Tempat ini tampak serba putih. Seolah awan beterbangan di setiap sisi dan sudutnya. Angin berhembus melambaikan gaun putih yang kukenakan. Sesekali rambutku tersibak, mengikuti alur semilirnya.
Selayang pandanganku menangkap siluet tubuh manusia. Perlahan berjalan mendekat. Tangisan seorang bayi memecah sunyi. Membelah deburan gemericik air yang jatuh dari cakrawala.
Sosok yang datang semakin dekat. Seorang pria dengan bayi di gendongannya.
Temaram cahaya sang surya yang jatuh menyapa bumi, mengungkap misteri sosoknya.
"Pras ...," desisku.
Wajah tampannya hanya tersenyum. Sedetik kemudian dia kembali berbalik, masih merengkuh bayi dalam dekapannya.
"Pras ...!" Aku memekik.
Dia kembali menoleh.
"Jangan pergi, Pras!" seruku lagi.
"Kau membenciku, Darla," gumamnya lirih.
Aku menggeleng. Tanganku mengulur hendak meraihnya. Namun, sosoknya semakin menjauh. Pergi.
"Jangan pergi, Pras! Saya mencintaimu ...."
***
Mataku terbelalak disertai nafas yang tersengal. Warna putih berkelebat di sekitarku. Di manakah diriku kini?
Kucoba mengingat kembali kejadian yang baru terjadi tadi. Rumah Kano, perseteruan keluarga itu, dan Kenia terjatuh dari balkon.
Aku telah menyelamatkan Kenia.
Kulirik jarum infus yang melekat di punggung tangan untuk meyakinkan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit. Kamar besar dengan interior yang bagus menandakan bahwa ini adalah ruang inap VIP.
Sayup-sayup terdengar suara perbincangan beberapa orang di sofa yang dibatasi sekat dan tirai gorden. Mereka belum menyadari bila aku telah sadarkan diri, maka biarlah sejenak aku tetap diam agar dapat mendengar percakapan mereka.
"Bebaskanlah dia, Kano!" ucap seseorang yang kukenali sebagai suara Kelan.
"Saya mencintai dia, Kak," jawab suara Kano.
"Kau tak pantas! Gadis itu terlalu baik untukmu," hardik Kelan.
"Maafkan saya, Kak. Itu hanya kekhilafan. Semua hanya demi balas dendam kita. Kak Kelan sudah tak mau membantu Mama untuk melanjutkan balas dendam lagi, jadi Kano yang harus bertindak. Dan ... Vania datang menawarkan bantuan. Walau begitu, Kano tetap mengaku salah, Kak ...."
"Persetan dengan balas dendam itu! Please, Ma ... Papa sudah tiada, apa lagi yang akan kita cari? Bukankah yang kulakukan dulu sudah cukup? Kita sudah membangkitkan lagi perusahaan kita."
Terdengar suara tangis sesenggukan.
"Maafkan Mama. Ini semua memang kesalahan Mama. Kejadian hari ini telah membuat Mama sadar. Gadis itu sudah menyelamatkan Kenia. Gadis yang akan kita hancurkan desanya."
"Sekarang hentikan saja semuanya. Aku bahkan rela memberikan nyawa untuk Kenia. Apalah arti ambisi menguasai desa itu untuk memperluas bisnis kita. Dan gadis itu rela mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Kenia. Hal yang bahkan mungkin tidak bisa dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri," gumam Kelan.
Kring ... kring ... kring .... Suara telepon genggam berdering.
"Halo ...." Suara Kano mengangkat teleponnya. "Oh ya? Oke. Nanti saya hubungi lagi."
"Siapa yang menelepon, Nak?" tanya mama Kano.
"Handoko, Ma. Dia mengabarkan bahwa warga pemilik lahan sudah menandatangani berkas jual beli lahan-lahan itu. Semua sudah jadi milik kita, Ma."
"Apa? Tak mungkin semudah itu, Kano! Bertahun-tahun mereka selalu menolak menjual lahan, tak mungkin sekarang mereka mau melakukannya," sanggah Kelan.
"Ka- Kano ... memakai cara curang, Kak."
"Apa? Cara curang bagaimana?"
"Dengan menjanjikan harga tinggi pada pemilik lahan, tiga kali lipat dari harga normal tanah. Mereka pun setuju menjual lahannya."
"Apa? Kau pikir perusahaan kita mampu membayar sejumlah itu?"
"Harga itu memang tertera di perjanjian, tapi di pasal lainnya ada poin yang menerangkan tentang pajak dan biaya yang ditanggung oleh penjual. Mereka hanya orang desa, pasti tak paham klausa surat perjanjian. Pasal itulah yang akan dipakai untuk menekan jumlah yang dibayarkan pada mereka hingga lebih rendah dari harga tanah normal. Kita akan mendapatkan keuntungan yang banyak."
Napasku tertahan mendengar ucapan Kano. Kezaliman yang akan dilakukannya pada warga desa sungguh tak bisa kuampuni.
"Apa kau yakin bisa mendapatkan cinta gadis itu setelah dia tahu perbuatan yang kau lakukan pada warga desanya?" tanya Kelan.
Kano hanya terdiam.
Criitttt .... Suara pintu terbuka.
"Permisi, kami mau mengecek kondisi pasien," ucap seorang wanita.
"Silahkan, Sus, Dok," sambut Kelan.
Langkah mereka menapak menuju bilik tempatku terbaring. Seorang dokter pria bersama seorang perawat wanita serta Kano, Kelan dan mama mereka kini telah berada di sekitarku.
"Wah, pasien sudah sadar, Dok," ucap wanita yang adalah perawat itu setelah melihat kedua mataku membuka.
"Darla ... kamu sudah sadar?" Kano berjalan cepat menuju tepi tempat tidurku.
Dia berusaha menyentuh tanganku, namun kutampik. Tak ada lagi senyum yang bisa kuukir untuknya kini.
"Biar kami periksa dulu ya," ucap perawat lagi.
Kano melangkah mundur, memberi tempat untuk dokter pria itu memeriksaku dengan stetoskopnya yang diarahkan ke sekitar dada lalu ke perut.
Setelah itu ia tersenyum dan melepas stetoskop dari telinganya.
"Keadaan Ibu Darla baik-baik saja, begitu juga dengan janinnya. Untung saja segera dibawa ke rumah sakit sehingga pendarahan tadi bisa segera dihentikan. Injeksi untuk penguat kandungan pun sudah diberikan. Sekarang Ibu sudah sadar dan tinggal beristirahat saja," ucap dokter itu dengan senyum ramah.
Berbeda dengan sikap dokter dan perawat yang terlihat senang itu, semua orang yang berada di sana terkejut. Ekspresi datar dan kaget teraut di setiap wajah, termasuk diriku.
Janin? Pendarahan? Penguat kandungan? Apa maksud kata-kata dokter itu?
"D- Dok, ma- maaf ... apa maksud kata-kata dokter tadi?" Kano bertanya dengan terbata.
"Iya, janin yang berada dalam kandungan Ibu Darla baik-baik saja. Kecelakaan tadi memang menimbulkan pendarahan tapi tidak sampai mengakibatkan keguguran," jelas dokter itu lagi.
"Artinya ... Darla hamil?"
"Iya. Wah, sepertinya Bapak belum tahu ya? Kalau begitu saya ucapkan selamat. Kandungan Ibu Darla sudah berusia delapan minggu. Jadi, karena sekarang sudah tahu, saya harap Bapak bisa lebih menjaga kesehatan dan keselamatan Ibu Darla dan kandungannya."
Ucapan dokter itu membuat nafasku terasa sesak. Aku hamil tanpa menyadarinya. Dan ... tentu saja, ayah dari anak ini adalah dia. Tak seorangpun lelaki yang pernah menyentuhku kecuali dirinya. Pras.
Pras ... sikapnya yang berubah menjadi baik dan peduli padaku, apakah itu karena dia telah mengetahuinya?
Dia mengatur jadwal makanku. Dia rela tidur di lantai untuk menjagaku. Dia tak mau aku kelelahan. Dia ....
Pikiran yang melayang membuatku hanya terdiam saat dokter dan perawat itu berpamitan untuk keluar. Pun ketika Kano telah berada di sampingku hendak meminta jawaban atas pernyataan dokter itu.
"Siapa, La? Apa kamu sendiri tak sadar bila sedang mengandung?"
Hanya bulir bening yang mengalir dari kedua sudut mata.
"Ma, lihatlah ... dia sedang mengandung tapi rela mempertaruhkan bayinya sendiri demi menyelamatkan Kenia, cucu Mama, orang yang akan merampas kebahagiaannya dan keluarganya." Kelan berkata pada mamanya.
Wanita paruh baya itu hanya terdiam. Namun, raut kesedihan dan penyesalan terpancar di wajahnya.
Ceklek. Criitttt. Langkah kaki beberapa orang menapak masuk. Kami serempak menujukan pandangan pada sekelompok orang yang datang.
"Lepaskan menantuku!" Suara berat keluar dari mulut pria berusia sekitar enam puluh tahun yang telah berdiri di hadapan kami.
Dua orang pria berbadan tegap berdiri mengapitnya. Di belakangnya ada empat orang lagi.
Perlahan wajah keempat orang itu muncul. Wajah-wajah yang kukenali.
"Darla ... apa kamu baik-baik saja, Nak?" Ibu berjalan cepat menghampiriku.
"Ibu ... bagaimana ibu bisa tahu aku di sini?"
Ibu hanya memelukku erat. Bik Narti pun datang menghampiri. Sedangkan ayah dan Pak Diman masih berdiri di belakang pria tadi.
"Anggoro?" Mama Kano bergumam.
"Iya, Kelana. Ini aku!"
Kano dan Kelan beranjak mendekat pada ibu mereka.
"Kalian ingin balas dendam padaku, kan? Ingin menghancurkan perusahaanku? Tak perlu bersusah-susah lagi. Ambillah semua perusahaan yang tersebar di seluruh pelosok kota ini! Tapi jangan ganggu tempat tinggalku, jangan ganggu warga desa Suraloka, dan jangan ganggu menantuku!"
"Menantu? Darla menantumu, Anggoro?"
"Iya, Kelana. Dia istri putraku, Pras."
Aku tersentak. Kemudian menatap lekat pada ibu. Wajah ibu tampak sendu, binar-binar matanya membenarkan perkataan Tuan Anggoro. Anggukan kecilnya kemudian mensahkan.
Kepalaku perlahan menggeleng, tak mengerti dengan apa yang kudengar. Bagaimana mungkin aku menjadi istri Pras hanya karena kebersamaan kami di malam itu? Ataukah karena mereka telah mengetahui kehamilan ini?
"Sejak kapan Darla menjadi menantumu?" tanya Nyonya Kelana lagi.
"Sejak empat tahun yang lalu," jawab Tuan Anggoro.
"Ba- bagaimana mungkin itu terjadi?" tanya Kano.
"Ini adalah buku pernikahan mereka." Bik Narti bersuara sembari mengeluarkan sebuah buku nikah berwarna merah.
"Dan ini punya Darla." Ibu turut bersuara dan melakukan hal yang sama. Mengeluarkan buku nikah berwarna hijau.
Kuraih buku yang diserahkan ibu, membukanya. Di halaman pertama, pas foto milik Pras dan aku berjajar. Di halaman kedua tertera nama Pras Dylano Anggoro dan Darla Prisha yang telah resmi menikah empat tahun silam.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Raut wajah bingungku dapat dipahami boleh Bik Narti dan ibu yang bergantian memeluk seakan meyakinkan bila ini nyata.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Bu?" lirihku.
Semua orang kini menoleh padaku. Kano pun tampak terkejut begitu mengetahui bahwa aku pun tak menyadari pernikahan itu.
"Masih ingatkah kau pengemis yang pernah kau tolong waktu baru beberapa bulan kuliah di kota ini, Nak?" tanya ibu.
Aku mengangguk pelan. Pengemis yang depresi itu ... diakah?
"Pria itu adalah Tuan Pras," sahut Bik Narti.
"Apa? Ba- bagaimana bisa?" tanyaku bingung.
"Setelah tunangannya, Nona Vania mengaku hamil dengan Tuan Kelan, putera Nyonya Kelana itu, Tuan Pras mengalami depresi. Dia selalu pergi dan pulang dalam keadaan mabuk. Hingga suatu hari dia pergi dan tak pulang berminggu-minggu. Tak ada yang tahu dimana keberadaannya. Telepon genggamnya tak terdeteksi. Sampai pada suatu hari, dia menelepon Bibik, memakai telepon genggammu. Mengabarkan bila dirinya berada di rumah sakit. Saat itu dia meminta Bibik untuk datang dengan menyamar sebagai dokter."
Ingatanku melayang ke kala itu. Pria yang kutolong saat hendak menjatuhkan dirinya dari jembatan. Dokter yang memintaku menolongnya dengan berpura-pura menikah. Kehadiran ibu, bapak, penghulu dan dua orang saksi.
Jadi ... dokter yang mengatur pernikahan itu adalah Bik Narti? Dan ... kutatap lekat ke arah Pak Diman. Kilasan kejadian itu kembali tayang dalam memoriku, Pak Diman adalah salah satu saksi, dan yang satunya adalah ... Pak Bambang!
"Ibu dan Bapak? Apa kalian ...."
"Iya, Nak. Kami sepenuhnya sadar saat menikahkanmu dengan Tuan Pras. Saat Bik Narti datang menemui kami dan mengungkapkan bahwa Tuan Pras menginginkan dirimu menjadi istrinya, demi kesembuhan Tuan Pras yang adalah semangat hidup Tuan Anggoro, kami menyetujui pernikahan kalian. Maafkan kami atas sandiwara itu, Nak. Tapi kamu harus tahu sekarang karena tengah mengandung anak Tuan Pras." Ibu menjelaskan.
"Tapi ... mengapa harus dengan bersandiwara?" tanyaku masih tak percaya.
"Karena Tuan Pras tak ingin menggugurkan mimpimu. Dia membiarkanmu menyelesaikan kuliah dan meraih cita-cita dulu. Dia menunggumu selama empat tahun. Hingga akhirnya kejadian hari itu tak bisa terelakkan, Tuan Pras tahu kedekatanmu dengan Tuan Kano. Dia tahu ada benih cinta yang timbul antara kalian. Tuan Pras mengalami cemburu. Dia melakukannya dan membiarkan kau membencinya," timpal Bik Narti.
"Lalu dimanakah dirinya? Mengapa dia tak ada di sini?" tanyaku lirih.
"Tuan Pras sudah mencarimu, mengikuti GPS telepon genggammu. Di asrama kost dia bertemu ibu kost yang mengatakan kamu datang bersama Kano dan masuk ke kamarnya. Ibu kost bilang bahwa kalian sedang mempersiapkan pernikahan. Tak lama kemudian dia mendapatkan kiriman foto-fotomu, ditambah lagi berita bahwa seluruh lahan desa telah terjual. Tuan Pras merasa hancur, marah dan pergi entah kemana. Beruntung Tuan Anggoro datang setelah beberapa hari yang lalu Bibik mengabari berita kehamilanmu." Bik Narti kembali bercerita.
"Saya tahu, semua ini pasti ada hubungannya dengan keluarga Mahesa. Keinginannya untuk menguasai desa sudah sejak dahulu. Hanya karena cintanya tak sampai, dendam merasukinya hingga menghilangkan akal. Kelana, mendiang suamimu mencintai mendiang istriku, Prasinta. Itu yang tak kau ketahui. Kau menghasut anak-anakmu untuk melanjutkan dendam yang semestinya tak perlu. Tadi saya ke rumahmu dan menemukan tas ini. Beruntung telepon genggam milik Darla yang ada di dalamnya berbunyi. Semua bukti kejahatan kalian ada di sini." Tuan Anggoro berucap sembari menunjuk sebuah tas yang dipegang pengawalnya.
Nyonya Kelana, Kelan dan Kano tampak terkejut disertai raut penyesalan.
"Anggoro, maafkanlah kami. Ampunilah kami ...."
Nyonya Kelana terduduk dan bersimpuh di lantai.
"Ma ...." Kelan dan Kano mencoba mengangkat tubuh ibu mereka untuk kembali berdiri.
"Om Anggoro, kami menyadari semua yang pernah kami lakukan adalah kejahatan. Maafkan saya yang dulu pernah melakukan kejahatan pada Pras dan Anda. Setidaknya saya sudah mendapatkan karma, wanita yang kurebut dari Pras ternyata tak ada apa-apanya dibanding Darla, istrinya kini. Dan ... untuk kejahatan yang dilakukan adikku Kano, kumohon, ampunilah dia. Saya yang akan menghukumnya. Kano akan pergi ke Sidney dan tinggal di sana untuk waktu yang lama."
Tuan Anggoro, Sang Tuan Besar yang dikagumi dan dihormati oleh seluruh warga desa Suraloka telah hadir di sini sebagi hakim yang adil. Memutus perkara dengan kebijaksanaannya. Mengampuni keluarga Mahesa dan membiarkan mereka menghukum diri mereka sendiri dalam perasaan sesal yang entah sampai kapan.
Kano menatapku sendu.
"Maafkan saya, Darla. Jangan pernah membenciku, saya tak sanggup melihat tatapan kebencian dari matamu." Lirih terucap dari bibir Kano.
"Dendam adalah penyakit hati. Menyimpannya hanya akan menggerogoti jiwa. Pun dapat membuat cinta menjauh. Hati kita pernah bertaut dalam rasa yang sama, perjuangan melawan kesusahan. Kamu pernah menjadi sosok yang menguatkanku. Kehadiranmu laksana air yang menghapus rasa hausku. Tapi dendammu yang berkesumat telah menjadi api yang membakar segala rasa dan kenangan itu. Namun, saya memaafkanmu ...." Aku bergumam.
Tak ada hal lain yang bisa kupikirkan kini. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Lelaki yang hadir dengan menoreh kebencian di hatiku.
Pras ... kemanakah dia pergi? Dia marah? Dia cemburu? Pras mencintaiku?
Yang dilakukannya padaku bukanlah sekadar nafsu, bukan untuk membayar hutang. Cerita tentang hutang hanyalah bagian dari sandiwara.
Aku dan Pras telah terikat dalam ikatan suci pernikahan?
Memori empat tahun silam kembali terlintas ....
"Pernikahan kalian sudah sah. Sekarang telah resmi menjadi suami istri. Saatnya menandatangani buku nikah ini," ucap penghulu setelah aku diperkenankan masuk ke ruangan itu.
***
Aku terus berlari menyibak dedaunan di antara pepohonan. Mataku bergerak, mengintai segala arah. Mencarinya ....
"Praaasss ... dimana kamu?"
Pekikanku bergaung, menggema hingga ke seluruh pelosok Suraloka.
"Kemana lagi aku harus mencarimu? Mengapa meninggalkanku seperti ini?"
Tubuhku beringsut turun ke tanah. Bersimpuh dengan derai air mata yang tak terbendung. Seolah telah putus asa.
"Mengapa kau menangis?" Sebuah suara muncul dari arah belakang.
Aku menoleh. Sejenak terpaku menatapnya. Binar-binar dari mata elangnya seketika menarik jiwaku masuk ke dalamnya. Berjibaku dalam pergumulan hasrat. Menyelam hingga ke dasar danau rasa. Membawa diriku bangkit, melangkah padanya.
"Aku mencarimu ...." Suaraku bergetar nestapa.
"Untuk apa? Bukankah kau membenciku?" ucapnya seiring desahan nafas yang sengau.
"Aku telah melewati batas rasa benci itu. Tak ada alasan lagi untuk membencimu kini," gumamku sendu.
"Lalu rasa apakah yang kini kau miliki padaku? Apakah renjana cinta yang kupendam kini akan menemui dermaganya?"
"Ikatan apa lagi yang lebih suci dari ini? Singgasana mana lagi yang lebih tinggi dari ini?" desisku lirih.
"Cinta?" tanyanya lembut.
Dia melangkah, semakin dekat padaku.
"Iya." Aku mengangguk.
"Katakanlah ...."
"Aku mencintaimu, Pras ...."
"Di sinikah akhir renjana cintaku?"
"Ya, padaku ... Darlamu ...."
Tak ada lagi batas yang menghalangi sentuhan. Hanya kelembutan dan kehangatan yang menyeruak, merasuk hingga ke relung sukma.
Jiwa kami telah menyatu seiring raga yang kini terpaut. Hasrat cinta tak lagi mengambang dalam ketidaktentuan arah. Bahtera kebahagiaan telah menemui pelabuhan akhirnya.
Inilah akhir renjana cinta.
--- TAMAT ---
bagus ceritanya setiap episode bikin penasaran, terus berkarya smg sukses ya
BalasHapus