Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 24 November 2021

Renjana Cinta #7

Cerita Bersambung

Hari ini Pras mengemudikan sendiri mobilnya menuju kantor. Dan aku duduk di sampingnya. Alunan lagu 'everything' milik Eric Martin mengiringi perjalanan kami.

My life's been sad and blue for, oh, so long ....
Each day seems like a life time all alone ....
Strange to think that you could be someone who ....
Is all alone and waiting for someone, too ....

Diam-diam kulirik ke arahnya. Pras memandang lurus ke depan, binar-binar matanya seperti sedang bersenandung. Mengikuti irama lagu yang menyentuh kalbu itu.

Berbagai pertanyaan menyeruak di benakku. Mengapa kami bisa sedekat ini sekarang? Mengapa berada di dekatnya serasa memberikan kenyamanan?
Seakan ada sebuah ikatan yang telah terjalin, menjadi telepati yang menghubungkan. Mengantarkan sinyal rasa yang belum terdeteksi.

Semalam dia rela tidur di lantai kamarku yang dingin hanya untuk memastikan pagi ini aku terbangun dalam keadaan baik-baik saja.
Demi apa?

You're everything, you're everything ....
You are the sun, the very air I breathe ....
I've told a million stars ....
How I've loved you from the start ....
You're the song inside my heart ....

Suara Pras yang tiba-tiba turut melirihkan syair lagu itu membuatku tersentak. Pandangannya masih lurus ke depan sambil terus menggerakkan setir di tangannya.
Tampak sekali, Pras menyanyikan lagu itu seperti menghayatinya dari dalam jiwa.
Untuk siapa?
***

Mobil telah berhenti di depan kantor. Kami turun. Sejujurnya ada rasa khawatir saat melangkahkan kaki masuk ke dalam. Khawatir bila kedatanganku bersama Pak Direktur menimbulkan pertanyaan di benak semua pegawai yang akhirnya berujung pada pergosipan.

Aku mencoba memelankan langkah agar Pras melaju lebih dulu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Seperti telah menyadarinya.

Pras membalikkan badan, "Bila tak mau berjalan di sisiku, aku akan menggendongmu."
"Hah?! I- ini di kantor, Pak."
Pras melangkah menghampiriku, "Dan ini adalah kantorku."

Dia telah berhasil menggenggam tanganku, menarik kembali berjalan di sisinya. Seolah tak peduli pada berpasang-pasang mata yang diam-diam melirik ke arah kami.

Sampai suara tapakan sepatu yang berjalan terburu-buru terdengar.

"Pak ... Pak Direktur!" seru Pak Bambang yang datang dari arah depan kami.
"Ada apa, Pak Bambang?" tanya Pras.
"Ada sesuatu yang penting yang harus saya sampaikan pada Bapak. Ini tentang perusahaan ini, Pak," ungkap Pak Bambang dengan raut gelisah.
"Oke. Kita ke ruangan kerjaku saja."

Pras dan Pak Bambang berjalan tergesa menuju ruang kerja direktur. Sedangkan aku memilih untuk masuk ke ruanganku.

"Mbak, Mbak Darla!" seru Ningsih saat melihatku tiba di ruangan.
"Ya, Ning?"
"Gawat, Mbak. Gawat!"
"Apanya yang gawat, Ning?"
"Perusahaan ini, Mbak. Duh, Gusti ... kalau ini sampai terjadi bagaimana nasib keluargaku, adik-adikku masih butuh biaya."
"Tenang dulu, Ning. Coba jelaskan pelan-pelan," kataku sambil memegang kedua pundaknya.
"Perusahaan dari kota sudah ada di desa ini, Mbak. Mereka sudah berhasil membujuk beberapa pemilik lahan untuk menjual lahannya dengan harga yang fantastis. Mbak ... tak lama lagi lahan-lahan perkebunan dan pertanian itu akan berubah menjadi apartemen, rumah-rumah bagi orang kaya. Lalu perusahaan ini tidak akan beroperasi lagi, dan ... dan kita pasti di-PHK."

Aku menutup mulut dengan satu tangan, menandakan rasa tak percaya.

"Kamu tahu dari mana, Ning?" tanyaku memastikan.
"Tadi Pak Handoko dan Pak Lukman yang bilang ke Pak Bambang," jawabnya.

Ya ampun, berarti tadi Pak Bambang tergesa untuk mengatakan hal ini pada Pak Direktur. Pastilah sekarang mereka sedang membahasnya dan berusaha mencari cara untuk menyelamatkan perusahaan dan desa ini.

"Ning, sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanyaku.
"Sudah tiga tahun, Mbak. Sejak lulus SMA."
"Kalau begitu kamu tahu sejak kapan perusahaan pengembang itu berusaha masuk ke desa ini?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya sudah sangat lama, Mbak. Sejak Tuan Besar masih di sini tapi selalu gagal karena Tuan Besar tak pernah membiarkannya. Tapi dari cerita teman-teman yang sudah lama bekerja di sini, sebenarnya perusahaan itu pernah hampir berhasil sewaktu Pak Direktur mengalami ...."

Ningsih menghentikan ucapannya, sekilas tersirat keragu-raguan untuk melanjutkan ceritanya.

"Mengapa berhenti, Ning?" tanyaku.
"Mbak Darla dekat dengan Pak Direktur, kan? Kalau saya bercerita nanti Mbak Darla melaporkan saya ke beliau."
"Astaga, Ning! Ya, tidak mungkinlah. Saya tidak ada apa-apa dengan Pak Direktur. Ceritakanlah hal-hal yang belum saya ketahui, siapa tahu saja saya bisa melakukan sesuatu untuk membantu perusahaan, terlebih desa kita."

Sesaat Ningsih menatapku lekat, seolah mengumpulkan keberanian dan kepercayaan sampai beberapa detik kemudian dia kembali bersuara.

"Pak Direktur pernah mengalami depresi. Awalnya beliau hanya sering pergi dan pulang sesukanya, tapi suatu hari beliau pergi dari rumah entah kemana selama berminggu-minggu. Saat itu Pak Anggoro, Tuan Besar pun jatuh sakit. Lalu perusahaan ini untuk sementara dikendalikan oleh Manajer Pemasaran, Pak Handoko. Setelah Pak Direktur diketemukan, ia dibawa ke luar negeri untuk berobat bersama Tuan Besar. Selama tiga tahun Pak Handoko memimpin perusahaan ini, dia telah menjalin relasi dengan perusahaan dari kota yang sejak lama mengincar lahan-lahan desa. Saat itu ... hampir saja mereka berhasil menguasai desa. Beruntung Tuan Pras kembali dan menjalankan perusahaan serta menyadarkan warga desa untuk tidak gegabah menjual lahan mereka."
"Apa nama perusahaan dari kota itu?"
"Mahesa Group, Mbak."
"Mahesa ...?" Aku berucap lirih.
"Perusahaan itu sudah berusaha masuk ke desa ini sejak PT Prasinta, kantor kita ini masih dipimpin oleh Tuan Besar, Pak Anggoro. Cerita itu kudengar dari teman-teman yang sudah lama bekerja di sini jadi bisa dibilang akurat, Mbak."
"Kamu tahu siapa pemilik Mahesa Group itu?" tanyaku lagi.
"Dulu perusahaan itu dipimpin oleh Pak Mahesa, pemilik utamanya. Tapi setelah beliau meninggal, diteruskan oleh puteranya. Dan ... putera Pak Mahesa itulah yang menikah dengan mantan tunangan Pak Direktur kita."
"Apa?!" Mataku terbelalak.
"Si ... siapa nama mantan tunangan Pak Direktur?"
"Kalo tidak salah ingat, dari cerita orang-orang, namanya Va ... em Valia atau Vanita, aduh saya agak lupa em ...."
"Vania?"
"Vania ... oh iya betul, Mbak. Namanya Vania, dia adalah puteri pejabat pemerintahan di kota."

Jantungku berdegup tak karuan. Bayang-bayang wajah wanita cantik di acara itu melintas di pikiranku.
Wanita yang bercumbu dan berdansa dengan Kano ....
Wanita yang menyeberang dan nyaris tertabrak mobil kami ....
Wanita yang membuat Pras mengalami demam semalam ....

Apakah wanita itu juga yang mengakibatkan Pras mengalami depresi?

Vania adalah istri dari kakak Kano yang bernama Kelan. Itulah yang kudengar saat itu dari obrolan Vania dan Kano.
Ya, obrolan mereka saat itu adalah tentang penghianatan Vania pada calon suaminya, misi balas dendam Kano, dan lahan desa.

Ya Tuhan ... apakah Kano memang ada hubungannya dengan perusahaan itu?

Mahesa Group.
Astaga! Kano Mahesa.

Hanya dalam hitungan detik setelah menyadari hal itu aku berbalik hendak beranjak meninggalkan ruangan itu.

"Mbak, Mbak Darla mau kemana?" pekik Ningsih.

Aku kembali berbalik padanya.

"Ning, dari ceritamu, saya curiga, mungkin di kantor ini ada penghianat yang memberikan jalan masuknya pengusaha dari kota itu serta mempengaruhi masyarakat pemilik lahan desa. Saya harus menyelidikinya, Ning. Semua ini harus dihentikan sebelum terlambat."
"Mbak, kita ini hanya staf biasa. Apa yang bisa Mbak Darla lakukan?"
"Ada!" seruku singkat sambil kembali berbalik dan berjalan pergi dengan tergesa.

Meninggalkan Ningsih yang diam dalam kebingungan.
***

Tabir misteri menyelimuti setiap sesi kehidupan. Mengiringi tapak setiap pejuang nafas. Menanti waktu untuk menjawab teka-teki atau tetap diam membungkam asrar.

Manusia tercipta dengan berbagai peran dan tabiat. Pun terkadang hadir bersama rahasianya, sebagai topeng yang harus disibak. Demi nyatanya sebuah kebenaran.
Langkahku pasti, menuju ruangan Pak Direktur. Aku ingin tahu, langkah apa yang akan diambilnya. Apakah dia pun memiliki prasangka yang sama denganku? Ada penghianat di sini. Penghianat yang demi kepentingan dirinya sendiri akan memberikan dampak negatif terhadap banyak orang. Tak hanya seluruh pegawai di perusahaan ini tapi juga masyarakat desa.

Kring ... kring ... kring ...

Telepon selulerku berdering. Segera kuraih dari dalam tas sembari terus berjalan.

Saat menatap layarnya, aku menghentikan langkah.
"Kano," desirku.

Sejenak aku termangu, memikirkan akan menjawabnya atau tidak. Tapi ... bila memang Kano adalah bagian dari perusahaan pengembang itu, aku harus menjawab teleponnya, dan ... mengikuti permainannya.

Bukankah selama ini dia mengetahui bahwa aku adalah warga Desa Suraloka. Dia pun sudah sering datang ke desa ini bersamaku. Artinya ....

"Halo ...." Aku menjawab teleponnya.
"La ...." Terdengar suara Kano.
"Kano ...."
"Kamu di mana?" tanyanya.
"Di kantor," jawabku perlahan.
"La ...."
"Ya?"
"Maafkan yang kemarin."
"Hmm ...."
"Kamu masih marah?"
"Pernahkah saya berlarut-larut saat marah padamu?"
"Makasih, La. La ...."
"Ya?"
"Bisakah kita bertemu?" tanyanya.
"Tentu."
"Sekarang."
"Hah?! Di mana?"
"Saya akan menjemputmu."
"Menjemputku di mana?" Suaraku sedikit bergetar.
"Tunggulah di depan kantormu! Sekarang juga."
"Eh ... Kan ... Kano ...."

Tut ... tut ... tut .... Kano sudah mengakhiri teleponnya.

Tanpa berpikir lagi aku segera berbalik arah, menuju ke luar gedung kantor ini.

Lima menit menunggu di depan gerbang, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Kacanya turun dan tampaklah wajah Kano di depan kemudi dengan mengenakan kacamata berwarna hitam.

"Naiklah!" serunya dari dalam mobil.

Aku menurut, masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
Pedal gas kembali diinjaknya, melajukan mobil itu entah kemana.
***

Deru mobil melaju cukup kencang di bawah kemudi Kano. Jalan yang ditempuhnya adalah jalur menuju ke kota.

"Kita mau kemana, Kan?" tanyaku.

Kano hanya terdiam. Kemudian memindahkan perseneling, menjadikan laju mobilnya semakin cepat.

Aku tak dapat bersuara lagi. Hanya bisa menahan nafas serta perut yang terasa keram atas setiap gerakan yang ditimbulkan akibat hentakan ban mobil dengan aspal.

Saking cepatnya, kami telah tiba di kota dengan waktu setengah dari biasanya. Dan tempat yang ditujunya adalah tempat yang kuketahui. Asrama kost kami.

"Eh, Neng Darla ... gimana kabarnya? Tumben main ke sini lagi," sapa ibu pemilik kost yang kami temui di halaman.
"Oh iya, Bu. Darla sudah kerja soalnya jadi baru sempat main ke sini lagi," jawabku.
"Wah ... sudah pada kerja to. Kano juga tuh malah sekarang sudah bawa mobil bagus. Berarti ibu tinggal tunggu undangan kalian saja dong, he-he-he ...."
"Undangan apa ya, Bu?" tanyaku.
"Ya, undangan pernikahan kalian berdua lah" sahutnya.
"Tunggu saja, Bu. Tak lama lagi." Kano yang menjawab.

Sedetik setelah mengucapkan itu, dia menarik tanganku menuju kamar kostnya. "Kita masuk dulu ya, Bu," serunya pada ibu kost.

Kano membuka pintu, menarikku masuk dan mendorong tubuhku ke atas kasur.

"Aduh, apaan sih, Kano?" gerutuku sambil berusaha bangkit.

Kano mengunci pintu dengan gerak cepat. Lalu kembali mendorong tubuhku yang sudah setengah berdiri.

"Aduuhhh!!!" pekikku.

Cekrek, cekrek, cekrek.

Suara jepretan kamera telepon genggam Kano terdengar. Saat kutoleh, dia memang sedang mengarahkannya padaku.

"Kano! Hentikan, apa maksudmu memotretku seperti itu?" ucapku geram.

Tak ada jawaban dari mulutnya. Hanya gerak tangannya yang kemudian memasukkan beberapa benda dari lemari ke dalam tas. Karena terburu-buru sebuah map jatuh ke lantai. Aku yang sudah bangkit dari kasur mencoba mengambilnya.
Kubuka map itu, mataku sedikit membesar, dengan cepat tanganku membuka lembar-lembar potret yang ada di situ. Potret lahan-lahan di Desa Suraloka.

"Ini ...."

Belum tuntas aku berkata, Kano sudah merampas map itu dari tanganku.

"Kano, bagaimana bisa kau memiliki foto lahan-lahan itu? Dan ... untuk apa?" tanyaku.

Kano tak juga menjawab. Setelah menutup resleting tas, dia kembali menarik tanganku, mengikuti langkahnya keluar kamar itu.

"Aduh, kenapa harus ditarik sih? Lepaskan dong, Kan. Saya bisa jatuh nih."

Kano tak juga bergeming. Terus menarikku hingga kembali masuk ke dalam mobilnya.

Sejurus kemudian dia menarik beberapa lembar tisu dari kotaknya. Membuka sebuah botol kecil yang diambilnya dari laci dasbor mobil, dan menuangkannya ke lembaran tisu tadi.
Kano melirik padaku. Tatapannya menyeringai seiring gerak tubuhnya yang menuju ke arahku.

"Ti- tidak, Kan---"

Tisu itu dibekapkan ke hidungku. Aroma menyengat yang kuhirup telah mengantar sebuah perintah ke saraf otak untuk memejamkan mata. Tertidur.

==========

Selama napas masih merasuk dalam raga, jangan pernah mengangkat kedua tangan. Selama kaki masih berpijak pada bumi, tangguhkan bendera putih terkibar.
Itulah arti perjuangan, takkan menyerah untuk alasan yang dinyana. Miskin tak menghalangi meraih cita. Perih tak mengkandaskan tawa orang-orang tercinta.

Ini negeriku, tanah airku. Di sini aku dilahirkan, di sini kami bernaung. Di sini nafas dan hidup bersatu, membangun mimpi dari riak tawa bocah-bocah yang berlarian. Menyimpan cerita para tetua yang siap berpulang.
Tanah yang hingga tetes darah penghabisan akan kupertahankan, dari mereka yang hendak merampas. Menrenggut asa, menggugurkan masa, karena keserakahan.

Desa Suraloka, dengan hamparan lahan-lahan pertanian dan perkebunan adalah surga kami. Kini, akan disulap menjadi gedung-gedung pencakar langit yang menjadi surga untuk mereka.
Tidak! Surga fana itu adalah neraka bagi masyarakat desa. Karena itulah aku di sini, membiarkan diriku dalam masalah yang belum kuketahui.

Perlahan mataku membuka, sadar dari rasa kantuk yang menyerang tiba-tiba tadi. Setelah duduk, pandanganku mengitari isi ruangan tempat berada saat ini. Sebuah kamar dengan tempat tidur yang besar dan berbagai perabot yang mewah.
Pandanganku terhenti pada sebuah pigura foto yang ada di meja kecil samping tempat tidur. Oh Tuhan, hatiku terenyuh. Itu adalah foto aku dan Kano yang sedang duduk berdua dengan senyum lebar, semasa kuliah.
Artinya ini adalah kamar Kano. Ini ... rumah Kano. Mengapa Kano menyimpan foto ini di kamarnya? Bukankah diriku hanya dijadikan alat untuknya dengan mudah memasuki desaku? Ya, setidaknya itulah yang ada di pikiranku tentangnya kini setelah hal yang dilakukannya padaku. Membius dan menyekapku di sini.

Tap ... tap ... tap ....

Suara langkah kaki beberapa orang dari luar kamar terdengar. Sepertinya ada yang hendak masuk. Segera kukembalikan posisi tubuhku di ranjang. Berbaring dan menutup mata seolah-olah masih tertidur.

Ceklek. Criitttt. Pintu terbuka.

"Mengapa kamu membawanya ke sini, Kano?" tanya seorang wanita.
"Ma, Kano harus mengamankannya di sini." Jawaban seorang pria yang kukenali suaranya, Kano.

"Untuk apa, Nak?" tanya wanita itu.
"Mama tahu alasannya."
"Ya, Mama tahu kamu mencintainya. Kano ... please, dia hanya gadis desa. Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih sepadan dengan kita."
"Awalnya Kano memang hanya ingin memanfaatkannya. Sewaktu kuliah, saat tahu dia berasal dari desa itu, Kano mendekatinya, berkawan dengannya. Tapi seiring waktu, Kano sadar, tak bisa hidup tanpa dia. Darla berbeda, Ma. Tapi ... saat dia kembali ke desa, sikapnya berubah. Kano takut dia jatuh cinta pada pria itu, musuh kita. Makanya Kano menculiknya dan membawanya ke sini karena sebentar lagi misi balas dendam kita akan tercapai. Menguasai desa itu. Kano tidak mau terjadi apa-apa pada Darla bila dia berada di sana."

Mendengar ungkapan Kano, aku berusaha menahan nafas. Kano benar-benar mencintaiku walaupun di baliknya ada niat terselubung. Misi balas dendam untuk apakah yang sedang mereka rancang? Mengapa Pras menjadi musuh mereka?

"Lalu mengapa kau harus membiusnya?" tanya Mama Kano.
"Supaya dia tidak tahu dibawa kemana," jawab Kano.
"Baiklah, terserah kau saja. Yang terpenting adalah rencana kita sebentar lagi berhasil. Keinginan mendiang Papa selama bertahun-tahun akan terwujud. Sudah sejak dulu dia menginginkan desa itu. Berbagai cara sudah dilakukannya, namun Anggoro selalu menghalanginya. Terlebih sejak Anggoro menikahi Prasinta, perempuan dari desa itu. Papa meninggal akibat serangan jantung saat kalah dalam sebuah tender proyek besar yang menjadi masa depan perusahaan kita. Sejak saat itu, Mama dan kakakmu harus mulai membangun perusahaan dari nol lagi. Semua karena Anggoro, dia yang memenangkan tender itu."

Mama Kano berhenti sejenak, terdengar suara langkah kakinya yang berpindah tempat, sepertinya lebih dekat di sisi Kano.

"Upaya balas dendam pertama sudah dilakukan oleh Kelan. Saat tahu putera Anggoro bertunangan, Kelan berusaha mendekati calon istrinya itu. Kelan berhasil membuat Vania tergila-gila padanya hingga dia hamil. Hal itu telah menghancurkan putera Anggoro termasuk Anggoro sendiri. Perusahaan mereka tak terurus. Saat itulah banyak tender proyek yang berhasil kita dapatkan. Begitupun desa itu, hampir saja berhasil kita kuasai bila putera Anggoro tak kembali ke desa itu setahun yang lalu. Entah apa yang membuatnya sembuh, Mama kira dia sudah mati karena yang terdengar waktu itu adalah putera Anggoro mengalami depresi dan selalu berusaha bunuh diri," lanjut Mama Kano.

Astaga! Sungguh keluarga ini sudah tak waras! Musuh mereka yang sesungguhnya bukanlah Tuan Anggoro ataupun Pras, tapi hawa nafsu. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan. Menguasai lahan, memenangkan tender proyek, adalah bagian dari ambisi untuk memperoleh kekayaan duniawi sebanyak-banyaknya. Yang dianggap penghalang dicap sebagai musuh. Dan ... Pras telah menjadi korban atas ambisi dan hawa nafsu keluarga ini.

Pras ....
Oh tidak! Saat ini dia pasti sudah menyadari bila aku tak ada di kantor. Apakah dia sedang mencariku?

"Dan upaya balas dendam yang kedua adalah tugas Kano. Selama empat tahun Kano sudah mengintai desa itu. Masyarakat pemilik lahan tak banyak, yang banyak adalah buruh yang bekerja di lahan-lahan itu. Apalagi dua orang penting di PT Prasinta telah kupegang. Handoko dan Lukman yang bertugas mempengaruhi para pemilik lahan dan mengawasi kegiatan internal perusahaan itu." Kano menimpali ucapan mamanya.
"Iya, Nak. Mama bangga pada kedua anak lelaki Mama. Tapi ... sekarang bagaimana dengan gadis ini?"
"Dia akan tetap di sini, Ma, sambil menunggu misi kita berhasil. Setelah itu, Kano akan membawanya ke Sidney, menikah dengannya dan tinggal beberapa waktu di sana."
"Iya, sayang. Lakukanlah yang membuatmu bahagia. Kau dan Kelan kan selama ini sudah membahagiakan Mama. Mama ke kamar Mama dulu, ya."

Langkah kaki wanita yang adalah mama Kano itu terdengar menapak ke arah luar kamar ini. Namun terhenti dan kembali terdengar suaranya.

"Lho, Vania? Kamu di sini?"
"Eh, iya Ma. Vania nyariin Mama dan Kano cuma mau tanya, sudah pada makan siang belum?"
"Oh, Mama mau ke kamar dulu istirahat. Kalian makan saja duluan."

Tak lama kemudian suara langkah kaki Mama Kano kembali terdengar menjauh dari kamar ini. Dan sebaliknya, suara langkah kaki wanita yang ditemuinya di depan pintu terdengar menapak masuk.

"Apa maksudmu, Kano? Apa yang kau katakan pada Mama tadi?" tanya wanita itu.
"Apaan sih kamu Vania?" balas Kano.
"Kamu mau menikahi perempuan desa ini?" Nada suara Vania melengking.
"Iya!" jawab Kano tegas.
"Jadi gadis ini yang membuat kamu menghindar dariku? Dia yang kau lihat di acara pertemuan para pengusaha itu kan? Saat itu kau mengejar mencarinya, meninggalkanku di tempat dansa. Dan sekarang, kau mau menikahinya di luar negeri dan meninggalkanku di sini?"
"Kau jangan gila, Vania. Kamu ini adalah istri Kak Kelan. Hubungan kita adalah saudara ipar. Lupakanlah apapun yang terjadi pada kita dua bulan terakhir ini. Itu hanyalah sebuah kesalahan."
"Oh, karena kamu sudah berhasil mendapatkan desa itu, lantas mau membuangku begitu saja? Kau tak bisa melakukan itu, Kano. Bukti-bukti pembayaran ke pejabat pemerintahan untuk menyuap mereka agar mengeluarkan persetujuan pembangunan di desa itu masih ada di tanganku. Bila kau meninggalkanku, bisa kupastikan kau akan berakhir di penjara atas kasus suap."
"Vania!" Kano membentak.
"Apa?" tantang Vania.
"Oke ... oke! Sekarang katakan apa maumu?"

Langkah kaki Vania mendekat pada Kano.

"Yang aku inginkan hanya dirimu. Aku rindu padamu, pada belaian dan setiap sentuhanmu." Wanita itu berdesis.
"Jangan di sini, Vania. Di ruang kerjaku saja. Tapi kumohon, serahkan bukti-bukti itu padaku sekarang."
"Baiklah, kita ke ruang kerjamu dulu. Setelah kita melakukannya, baru kuserahkan. Puaskanlah aku dulu, Sayang."

Mereka keluar dari kamar ini. Ceklek. Pintu kembali dikunci dari luar.

Aku bergegas membuka mata dan bangkit. Memikirkan bagaimana caranya pergi dari sini. Setelah mendengar pembicaraan mereka, aku tahu bahwa kini sedang berada di rumah keluarga Kano. Tapi ... karena sepanjang jalan ke sini tak sadarkan diri, aku tak tahu dimana lokasi rumah ini.

Handphone. Ya, aku harus menelepon. Tapi ... dimana teleponku.

Tringting ... tringting ... tringting ....

Itu bunyi alarm teleponku. Segera kucari tempat sumber suara itu. Gawai itu ada di sebuah laci bufet.

Alarm waktu makan siang yang berbunyi. Jadwal yang pernah diatur oleh Pras di telepon genggamku. Sepertinya tadi gawai ini dimatikan, tapi karena waktu alarm berbunyi, maka gawaiku otomatis aktif lagi.

Pras ....

Entah mengapa aku merasa bahwa dia selalu hadir untuk menjagaku. Bila alarm itu tak berbunyi, aku pasti tak tahu dimana gawai ini berada.

Segera kubuka menu gawaiku. Oh tidak! Kartu SIM-nya sudah tak ada. Berarti ... Kano sudah membuangnya. Untuk apa?
Ya ... supaya keberadaanku tak bisa dilacak melalui GPS. Kano pasti tahu bila Pras akan mencariku.
Tapi ... posisi terakhir teleponku aktif adalah di asrama kost. Pras pasti sudah mencariku ke sana dan bertemu ibu kost. Ibu itu pasti sudah bilang bila aku datang bersama Kano. Semoga saja Pras sudah tahu bahwa Kano adalah putera keluarga ini, pemilik Mahesa Group.
Namun bagaimanapun aku membutuhkan gawai ini. Ya, sebelum pergi aku harus mengumpulkan bukti-bukti kejahatan keluarga ini. Aku harus merekam percakapan penting dan jika bisa mengambil bukti yang dikatakan Vania tadi. Bukti penyuapan Mahesa Group pada pejabat pemerintahan.

Sekarang aku harus berpikir untuk keluar dari kamar ini. Tapi bagaimana caranya?
Ya Tuhan ... kirimkanlah aku seorang malaikat yang bisa membantuku.

Cling ... Tringting ....

Dari luar terdengar bunyi kunci sedang disentuh, seperti sedang dimainkan. Aku mulai panik dan berniat kembali berbaring.

Cling ... Tringting ....

Dentingan kunci masih berbunyi. Aku kembali berdiri dan berjalan mendekati pintu. Kurapatkan telinga untuk mendengar lebih jelas.

"Om Tano ... Om Tano .... Buta pintuna ...."

Astaga! Itu suara anak kecil.

"Adik kecil, putar lah kuncinya. Ayo putar lah ...." desisku dari balik pintu.

Ceklek. Aku tersentak. Dengan segera kuraih gagang pintu, membukanya.
Gadis balita kecil yang cantik berdiri di depanku.

"Ciapa tamu? Mana Om Tano?" ucapnya menggemaskan.
"Sa- saya tante Darla, teman Om Kano," ucapku sambil berjongkok menyamakan tinggi dengannya.

Mata gadis kecil itu berbinar-binar.

"Tante Dala yang poto itu?" tanyanya sambil menunjuk fotoku dan Kano yang ada di atas meja.
Aku mengangguk.

""Iya. Siapa namamu gadis cantik?"
"Kenia," jawabnya.
"Berapa umurmu?"
"Mama bilang tiga bulan lagi Kenia ulang tahun empat," jawabnya sambil mengacungkan empat jari.
"Anak pintar," ucapku sambil mengelus kepalanya.

Gadis kecil ini kemungkinan puteri Vania dan Kelan. Segera kugendong dan membawanya keluar kamar.

"Kenia, bisa tunjukkan pada tante dimana ruang kerja Om Kano? Mungkin saja dia ada di sana. Yuk, kita cari!"

Kenia mengangguk.

"Di cana," ucapnya sambil menunjuk ke salah satu ruangan di lantai dua rumah ini.
Lantai yang sama dengan kamar Kano, tempatku berada tadi. Perlahan aku berjalan menuju ruangan itu masih dengan menggendong Kenia.

"Non Ken ... Non Ken dimana? Ayo bobo, Non." Sebuah suara muncul dari arah lain. Aku segera menepi.

"Kenia, itu siapa yang mencarimu?" tanyaku pada Kenia.
"Itu Embak," jawabnya.

Mungkin 'mbak' yang dimaksudnya adalah penjaganya. Aku segera menurunkan Kenia dari gendongan.

"Ayo sekarang Kenia ke Embak. Ini kan waktunya tidur siang, pasti Embak nyariin Kenia buat diboboin," bujukku.
"Tidak mau, Ken mau main cama Om Tano," ucapnya.
"Nanti biar tante yang cari Om Kano. Kalau sudah ketemu baru ke kamar Kenia. Kita main sama-sama. Oke?"
"Janji?"
"Iya, janji. Ayo tos dulu."

Gadis kecil itu tersenyum sembari melayangkan tangannya menepuk telapak tanganku. Setelah itu dia berlari menuju tempat keberadaan penjaganya yang masih mencari-cari. Kuiintip sejenak untuk memastikan dia telah sampai di sana.

Tampak mbak penjaga itu sudah menggendong Kenia dan mengajaknya masuk ke sebuah kamar. Aku pun segera keluar dari tempat menepi tadi dan menuju ruang kerja Kano yang ditunjukkan oleh Kenia.

Pintunya tampak tertutup. Kano dan Vania pastilah masih berada di dalam. Sejenak kuamati sisi luar ruangan itu berharap ada celah untuk bisa melihat ke dalam. Dan benar saja, ada jendela di sisi sampingnya, gordennya sedikit tersingkap.

Dengan mengendap-endap kupicingkan mata untuk mengintip ke dalam.
Kano tampak sedang memakai kemejanya, sementara Vania masih berbaring malas di atas sofa panjang dengan gaun yang tersingkap.

"Mana bukti-bukti itu?" ujar Kano sambil mengancingkan kemejanya.
"Sabar dong, Sayang."
"Cepatlah, Vania!"

Vania berdiri, meraih tasnya yang teronggok di meja kerja. Sebuah amplop coklat diraih dari dalamnya. Setelah itu dia beranjak mendekat pada Kano.

"Ini, Sayang. Tapi ... aku mau sekali lagi" desahnya sambil membelai dada Kano.

Kano meraih amplop itu dan berusaha mendorong tubuh Vania menjauh darinya. Setelah itu Kano membuka amplop dan melihat satu per satu isinya kemudian kembali memasukkan dan menyimpannya ke dalam tas yang tadi dibawanya dari kamar kost. Artinya semua bukti penting kini ada di dalam tas Kano itu.

Aku mulai menyalakan menu perekam video di telepon genggam.

"Kau tahu kan aku anak siapa? Menyuap para pejabat itu bukan hal yang sulit bagiku. Mereka adalah relasi Papaku," ujar Vania.
"Kau memang bisa diandalkan," sahut Kano.
"Kalau begitu beri aku bonus."

Vania kembali mendekat pada Kano, mengusap wajah pria itu dan melekatkan bibirnya. Kano menyambutnya.

Segera kumatikan video perekam. Setidaknya ucapan Vania tentang penyuapan sudah terekam. Adegan ini tak perlu masuk dalam rekaman.

Tap ... tap ... tap. Suara langkah kaki menapaki anak tangga terdengar.
Aku segera menyembunyikan diri di balik tembok. Sekilas kulihat yang datang adalah seorang pria.

"Dimana sih handphone aku. Jangan-jangan ketinggalan di ruang kerja." Pria itu bergumam sendiri setelah tiba di lantai atas.

Astaga! Dia menuju ke ruang kerja itu.

Ceklek. Pintu terbuka. Sepertinya Vania dan Kano lupa menguncinya.

"Vania? Kano?!" Terdengar suara pekikannya.

Perlahan kucoba kembali mengintip di balik celah tirai jendela. Kulihat pria tadi sedang menarik tangan Vania.

Plak! Dia menampar wanita itu.

"Apa yang kalian lakukan?"
"Kak Kelan, tenanglah dulu, Kak." Kano mencoba menahan.

Buk! Kelan meninju wajah Kano.
"Bajingan kau Kano!"

Hantaman tangan Kelan memecah bibir Kano. Darah menetes.
Kelan kembali menghampiri Vania. Menarik rambutnya.

"Keluar kau dari rumah ini, Vania. Perempuan jalang kau!" Hentak Kelan.
"Ampun, Ke! Ampuuunnn ...." Vania meraung.

Seorang wanita keluar dari sebuah kamar di sisi lain lantai atas rumah itu. Mama Kano berjalan tergesa dan memasuki ruang kerja.

"Ada apa ini? Ke? Mengapa kau menjambak istrimu seperti itu? Lepaskan Ke ... Kelan!" hentak sang ibu.
"Ma, mereka berdua sudah berbuat mesum di ruangan ini. Mereka berselingkuh. Mereka menghianati Kelan, Ma!" sahut Kelan geram.
"Apa?! Kano? Ya ampun Kano, bibirmu? Kau memukulnya, Ke?" Mama menghampiri Kano.
"Dia pantas menerimanya, Ma. Bahkan lebih dari itu!" jawab Kelan.
"Kau mungkin salah paham, Nak," ucap mamanya lagi.
"Kelan melihat sendiri, Ma. Mereka sedang melakukannya. Mereka berzinah, Ma!" tegas Kelan.

Sang ibu tampak kaget, matanya terbelalak sembari memegang dadanya. Sedangkan Kelan telah kembali menarik tangan Vania dan menyeretnya keluar dari ruang kerja itu.

"Ke ... Kelan!" Mamanya kembali memekik.

Kelan tak peduli. Rintihan dan permohonan ampun dari Vania tak digubrisnya. Ia terus menarik istrinya hingga menuruni anak tangga.
Kano dan mamanya beranjak mengikuti. Dari raut wajah mereka tampak kekhawatiran bila Kelan melakukan hal buruk pada Vania.

Mereka semua sudah menuruni tangga. Aku bergegas keluar dari tempat pengintipan. Memasuki ruang kerja itu. Tas milik Kano adalah sasaranku. Dengan cepat aku meraihnya, mencengkeram kuat dan beranjak keluar dari ruangan itu. Tak lupa telepon genggam kumasukkan ke dalam tas itu agar sekalian aman.

Perlahan kutapaki anak tangga, turun dan mencari pintu keluar. Setelah berada di luar rumah terdengar suara keributan di salah satu sisi halaman. Aku tak dapat melanjutkan pelarian, kini bersembunyi di balik sebuah tanaman rindang.

"Pergi kau dari sini, Vania. Aku akan menceraikanmu!" bentak Kelan pada Vania yang kini bersimpuh memegang kaki Kelan.

"Tidak, Ke. Jangan! Aku tak bisa berpisah dari Kenia. Aku tak bisa hidup tanpa Kenia," pinta Vania diselingi isak tangis.
"Kak, ampunilah dia. Ini semua salahku. Hukum saja Kano, Kak." Kano mencoba membujuk Kelan.
"Diam kau, Kano! Hukuman untukmu sudah pasti ada. Tapi sekarang perempuan inilah yang harus dihukum dulu. Dengar Vania, kau tidak pantas menjadi ibu Kenia. Kupastikan kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi!" Kelan menggeram.
"Tidak, Ke ...! Ampuni aku, Ke ...! Jangan usir aku ...."

Rintihan dan isak tangis Vania terdengar memilukan. Bagaimanapun dia memang seorang ibu. Dan tak ada ibu yang bisa berpisah dari anaknya.

Pergerakan mataku yang mengamati kejadian itu tiba-tiba teralih pada gerak-gerik seorang bocah yang berada di balkon. Mungkinkah dia mendengar perkelahian orang tuanya sehingga terbangun dan kini sedang berusaha memanjati pagar penghalang balkon itu.

Oh tidak! Kenia ....

Sebuah dilema terjadi, aku harus memilih. Tetap bersembunyi di sini demi menyelamatkan diri dan bukti-bukti yang kubawa yang artinya akan menyelamatkan desaku, atau berlari menolong Kenia dengan mempertaruhkan keselamatanku dan juga keselamatan warga desa.

Segera kusimpan tas milik Kano yang kubawa di sebuah bangku dekat pohon tempatku bersembunyi.
Ya Tuhan, bila memang Kau hendaki akan terjadi sesuatu padaku, maka kirimlah seseorang yang akan menemukan tas ini dan menyelamatkan perusahaan Pras dan desaku.

Tubuh Kenia tengah bergelantungan di pagar balkon dan sebentar lagi ... dia akan melompat. Dengan cepat aku berlari, berhenti tepat di bawah balkon itu, dengan sigap menangkap tubuh Kenia yang telah terhuyung dari atas balkon.

Tumbukan tubuhnya padaku membuat tumpuan kakiku bergeser. Menjatuhkan tubuhku ke tanah. Kedua tanganku memeluk tubuh Kenia erat, memastikannya tak terbentur apapun.

Sementara keempat manusia yang sedari tadi saling beradu kini diam bak patung. Mereka yang tiba-tiba tersentak saat melihat kelebatan sosokku yang berlari kencang, kini tercengang dengan akhir adegan penyelamatan itu.

"Keniaaaa!!!" pekik mereka bersamaan.

Tak ayal mereka berempat berlari ke arah kami. Dengan sigap Kelan meraih tubuh putrinya, mendekapnya erat.

"Kenia, kau tidak apa-apa, Nak?" tutur Kelan.
"Ya ampun, Kenia." Mama Kano ikut panik dan memeriksa bagian tubuh Kenia.
"Putriku, Kenia ...." Vania meraung dalam isaknya.
"Darla ...." Kano memekik setelah melihatku tersungkur.

Aku tengah mencoba berdiri saat Kano berlari menghampiri.

Rasa keram menjalar di sekujur perut hingga kaki. Terasa basah di bawah sana. Perlahan kutengok, sisi pangkal paha celana panjang yang kupakai telah berubah warna. Kemerahan serupa warna darah.

Rasa keram yang menjalar kian menggigit seiring rasa pusing yang tiba-tiba menerjang. Wajah Kano yang ada di depanku tiba-tiba menjadi buram. Masih sempat kurasakan tangan Kano yang menyentuh, memeluk tubuhku. Hingga akhirnya indera perasaku benar-benar tak merasakan apa-apa lagi.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER