Non?"
"Waktu pertama saya datang ke sini, Bik Narti memanggil saya neng, lalu mengapa sekarang berubah menjadi non?" tanyaku.

Dahi Bik Narti berkerut, mungkin dia kaget dengan pertanyaan yang sedetail itu.

"Saat pertama datang, kau adalah gadis desa biasa. Setelah itu kau bukan gadis biasa lagi. Itulah bedanya panggilan neng dan non."

Aku menggeleng tak mengerti, namun saat akan kutanyakan lagi, Bik Narti sudah kembali berbalik, beranjak dengan langkah yang dipercepat. Mau tak mau harus segera mengikutinya agar tak kehilangan jejak.
Bagiku ... Bik Narti seperti mengetahui banyak hal tentang Tuan Pras, juga tentang diriku. Mungkin saja aku bisa mendapatkan banyak penjelasan darinya. Suatu saat nanti.
Bik Narti telah membuka pintu ruangan, mengarahkan tangannya agar aku masuk ke dalamnya.

"Bik, tetaplah di sini, kumohon!" seruku padanya saat hendak menutup kembali pintu ruangan itu.

Bik Narti hanya diam tak bergeming, mengurai sedikit senyum lalu menutup pintu. Upaya menahannya sia-sia, membuatku dengan terpaksa harus membalikkan badan untuk menghadapi dirinya seorang diri.
Pria itu sedang duduk menghadap laptop. Membaca lalu mengetik. Wajahnya begitu serius. Dalam keadaan itu, dia terlihat berbeda.
Wajah pria dewasa yang matang. Keseriusan itu mengguratkan sebuah pesona. Ketampanan.
Aku masih berdiri mematung. Entah dorongan apa yang membuat hati ini memujinya, menghipnotis mataku untuk tak berkedip.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER