Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 09 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #2

Cerita Bersambung


Iwan sampai di rumah sakit, cepat dia menghampiri Saqila. Terlihat Saqila masih menangis memeluk Nisa.

"Qila..."

Saqila menoleh, makin deras air matanya. Kesedihanya sudah bertumpuk, tak tau harus kemana ia lemparkan.

"Sabar, Qila." Hanya itu yang bisa Iwan ucapkan.
"Apa Ibu Dewi sudah tau kalau anakmu dirawat?" Tanya Iwan.
Saqila hanya menggeleng.

"Nanti kalau aku pulang dari sini, aku mampir ke rumah ibumu."

Saqila mengangguk, dia terus saja menangis. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.
Iwan melihat ada yang aneh dengan Nisa, tak ingin melihat Saqila terkejut Iwan keluar memanggil dokter.
Dokter datang ke ruangan Nisa, diperiksanya anak Saqila itu. Dokter dan suster saling tatap lalu menggeleng.

"Maaf, Bu. Ibu harus sabar, putri ibu sudah berpulang."

Duuuaaaarr!
Kata-kata itu ibarat petir bagi Saqila, tubuhnya tersungkur, dia lemas menagis setengah menjerit.

"Nggak mungkin dokter! Nisa baik-baik saja, nggak mungkin!" Dia tak percaya dengan apa yang di katakan dokter, ia terus meraung.
Iwan ikut sedih melihat Saqila begitu, tapi tak ada yang bisa dia lakukan, hanya bisa mendoakan dan menenangkan Saqila.

"Qila, kamu nggak apa-apa kan aku tinggal dulu? Aku jemput ibu Dewi ke sini."

Saqila tak menjawab dia tetap menagis.
Iwan keluar untuk menjemput ibunya Saqila, karena bu Dewi tak memiliki telepon, sangat sulit bagi Saqila menghubungi ibunya.

Saqila bangkit menghampiri Nisa, ditatapnya gadis kecilnya itu. Saqila kini sendiri. Baru beberapa jam tadi mereka masih bersama, sekarang Nisa sudah pergi.

"Nak, kalau kamu tak ada, siapa nanti yang akan menghibur hati mama? Siapa yang akan mengerti mama?"

Lagi-lagi dia menangis, seolah air matanya tak ingin berhenti.
***

Suara telepon Saqila berdering, diangkatnya panggilan dari mertuanya itu.

"Saqila, kamu kenapa heh? Itu Gurunya Naila nelpon ibu, katanya Naila belum di jemput, ini udah jam berapa, kasihan Naila. Ibu tadi sibuk nggak sempat lihat handphone, panggilan tak terjawab dari guru Naila sudah banyak," marah bu Asih pada Saqila.

Saqila mencoba menguatkan hati, menenangkan suaranya.

"Ibu ... sekarang kan ibu sudah pegang handphone, coba ibu lihat ada pesan apa dari Saqila, di situ Qila bilang Nisa sakit harus dirawat, kenapa yang ibu tanya malah soal Naila?" Niat Saqila ingin memaki mertuanya, tapi dia tahan.

"Kan tinggal bawa aja ke rumah sakit, tapi Naila?  Kasihan dia, pasti nunggu di sekolah. Kalau kamu nggak bisa jemput ya ngomong dong, bukan lepas tangan begitu," marah bu Asih.
"Ya udah, Bu. Ngga apa-apa, Nisa baik-baik saja koq, Nisa udah nggak sakit lagi, dia udah pulang." Saqila mengakhiri panggilan.

Bu Asih yang merasa kesal terus ngedumel dihadapan Wahyu, lalu dia pamit menjemput Naila.

Wahyu dari siang tadi mendengar suara telepon, dilihatnya dari Saqila. Tak dipedulikanya panggilan istrinya itu, dia pikir paling Saqila mau mengadu soal anaknya yang rewel. Pesan Saqila pun tak di bacanya, tapi setelah sore, dia penasaran dan dibuka pesan itu.

[Kak, Nisa sakit parah, harus di rawat.] Diikuti emoticon menangis.

Langsung saja Wahyu menghubungi Saqila.

"Qila, Nisa sakit apa memangnya? Maaf ya aku sibuk tadi baru bisa pegang handphone," bohong Wahyu. Ada rasa khawatir di hatinya, merasa bersalah tadi tak diangkatnya panggilan dari Saqila.

"Nggak ada apa-apa, Nisa udah nggak sakit, Nisa udah pulang, aku di sini nunggu jasadnya." Saqila menjawabnya tenang.
"Hah? Maksud kamu apa Qila? Kamu jang-"

Panggilan ditutup. Wahyu panik, belum mengerti dengan apa yang dimaksud Saqila, tapi ada ketakutan ketika mendengar 'jasad Nisa'.

Wahyu menghubungi ibunya yang kala itu pamit menjemput Naila. Segera Wahyu menyusul ke rumah sakit. Berkali-kali Wahyu menelpon Saqila, tapi tak diangkat.
Wahyu pergi ke rumah sakit terdekat tak lupa dia mengabarkan ibunya kalau dia sudah sampai di rumah sakit dan bertanya pada suster apa ada pasient bernama Nisa. Ternyata memang ada, cepat-cepat dia menuju ruangan tempat Nisa di rawat.

Ketika masuk, dilihatnya Saqila yang sedang memeluk Nisa. Tubuh Wahyu seketika lemas, dia berhambur menuju Saqila dan mengambil Nisa dari pangkuannya. Ternyata benar, Nisa sudah tak bernyawa. Wahyu meraung memanggil Nisa, mengguncang-guncang tubuh anaknya itu.
Disusul bu Asih, yang baru saja datang, tiba-tiba meraung melihat cucunya terkulai.

Saqila jijik melihat mereka berdua, sudah tak ada iba dihatinya. Sekalipun melihat air mata suami dan mertuanya yang mengalir deras menagisi Nisa. Bagi Saqila tangisan mereka  sudah terlambat.

Saqila menghubungi Iwan, agar membawa ibunya ke rumah mertuanya saja, Nisa sudah dibawa pulang.
Setelah selesai mengurus dan memakamkan jenazah Nisa. Saqila masuk kamar mengunci diri.
***

Dua minggu sudah sejak kepergian Nisa, Saqila masih tak bisa diajak bicara. Sudah dua minggu pula Wahyu tak kerja, dia menemani Saqila yang sedang terpuruk.

"Qila ... makan ya? Aku suapi," bujuk wahyu. Saqila tetap saja bungkam.

Bu Asih sudah mulai kewalahan dengan pekerjaan rumah dan menjaga toko seorang diri karena Wahyu harus menjaga Saqila.

"Saqila benar-benar kelewatan, sedih ya sedih, tapi hidup harus dilanjutkan, sampai kapan dia begitu." Bu Asih mengomel sendiri sambil memasak, ia merasa lelah mengerjakan segala pekerjaan sendiri.

Hari ini Wahyu pamit untuk kerja pada Saqila, kasihan ibunya sendiri menjaga toko.
Saqila keluar hanya untuk mandi, makan dan mengambil air wudhu, setelah itu dia kembali ke kamar.

Ketika bu Asih pulang, berharap kalau Saqila sudah menjalankan tugasnya seperti biasa, tapi ternyata rumah masih tetap seperti tadi pagi dan tak ada makanan yang dimasak Saqila. Bu Asih kembali kesal.

"Wahyu, kamu jangan diam aja dong, nasehati istrimu, sampai kapan dia begitu, rumah ini sudah seperti kapal pecah, ibu juga capek pulang dari toko harus masak," gerutu bu Asih pada anaknya.
"Iya, Bu. Nanti aku bujuk Saqila."
"Aleman banget istrimu itu, kesempatan pake alasan lagi sedih, padahal nggak mau kerja."

Tak ingin lama-lama mendengar ocehan ibunya, cepat dia masuk kamar. Dilihatnya Saqila masih berbaring di tempat tidur memeluk bantal Nisa.

"Qila ... kamu jangan gini terus, kasian ibu, Qil. Dia harus urus semua kerjaan sendiri," ucap wahyu.

Saqila tak menyahut.

"Qila! Mau kamu apa sih, kenapa kamu jadi gini?" Suara Wahyu agak meninggi.

Saqila bangun, menoleh pada Wahyu. "Aku mau apa? Aku mau Nisa, bisa?"

Wahyu tak bisa menjawab, dia bingung dengan tingkah Saqila.

"Antar aku pulang ke rumah ibuku, atau aku pergi sendiri." Saqila kembali berbaring memeluk bantal Nisa.

Kenapa Saqila jadi begini.
***

Empat tahun yang lalu.

Baru tiga bulan Wahyu membuka toko beras di pasar ini. Diam-diam dia selalu mencuri pandang pada gadis yang sedang melayani pelanggan, dia gadis penjual sayuran, kebetulan lapaknya berdekatan dengan toko wahyu.
Gadis itu selalu tersenyum manis melayani pelanggan, gaya yang sederhana memakai kaos lengan panjang dan celana panjang longgar, dibalut kerudung simple. Namun gadis itu terlihat sangat cantik, kulitnya bersih, matanya bulat, ketika senyum terlihat lesung pipit dan gigi gingsulnya.

"Ehem. Qila ..."

Saqila menoleh. "Iya kak, ada apa?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Itu bibir nggak pegel ya, dari pagi senyum terus," usik Wahyu.
"Nggak kak, kalau Qila nggak senyum pelanggannya bisa-bisa kabur, nanti Saqila nggak dapat gaji," jawab Saqila yang masih saja tersenyum.

Wahyu gemas melihat gadis berumur sembilan belas tahun itu, sampai Wahyu meminta orang tuanya untuk meminang Saqila, tapi ibunya tak setuju.

"Kalau mau cari istri itu bukan asal cantik, Wahyu. Harus dilihat bibit bobotnya. Dia itu kerja apa, cuma jual sayur, itu juga punya orang. Masih banyak perempuan yang lebih baik," tolak ibunya saat mendengar permintaan Wahyu, tak setuju kalau harus menikah dengan Saqila.

"Dia bukan cuma cantik, Bu. Dia juga baik, pekerja keras kurang apalagi, boleh ya Bu," pinta Wahyu pada ibunya.
Bu Asih tetap menolak, tapi Wahyu tak peduli, ia terus mendekati Saqila.

Setahun kemudian  Wahyu melamar Saqila, awalnya gadis itu menolak, tapi ibu Saqila meretui dan membujuk anaknya agar mau menikah dengan Wahyu. Mau tak mau akhirnya mereka menikah.

Beberapa bulan menikah, Wahyu merasa sangat bahagia didampingi istri cantik dan cekatan, selalu membantu pekerjaan Wahyu di toko beras. Namun ibunya yang tak setuju selalu ada saja masalah yang di cari. Kadang Saqila dihina dari status sosialnya yang tak sekolah.

Saqila tak pernah tinggal diam, dia selalu melawan setiap hinaan mertuanya. Semakin bertambahlah kebencian ibunya Wahyu pada Saqila.

Beberapa bulan kemudian Saqila hamil, tapi kondisinya lemah mengharuskannya istirahat total dan tak bisa lagi membantu Wahyu di toko. Sejak saat itu sikap Saqila pada ibunya Wahyu berubah, Saqila tak pernah melawan, selalu ikut saja apa kata bu Asih.
Apalagi setelah lahir Nisa, Saqila menjadi sangat penurut bahkan sering ibunya Wahyu memaki Saqila, tapi dia tak pernah melawan. Hingga  kejadian Nisa meninggal, Saqila kembali seperti dulu. Dia tak takut pada Wahyu dan ibunya.
***

Sebulan sudah Nisa pergi, tak ada lagi yang harus Saqila harapkan di rumah ini. Dia tetap akan pulang ke rumah ibunya.

"Qila... kalau kamu pergi, aku bagaimana, nggak mungkin aku ikut ke rumah ibumu, di sana aku kerja apa?"
"Qila bertahan di sini dulu hanya demi Nisa, sekarang Nisa sudah nggak ada, untuk apa Qila masih di sini?" Ujar Saqila.

Saqila sudah sangat bersabar menghadapi Wahyu dan ibunya semata hanya demi Nisa, dulu dia berpikir bagaimana nasib Nisa jika dia tak mau menurut pada keluarga Wahyu, ibunya Wahyu pernah mengancam kalau hidupnya tak ingin di telantarkan Saqila harus nurut.
Jika hanya dirinya sendiri, dia masih sanggup menghidupi, dia bisa kerja apa saja, selagi halal, Saqila sudah terbiasa berjuang untuk hidup.

Sekarang keadaannya berbeda, dia punya Nisa yang harus dijaga, bagaimana jika mertua mengusirnya, dia harus kerja apa dengan membawa bayi?

Ibu Saqila tiap hari dagang keliling untuk memenuhi kebutuhan hidup, bapaknya sudah meninggal. Tak mungkin Saqila harus menyusahkan ibunya.
Saqila menikah pun karena permintaan ibunya, ibunya yang berharap Saqila tak akan susah jika menikah dengan anak juragan beras. Hanya ingin agar Nisa tak terbiar, jalan satu-satunya hanya sabar di sisi suaminya.

Kini alasannya untuk tinggal sudah tak ada, bahkan Nisa sudah sangat di terlantarkan, untuk apa masih bertahan?
Saqila tetap memilih pergi...

==========

Pagi ini, ada semangat baru yang Saqila rasakan. Hari ini dia akan pamit pulang, sekuat apa pun Wahyu menghalangi, tekadnya sudah bulat.

Pukul empat subuh tadi dia sudah bangun, mengemas semua pakaiannya. Baju-bajunya tak banyak, karena selama menikah dengan Wahyu, Saqila jarang sekali dibelikan barang-barang yang dia inginkan, sekalipun itu hanya sepotong baju.
Orang rumah masih terlena dibuai mimpi, sementara Saqila sudah sibuk di dapur. Ya. Hari ini hari terakhirnya di rumah ini. Rumah yang dia tinggali tiga tahun ini, rumah yang penuh kenangam bersama Nisa, rumah di mana dia mendapatkan perlakuan yang tak adil dari keluarga ini.

Sambil berlinang air mata, Saqila membersihkan dapur, mengingat segala sakit di hatinya yang selama ini dia tahan. selama masa berkabung, baru kali ini Saqila kembali membereskan dapur. Keaadaan dapur sudah sangat kotor, perabotan tak tersusun di tempatnya, semua berserakan semaunya. Hanya kali ini saja Saqila berniat membereskanya, besok dan seterusnya, dia tak peduli.

Wahyu bangun dan melihat istrinya sudah tak ada disampingnya. Sebulan kebelakang Saqila tak mau keluar kamar, hari ini Wahyu pun merasa senang karena istrinya sudah kambali seperti sedia kala.

Ketika bu Asih bangun, dia tertegun melihat rumah sudah rapi dan bersih. Bu Asih pergi ke dapur, di sana Saqila sedang memasak untuk sarapan.

[Hmmm sadar juga dia rupanya,] batin bu Asih ketika melihat Saqila sudah menjalankan tugasnya kembali.

Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan yang dibuat Saqila, semua merasa senang melihat Saqila sudah mau turun ke dapur. Hanya bu Asih saja yang sikapnya masih tak senang. Entahlah, apapun yang Saqila lakulan, bagi bu Asih itu bukan apa-apa.

"Kak Wahyu, Pak, Bu. Hari ini Saqila mau pamit pulang ke rumah ibu Saqila di kampung, Saqila mohon maaf sekiranya selama di sini Saqila banyak menyusahkan kalian," tutur Saqila.

Uhuk!
Wahyu tersedak mendengar perkataan Saqila itu.  Mata bu Asih melotot, tak menyangka akan mendengar hal itu dari Saqila.

"Apa maksud kamu, Qila? Kenapa kamu mau pulang ke rumah ibumu. Rumah mu di sini, Qila," ujar wahyu.
Saqila tersenyum. "Qila kan sudah bilang, Kak. Qila mau pulang, lagi pula di sini sudah nggak ada Nisa."

Wahyu bangkit dari duduknya menghampiri Saqila lalu menarik tangan Saqila dan membawanya ke kamar.

"Coba kamu jelaskan, apa maksud kata-kata kamu tadi? Kamu kan sudah punya suami, rumahmu di sini, kenapa harus pulang ke rumah ibumu? Lalu aku ini apa? Nanti apa kata orang?" Nada suara wahyu agak meninggi, ia kesal dengan permintaan Saqila untuk pulang ke rumah orang tuanya.

"Kak Wahyu bisa ikut Qila kalau mau, Qila kasih kesempatan asal nggak tinggal di rumah ini," jawab Saqila tegas.
"Itu nggak mungkin, Qila. Ibu nggak akan mengijinkan aku pergi dari rumah ini," jawab Wahyu.
"Baiklah ... itu pilihan kak Wahyu, Saqila tetap harus pergi."
Saqila melanjutkan. "Sampai kapan kak Wahyu mau melihat Qila dan ibu bertengkar? Jelas-jelas ibu nggak suka, buat apa Qila di sini?"
"Qila, kalau aku ikut, ibu nggak akan mau membatu kita. Lalu aku kerja apa jika ibu sudah tak peduli dengan kita, apa kamu juga sanggup hidup bersama, kalau nanti aku susah?" tanya Wahyu.
"Qila sanggup," sahutnya meyakinkan.

Sebenarnya Saqila tak peduli Wahyu ikut ataupun tidak, ia hanya tak ingin di anggap istri durhaka, Saqila berharap nanti Wahyu mau menceraikan nya baik-baik.

"Saqila pergi dulu, Kak Wahyu punya dua pilihan, nanti kakak bisa menyusul atau menyerahkan talak." Saqila meraih kopernya menuju ke luar.

Melihat Saqila akan pergi, bu Asih mendelik.

"Kalau kamu mau pergi, jangan lupa bayar hutang," bu Asih menyindir.

Hutang? Saqila tak merasa punya hutang.

"Sebelum kamu menikah dulu, ibumu mengajukan syarat untuk meminjam uang 30juta pada kami, kalau mau ke luar, silahkan bayar dulu hutangmu."
"Nanti Saqila bayar," ucapnya lirih. Hatinya mulai perih.

"Cih! Darimana kamu punya uang sebanyak itu? Mau jadi pelacur dulu kah, heh?" cibir bu Asih.

Dada Saqila panas dan sakit mendengar perkataan bu Asih, air matanya mulai luruh, tak peduli dengan Wahyu yang memanggil melarang untuk pergi, Saqila menuju keluar pergi meninghalkan rumah Wahyu. Bukan rumah, tepatnya bagi Saqila, itu adalah neraka.
Nadia dan Naila menangis melihat Saqila akan pergi.

"Kak Qila, jangan tinggalin Naila, nanti siapa yang jaga Naila kalau nggak ada orang di rumah?" Naila menangis memegang tangan Saqila.
"Iya kak Qila. Nanti siapa yang masakin mie instant kalau malam-malam Nadia lapar?" Sahut Nadia.

Saqila hanya mengusap rambut ke dua adik iparnya itu, tak ingin dia belama-lama lagi di rumah ini, Saqila pergi.
***

Rumah bu Dewi terlihat sepi, bu Dewi masih berkeliling menjajakan dagannya. Saqila menunggu di luar, tak lama kemudian adik Saqila, Riyan datang.

"Kak Qila? Kakak kapan ke sini?" Riyan bertanya, senang melihat kakaknya.

"Baru datang, tapi rumah dikunci, ibu belum pulang ya?" tanya Saqila pada Riyan.
"Iya ibu masih dagang, Riyan main di rumah Azka anaknya bu Lela tadi, ini kunci rumah Riyan bawa kok," tutur Riyan. Bu Lela adalah tetangga mereka, hanya bu Lela tetangga yang baik dan merasa kasihan pada keluarga bu Dewi.

Riyan dan Saqila masuk ke dalam. Saqila melihat sekeliling rumah ibunya itu, Saqila termenung mengingat masa-masa dulu ketika dirinya masih berkumpul bersama ibunya dan sudara-saudaranya yang lain. Ketika ayahnya masih hidup, mereka hidup bahagia.
Saqila anak yatim, dia hanya tinggal bersama ibunya, bu Dewi dan adiknya Riyan. Saqila ditinggalkan almarhum ayahnya ketika kelas enam sekolah dasar.

Dulu... Ayah Saqila menikah dengan bu Dewi. Sebelum menikah, masing-masing sudah memiliki anak. Ayah Saqila seorang duda membawa anaknya Muaz, sedangkan bu Dewi dia janda membawa anak satu, Dina. Waktu itu Muaz berumur lima tahun sedangkan Dina tiga tahun.

Setahun pernikahan bu Dewi, lahirlah Saqila. Disusul Riyan tiga tahun kemudian. Mereka tumbuh dan besar bersama dengan rukun.
Ayah Saqila membuka toko sembako, usahanya lumayan lancar, di kampung ini mereka terbilang keluarga yang berkecukupan. Semua kebutuhan hidup bu Dewi dan anak-anaknya tercukupi. Bu Dewi menjdi ibu rumah tangga penuh, setiap ingin membantu bekerja di toko, ayah Saqila selalu melarang.

"Ibu di rumah saja, jaga anak-anak kita, biar bapak yang kerja cari nafkah. Biarlah ibu jadi madrasah pertama untuk mereka, jangan terlalu ngoyo mencari uang, yang penting ibu jaga anak-anak saja." Kata ayah Saqila.

Bu Dewi pun tak bisa menolak permintaan  suaminya untuk tidak membantu di toko, karena memang kebutuhan mereka sudah tercukupi. Cukup suaminya saja yang bekerja.

Waktu Muaz sekolah SMA, Dina sekolah SMP, Saqila dan Riyan masih SD. Ayah Saqila terlibat kecelakaan beruntun ketika hendak pergi ke toko. Beliau meninggal di tempat kejadian. Beliau meninggalkan anak istri dengan sebuah rumah dan toko sembako.
Bu Dewi sangat terpukul dengan kepergian suaminya, dunianya seolah menjadi gelap. Semua harapan dan cita-cita bu Dewi untuk anak-anaknya hancur sudah. Bu Dewi coba bangkit mengambil alih toko sembako milik suaminya. Namun bu Dewi tidak punya pengalaman sama sekali bahkan tak punya keahlian untuk mengurus tokonya. Tak lama tokonya bangkrut, dan untuk membayar hutang sepeninggalan suaminya, bu Dewi terpaksa menggadaikan rumah dan tokonya. Bu Dewi akhirnya tinggal di rumah kontrakan yang kecil dan sempit.

Anak-anaknya terancam putus sekolah, Muaz diambil oleh ibunya, karena waktu itu ayah Saqila bercerai hidup dengan ibunya Muaz. Muaz melanjutkan sekolah dibiayai ibunya dan ayah tirinya. Kadang Muaz datang menemui bu Dewi jika  sekolahnya libur. Dia tak melupakan jasa bu Dewi yang telah mengurusnya selama bersama ayahnya.

Dina juga bernasib beruntung, ketika tahu ayah Dina meninggal dunia, gurunya Dina datang kerumah meminta agar Dina melanjutkan sekolah, semua biaya ditanggung oleh gurunya dengan syarat selama sekolah Dina harus tinggal di rumah gurunya untuk bantu-bantu di rumah. Ketika hari libur Dina diijinkan pulang ke rumah menjenguk ibunya.
Guru Dina hanya menyekolahkannya sampai SMA, itupun Dina bersyukur tak putus sekolah. Setelah lulus SMA, niatnya ingin membantu mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya. Dina pargi ke ibu kota, merantau untuk mencari pekerjaan dan dia diterima bekerja di toko di sebuah mall ternama.

Setahun Dina bekerja, dia dilamar kekasihnya yang kala itu sama-sama bekerja di toko. Kekasih Dina orang kalimantan, setelah menikah Dina diboyong suaminya ke sana.
Meninggalkan ibu dan adiknya, tetapi jika suaminya ada rejeki lebih, Dina selalu mengirim uang pada bu Dewi. Walaupun tak banyak, setidaknya dapat sedikit membantu bu Dewi.

Beda dengan Saqila, dia tak bisa melanjutkan pendidikannya, sedangkan Riyan yang masih kelas tiga SD harus tetap sekolah. Bu Dewi sekarang hanya pedagang keliling, itupun bukan miliknya sendiri, hanya menjualkan punya tetangga, hasilnya pun tak seberapa.

Saqila kecil sudah banting tulang membantu ibunya dan menjaga Riyan. Rela bekerja apa saja agar mereka bisa makan dan membayar kontrakan.
Hingga Wahyu datang melamar Saqila, sempat dia menolak lamaran Wahyu, karena tau sikap bu Asih tak begitu baik padanya. Saqila yang kala itu masih ingin bekerja dan membantu ibunya terpaksa harus menikah.

"Qila ... menikahlah dengan Wahyu, dia itu anak juragan beras, masa depan mu akan terjamin," bujuk ibunya kala itu.
"Qila belum mau nikah, Bu. Qila masih ingin bantu ibu, lagi pula Qila baru sembilan belas tahun, sedangkan umur kak Wahyu itu beda jauh dari Qila," rengut Saqila menolak permintaan ibunya.

"Umur sembilan belas tahun, di kampung itu sudah tua, Qila. Nanti kamu malah jadi perawan tua, malah nggak nikah-nikah nanti, siapa yang mau sama orang miskin," tutur bu Dewi.
"Kamu itu sudah cukup menjadi beban pikiran buat ibu, kalau kamu menikah hati ibu akan tenang, setidaknya kalau kamu menikah dengan Wahyu, kehidupanmu dan anakmu nanti akan terjamin," sambung bu Dewi.

Beban? Saqila cukup terusik mendengar ibunya berkata bahwa dia adalah beban. Dia berharap ibunya mengerti perasaannya, bahwa cinta tak bisa dipaksa, hati Saqila sudah terukir nama orang lain.
Sayangnya Saqila tak berani mengungkapkanya pada orang itu dan orang yang Saqila sukai pun belum mengatakan apa-apa. Hanya ada cinta dalam diam. Saqila terpaksa mengorbankan perasaannya dan menikah dengan Wahyu.

"Saqila? Kapan kamu datang, Nak? Gimana keadaanmu sekarang?" Bu Dewi pulang berdagang dan melihat anaknya ada di rumah.
"Baru datang, Bu. Alhamdulillah Saqila sehat. Ibu sendiri gimana, sehatkah?" Saqila mencium tangan ibunya.

"Alhamdulillah ibu sehat, mana Wahyu? Dia nggak ikutkah?" tanya ibu Dewi.
"Nanti kak Wahyu nyusul, Bu." Saqila tersenyum.
"Koq bawa koper? Kamu mau nginep lama di sini?" Ibu Dewi masih terlihat heran.

Saqila hanya mengangguk, tak ingin memberitahu ibunya tentang rumah tangganya. Takut membuat ibunya sedih, ia ingin menenangkan dulu hati dan pikirannya.
Biarlah untuk saat ini Saqila simpan dulu masalah rumah tangganya.

Tok ... tok ... tok ...!

"Assalamu'alaikum." Suara seseorang dari luar.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER