Cerita Bersambung
Perjalanan hidup memang selalu diselimuti misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Namun tak jarang, tabir misteri juga bersemayam di masa lalu.
Entah mengapa beberapa waktu terakhir ini banyak misteri yang terjadi di sekitar hidupku. Menyelubungi masa yang semestinya menjadi istimewa.
Bilakah ini adalah takdir, apalah daya dan kuasa untuk menghindari.
Seperti salah satu misteri yang sedang berada di depanku kini. Pria yang menorehkan kebencian di hati dalam kehadirannya yang tak pernah kusangka.
Pria itu masih tertidur dengan kompres di dahinya. Sedangkan aku, sedari tadi masih duduk di tepi tempat tidur untuk memastikan kompresan airnya terus berganti sampai suhu tubuhnya kembali normal.
Dalam aktivitas ini, entah mengapa sekelebat bayangan kejadian yang sama melintas di ingatanku. Memandangi wajah Tuan Pras yang sedang terlelap dalam sakitnya itu membuatku seperti mengalami dejavu.
Kejadian seperti ini seakan pernah kualami. Dalam bayang-bayang ingatanku terlintas wajah yang sama. Wajah yang menyimpan sesuatu, seperti sebuah kepedihan dalam lelap peristirahatannya.
Aku menungguinya hingga tersadar, tak henti mengganti kompresan air di dahinya menggunakan sapu tangan handukku. Ibu yang memberikannya saat aku akan berangkat ke kota untuk kuliah. Ada rajutan kecil membentuk namaku di salah satu tepinya. Sapu tangan itu berwarna putih. Dejavu itu masih tayang di ingatanku.
Dalam bayangan dejavu itu, aku tergerak untuk mengambil sapu tangan handuk kompresan berwarna putih yang sedang berada di dahi Tuan Pras kini. Entah mengapa ada dorongan kuat dari dalam batinku untuk memeriksanya. Adakah rajutan namaku di situ? Sapu tangan itu diberikan oleh Bik Narti tadi. Yang kulihat, dia mengambilnya dari dalam lemari Tuan Pras.
Namun saat tanganku hampir meraihnya, kudengar dering panggilan dari telepon selulerku yang berada di dalam tas. Siapakah yang menelepon larut malam begini? Mungkin saja ibu dan bapak. Biasanya bila ada hal yang penting, mereka akan meminjam telepon seluler milik tetangga untuk menghubungiku saat masih di kota. Lagipula saat pergi bersama Tuan Pras tadi, aku tak membawa gawai itu. Mungkin saja mereka sudah mencoba menghubungiku sejak tadi. Ataukah mereka mungkin belum tahu bila aku takkan pulang malam ini?
Kuurungkan niat untuk meraih sapu tangan itu dan segera beranjak mengambil gawai yang masih berdering dari dalam tas.
Astaga! Nama Kano tertera di layar.
Kano ... mengapa dia meneleponku selarut ini? Tak ada salahnya bila kuangkat untuk mengetahuinya.
"Halo ...." ucapku perlahan.
"Darla, aku telepon dari tadi tapi kenapa tidak diangkat-angkat? Dari mana saja kamu, La?" Terdengar suara Kano dengan nada yang tergesa.
"Sa- saya, oh ... tadi aku pergi dan lupa membawa hape," jawabku dengan sedikit gugup.
"Pergi? Kemana?"
"Hmm ... bos di kantorku meminta untuk menemaninya ke sebuah acara."
Entah mengapa naluriku memerintahkan untuk berkata yang sebenarnya. Seolah dapat merasakan kecurigaan yang sedang coba dibuktikan oleh Kano.
"Acara? Dimana?" tanyanya lagi.
"Acara pertemuan para pengusaha."
"Mengapa kamu yang diajak?" Kano masih menginterogasiku.
"Karena saya adalah pegawai baru. Pak Direktur ingin saya menambah wawasan tentang bisnis melalui acara itu."
"Oh ... lalu sekarang kau berada di mana?" tanyanya lagi.
"Hah? Eh ... em tentu saja di kamarku."
"Oke. Sekarang istirahatlah."
"Iya. Tapi ... kenapa tiba-tiba kamu menelepon, Kan?" Aku berbalik mencoba menyelidikinya.
"Tak apa, kangen saja," jawabnya.
Sejujurnya saat mendengar ucapannya rasa mual menjalar di tenggorokanku. Apalagi setelah kembali mengingat kejadian yang dilakukannya di toilet hotel itu bersama kakak iparnya. Menjijikkan. Rasa mual itu kini mulai sudah tiba di mulutku.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi, menyimpan gawaiku di meja westafel kemudian segera memutar keran air dan memuntahkan isi lambungku.
"Huwek ... huwek ... huwek ...."
"La! Darla ... kamu kenapa, La?" Suara Kano terdengar samar-samar dari gawai.
Setelah membersihkan mulut, aku kembali mengangkat telepon itu ke telinga.
"Maaf, Kan, sepertinya saya masuk angin jadi agak mual. Ini lagi di kamar mandi," ujarku.
"Mungkin kamu kelelahan, La. Eh ... tadi saya seperti mendengar suara keran air westafel."
Astaga! Kano tahu di kamar mandi rumahku tak ada westafel. Aku harus memberi jawaban yang meyakinkan.
"Apa? Westafel? Ada-ada saja kamu, Kan. Itu tadi air guyuran timba. Sudah ya, Kan, saya lelah mau istirahat dulu."
"Oh ... ya sudah, La. Good night. Oh iya, tunggu dulu!"
"Apa lagi, Kano?"
"Kumohon agar kamu tidak terlalu dekat dengan bosmu itu."
"Maksud kamu apa sih, Kan? Kedekatan kami hanya sebatas atasan dan bawahan."
"Baiklah, aku percaya. Tapi dengarkanlah ini, demi aku jangan sekali-kali biarkan ada pria lain yang mendekatimu. Seperti yang sudah kukatakan, setelah urusanku selesai aku akan melamarmu, menjemputmu meraih impian."
Mataku seketika berkaca. Ada perasaan yang entah. Berkecamuk antara bahagia atau marah. Untuk apa Kano mengatakan hal itu? Sebenarnya cintanya untuk siapa?
Aku hanya diam dan kemudian menghela nafas lega setelah panggilan telepon itu terputus.
Tapi ... Kano tak mungkin meneleponku tanpa alasan. Kucoba mengecek kembali riwayat panggilannya tadi. Panggilan pertamanya dilakukan sekitar pukul sembilan malam. Itu adalah waktu dimana aku dan Tuan Pras keluar meninggalkan acara itu.
Bukankah saat itu Kano masih berada di dalam ruang dansa? Lalu mengapa dia bisa meneleponku saat itu?
Terkecuali bila ... Kano ternyata melihatku!
Mungkinkah Kano telah melihatku dan kemudian mencoba mengejar hingga ke parkiran? Dan ... Vania kemudian turut mengejarnya hingga hampir tertabrak mobil kami.
Entahlah ....
***
Sinar matahari masuk ke dalam kamar seiring dengan bunyi decitan gorden yang ditarik membuka. Sinar yang jatuh di mataku tak ayal seperti sebuah alarm yang membangunkan.
"Good morning, Darling!" Terdengar suara seorang pria di telingaku.
Sontak aku bangun terduduk. Menoleh ke sisi suara itu.
"Tuan ... Anda sudah sembuh?" tanyaku kaget.
"Seperti yang kau lihat."
"Ma- maaf Tuan, saya tak tau mengapa bisa tidur di tempat tidur Anda. Seingat saya tadi hanya duduk di tepinya untuk menunggui panas Anda turun. Tapi ... mungkin saya ketiduran, dan-"
"Aku yang memindahkanmu ke sini."
"Oh. Kalau begitu, saya mau pulang dulu, Tuan," ucapku sambil beringsut menuruni tempat tidur.
Namun kurasakan tanganku tertarik hingga membuat tubuhku terhempas ke pelukan Tuan Pras.
"Ahh ...." desahku.
"Tempatmu di sini. Jadi tetaplah di sini," desis Tuan Pras.
Seketika aduan netra kami bertemu. Tatapan matanya kini terlihat lebih lembut. Menenangkan.
Selama ini, berada di dekatnya serasa terjebak dalam sebuah ancaman. Namun saat ini, ada perasaan yang berbeda. Dia tak lagi seperti elang, tetapi bagaikan merpati putih yang melindungi pasangannya.
Dalam posisi sedekat ini, aroma tubuh Tuan Pras seketika menjalar ke hidungku. Entah mengapa, rasa mual kembali berasa di tenggorokanku.
"Huwek ... Tuan, mandilah. Keringat Anda sangat bau," ucapku sambil menutup hidung dan mulut.
"Apa?" Tuan Pras mengangkat dan mencium pangkal lengannya satu per satu.
"Aduh ... saya tak tahan mencium aroma keringat Anda," ucapku lagi sambil berlari ke kamar mandi.
"Huwek ... huwek ... huwek ...." Kembali kumuntahkan isi lambung di westafel.
Sejak pingsan tempo hari, tubuhku memang terasa mudah lelah. Terlebih setelah bekerja. Mungkin juga karena terlalu banyak energi lahir dan batin yang harus kukerahkan semenjak berada di perusahaan Tuan Pras selama dua minggu ini.
Aku berjalan gontai sekeluar dari kamar mandi. Kulihat Bik Narti sedang menata makanan dan minuman di meja makan bundar.
"Non Darla kenapa?" tanyanya setelah melihatku.
"Eneg, Bik. Bau keringat Tuan Pras membuatku mual," jawabku sambil mengusap-usap perut.
"Coba Bik Narti yang cium, apakah aku memang bau?" Tuan Pras mendekatkan tubuhnya pada Bik Narti.
Wanita paruh baya itu pun mendekatkan hidungnya, lalu menggeleng.
Setelah itu dia menatapku tanpa bersuara. Sebuah tatapan yang aneh.
"Bik Narti tidak merasakan bau? Ah, Bibik pasti takut mengatakannya kan?"
Bik Narti masih tak bergeming. Hanya binar-binar matanya yang tampak berkilau.
"Tuan, biarkanlah saya pulang. Dan ... sepertinya saya butuh istirahat. Kepala saya terasa pusing, bolehkah saya tak masuk kantor dulu hari ini?" Aku beralih pada Tuan Pras.
"Pulanglah, Non. Istirahatlah! Non Darla tak perlu masuk kantor sampai Non Darla sudah merasa kuat." Bik Narti yang menjawab.
Aku terkejut, begitupun Tuan Pras.
Sesaat kemudian, Bik Narti sudah mengambilkan tas dan menggandeng tanganku keluar dari kamar itu.
Tuan Pras yang tampak masih kebingungan dengan sikap Bik Narti hanya bisa diam dan terpaku.
==========
Entah mengapa Bik Narti memaksa untuk turut mengantarku pulang. Selama perjalanan menuju ke rumah, tangannya tak henti mengusap kepalaku, sesekali menggosokkan minyak kayu putih di telapak tanganku. Sementara Pak Diman yang mengemudikan mobil sesekali melirik melalui spion untuk memastikan apakah aku baik-baik saja.
Mengapa Bik Narti dan Pak Diman terlihat sangat perhatian padaku yang hanya pegawai tuannya? Apa mungkin karena mereka memiliki anak yang seusia denganku? Tak ada salahnya mencoba bertanya.
"Bik, anak Bibik dimana?"
"Hah? Anak? Hmm ... kami tak punya anak, Non," jawab Bik Narti.
"Oh ... maaf, Bik." Aku jadi merasa bersalah dengan pertanyaan itu.
"Tak apa, Non. Bagi kami Tuan Muda adalah anak kami. Sejak dilahirkan saya sudah merawatnya. Terlebih ketika Nyonya Besar wafat. Bibik merawatnya seperti anak kandung sendiri. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan kami, begitupun sedihnya."
"Bibik pasti sangat sabar bisa merawat anak seperti dia. Waktu kecil dia pastilah sangat nakal. Besarpun demikian, ditambah lagi dengan keangkuhannya," celotehku.
"Nona tidak akan pernah tau bila tak berusaha mengenalnya. Tampakan luar seseorang bisa menipu, tapi isi hati tak pernah ada yang tau. Tuan Muda sejatinya adalah seorang pria yang berhati baik. Begitulah buah yang jatuh takkan jauh dari pohonnya. Tuan dan Nyonya Besar yang berhati mulia, dermawan dan tak memandang muka adalah kesayangan warga desa ini."
Kisah tentang Tuan dan Nyonya Besar memang sudah kudengar sejak kecil. Tuan Anggoro seorang pemuda kota yang kaya raya jatuh cinta pada wanita di desa ini. Mempersuntingnya tanpa memandang status sosial.
Ibarat cerita dongeng, kisah itu memang terjadi di desa ini. Nyonya Besar yang bernama Prasinta menerima cinta Tuan Besar dengan syarat tak meninggalkan desanya. Sejak itulah Tuan Anggoro tinggal di sini. Membangun berbagai sarana serta lapangan usaha yang bermanfaat bagi seluruh warga.
Keberadaan Tuan Anggoro yang membawa kemakmuran di desa ini serta merta melekatkan sebutan Tuan Besar padanya. Seperti ucapan Bik Narti, pun juga yang pernah dikatakan ibu, keluarga Tuan Besar adalah kesayangan warga desa ini.
Tapi ... mengapa putera mereka tak demikian? Mengapa dia menjerat keluargaku dalam hutang yang mengharuskanku membayar dengan hal yang tak biasa.
"Tidak, Bik. Putera mereka tak sama," lirihku.
"Sebuah cinta dapat dengan mudah menjadi benci, begitupun sebaliknya. Cinta yang muncul karena tangkapan mata, terpesona pada penampilan dan harta, akan dengan mudah lenyap dalam godaan lainnya. Tapi cinta yang sejati akan muncul ketika hati yang saling menyapa. Bila gerbang kebencian menjadi jalan pembukanya, tinggal menunggu hati yang menuntunnya pada cinta."
Bik Narti berhenti sejenak, kembali mengelus tanganku dengan minyak kayu putih.
"Tuan Pras sudah pernah melalui kegetiran cinta yang palsu. Kegetiran itu membawanya dalam keadaan jiwa yang menyedihkan. Hingga seorang gadis menyelamatkan hidup dan jiwanya. Saat itulah dia benar-benar jatuh cinta. Namun sebuah pengorbanan harus dilakukan demi menggapai cinta sejati."
Aku tak mengerti makna kata-kata yang diucapkan oleh Bik Narti. Di tengah pening yang berputar di kepalaku, ucapannya seperti sebuah dongeng kisah cinta. Seorang pangeran dan gadis penyelamat hidupnya.
Ah, ungkapan serupa pernah kudengarkan darinya, Tuan Pras. Pria berselubung misteri itu.
Kami sudah sampai di depan rumah. Bik Narti kembali memegang tanganku, mengantar masuk ke dalam rumah.
"Lho, Darla, kamu kenapa, Nak?" tanya ibu ketika membuka pintu.
"Sepertinya masuk angin, Bu," jawabku.
Ibu pun mengantarku ke kamar, membantu berganti pakaian. Maklum saja, gaun semalam masih melekat di tubuhku. Setelah itu aku pun berbaring di tempat tidur.
"Istirahatlah dulu, Nak. Ibu buatkan sup untukmu," ucap ibu.
Aku hanya mengangguk mengiringi langkah ibu keluar dari kamar.
Ah, ibu lupa merapatkan pintu kamarku. Dengan menahan pusing aku mencoba berdiri. Saat hendak menutup pintu, kudengar suara percakapan ibu dan Bik Narti di ruang tamu.
"Jagalah Darla baik-baik, Laila," ucap Bik Narti.
"Mengapa Darla bisa sakit, Ti? Apa yang terjadi padanya semalam?" tanya ibu.
"Darla tak sakit biasa, Laila."
"Apa maksudmu, Ti?"
"Tuan Besar pasti bahagia mendengar ini, calon pewarisnya akan segera hadir," jawab Bik Narti.
"A- apa? Darla ...." Nada suara ibu bergetar.
Rupanya ibu dan Bik Narti saling mengenal. Mungkin saja mereka adalah kawan semasa kecil di desa ini. Tapi ... apa maksud ucapan Bik Narti? Apa maksudnya dengan aku tak sakit biasa?
Kembali kurapatkan tubuhku ke sisi pintu agar bisa terus mendengar pembicaraan mereka.
"Kesembuhan Tuan Pras adalah alasan Tuan Besar untuk bertahan hidup. Kehadiran seorang penerus akan menjadi alasannya untuk kembali ke desa ini. Warga desa sudah terlalu merindukannya," ucap Bik Narti.
"Narti ... kami pun bahagia bila Tuan Besar akan kembali. Warga desa saat ini sedang kalut. Ada desas-desus bahwa lahan-lahan di desa akan dibeli oleh perusahaan besar dari kota. Desa kita akan disulap menjadi gedung-gedung besar. Lalu, setelah itu warga desa pasti akan sengsara karena tak ada lahan lagi untuk dikerjakan. Tak lama kemudian, kita pun akan terusir dari desa kita sendiri. Kehadiran Tuan Besar sangat dibutuhkan. Tapi ...." Ibu menghentikan ucapannya.
"Tapi apa, Laila?"
"Tapi bagaimana dengan Darla? Apakah dia sudah siap menghadapi semua ini? Sandiwara empat tahun silam itu tak pernah tersimpan dalam memorinya. Siapa yang akan mengingat sebuah kepura-puraan. Apalagi waktu itu dia masih terlalu muda, dengan mudah percaya pada kebohongan kita."
"Ini semua adalah takdir, rencana Ilahi, Laila. Jodoh dipersatukan dengan berbagai cara. Biarlah waktu yang mengungkap semua. Sambil berharap benih cinta mulai tumbuh di hatinya. Itulah yang diinginkan Tuan Muda, wanita dengan cinta yang murni, bukan karena harta dan tahta," sahut Bik Narti.
"Apakah Tuan Muda sudah tahu tentang sakit Darla ini?" tanya ibu getir.
"Aku akan memberitahunya. Bagaimanapun ini penting diketahuinya, dia harus lebih menjaga Darla, baik fisik maupun emosinya."
"Tapi ... mengapa waktu itu Tuan Muda harus melakukan hal itu, mengapa tak mengejar cinta Darla dulu. Aku hanya takut-"
"Laila ... kita tahu, Tuan Muda sangat mencintai Darla, dia dilanda rasa rindu bercampur cemburu. Aku sudah mencoba menahannya. Tapi hari itu, ternyata aku pun luluh. Tuan Muda menangis bersimpuh di pangkuanku. Dia takut bila Darla mencintai lelaki lain dan meninggalkannya. Dia akan lebih hancur dari sebelumnya."
Ibu hanya terdiam, tak lagi kudengar suaranya. Mungkin dia telah menyetujui perkataan Bik Narti. Membenarkan perbuatan Tuan Pras padaku.
Bik Narti bilang bahwa Tuan Pras melakukannya karena mencintaiku? Bagaimana bisa begitu bila sebelumnya kami tak pernah saling mengenal? Itu bukanlah cinta tapi nafsu.
Dan ... sandiwara apakah yang telah mereka lakukan empat tahun yang lalu? Kepura-puraan apakah yang telah kulakukan di masa itu?
Ingatanku melayang ke masa empat tahun silam ....
Di usiaku yang baru akan menginjak sembilan belas tahun. Beberapa bulan setelah kuliah.
Di kota ....
Dalam memoriku, hanya sekali saja aku pernah melakukan kepura-puraan. Berdusta adalah hal yang pantang bagiku.
Namun saat itu, atas permintaan dokter di rumah sakit dengan dalih untuk kesembuhan pasien yang kutolong, aku melakukan sebuah kepura-puraan.
Memori itu terlintas di benakku .....
Aku duduk di sisinya, memastikan air kompresannya terus berganti memakai sapu tangan handuk pemberian ibu. Di hari ketiga demamnya telah reda.
Pria itu bangun, menggenggam tanganku dan berkata, "Menikahlah denganku!".
Memori itu terlintas dipikiranku ....
"Neng, apakah kamu mau membantu menyembuhkan psikisnya? Pria itu sakit secara psikis sehingga upaya untuk bunuh diri akan terus dilakukannya," tanya seorang dokter wanita paruh baya yang selama beberapa hari di rumah sakit, baru kulihat.
Jas putih yang dipakainya menunjukkan bahwa dia pun seorang dokter. Mungkin saja jadwal piketnya baru di hari itu, pikirku kala itu.
Bayang-bayang wajah dokter itu melintas, seolah mirip seseorang yang kukenal saat ini.
Entahlah ....
"Apa yang bisa saya bantu supaya dia sembuh, Dok?" tanyaku.
"Pasien itu mengalami depresi karena gagal menikah. Itu yang berhasil kami ungkap setelah beberapa hari memeriksa dan menanyainya. Sebuah pernikahan pasti akan menyenangkan hatinya. Bila dia merasa telah menikah, perlahan saraf-sarafnya akan memberikan sinyal bahagia yang bisa membuatnya sembuh," jelas sang dokter.
"Tapi bagaimana cara melakukan pernikahan pura-pura itu?" tanyaku bingung.
"Pernikahan itu akan dilakukan di ruang perawatannya. Berikan saja alamat orang tuamu, biar saya yang menjelaskan pada mereka dan saya yang akan mengatur semuanya. Yang terpenting hanyalah kesediaanmu saja untuk menikah dengannya."
"Ba- baiklah, Dok. Bila itu bisa membantu menyembuhkannya saya bersedia."
Bayangan kejadian itu terlintas ....
Seorang penghulu, bapak, ibu, dan dua orang pria yang menjadi saksi hadir di ruang rawat inap rumah sakit itu. Dokter itu yang mengatur semuanya.
Pernikahan itu hanya pura-pura, tapi semua yang hadir tampak bahagia. Pria itu pun tersenyum untuk pertama kalinya.
"Neng Darla, apakah kau benar-benar bersedia menikah dengannya?" tanya penghulu.
"Iya, Pak. Saya bersedia," jawabku yang disambut senyum semua orang.
"Baiklah kalau begitu, Ibu Laila tolong dibawa puterinya ke luar dulu karena ijab kabul akan dilaksanakan," ucap penghulu.
Aku menunggu di luar dengan perasaan yang entah. Ini hanyalah sebuah kepura-puraan, tapi pekikan kata 'sah' yang terdengar dari dalam ruangan itu menggetarkan hatiku.
Memori itu terlintas di hayalku ....
Aku pernah berpura-pura menikah dengan seorang pengemis yang depresi karena patah hati. Menikah tanpa pernah mengetahui namanya. Entah nama apa yang disebutnya saat mengucap ijab kabul pada bapak.
Dalam berkas rumah sakit kala itu, nama yang tertera hanya 'pasien x'. Sebab tak ada tanda pengenal yang melekat pada dirinya.
"Istriku ... aku akan pergi dulu untuk sementara waktu. Suatu hari aku pasti kembali untuk menjemputmu. Membawamu ke rumah kita," ucapnya setelah pernikahan itu sambil menggenggam tanganku. Sebuah kecupan didaratkan ke dahiku.
Aku hanya diam terpaku.
"Dia sudah bersedia untuk dirawat di rumah sakit khusus. Kami akan membawanya sekarang. Terima kasih, Neng Darla," ucap Bu Dokter itu.
Memori itu terlintas di sanubariku ....
Pria dengan baju compang-camping hendak menjatuhkan tubuhnya di jembatan tepat di saat aku lewat di jalan itu. Dengan cepat aku berlari, memeluk tubuhnya hingga kami terguling ke tanah.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa mau bunuh diri?" pekikku padanya.
"Biarkan saya mati! Pergi kau!" Dia mendorong tubuhku, kembali berdiri menuju jembatan.
Dengan cepat aku berlari, kembali memeluknya dari belakang.
"Lepaskan tanganmu!" serunya. "Apa kau juga mau ikut mati?" lanjutnya sambil berusaha membuka lingkaran tanganku di pinggangnya.
"Mati bukanlah jalan keluar! Itu hanya akan memberi kesedihan bagi orang-orang yang kau tinggalkan. Bila kau merasa tak berguna, berjuanglah! Selama masih bernafas, masih akan ada jalan bila mau berjuang. Kalau kau menyesali nasibmu, maka ingatlah di tempat lain banyak orang yang jauh lebih menderita tapi mungkin masih bersyukur. Tak perlu jauh-jauh, saya lah contohnya. Saya pun miskin sepertimu. Rasa lapar adalah temanku. Tapi saya tak pernah menyerah. Karena bayang-bayang wajah kedua orang tua selalu menguatkan. Kau pun harus begitu! Ingatlah keluargamu! Ingatlah!"
Gerakan meronta pria itu melemah seiring tubuhnya yang beringsut turun, berlutut lalu terduduk.
Raut kesedihan mengukir di wajahnya yang kotor. Tubuhnya menggigil karena demam. Sepertinya sudah berapa hari dia tak makan.
Bruk! Dia pingsan.
Tak ada seorang pun yang mengenalnya.
Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah menolongnya. Dengan menyewa sebuah angkot, segera kubawa ke rumah sakit terdekat.
Tapi ... aku tak begitu mengingat wajah pengemis itu. Pun tak ada alasan untuk mengingatnya. Namanya saja hanya sebuah pernikahan pura-pura, hanya untuk menyenangkan hati si pengemis yang depresi. Setelah dokter membawanya pergi, tak ada alasan bagiku untuk menyimpan memori itu.
Lalu ... apa hubungannya dengan Tuan Pras?
Memikirkan obrolan ibu dan Bik Narti membuat kepala semakin pening. Rasanya tak sanggup lagi berdiri lebih lama. Kuputuskan berhenti menguping. Segera menuju tempat tidur dan kembali merebahkan badan.
Sebenarnya aku sedang sakit apa? Rasa mual yang tertahan, badan yang lemas, disertai serbuan rasa kantuk akhirnya membuatku terlelap pagi ini.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel