Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 23 November 2021

Renjana Cinta #6

Cerita Bersambung

Sudah tiga hari aku hanya bisa terbaring di tempat tidur. Entah mengapa semua rasa sakit ini tak kunjung membaik. Ditambah lagi tak semua makanan dapat masuk sempurna ke lambungku.

"Mari, Dok, silahkan masuk." Terdengar suara ibu seiring dengan kemunculannya di dalam kamarku.
Ibu tak sendiri, di belakangnya mengikut seorang pria paruh baya berkacamata dengan menenteng sebuah tas kerja, serta Bik Narti.

"Darla, Pak Dokter datang untuk memeriksamu," ucap ibu padaku.

Dokter itu tersenyum ramah, duduk di tepi tempat tidurku lalu membuka tas kerjanya. Sebuah stetoskop mulai digunakan.

"Permisi, Nona, saya akan memeriksa keadaanmu," ucapnya lembut.

Perlahan dilekatkankannya diafragma stetoskopnya di bagian dada atasku, lalu turun di sekitar perut. Sebuah senyum mengembang di bibirnya sesaat.

"Sekarang kita cek tekanan darahnya ya," ucapnya lagi sembari mulai merekatkan alat pengukur tekanan darah itu di lengan atasku.
"Tekanan darah Nona agak rendah ya. Tapi tidak apa-apa," ujarnya sembari melepas alat itu dan kembali memasukkan ke dalam tasnya.

"Saya sakit apa, Dok? Kok tidak sembuh-sembuh ya, padahal sudah tiga hari istirahat. Rasa mual dan pusing belum juga hilang," ucapku lirih.
"Nona tak apa-apa, hanya perlu istirahat, makan makanan bergizi dan minum obat yang akan saya berikan. Ini ada tiga jenis obat untuk anti-mual, penambah darah dan multivitamin. Aturan minumnya saya tulis di sini," ucapnya sembari menyerahkan obat-obatan itu pada ibu.
"Setelah minum obat-obatan itu, saya akan sembuh kan, Dok?" tanyaku lagi.
"Iya, Nona akan merasa lebih baik. Tapi ingat, jangan beraktivitas yang terlalu lelah dulu. Boleh bekerja lagi tapi harus ingat waktu makan dan istirahat," ucapnya ramah sambil menutup tasnya dan berdiri.
"Dok?" desis Bik Narti padanya.

Dokter itu hanya tersenyum dan mengangguk pada Bik Narti. Kulihat manik mata Bik Narti berbinar. Mungkin saja dia pun lega karena aku baik-baik saja.
***

Pagi ini aku sudah siap dengan pakaian kerja. Obat pemberian dokter itu lumayan memulihkan. Rasa mual tak lagi sedahsyat sebelumnya, pusing mereda dan nafsu makanku membaik.

"Apa kau yakin sudah akan bekerja hari ini, Nak? tanya ibu.
"Iya, Bu. Sudah tiga hari saya tak masuk kerja. Tidak enak dengan teman-teman lainnya. Darla kan pegawai baru, Bu." jawabku.

Ibu hanya tersenyum sembari memasukkan bekal makan siangku ke dalam kotak makanan. Hari ini menu yang dibuatkan ibu lebih bervariasi, lengkap dengan buah-buahan dan kue-kue.

"Banyak sekali bekalnya, Bu?" tanyaku.
"Iya, kamu harus makan yang banyak supaya benar-benar pulih. Kue dan buahnya harus dihabiskan. Dan obat-obatmu jangan sampai lupa juga," sahut ibu.

Aku pun hanya menurut titah ibu. Memasukkan kotak-kotak itu ke dalam tas, berpamitan padanya dan berlalu ke luar rumah.

"Pak Diman? Ada apa ke sini pagi-pagi?" tanyaku setengah terkejut melihat sopir Tuan Pras berada di teras rumah.
"Tuan Muda meminta saya untuk menjemput dan mengantar Nona setiap hari," jawabnya dengan setengah membungkuk.

"Hah? Kenapa?"
"Non, tolong ikut saja. Jangan biarkan saya mendapat marah dari Tuan," sahutnya.

Kasihan juga Pak Diman. Dia hanyalah suruhan. Penolakanku pasti mendatangkan masalah untuknya.

"Baiklah, Pak," ujarku.
***

"Selamat pagi, Mbak Darla. Sudah baikan ya?"

Begitulah sapaan rekan-rekan kerja yang berpapasan denganku di kantor pagi ini. Tiga hari tak tersentuh, pekerjaan pun menumpuk. Sejak tiba di ruang kerja, aku terus terpaku di tempat duduk, menghadapi komputer dan berkas-berkas itu.

Kring ... kring ... kring ....

Telepon interkom di mejaku berdering.

"Ya?" sahutku setelah mengangkat gagang telepon dengan pandangan masih fokus di depan komputer.

"Makanlah dulu," ucap suara di seberang telepon.

Menyadari suara si penelepon, aku tersentak.

"Maksud Bapak?" tanyaku memastikan tanyanya.
"Aku menyuruhmu untuk makan dulu."
"Pak, ini baru jam sepuluh," jawabku.
"Ini perintah!"
"Pekerjaan saya sudah menumpuk, Pak. Saya harus-"

Tut ... tut ... tut. Telepon ditutup olehnya.

Ada apa dengannya? Mengapa menyuruh pegawainya makan di jam segini. Aneh!

Lima menit kemudian ....

Yoga dan Ningsih tiba-tiba berdiri seperti menyambut seseorang yang datang. Dan benar saja, saat ku toleh ke arah pandangan mereka, seseorang sedang memasuki ruangan kami. Pak Direktur.

"Tetaplah duduk!" ucapnya sambil berjalan ke arah mejaku.

Aku yang baru setengah mengangkat dudukan pun kembali menempatkannya di kursi. Duduk kembali. Demikian pula dengannya, menarik kursi di depanku dan duduk.

"Mana bekalmu?" tanyanya dengan tatapan tak berkedip.
"Untuk apa, Pak?" lirihku pelan.
"Mana?!"

Aku tersentak. Segera kubuka tas dan mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalamnya. Pak Direktur mengambil kotak berisi kue buatan ibu dan membuka tutupnya.

"Makanlah!"
"Saya belum ingin makan, Pak. Pekerjaan sa-"

Sepotong kue masuk mengganjal bibirku. Pak Direktur yang memasukkannya. Dengan terpaksa kukunyah dan menelannya.

Sekilas kulirik ke arah Yoga dan Ningsih. Aku tahu, diam-diam mereka memperhatikan adegan ini. Kekhawatiranku hanyalah kemungkinan timbulnya gosip di kantor.

"Pak, biar saya makan sendiri saja. Jangan sampai yang melihat salah paham," ucapku pelan.
"Kalau sejak kukatakan di telepon tadi kau menurut, ini tak perlu terjadi."
"Ba- baiklah, saya akan makan. Sekarang Bapak sudah bisa kembali."
"Habiskan dulu!"

Dengan segera kuraih kotak bekal itu, melahap isinya satu per satu. Tatapan matanya masih tak berkedip, seolah tak ingin kehilangan momen saat aku menghabiskan kue-kue itu. Mengawasiku.

"Sudah," gumamku.
"Berikan handphone-mu!"
"Hah?! Untuk apa?"
"Berikan saja."

Kulakukan titahnya, mengambil gawai di tas lalu menyerahkan padanya.
Setelah meraihnya, pria itu tampak mengutak-atik gawaiku dengan raut wajah yang serius.

"Sudah," katanya sembari mengembalikan gawai itu.
"Apa yang sudah?"
"Jadwal makanmu sudah kuatur di alarm."

Sesaat kemudian dia berdiri, menumpukan tangannya di meja. Mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku.

"Bila alarmnya berbunyi, makanlah!" ucapnya.
"Bapak pasti khawatir bila saya sakit lagi dan tak masuk kerja karena sudah mengambil setengah gaji di muka. Iya kan?"

Kami saling bertatap beberapa detik hingga akhirnya tubuhnya berbalik, pergi meninggalkan ruangan ini tanpa sepatah kata.
Dasar pria aneh dan angkuh!

Segera kubuka menu alarm di gawai. Ya ampun! Jadwal makan dan minum obat dari pagi sampai malam sudah terdaftar. Bayangkan saja berapa kali telepon genggamku akan berdering sepanjang hari.
***

Jam pulang kantor. Satu per satu pegawai mulai meninggalkan ruang kerja masing-masing.

"Mbak Darla, belum mau pulang ya?" tanya Ningsih.
"Masih tanggung nih, masih beberapa lembar transaksi lagi yang harus kuinput," sahutku.
"Oh, kalau begitu saya duluan ya," ucap Ningsih sambil beranjak.
"Oke, Ning."

Tap ... tap ... tap ....

Terdengar suara sepatu memasuki ruangan. Aku masih terpaku di depan komputer. Mungkin saja itu langkah kaki Pak Bambang, pikirku.

"Ayo pulang!"

Aku menarik nafas karena kaget. Ternyata yang masuk tadi bukan Pak Bambang, tapi dia.

"Sedikit lagi, Pak," sahutku.
"Kamu butuh istirahat. Hari ini sudah cukup untuk bekerja."
"Hanya tinggal beberapa lembar-."
"Ayo-pulang!" serunya tegas.

Aku menghembuskan nafas kasar.

"Mengapa Anda selalu memaksa saya untuk melakukan perintah Anda, Tuan?"

Pras berjalan memutari meja hingga berada di sampingku. Menutup berkas dan mematikan komputer.

Sesaat kemudian dia menarik tangan, membawaku berdiri. Untung saja aku sempat menarik tas sebelum tubuhku benar-benar terbawa olehnya.

Genggaman tangannya begitu erat. Langkah kakinya pun cepat. Tanpa menoleh kemana-mana, terus berjalan hingga ke parkiran. Seolah tak peduli pada tatapan orang-orang yang kami lewati.

Tuan Pras membuka pintu belakang mobil, dengan gerak tangannya menyuruhku masuk. Aku menurut. Setelahnya dia pun masuk.
Pak Diman yang sudah bersiap di kemudi melajukan mobilnya.
Entah apa yang ada di pikirannya, tangannya kembali menggenggam tanganku.

"Pak Direktur ...." gumamku hendak menyadarkannya.
"Ini bukan di kantor," sahutnya dengan tatapan yang tetap lurus ke depan.
"Tuan ...." gumamku lagi.
"Pras," desisnya.

Aku menoleh padanya. Dia pun berpaling padaku.

"Panggil aku Pras bila kita tak di kantor," lanjutnya.

Darahku berdesir. Jantungku berdegup kencang. Tatapannya menyiratkan sesuatu. Bukan tatapan elang tajamnya yang kulihat kini. Tapi seperti tatapan permohonan.

"Mengapa saya memanggil nama Anda? Derajat kita tak sama. Itu tak pantas," gumamku.
"Bukankah kau pernah bilang tak peduli pada apapun panggilanku?"
"Tapi bukan juga saya harus memanggil dengan nama Anda."
"Ada panggilan lain yang sesungguhnya lebih berhak kuterima darimu."
"Apa?" tanyaku heran.

Pras tak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya, lalu mengangkat tanganku ke bibirnya. Mengecupnya.

Demi Tuhan!

Apa yang terjadi pada pria ini? Mengapa dia begitu perhatian padaku hari ini? Dan perlakuannya ....
Oh tidak! Perasaan apa ini? Kemana kebencianku padanya?

Darahku semakin berdesir. Detak jantung kian tak menentu. Beruntung alunan musik klasik dari audio mobil sedikit menenangkan.
***

Mobil berhenti di depan rumah. Pak Diman tak dapat memasukkan mobil hingga ke halaman. Sebuah mobil lainnya sedang terparkir di situ.
Mobil itu pernah kulihat sebelumnya. Mobil  yang digunakan oleh Kano!

"Kano ...." lirihku pelan.

Pras menoleh padaku.

"Mengapa dia datang?" tanyanya.
"Saya tidak tahu."

Aku bergegas membuka pintu mobil, keluar. Pras mengikuti.

"Mengapa Anda ikut turun?" tanyaku.
"Untuk memastikan kau baik-baik saja sampai di dalam rumah."
"Tuan ...." desisku.
"Pras," gumamnya.
"Terserah Anda saja." Aku berbalik, berjalan memasuki rumah.

Suara obrolan dan tawa terdengar di ruang tamu. Bapak, ibu dan Kano sedang duduk di situ.

"Darla, sudah pulang, Nak," sapa ibu ketika melihatku datang.
"Iya, Bu," sahutku.
"Tuan?" gumam ibu begitu melihat Pras menyusul di belakangku.

Serentak ibu dan bapak berdiri. Begitu juga dengan Kano. Tadi, saat melihatku datang, senyumnya mengembang. Kini senyum itu gugur berganti getir.

Pras dan Kano saling beradu pandang. Tak ada keramahan dari pautan netra mereka.
Binar-binar dari manik hitam kecoklatan keduanya sama-sama memancarkan aura ketidaksukaan. Ada energi kemarahan dan perlawanan.
Kulihat tangan Kano mengepal. Mungkin saja dia sedang cemburu pada Pras.

Entahlah ....

==========

"Darla, kelelahan, Bu. Ajaklah dia segera beristirahat," ucap Pras pada ibu.

Terlihat wajah bingung ibu. Menuruti kata Tuan Pras tentu akan mengecewakan Kano yang sedari tadi menungguku. Kedatangan Kano pastilah untuk bertemu denganku.

"La ...." Kano memanggilku.
 Pras menoleh pada Kano, "Dia lelah."
"Saya tak berbicara dengan Anda," sahut Kano.
"Dia tanggung jawabku." Pras membalas.
"Ini rumahnya, Sir. Bukan kantor Anda!" Kano menggeram.
"Semua penghuni desa ini berada dalam tanggung jawabku," ucap Pras datar.

Kano berpaling dari Pras, kembali menjatuhkan pandangannya padaku.

"La, saya sudah bilang kan, jangan dekat-dekat dengan siapapun dulu. Tunggu sampai urusanku selesai dan saya akan menjemputmu," ujar Kano.
"Egois sekali!" Pras yang menjawab.
"Saya tak berbicara dengan Anda!" Hentak Kano pada Pras.

Pras menatap Kano tajam, "Dengarkan ini! Kau menyuruhnya menunggu untuk menyelesaikan urusanmu. Sementara aku ... menunggu sampai dia menyelesaikan urusannya."

Aku, ibu dan bapak hanya diam terpaku melihat perseteruan kedua pria itu. Entah apa yang mereka perdebatkan.
Diriku?

Kano memang sudah menyatakan cinta padaku. Dan benar katanya, memintaku untuk menunggu hingga urusannya yang entah apa itu selesai.

Tapi Tuan Pras? Apa maksud perkataannya? Menungguku menyelesaikan urusan.

Sungguh ... kedua pria ini menyimpan misteri yang membayangi hidupku. Kano yang menyimpan kebohongan akan jati dirinya. Pras yang hadir dengan tingkah lakunya yang tak wajar padaku.

"Anda baru saja menjadi atasannya beberapa hari. Saya? Sudah menemaninya selama empat tahun! Anda baru saja menunggunya hari ini dan mengantarkannya pulang. Saya? Menunggu dan mengantarnya selama empat tahun," ucap Kano tegas.
"Kau hanya menunggu tanpa ada ikatan," balas Pras.
"Ikatan? Kami bersahabat, dan juga saling mencintai," tutur Kano.
"Apa kau yakin Darla mencintaimu?" tanya Pras.
"Tentu saja!" jawab Kano yakin.
"Baiklah, bila dia mencintaimu, maka kuizinkan kau tetap di sini. Tapi bila ternyata tidak, pergilah sekarang juga," ucap Pras.

Bola mataku membesar mendengar ucapan Pras. Apa maksudnya melemparkan kewajiban untuk menjawab hal itu padaku?

Pras tahu, aku tak mungkin menerima cinta Kano karena sudah tak suci lagi, walau mungkin aku mencintainya.

Cinta? Ah tidak ... kemana getaran cintaku pada Kano? Mengapa tak ada lagi rindu yang bersemayam dalam kalbu padanya?
Sejak malam dimana aku melihat ketidakjujurannya, semua rasa itu seakan lenyap ditelan dustanya.

"Berikan jawabanmu, La. Katakan padanya bila kita saling mencintai dan akan bersama selamanya," tutur Kano padaku.
"Sa- saya ...."
"Katakan, La!" desak Kano.

Aku menelan liur. Membasahi tenggorokan yang kering terjemur amarah kedua pria ini.

"Saya tidak mencintaimu, Kano. Kita hanya sahabat, sampai kapanpun. Sudah pernah kukatakan itu." Jawaban tuntas kuucapkan.

Simpulan senyum kecil terona di wajah Pras. Sebaliknya, wajah Kano mengecut tak percaya.

"Kau tak perlu takut padanya, La! Kau berkata begitu karena takut kan? Bila dia memecatmu, saya bisa memastikan hidupmu takkan kesusahan." Kano kembali mendesak.
"Tidak, Kan. Ini tak ada hubungannya dengan Pras!" hentakku.
"Apa? Pras? Kau memanggilnya Pras? Seorang bawahan memanggil nama atasannya secara langsung ibarat teman akrab. Ooh ... saya tahu sekarang, kau dan dia ...."

Kano berhenti sejenak, membuang wajahnya ke samping lalu kembali menatapku dengan raut kemarahan.

"Saya tidak pernah menyangka, ternyata kau pun sama dengan wanita lainnya. Kau menolakku karena miskin? Iya?! Dan memilihnya karena kaya?" Kano meradang.
"Tidak! Tidak, Kano!" Aku menyelanya.
"Cukup, La! Saya kecewa padamu. Kita bukan sahabat lagi! Suatu hari nanti kau akan menyesal telah memilihnya hanya karena kekayaan."

Setelah mengatakan itu Kano keluar dari rumah, memasuki mobilnya dan pergi.
Aku masih berdiri dengan nafas tak beraturan saat ibu memeluk tubuhku yang bergetar. Rasa pusing kembali menjalar di kepala, berputar ....

Pemandangan di sekitar menjadi kabur dan perlahan berakhir gelap.
***

Perlahan mataku membuka. Melihat ibu duduk di kursi samping ranjang rasanya menenangkan.

"Kau sudah sadar, Nak. Bangunlah minum air ini dulu, lalu makanlah sup ayam ini," tutur ibu lembut.

Aku beringsut duduk, meminum seteguk air. Lalu meraih mangkuk sup yang disodorkannya. Saat hendak menyuapi sesendok ke dalam mulut, aku tersentak. Seseorang masuk ke dalam kamar.
Pria itu berjalan sambil menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan sehelai handuk. Ia berhenti di depan lemari pakaian, mematut dirinya di hadapan cermin besar yang ada di pintunya.

Menyadari bahwa diriku sedang terbelalak menatapnya lewat pantulan cermin, ia segera berbalik.

"Kamu sudah bangun?" tanyanya.
"Ibu ... mengapa dia masih ada di sini? Dan ... mengapa dia memakai handukku?" desahku pada ibu.
"Oh ... itu, Tuan hanya meminjamnya. Tadi ... anu ... itu, astaga ibu lupa lagi memasak air di belakang, pasti sudah mendidih. Sebentar ibu lihat dulu."

Tanpa menunggu jawaban, ibu berlalu begitu saja. Meninggalkanku bersama pria itu di kamar.

Pandanganku kembali beralih padanya. Rambut yang basah serta aroma yang segar menandakan bila dia baru saja mandi. Kemeja kerja yang biasa dipakainya kini berganti dengan kaos putih yang melekat seksi di badannya. Celana panjang kaos semakin menampakkan tubuh atletisnya.

Sesaat kemudian dia telah mengambil tempat di kursi samping tempat tidurku. Mengambil mangkuk sup yang kupegang lalu mulai menyendokkan ke mulutku.
Tentu saja tak ada pilihan, membuka mulut menyambut suapannya.

"Mengapa masih di sini?" tanyaku setelah menelan sesuap.
"Untuk menemanimu," jawabnya sambil kembali memasukkan sesuap ke mulutku.

"Saya bisa makan sendiri, lebih baik Tuan pulang saja," kataku.
"Tuan?" lirihnya.
"Hmm ...." desahku.
"Sebutkan."
"Apa?" Suaraku melirih.
"Namaku."
"Untuk apa?"

Pras tertawa kecil lalu mengulum lidahnya di dalam mulut.

"Aku senang, tadi kaumenyebut namaku di depannya,"
"Itu ...."
"Makanlah lagi." Sesendok sup kembali masuk ke mulutku.

Tak lama kemudian dia kembali mengarahkan sendok berisi sup ke mulutku. Namun saat kubuka mulut, sendok itu diputarnya ke arah lain.

"Praaasss," lirihku manja.
Pras tertawa renyah, "Akhirnya kau sebutkan juga."

Wajahku cemberut.

"Aww!" seruku. Pras menjatuhkan sebuah cubitan di pipiku.

"Jangan ngambek. Jelek!" godanya.
"Ini sudah malam, mengapa belum juga pulang?" tanyaku kemudian.
"Aku akan tidur di sini malam ini."
"Hah?!"
"Kenapa kaget?"
"Mana mungkin kamu bisa tidur di rumah kami yang seperti ini. Lagipula ... hanya ada dua kamar, yang satunya ditempati ibu dan bapak."

Pras berdiri, keluar sebentar lalu kembali dengan sebuah tikar. Digelarnya tikar itu di lantai, samping ranjangku.

"Aku akan tidur di sini, berikan satu bantalmu."
"Ka- kamu yakin?"

Pras hanya mengangkat alisnya.

"Ibu dan bapak-."
"Mereka sudah tahu dan mengizinkan. Lagipula ... puteri mereka juga sudah pernah tidur di kamarku, sekarang apa salahnya gantian?"

Aku terdiam sejenak. Entah kejadian mana yang dimaksudnya sebab bukan hanya sekali aku pernah tidur di kamarnya. Dan ... tentu saja, kejadian pertama adalah saat yang paling tak ingin kuingat.

"Tadi ... kamu mandi di kamar mandi kami? Tak ada bathub, tak ada shower ...." gumamku.
"Kalau aku tak mandi, kamu bisa muntah-muntah lagi mencium keringatku," ujarnya.

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Syukurlah bila dia menyadari. Aku pun tak habis pikir, mengapa pria tampan dan terawat sepertinya memiliki bau keringat yang menghujam sampai ke lambung.
Uhh, memikirkannya saja membuat lambungku bergejolak.

Pras sudah membaringkan tubuhnya di tikar. Meringkuk seperti bayi dalam kandungan.
Deru nafasnya yang teratur menandakan bahwa dia sudah terlelap. Cepat juga dia tertidur, pikirku.
Aku memutar arah tidur. Ke kanan, lalu ke kiri. Sesaat kemudian terlentang, menatap langit-langit kamar.
Mataku masih sulit terpejam. Kembali kuberingsut duduk. Menatap pria yang tidur di lantai.
Sebenarnya aku kasihan padanya. Di bawah situ pastilah dingin. Dia sudah terbiasa tidur di kamar yang nyaman. Bagaimana kalau dia sampai sakit?
Ah, mengapa juga dia harus menungguiku di sini? Apa untuk membalas karena aku pernah menungguinya tempo hari? Mungkin saja begitu.

Sebuah panggilan naluri membuatku beringsut bangkit, menghampirinya di lantai.
Aku duduk di tepi tikar itu, mengamati wajahnya. Wajah penuh misteri.
Benarkah kata Bik Narti bahwa sebenarnya dia adalah pria yang berhati baik? Tapi mengapa harus melakukan itu padaku?
Katanya ... agar aku tak menerima cinta lelaki lain? Mengapa dia bisa tahu? Siapakah sebenarnya lelaki ini? Sejak kapan dia mengenalku?

'Kesalahanmu adalah menyelamatkan hidupku.' Kata-kata itu kembali terngiang.
Bagaimana bisa aku menyelamatkannya? Kapan?
Aku hanya pernah menyelamatkan seorang pengemis di jalanan.

Sesaat kucoba memejamkan mata, mengingat-ingat raut wajah pengemis itu.

Bayangan kejadian di rumah sakit kembali terlintas. Perawat-perawat di ruang UGD itu dengan sigap memberikan pertolongan. Ada yang memasang jarum infus, mengganti pakaian compang-campingnya, serta ada yang membersihkan wajahnya yang kotor.

Aku berdiri di ruang UGD itu, terus mengamati. Kapas-kapas putih berubah kecoklatan setelah disapukan di wajahnya. Miris, debu-debu kotor itu tak jua menampakkan asli wajahnya. Luka-luka lebam lah yang terlihat.
Pipi, pelipis, dagu hingga hidungnya penuh luka. Sepertinya dia mencoba menyakiti dirinya sendiri dengan membentur-benturkan wajahnya. Perawat-perawat itupun menutupi luka-luka itu dengan perban.
Alhasil, wajahnya tertutup seperti mumi, yang hanya menyisakan sedikit ruang di dahinya. Bila bertemu kembali pun, aku pasti takkan mengenali wajahnya.

Dalam lamunanku, tiba-tiba kurasakan tubuhku tertarik.
Bruk! Aku terjatuh ... dipelukannya.

"Aww!!!" pekikku.
"Jangan teriak," bisiknya di telingaku.
"Kamu terbangun? Tapi mengapa menarikku? Lepaskan!" Aku berusaha membuka lingkaran tangannya.
"Siapa yang suruh kau duduk di sini?"
"Aku ... hanya ...."
"Kau hanya apa?" Suaranya lirih di telingaku, menggetarkan hingga memacu detak jantung tak karuan.

"Aku hanya mau memastikan tak ada nyamuk yang menggigitmu. Sekarang lepaskanlah!"

Bukannya melepaskan, dia malah merentangkan tangannya, menempatkan kepalaku di situ, lalu kembali merengkuhku.

Kami saling berhadapan kini. Aduan netra yang saling bertaut seolah mengantarkan frekuensi yang menggelombangkan rasa.
Ada apa dengan diriku? Mengapa tak lagi berontak dalam kebencian padanya? Sihir apa yang sudah menghipnotisku?

"Kau tak bisa tidur?" tanya Pras.

Aku mengangguk lemah.

"Baiklah, ayo bangun."

Pras bangkit, menarik tanganku untuk berdiri.

"Mau kemana?" tanyaku.

Pras berjalan menghampiri jendela kayu kupu-kupu, "Tidak kemana-mana."

Criitttt. Pras mendorong jendela terbuka lebar.
Udara malam segera menyeruak masuk ke seisi kamar. Kusilangkan kedua tangan di dada, kedinginan.

Pras menarik selimut dari tempat tidur, melingkarkan di tubuhku. Sedetik kemudian jemarinya telah merekati jemariku.
Dituntunnya tubuhku menghampiri jendela, memandang bulan yang tampak separuh.

"Lihatlah bulan itu," gumamnya.

Aku mendongak.

"Terkadang bulan itu tak bercahaya. Gelap. Kau tahu apa artinya?"
"Karena saat itu posisinya membelakangi matahari," jawabku asal.
"Ya. Aku pernah menjadi seperti bulan yang gelap. Matahariku lenyap. Hidupku kelam tak berarah."
"Mengapa?"
"Karena aku terlalu percaya."
"Pada siapa?"
"Cinta yang palsu."

Sesaat setelah itu angin kembali berhembus. Pras dengan sigap melingkarkan tangannya, merengkuhku dari belakang.

"Pras ...." desisku.
"Dan lihatlah bulan itu kini, bercahaya tapi tak penuh. Seperti itulah diriku kini."
"Mengapa?" tanyaku.
"Kekasih yang kutunggu telah ada di depan mata, tapi aku belum memiliki cinta murninya seutuhnya. Hidupku mulai terang, tapi belum sempurna."

Aku menarik nafas, mengumpulkan keberanian untuk menanyainya, "Siapa dia?"

Pras membalikkan tubuhku dan tubuhnya hingga posisi kami saling berhadapan di samping jendela.

"Tidurlah."

Criitttt. Kedua tangannya menarik daun jendela. Menutupnya.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER