Cerita Bersambung
"Mau sampai kapan kau berdiri di situ? Cepat bawa berkasnya ke sini!"
Aku tersentak. Dia telah menyadari kedatanganku. Dengan langkah cepat segera menghampirinya dan menaruh berkas yang kubawa di atas meja.
Tuan Pras meraih berkas itu, membukanya dengan cepat dan tampak membacanya dengan seksama. Aku tetap berdiri di hadapannya.
Sesaat kemudian dia sedikit menurunkan map yang sedang dibacanya. Hingga penglihatannya yang sempat tertutup tadi kini lolos menatap ke arahku.
"Duduklah!" titahnya.
Aku menurut. Duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerjanya.
Tuan Pras kembali membaca berkas itu. Raut wajahnya masih terlihat serius. Namun kini aku tak berani memandangnya lagi. Memilih mengalihkan netra mengitari isi ruangan itu.
Ruang kerja itu cukup lapang dengan jendela besar yang menghadap ke sebuah taman. Meja kerja Tuan Pras berada di sisi tengah ruangan, membelakangi lemari kaca yang berisi deretan piala dan plakat penghargaan. Beberapa lemari berkas berjajar di sisi lainnya.
Pandanganku mengitari sisi lain. Sebuah kursi goyang menghadap ke arah dinding. Tapi ... dinding itu tak kosong. Sebuah lukisan besar tampak tergantung di sana. Secara garis besar objek lukisan adalah seorang wanita.
Aku tengah berusaha melihat lebih jelas wajah wanita dalam lukisan itu saat Tuan Pras berdehem. Karena terkejut, tatapanku pun kembali fokus padanya.
"Temani aku malam ini," gumamnya sambil membereskan berkas di meja.
Aku terhentak. Seketika menarik nafas kasar disertai mata yang terbelalak. Tuan Pras kembali berpaling menatapku.
"Kau tak perlu pulang ke rumahmu, mandi dan berganti pakaian di sini saja," ucapnya lagi.
Sontak aku berdiri.
"Anda sungguh sangat keterlaluan!" seruku dengan wajah penuh amarah.
"Keterlaluan? Justru aku merasa kasihan jika kau harus pulang dulu. Ini sudah terlalu sore. Acara itu dimulai pukul tujuh malam," sahut Tuan Pras.
Acara? Jadi ... yang dimaksud Tuan Pras adalah agar aku menemaninya menghadiri sebuah acara? Bukan menemaninya ....
Ya Tuhan, aku sudah salah mengartikan.
"A- acara apa?" tanyaku antara gugup dan malu.
"Semacam acara makan malam yang akan dihadiri oleh para pengusaha terkemuka dari berbagai kota. Ini kesempatan yang penting. Selain bisa menambah kolega bisnis, kita juga bisa menambah pengetahuan tentang iklim bisnis saat ini dari obrolan dengan pengusaha lainnya," jelasnya.
"Mengapa Anda mengajak saya?"
"Para pengusaha biasa datang bersama istri atau pasangan mereka."
"Apa? Istri? Saya-."
"Tak perlu banyak bicara lagi. Ini perintah! Sekarang masuklah ke kamarku, mandi dan ganti pakaianmu. Bik Narti sudah menyiapkannya di sana."
"Ke kamar Anda?"
"Ya! Kau sudah tahu letaknya kan? Aku akan membereskan sisa pekerjaan dulu. Bergegaslah!"
Aku tak berbicara lagi, hanya mampu menuruti titahnya. Sedetik kemudian berbalik meninggalkan ruangan itu. Setelah menapaki anak tangga, tampaklah pintu kamar yang kutuju sedang terbuka.
"Masuklah, Non!" seru seseorang dari dalam.
Karena suara itu sudah kukenali, langkahku pun tuntas memasuki kamar itu.
"Ini pakaian yang akan Non Darla pakai. Sekarang mandilah dulu," ucap Bik Narti sambil menunjukkan sebuah gaun yang tergantung.
Kuamati gaun itu sesaat, menghempaskan hembusan nafas setelahnya. Lega karena gaun itu tak sama dengan yang sebelumnya. Yang ada di hadapanku kini adalah gaun lengan panjang berwarna hitam tanpa belahan. Kuraih gaun itu dan membawanya ke kamar mandi agar dapat langsung memakainya usai mandi.
Ini kali kedua aku berada di dalam kamar mandi ini. Kamar mandi yang besar dan mewah.
"Bik ... Bik Narti, tolong dong bantuin resleting belakang gaun saya," panggilku dari kamar mandi.
Seseorang masuk ke dalam kamar mandi, berdiri di belakangku dan menaikkan resleting gaun.
"Makasih, Bik," ucapku sambil berbalik.
Seketika aku menarik nafas kaget. Orang yang berada bersamaku bukanlah Bik Narti, melainkan dirinya. Tuan Pras.
Lelaki itu sedang bertelanjang dada. Wangi parfum yang sepertinya baru disemprotkan ke tubuhnya tercium begitu menyengat, namun menyejukkan.
"A- Anda, mengapa Anda bisa berada di sini?" tanyaku tergagap.
"Kau memanggil kan?"
"Saya memanggil Bik Narti."
"Bik Narti sudah turun."
"Kalau begitu saya akan keluar dari sini."
Saat kulangkahkan kaki, Tuan Pras turut melangkah seiring arahku. Kupindahkan langkah ke sisi yang lain pun kembali diikutinya.
"Tuan!" sahutku geram.
"Ha-ha-ha ... ha-ha-ha ...."
"Mengapa Anda tertawa? Ini tidak lucu!"
"Kau sangat lucu, saat marah wajahmu memerah seperti kepiting rebus. Ha-ha-ha ...."
Sontak kupegang kedua wajahku lalu menoleh ke arah cermin. Ingin memastikan ucapannya. Ternyata benar, wajahku memang tampak memerah karena marah.
Tapi ... di luar hal itu, ada sesuatu yang menakjubkan. Dia tertawa.
Spontan aku kembali berbalik, memandangnya. Hal yang selama ini tak pernah kulihat sedang terjadi di hadapanku.
Pria dingin yang bahkan kupikir tak memiliki garis senyum di wajahnya, kini sedang menebar tawa. Walaupun diriku adalah objek tawanya.
"Sudah, keluar sana, aku mau ganti baju!" serunya.
Kuturuti perintahnya. Bergegas meninggalkan kamar mandi itu menuju meja rias, memoles wajahku dengan peralatan kosmetik yang ada di situ. Kosmetik yang sebelumnya sudah pernah kupakai.
Tuan Pras keluar dari kamar mandi saat aku selesai berias. Ia berdiri menatapku.
Ya Tuhan, aku harus mengalihkan tatapan itu. Segera kukenakan sepatu lalu menuju pintu kamar.
"Tuan, saya tunggu Anda di bawah saja," ucapku sambil membuka pintu.
Tanpa menunggu persetujuannya aku keluar, turun ke lantai dasar.
Setelah beberapa menit duduk di sebuah sofa, Bik Narti muncul membawa segelas minuman hangat.
"Non, minumlah!"
Kuraih gelas minuman itu dan meneguknya.
"Terima kasih, Bik," ucapku seraya menyerahkan kembali gelas.
"Sama-sama, Non," ucap Bik Narti sembari membalikkan tubuhnya hendak kembali ke dapur.
"Eh ... Bik, tunggu!" seruku memanggilnya.
"Iya, Non?" Bik Narti membalikkan badan menghadap padaku lagi.
"Tadi ... mengapa Bik Narti meninggalkan saya di kamar?"
"Karena Tuan Pras sudah masuk ke kamar," jawabnya.
"Ya justru karena dia masuk ke kamar, seharusnya Bibik tetap berada di sana," keluhku.
"Saat suami-istri berada di dalam kamar, orang lain harus pergi, Nona," Bik Narti mengurai senyum lalu kembali berbalik dan beranjak.
"Apa? Eh ... Bik, tunggu! Maksudnya apa? Biiik!"
Saat aku berdiri hendak mengejar Bik Narti, seseorang menarik lenganku.
"Kita harus berangkat sekarang, bila tidak segera bisa terlambat," gumamnya.
Aku hanya mengangguk lalu menuruti langkah Tuan Pras meskipun pertanyaan akan arti ucapan Bik Narti masih menghantui pikiranku.
***
Suasana ruangan besar tempat acara pertemuan para pengusaha di hotel berbintang itu sudah ramai. Puluhan meja bundar dengan taplak putih telah berjajar, tersebar di setiap sisi ruangan. Para tamu yang datang sudah menempati kursi-kursi yang mengelilingi meja bundar itu.
Kelopak mawar merah dan putih bertebaran di setiap sisi dan sudut ruangan. Iringan musik klasik dari sebuah grup musik menambah nuansa romantismenya.
Dari penampilan setiap tamu yang datang dapat dipastikan bahwa mereka adalah pengusaha sukses dari berbagai belahan di negeri ini. Tak ada satu hal pun yang tak tampak mewah melekat pada diri mereka.
Saat aku masih terpaku pada pemandangan itu, Pras tiba-tiba mengambil tanganku, menempatkannya melingkar di tangannya.
"Apa-apaan ini, Tuan?" tanyaku heran.
"Jangan panggil aku tuan di sini," bisiknya sambil terus mengajakku berjalan mencari tempat duduk.
"Maaf, Pak Direktur."
"Bukan Pak Direktur juga," celetuknya.
"Lalu apa?"
"Darling."
"Hah?!" Aku melongok ke arahnya.
"Bersikaplah biasa saja, seperti suami-istri lainnya."
Aku tak dapat berbicara lagi. Sejak tadi kata suami-istri selalu kudengarkan. Astaga, mungkin Tuan Pras sedang memintaku berpura-pura menjadi istrinya selama menemaninya di acara ini. Mungkin saja dia malu bila harus datang sendiri. Malu bila ditanya mengapa di usia segitu belum juga menikah.
Kasihan!
Dan soal mengapa dia memilihku sebagai istri pura-puranya, tentu saja sama seperti yang sudah pernah dikatakannya, dia terobsesi padaku. Walau aku masih tak mengerti, apa alasan di balik obsesi itu.
Waktu makan malam pun tiba. Saat tengah meneguk air, nyaris saja kumuntahkan karena tersedak.
Tersedak bukan tanpa alasan. Seorang pria yang baru masuk adalah alasannya. Pria itu sangat kukenal. Dia datang bersama seorang pria dan seorang lagi wanita. Mereka telah mengambil tempat di salah satu meja bundar.
Penampilan mereka tak ada beda dengan tamu lainnya. Mewah dan berkelas.
Demi Tuhan! Aku berusaha mengucek mata dan kembali melihatnya. Mataku tak rabun. Aku tak salah lihat.
Pria yang kukenali itu adalah Kano.
==========
Pergerakan mataku terus mengamati gerak-gerik Kano. Tentu dengan sesekali menyembunyikan wajah saat pandangannya menoleh.
Bila pertemuan kami terjadi di tempat lain, tentu aku akan langsung menghampirinya. Tapi tempat ini berbeda. Acara ini hanya didatangi oleh para pengusaha terkemuka. Tentu kehadirannya menyimpan misteri.
Kano benar-benar tampak berbeda dari yang selama ini kuketahui. Pakaian, bahasa tubuh dan perilakunya serupa dengan tamu pria lainnya. Elegan, maskulin dan terhormat.
Untung saja kursi Tuan Pras memunggungi lokasi meja Kano sehingga dia tak mengetahui kehadirannya di acara ini. Aku tak ingin hal yang terjadi usai rapat tadi pagi terulang lagi, saat dia menanyakan tentang kehadiran Kano di rumahku. Kemarahannya hanya akan menambah masalah bagiku.
Walau kini aku pun tak mengerti, mengapa Kano bisa berada di sini.
Semua tamu masih menikmati makan malam sembari saling mengobrol. Di meja kami sendiri ada tiga pasangan. Saat datang tadi, Tuan Pras sudah mengenalkan mereka padaku sebagai kolega bisnisnya. Kedua wanita sesekali ikut serta dalam obrolan bisnis dan terkadang membicarakan tentang seputar dunia wanita. Aku yang terkadang ditanyai hanya bisa mengiyakan atau menjawab dengan senyuman.
Bagaimana tidak, pikiranku terbagi antara kegiatan dan obrolan di meja kami dengan kegiatan mengintai Kano.
"Aduh ...!" Ah, sial. Aku terlalu fokus mengintai Kano sehingga menumpahkan sup yang hendak kuseruput.
"Bersikap santailah saja. Dari tadi kau terlihat gelisah." Tuan Pras berbisik setelah memiringkan tubuhnya ke arahku.
"Maaf, saya gugup," desisku.
"Bersihkanlah bajumu di toilet," ucapnya lagi.
Aku mengangguk, mengucap permisi lalu beranjak menuju toilet. Melewati sebuah lorong yang memisahkan antara toilet wanita dan toilet pria. Setelah selesai membersihkan baju dan hendak keluar, aku tersentak. Seorang pria sedang berjalan di lorong itu.
Wajahku yang sudah sempat mendongak dengan cepat kutarik kembali. Seiring tubuhku yang kemudian bersandar di pintu toilet.
Huffhhh. Untung saja gerakanku cepat, bila tidak Kano pasti sudah melihatku.
Sesaat kemudian kudengar suara percakapan antara dua orang dari balik pintu. Segera kurapatkan telinga agar bisa mendengar lebih jelas.
"Kano, tunggu!" Seorang wanita seperti sedang berseru.
'Kano,' desisku dalam hati.
Untuk memastikannya kuberanikan diri untuk membuka sedikit celah pintu, memicingkan mata di balik celah itu. Mengintip mereka.
"Mengapa mengikuti ke sini?" tanya Kano.
"Aku sudah tak tahan lagi, Sayang. Aku sangat ingin bersamamu," sahut wanita itu.
"Tidak Vania, jangan di sini."
"Mengapa? Kau takut kakakmu melihat kita?"
"Mengapa meninggalkan Kak Kelan sendiri? Harusnya kamu tetap menemaninya di sana."
"Please, Kano. Aku sudah membantumu melobi perusahaan pengembang itu. Tak lama lagi kau akan menguasai lahan di desa itu. Bukankah itu keinginanmu? Bukankah sebentar lagi dendam atas kematian Papamu akan terbayar? Dan semua karena diriku. Kau sudah berjanji untuk bersamaku bila misi itu berhasil." Wanita itu semakin mendekatkan tubuhnya pada Kano.
"Kau adalah istri kakakku. Kita takkan mungkin bersama." Kano berusaha menahannya untuk semakin maju.
"Dulu aku memang tergila-gila pada kakakmu sampai rela meninggalkan calon suamiku demi dirinya. Dulu aku hanya melihatmu sebagai bocah ingusan. Empat tahun kau meninggalkan rumah, dengan alasan agar lebih fokus menyelesaikan kuliah dan juga lebih mendalami segala hal tentang desa itu. Kau seakan lupa bahwa aku sudah lebih dulu mengenal desa itu." Wanita yang bernama Vania itu berkata sembari membuka kedua tangan Kano yang berusaha menahannya.
"Tapi ... sejak kau kembali, aku terkesima. Kamu telah berubah menjadi pria dewasa yang memikat. Kano sayang ... gairahku padamu seperti merapi yang meletus. Bukankah selama sebulan ini kita sudah menghabiskan waktu bersama? Bukankah kau juga tertarik padaku?" Vania melanjutkan. Suara wanita itu melirih. Kedua tangannya telah berhasil merangkul leher Kano kini.
Sesaat kemudian hanya suara rintihan kecil yang terdengar. Sebuah adegan tak pantas sedang kusaksikan. Kedua bibir mereka saling memagut.
Dengan cepat kubalikkan badan, tak ingin melihat adegan itu lebih lama lagi.
Kano ... siapakah sebenarnya dirinya? Selama ini dia selalu bilang tak memiliki siapa-siapa di kota ini. Keluarganya bukanlah orang berada. Dia pun mengalami kesulitan ekonomi sepertiku.
Hari ini aku melihatnya dengan penampilan yang tak biasa. Ditambah lagi dengan adegan luar biasa yang baru terjadi. Kano menjalin kasih dengan wanita yang dipanggil sebagai istri kakaknya, yang artinya bahwa wanita itu adalah kakak iparnya.
Dan percakapan mereka tadi membuatku semakin bingung.
Membalas dendam?
Menguasai lahan desa?
Tunggu! Bukankah waktu itu sebelum pulang dari rumahku, Kano bilang bahwa dia sedang menyelesaikan urusan. Apakah urusan yang dimaksudnya ada hubungannya dengan percakapan mereka tadi?
Yang pasti, selama ini Kano sudah membohongiku tentang status sosial dan ekonominya. Entah untuk maksud dan tujuan apa. Tapi ... malam itu dia sudah sempat mengungkapnya padaku, walau kemudian meralatnya dengan dalih hanya untuk keisengan.
Ya Tuhan, kepalaku terasa semakin pening memikirkan hal ini. Kano ....
Tap ... tap ... tap.
Terdengar suara sepatu yang mengarah ke toilet ini. Segera kuberanjak memasuki salah satu kamar kecil dalam toilet itu.
Tak lama, terdengar suara keran air westafel diputar. Aku pun membunyikan siraman air seolah-oleh baru saja menyelesaikan aktivitas di kamar kecil itu.
Sesaat kemudian aku keluar, berjalan menuju westafel di sebelah wanita itu. Memutar keran dan mencuci tangan. Sekilas kulirik, wanita itu sedang memoles lipstik yang diambil dari saku kecil di gaun seksinya. Sudah pasti dia harus memperbaiki lipstiknya setelah aktivitas yang dilakukannya bersama Kano tadi.
Wanita itu sangat cantik. Terlihat jelas bahwa dia adalah wanita yang terawat dan tak pernah merasakan kesulitan hidup.
Wanita itu akan mampu membuat pria manapun jatuh dalam pesonanya. Termasuk Kano, sahabat yang kucintai.
Sejujurnya ada rasa perih di dalam sini. Rasa panas menjalar di dada. Apakah aku telah benar-benar kehilangan Kano?
Kehilangan hatinya ....
Kehilangan cintanya ....
Dan aku cemburu!
***
Adegan mengendap-endap dari Kano masih kulakukan, juga adegan menghalangi pandangan Tuan Pras agar tidak melihat Kano. Melihat Kano dapat menaikkan tensi amarahnya, dan aku tak ingin meladeni amarahnya itu saat ini.
Semua tamu berduyun-duyun menuju area kosong saat pembawa acara mengumumkan bahwa acara dansa dimulai. Melodi pengiring dansa telah mengalun.
Tuan Pras menarik lenganku menuju ke area itu. Mengajak berdansa.
"Tidak, saya malu, carilah orang lain untuk menemani Anda berdansa. Saya mau duduk saja," ucapku setelah berada si area dansa.
Seiring berakhirnya ucapan, badanku berbalik hendak kembali duduk. Namun tepat di saat itu aku melihat Kano berjalan menuju area dansa bersama wanita tadi.
Dengan sigap aku kembali berbalik, menghambur ke tubuh Tuan Pras.
"Darling, ayo kita berdansa," ucapku sambil merengkuh pundaknya dan memutar tubuhnya ke arah lain.
"Kau pasti tiba-tiba teringat saat kita berdansa kan? Kau mau mengulanginya?" bisik Tuan Pras di telingaku.
Debar jantungku memburu. Aku terjebak di antara dua hal. Menghindari Kano dan menghadapi Tuan Pras.
Sambil berdansa kusembunyikan wajah di balik dada bidang Tuan Pras. Sesekali mataku mengintip di atas bahunya untuk memastikan keberadaan Kano. Dia sedang berdansa dengan wanita yang dipanggilnya Vania, istri kakaknya itu. Sementara di meja bundar, kulihat kakak Kano masih asyik mengobrol dengan tamu lainnya.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Pras atas tingkah lakuku. Yang pasti, kurasakan rengkuhannya di pinggangku perlahan merambat hingga ke tengkuk. Rambut panjang yang kusanggul nyatanya menampakkan leher yang tengah direngkuhnya kini.
"Darla ... ayo kita pulang," bisiknya lagi.
"Iya, sebaiknya kita memang segera pergi dari sini," lirihku.
Tuan Pras menghentikan gerakan dansa, menggenggam tanganku, menuntun langkah untuk keluar dari area dansa itu dan kemudian meninggalkan ruangan acara. Intaian mataku masih sesekali memastikan bahwa Kano tak melihat kami.
Kini kami telah memasuki mobil yang mulai melaju perlahan keluar dari halaman hotel itu.
Criitttt ....
Belum juga keluar dari gerbang hotel tiba-tiba mobil berhenti, sopir Tuan Pras telah menginjak rem secara mendadak.
Seorang wanita yang akan menyeberang berhenti persis di depan moncong mobil sedan ini. Rambutnya yang panjang sesaat menutup wajahnya, sampai ia kembali mengangkatnya, sejenak menatap ke kaca mobil lalu kembali berlari menyeberangi jalan dan menuju ke tempat parkiran.
"Vania?!" desis Tuan Pras pelan.
Kupalingkan wajah pada Tuan Pras. Matanya tampak membesar, raut wajahnya menegang seiring garis-garis urat yang muncul membiru.
Mengapa Tuan Pras mengenal wanita itu? Kakak ipar Kano. Apa mungkin wanita itu dan suaminya adalah salah satu kolega bisnisnya? Apakah Tuan Pras juga mengenal Kano?
"Maaf, Pak. Tadi seorang pria menyeberang, kemudian wanita itu kelihatan mengejarnya, menyeberang tanpa melihat dulu. Jadi saya terpaksa menginjak rem mendadak," ucap sang sopir.
"Cepatlah kita pulang, Pak," sahut Tuan Pras.
Apa yang terjadi pada Tuan Pras? Peluh sebulir jagung tiba-tiba terkucur di pelipisnya. Wajahnya pun menjadi pucat.
Tak lama kemudian tubuhnya terhuyung ke arahku. Dalam kekagetan kucoba menahan tubuhnya.
Astaga, aku bisa merasakan suhu tubuhnya sedang panas.
"Tuan ... Tuan, apakah Anda sakit?" tanyaku sembari berusaha menepuk-nepuk wajahnya.
"Pak, cepatlah kita ke rumah sakit saja," ucapku pada Pak Sopir.
"Tidak ... ke rumah saja," lirih Tuan Pras.
Pak sopir memacu laju kendaraan dengan begitu cepat, hingga hanya dalam waktu satu setengah jam kami telah tiba di desa. Lebih cepat setengah jam dari saat kami berangkat tadi.
Pak sopir sudah memarkir mobil di teras rumah, lalu dengan segera ia turun dan memapah Tuan Pras. Bik Narti yang sudah membuka pintu tampak terkejut.
"Pak ... ini Tuan kenapa begini? Tadi sewaktu berangkat kan Tuan sudah baikan, kok jadi sakit lagi?" tanya Bik Narti dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
"Lebih baik kita bawa ke kamarnya saja dulu, Bu," sahut Pak Sopir yang sepertinya adalah suami Bik Narti.
Setelah tiba di dalam kamar, tubuh Tuan Pras segera dibaringkan di atas tempat tidur. Bik Narti dengan sigap segera membuka sepatu Tuan Pras.
"Non, tolong bantu bukakan jas Tuan," ucap Bik Narti padaku.
Aku pun menurut. Membuka kancing jas, lalu berusaha membukanya dengan setengah menyandarkan tubuhnya padaku.
"Non, kami ke bawah dulu ya, sekalian Bibik mau buatin jamu untuk Tuan," ujar Bik Narti.
"Tapi ... saya juga harus pulang, Bik. Ini sudah terlalu malam, bapak dan ibu pasti sudah menunggu," ucapku.
"Saya akan ke rumah Non Darla untuk menyampaikan pada mereka bila malam ini Non Darla menginap di sini," jawab suami Bik Narti.
"Oh iya, Non, ini Pak Diman, suami saya. Kami sama-sama bekerja di sini sejak puluhan tahun yang lalu. Sebaiknya Non Darla memang menginap di sini untuk menemani Tuan. Kami mohon, Non!"
Sesaat kemudian terdengar suara rintihan Tuan Pras memanggil namaku. Aku segera menghampirinya.
"Ya, Tuan saya di sini," bisikku padanya.
Bik Narti dan Pak Diman pun berlalu meninggalkan kamar itu. Namun beberapa detik setelahnya aku teringat untuk meminta diambilkan wadah kompres kepada Bik Narti.
Segera kususul Bik Narti sebelum terlalu jauh mereka turun.
Namun, alangkah terkejutnya diriku ketika baru saja sampai di pintu, samar-samar kudengar suara Bik Narti dan Pak Diman.
Rupanya mereka masih berada di depan kamar.
"Tadi Tuan melihat Non Vania sewaktu kami akan meninggalkan hotel," ucap Pak Diman.
"Astaga, pantas saja Tuan jadi seperti itu. Pokoknya Non Darla harus tetap di sini sampai Tuan bangun. Hanya Non Darla yang bisa bikin Tuan tenang," balas Bik Narti.
"Iya, biasanya kalau sedang gundah, Tuan hanya memandang lukisan Non Darla di ruang kerjanya. Sekarang bila benar-benar melihat wujud istrinya itu di sisinya saat terbangun, Tuan pasti akan segera pulih," sahut Pak Diman lagi.
"Iya kasihan Tuan, sudah terlalu lama menunggu dalam kerinduan. Bersabar dalam renjana cintanya pada Non Darla."
"Iya, Bu. Ayolah kita lekas turun!"
Mereka pun beranjak menuruni anak tangga. Aku masih berada di belakang pintu dengan perasaan tak karuan karena tak memahami arti dan arah pembicaraan mereka. Memilih untuk diam sesaat dan membiarkan mereka turun hingga ke setengah tangga dulu agar tak curiga bila aku telah mendengarkan obrolan mereka.
Mengapa mereka kembali menyebutku sebagai istri Tuan Pras? Apa karena kejadian malam itu?
Tidak! Kejadian itu tak serta merta mensahkan sebutan suami-istri pada kami. Selain diriku pasti banyak wanita lain yang sudah dibawa oleh Tuan Pras ke kamarnya.
"Bik, tolong ambilkan wadah untuk mengompres tuan ya!" seruku dari ujung tangga.
Bik Narti dan Pak Diman menoleh lalu mengangguk. Sesaat setelahnya saling berpandangan. Namun aku segera berbalik kembali, masuk ke dalam kamar.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel