Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 10 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #3

Cerita Bersambung

Tok ... tok ... tok ...!
"Assalamu'alaikum." Suara seseorang dari luar.

Saqila dan bu Dewi saling tatap, lalu menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang.

"Wa'alaikum salam. Eh, Iwan ... ?"
"Saqila?"

Dari keduanya tersirat rasa heran, bisa bertemu hari ini, di rumah ini. Beberapa detik mereka saling tatap.

"Kamu di sini, Qila?" Iwan segera bertanya mengalihkan pandangan mereka, padahal Iwan juga tau ini rumah ibunya Saqila. Maka wajar jika Saqila ada di rumah ibunya.

Saqila belum menjawab pertanyaan Iwan, malah balik bertanya. "Kamu ngapain ke sini, Wan?"

Mereka berdua terlihat begitu canggung, entah sebenarnya mereka sama-sama menahan rasa senang tapi tak terungkapkan. Padahal sebelumnya mereka pernah bertemu di rumah sakit waktu merawat Nisa.

"Eh ... nak Iwan. Ayo masuk." Bu Dewi memecah kecanggungan di antara mereka. "ada apa, Nak?"
"Saqila ... ada tamu malah di bengongin. Ayo silakan duduk nak Iwan," lanjut bu Dewi.
"E-ini, e-i-iya, Bu." Saqila gelagapan. "masuk, Wan," sambung Saqila.
"Bapak panen ayam, Bu. Seperti biasa bapak minta di bagiin ke tetangga," sahutnya. Lalu menatap Saqila.
"Oh iya, terima kasih nak Iwan," ujar bu Dewi.
"Qila kapan ke sini? Sama siapa ke sini?" Tanya Iwan, sambil matanya melihat-lihat ke sekitar ruangan, berpikir bahwa Saqila datang dengan suaminya.

"Tadi. Aku sendiri, Wan."
Sakila masih heran. "Koq jauh-jauh nganterin ayam ke sini, Wan?" Tanya Saqila.

Yang menjawab bu Dewi.

 "Jauh-jauh apa? Nak Iwan kan sudah pindah lagi ke kampung ini, Qila. Bapaknya buka peternakan ayam yang baru di sini, kalau panen tetangga selalu dibagi, termasuk ibu, biarpun agak jauh ke sini." Bu Dewi tersenyum lalu bangkit.
"Sebentar ya, ibu bikin minum dulu."

Iwan mengangguk. Pandangannya kembali menatap Saqila.

"Kapan kamu pindah lagi ke kampung ini, Wan? Aku koq nggak tau ya?" Tanya Saqila.
"Udah ada tiga bulan, Qil. Ya ... kamu kan di kampung suamimu, jarang main ke kampung ini, makanya nggak tau," ujar Iwan.
"Emmm iya juga sih." Saqila menggaruk telinganya yang tak gatal.
"Gimana keadaan kamu sekarang? Kenapa suami kamu nggak ikut?" Iwan masih penasaran.
"Alhamdulillah aku sehat, Wan. Aku nginep sendiri, nanti suamiku nyusul, dia masih ada kerjaan."

Pandangan mereka beradu kembali, kali ini tatapan Iwan sangat dalam, lalu melempar senyum pada Saqila. Seolah mata mereka berdua saling menantang,  keduanya tak ada yang berpaling.

"Silakan diminum nak Iwan, cuma air teh yang bisa ibu suguhkan," ucap bu Dewi. Lagi-lagi bu Dewi membuyarkan tatapan mereka.
"I-iya, Bu. Terimakasih."

Dag dig dug juga hati Iwan berlama-lama di rumah bu Dewi. Akhirnya Iwan pamit pulang. Kendati hatinya masih ingin berada di sini, berada di depan Saqila. Namun Iwan harus pulang, masih ada pesanan ayam yang belum di antar ke pembeli.

Saqila menyenderkan kepalanya di daun pintu, matanya mengantar motor Iwan yang menjauh pergi dari pandangannya. Jika tak malu pada ibunya, ingin dia ngobrol lebih lama lagi. Biarpun begitu, Saqila tetap senang mendengar Iwan sudah pindah lagi ke kampung ini.
***

Subuh Saqila dan ibunya sudah bangun. Setelah shalat, Saqila membersihkan kamar lalu ke dapur untuk membuat sarapan. Sementara bu Dewi siap-siap untuk berangkat berdagang.

"Ibu hari ini berangkat pagian ya, Qil. Mumpung kamu ada di rumah, jadi bisa bantu ibu bikin sarapan untuk Riyan. Nanti kalau Riyan mau berangkat sekolah, itu uang jajannya di atas meja," tukas bu Dewi sebelum berangkat.
"Hu'um."

Hatinya cukup sedih melihat ibunya yang harus banting tulang untuk hidup. Padahal bu Dewi dahulu adalah perempuan yang paling beruntung, tak perlu kerja keras, ayah Saqila sudah mencukupi segala kebutuhanya.
Namun ternyata roda kehidupan itu berputar, tak selamanya manusia selalu hidup dalam kebahagiaan dan tak selalu manusia berkutat dalam kesedihan. Semua ada masanya. Hanya sabar, ikhtiar dan tawakal sebagai obatnya.

Setelah Riyan berangkat sekolah, Saqila kembali membereskan rumah ibunya, membersihkan halaman yang sudah lama tak terurus. Karena rumah ibunya kecil, tak perlu lama untuk membereskannya.

[Ah. Bosan juga lama-lama nggak ada kerjaan. Apa hubungi Iwan aja ya? Hmm tapi mungkin dia sibuk. Lagipula Saqila kan perempuan, malu rasanya harus menghubungi lebih dulu.] Batin Saqila.

Menjelang sore, bu Dewi pulang. Sementara Saqila sedang memasak bahan makanan seadanya yang ada di kulkas ibunya.
Bu Dewi sangat bersyukur ada Saqila di rumah, pekerjaannya terbantu, rumah rapi, dan dia pun leluasa berdagang meningglakan Riyan.
***

Seminggu sudah Saqila di rumah ibunya, tapi belum juga ada Wahyu menyusulnya. Saqila bukan rindu pada suaminya, dia hanya ingin kejelasan, apakah Wahyu memilih ikut dengannya atau menceraikannya.

Sementara di rumah bu Asih, tiap hari bu Asih mengeluh dan mengomel. Dia merasa lelah jika harus mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga toko. Namum anehnya ketika pak Hilman memintanya berhenti dari toko, bu Asih tak mau. Alasanya omset turun kalau dia tak ikut menjaga toko.

"Wahyu, kamu itu cari istri lagi aja, daripada nunggu Saqila. Lagipula ibu nggak suka sama si Qila itu, tapi ibu capek kalau harus gini terus, kalau kamu punya istri nanti ada yang bantu ibu," gerutu bu Asih.
"Aku masih sayang sama Saqila, Bu. Nggak kepikiran nikah lagi, nanti sore aku mau jemput Saqila, biar dia pulang lagi ke sini," ujar Wahyu pada bu Asih.
"Nggak usah! Ibu nggak mau kamu jemput dia. Biar saja dia menderita hidup jauh dari kamu. Nanti kalau dia sudah merasakan susahnya hidup di luar, dia pasti ngemis-ngemis ke sini." Suara bu Asih kesal.

Wahyu terdiam, tak menyahut lagi ucapan ibunya. Diapun sadar selama ini selalu menuruti kata-kata ibunya. Hatinya mulai kehilangan Saqila. Wahyu diliputi kebingungan, ketika hatinya masih sayang pada istri tapi ibunya melarang, jika melawan ibunya, bagaimana nasibnya? Wahyu masih belum ingin mengambil resiko.
***

Malam sebelum tidur, Saqila menyempatkan mengajak bicara ibunya. Mereka ngobrol sana sini layaknya sahabat yang sudah lama tak bertemu.
Ketika menemukan hal-hal lucu di masa lalu, mereka tertawa ria dan ketika mengingat hal menyedihkan, mereka berdua menangis terisak. Akhirnya bu Dewi tertidur pulas setelah puas mengenang masa lalu dengan anaknya.

Mata Saqila masih tak bisa terpejam, sudah seminggu di sini, entah langkah apa yang harus dia lakukan tentang masalah rumah tangganya.

Tring!
Nada suara pesan masuk dari ponselnya. Saqila membacanya.
Pesan itu dari 'IBU', itu dari Iwan, Saqila lupa belum mengganti nama Iwan.

[Qila, kamu sudah pulang apa masih di rumah bu Dewi?]

Membaca pesan dari Iwan, Saqila yang tadinya sedang rebahan menunggu ngantuk datang, mendadak bangun terduduk. Hatinya senang, tangannya gemetar, mirip anak abege yang baru mengenal cinta. Dia membalas pesan dari Iwan sambil tersenyum.

[Belum, Wan. Aku masih di rumah ibu.] balasnya.
[Besok kalau ada waktu, aku mau ajak kamu jalan-jalan.]

Hah! Jalan-jalan? Hatinya melonjak senang.

[Mmm gimana ya? Mmm boleh deh, jalan-jalan ke mana?] Saqila penasaran.
[Kesawah, bernostalgia mengingat masa kecil] di iringi emoticon tertawa.
[Haha karain ngajak kemana, ya udah ayuk, jam berapa?] Tanya Saqila.
[Ya, di kampung ini mau jalan kemana lagi kalau bukan ke sawah. Besok udah shalat asar aja, sekalian nunggu sunset seperti di film-film] emot senyum.
[Ok.] Saqila senyum-senyum sendiri. Namun Saqila tersadar kembali, bahwa dia masih istri orang. Hmmm mengingat hal itu, nafasnya terasa berat.
***

Saqila sudah berdandan rapi, padahal dia cuma mau di ajak kesawah, tapi perasaannya sudah seperti akan pergi ke pesta dansa sang pangeran, berkali-kali ganti pakaian, berkali-kali memandang cermin memastikan penampilanya.
Iwan sudah sampai di rumah bu Dewi, lalu memarkirkan motornya. Iwan mengetuk pintu dan memgucap salam.

"Walaikumsalam." Bu Dewi membuka pintu. "eh nak Iwan, ayo masuk."

Saqila keluar dari kamar, melempar senyum pada Iwan. Saqila yang dari tadi habis-habisan memilih baju yang cocok, sedangkan Iwan hanya memakai kaos hitam polos dan celana pendek selutut.
Golok kecil terlihat di ikatkan di pinggangnya. Tangan kanannya menjinjing ember kecil, isinya benang berkail (urek) dan cacing untuk mengumpan belut. Ah mau jadi pak tani rupanya, melihat menampilanya yang berlebihan Saqila jadi malu.

"Bu, aku mau ajak Saqila kesawah, cari belut," ijin Iwan pada bu Dewi.
"Oh boleh, tapi jangan kemagriban pulangnya ya," pesan bu Dewi.

Iwan dan Saqila mengangguk lalu pergi. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan kampung. Lama sekali Saqila tak mengirup udara segar kampung ini.
Sesekali mereka tertawa mengingat kenangan masa kecil, main di sawah, mencari keong, mandi di sungai dan banyak lagi cerita masa kecil mereka.
Dulu, semenjak bu Dewi menikah dengan ayah Saqila, Iwan kecil sering bermain bersama anak bu Dewi, Dina dan Muaz. Sampai lahir Saqila dan Riyanpun Iwan tak pernah jauh dari mereka, bu Dewi sudah menganggap Iwan seperti keluarganya sendiri.

Di mana ada anak-anak bu Dewi di sana ada Iwan. Hingga mereka tumbuh dewasa dan menjalani kehidupan masing-masing. Dina, Muaz dan Saqila sudah menikah, hanya Iwan saja yang belum menikah hingga sekarang. Entah mengapa hatinya masih berpaut pada seseorang yang sudah lama Ia sukai, tapi hal itu harus di pendamnya.

Di sepanjang jalan, Saqila menyapa orang yang dikenalinya di kampung ini. Walaupun sudah lewat ashar tapi masih terlihat orang-orang yang bekerja di sawah.
Hamparan sawah yang masih begitu luas layaknya permaidani terbentang berwarna hijau. Udara yang cerah memeperlihatkan langit yang berwarna biru, gunung-gunung yang menjulang di kejauhan.

Saqila memejamkan mata, menarik nafas panjang, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Saqila merindukan hal ini, yang sudah lama tak pernah Ia rasakan semenjak menikah. Suara burung-burung begitu indah bernyanyi mengantar senja.
Iwan tak kalah bersyukur dan bahagia, melihat pemandangan langka dihadapannya. Memandang senyum Saqila yang masih terpejam menikmati suasana alam.
Mereka berjalan menyusuri pematang sawah yang di apit parit kecil untuk mengairi sawah.

"Eh ... eh ...eh!" Hampir saja Saqila terpeleset, untung saja Iwan segera meraih tangan Saqila.
"Hati-hati, sekarang udah jadi konglomerat, nggak bisa jalan di sawah," usik Iwan.

Saqila tertawa lepas, seolah tak ada beban lagi di hatinya.
Iwan mengambil cacing dan dipasangkan pada mata kail. Iwan jongkok mencari lubang yang biasa di dalamnya terdapat belut.

"Sini aku nyoba mancing belut," pinta Saqila pada Iwan.

Iwan senyum dan menyerahkan *urek nya pada Saqila. Dimasukannya urek ke lubang kecil di pinggir pematang sawah, Saqila memutar-mutar telunjuk dan ibu jari agar urek bergerak, memancing agar belut menarik umpanya. Tak sengaja pandangan mereka bertemu, Saqila mengukir senyum menunjukan gigi gingsulnya.
Melihat Saqila seperti itu Iwan mulai salah tingkah. Iwan merasa gemas melihat senyum Saqila.

"Eh, nyangkut nih." Saqila bergeming. Tangannya bergerak-gerak menahan tarikan dari dalam lubang.
"Ayo tarik," sahut Iwan.

Pelan-palan Saqila menarik urek. Belutpun menyembul ditarik dari lubangnya, bukan main Saqila senang. Sesekali mereka bergantian mencari belut, tak lepas dari tawa dan canda. Dua sahabat yang diam-diam sudah lama menyimpan rasa.
Matahari sudah condong ke ufuk barat, beredar menuju peraduan. Semburat jingga mulai menggantikan langit biru.

"Sudah mau magrib, kita pulang," ajak Iwan pada Saqila.

Saqila yang masih betah bermain di pematang sawah tak ingin beranjak pulang, tapi sadar hari mulai gelap, sebentar lagi magrib. Belut yang mereka tangkap pun lumayan banyak.
Mereka berjalan menuju jalan pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Saqila tertawa dan tersenyum. Hari ini menjadi hari yang menyenangkan untuk Saqila, padahal hanya jalan-jalan di pematang sawah.

Ketika sampai di rumah, senyumnya tiba-tiba hilang...

==========


Saqila dan Iwan sampai di rumah bu Dewi, canda tawa mereka terhenti ketika melihat mertua Saqila sudah bertolak pinggang di teras rumah ibunya. Mertuanya menatap sinis.
Saqila coba tenang, lalu menghampiri mertuanya. Saqila menyodorkan tangan ingin mencium tangan mertuanya itu, tapi tangan Saqila ditepis sambil memaki.

"Pantesan ya! maksa mau pulang, begitu ternyata. Kamu itu masih punya suami Saqila, tak sadar diri pergi dengan lelaki lain." Mertuanya mencebik, menatap tajam pada Saqila.
"Ibu kapan ke sini? Kak Wahyu mana?" Saqila coba menenangkan diri dan mengalihkan pembicaraan.
"Heh! Nggak usah basa basi ya, saya ke sini mau nagih hutang, saya yakin kamu sekarang sudah punya uang kan?" kata bu Asih masih dengan pandangan marahnya.

Iwan yang baru datang itu pun merasa keheranan tak mengerti dengan yang diucapkan bu Asih.

"Apa lagi yang kamu bisa untuk menghasilkan uang selain menjajakan diri, ya kan? Buktinya, belum bercerai sudah gencar cari mangsa." Mata bu Asih melirik Iwan.

Darah di tubuh Iwan berdesir mendengar perkataan bu Asih. Langkah Iwan maju menuju ke arah bu Asih, ingin memberi pelajaran pada perempuan tua itu. Namun belum pun Iwan sempat bicara, Saqila menghadangnya dan memintanya pulang saja.

"Kamu pulang ya, Wan. Ini masalah pribadi keluarga kami, biar aku selesaikan," pinta Saqila.

Dengan hati yang dongkol Iwan menaiki sepeda motornya yang terparkir di depan rumah bu Dewi terus pergi meninggalkan Saqila dan bu Asih.

Saqila masuk ke dalam rumah lalu ke dapur untuk menyimpan ember berisi belut. Di kamar, bu Dewi sedang menangis tersedu, bu Asih memakinya habis-habisan. Tak tahan melihat ibunya seperti itu, Saqila keluar menghampiri mertuanya.

"Soal hutang, kalau Qila dah pegang uang nanti Qila bayar. Beri Saqila waktu, Bu," ucap Saqila.
"Enak aja nanti- nanti, saya nggak mau tau ya, kamu harus bayar sekarang. Anak sama ibu sama saja, ibunya pelakor, anaknya nggak punya harga diri," hina bu Asih.

Sakit mendengar kata-kata bu Asih, amarahnya meluap juga.

"Cukup, Bu! Hentikan. Ibu bisa hina aku sesuka ibu, tapi jangan hina ibuku. Silakan ibu pulang, jangan cari gaduh di sini."
"Waaah... hebat kamu sekarang, bicara pun sudah berani nggak sopan."
"Lebih baik sekarang ibu pergi dari rumah ini. Pergi, Bu!" Saqila benar-benar marah.

Wahyu baru saja tiba di rumah bu Dewi dan mendengar kata-kata Saqila yang tengah mengusir ibunya. Tadinya dia berlembut hati ingin menjemput Saqila dan memujuknya supaya pulang, tapi mendengar teriakan Saqila pada ibunya, niatnya berubah.

"Saqila! Jangan kurang ajar kamu, ibu sudah baik-baik mau jemput kamu, malah kamu usir. Kamu apa-apaan hah!" Wahyu marah pada Saqila, tangannya dikepal, matanya melotot seperti ingin memerkam Saqila.
"Jemput aku? Ceh!" Saqila mencebik.
"Kamu lihat kan sekarang kelakuan istri kamu? Apalagi kalau tadi kamu lihat dia baru pulang jam segini berpelukan dengan lelaki lain," kata bu Asih. Mendengar hal itu Wahyu semakin murka.
"Itu fitnah..." Saqila membela diri.
"Seharusnya kalau kamu memang sudah gatal ingin melacurkan diri, setidaknya tunggu sampai setatusmu resmi tak bersuami, Saqila. Kamu bukan hanya tak punya harga diri, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku. Apa kata orang jika tau istriku rela menggadaikan harga dirinya demi bayar hutang, hah?"

Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Wahyu, mata Saqila sudah tak mampu membendung air mata yang dari tadi Ia tahan. Tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut suaminya.

"Kalau kalian datang ke sini hanya untuk menghina kami, tolonglah pulang, aku sudah jelaskan soal hutang nanti aku bayar." Nada suaranya begetar menahan amarah.

Bruuk!
Saqila didorong bu Asih, tubuhnya terjerembab ke tembok. Bu Dewi yang melihat Saqila tersungkur, segera berhambur memeluk Saqila.

"Berani kamu tampar anak saya, heh! Berani kamu usir kami, jika rumah kontrakan ini kami beli, kalian akan tinggal di mana, heh? Dasar gelandangan tak tau malu. Cuih!"
"Ayo Wahyu kita pulang, sekarang kamu sudah lihatkan ahlak perempuan ini seperti apa? Ceraikan saja dia," cecar bu Asih.

Wahyu masih memegang pipinya yang terasa panas terkena tamparan Saqila, dia mengangguk mengiyakan perkataan ibunya.

"Aku ceraikan kamu, Saqila. Ingat! hutang tetaplah hutang, kalian harus membayarnya dan kamu tak akan dapat harta sedikitpun dari kami."

Suara Wahyu melengking, berhasil mengoyak perasaan bu Dewi. Ditatapnya mata Saqila nanar. Bu Dewi tak menyangka Wahyu akan terhasut oleh perkataan ibunya.
Bu Asih tersenyum puas dengan keputusan Wahyu. Mereka berlalu pergi tanpa pamit meninggalkan Saqila yang masih tersungkur di pelukan bu Dewi.
Bu Dewi mengusap air mata anaknya itu, tubuh ringkihnya tak berdaya, tak mampu membela Saqila dari hinaan mertua dan suaminya.

"Qila tau ibu bukan pelakor, Qila nggak rela ibu dihina," ucap Saqila pada ibunya, air matanya mengalir deras.
"Sudah, Qila. Jangan pikirkan ibu, pikirkan bagaimana nasibmu sekarang." Bu Dewi semakin sesenggukan memeluk Saqila.

Sekarang Saqila sudah cukup lega, Wahyu sudah menceraikannya. Biarpun belum ada kepastian yang jelas, tapi ucapan Wahyu tadi sudah termasuk ikrar talak. Hanya Saqila masih tak mengerti tentang hutang yang selalu diungkit bu Asih.
Saqila dan bu Dewi bangkit, dengan langkah lemas mereka berpindah duduk ke kursi ruang tamu.

"Bu, Saqila mau tau soal hutang yang selalu dibahas bu Asih. Apa benar ibu meminjam uang pada mereka? Kenapa nggak bilang ke Saqila?" tanya Saqila, berharap ibunya memberikan jawaban yang tak Ia ketahui.
"Dulu waktu kamu menolak menikah dengan Wahyu, ibu selalu didatangi penagih hutang, hutang ayahmu yang masih tersisa tiga puluh juta. Mereka selalu mengancam ibu, makanya ibu pergi ke rumah bu Asih untuk meminta tolong, karena ibu tau Wahyu ingin menikah denganmu," jawab bu Dewi sambil terisak.
"Itu juga ibu bukan pinjam, ibu minta mereka menebus toko ayahmu yang ibu gadaikan. Waktu itu ibu gadaikan toko ke pak haji seharga empat puluh juta. Ibu minta bu Asih ambil alih gadai toko itu dengan harga tujuh puluh juta. Bu Asih menolak tawaran ibu karena tak mau kalian menikah."
"Wahyu menerima permintaan itu, dengan syarat ibu harus membujuk kamu agar menikah dengan Wahyu. Bahkan Wahyu menawarkan untuk membeli saja toko itu, mereka sanggup bayar 100juta lebih, atau sesuai harga pasaran kala itu. Ibu memilih gadai saja, mana tau ada harapan suatu hari nanti untuk masa depan anak-anak ibu."

Air mata bu Dewi terus mengalir, tak sangka keputusannya kala itu menyiksa batin Saqila.

"Maafkan ibu, Qila. Ibu menyesal, ibu tak tau akan jadi begini," ucap bu Dewi lirih.
"Lalu kenapa mereka selalu berkata hutang dan hutang. Jika toko ibu sekarang ada di tangan mereka, kenapa mereka tak beli saja toko itu atau jual pada orang lain, kenapa malah sengaja memojokan dan menghina kita?"

Bu Dewi menggeleng. Padahal memang benar, jika toko mereka di jual, itu bisa untuk membayar uang gadai, bahkan masih ada sisa untuk mereka.
Namun bu Dewi tetap menolak, toko itu peninggalan almarhum suaminya. Bu Dewi tetap berharap suatu hari nanti salah satu dari anaknya mampu menebus toko itu kembali. Setidaknya untuk masa depan Riyan kelak, bu Dewi sangat menghawatirkan nasib anak bungsunya itu.

Semua yang terjadi terasa begitu mendadak, Saqila kehilangan Nisa, juga diceraikan dengan cara yang tak baik. Saqila tetap harus akur menerima takdirnya.
***

Belut di dalam ember yang di bawa Saqila masih terbiar, bu Dewi segera kedapur untuk membersihkannya. Setelah dibersihkan, belut di simpan di kulkas. Biar besok saja dimasak.
Suara adzan magrib berkumandang, dengan lunglai Saqila melangkah menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.

Selesai salat, ibu dan anak itu mengaji. Bu Dewi masih bersedih mengenangkan nasib Saqila, dari kecil dia tak pernah bertemu kebahagiaan. Berkali-kali bu Dewi memohon maaf pada Saqila.

"Sudah, Bu. Kita lupakan semuanya. Kita mulai hidup baru, Saqila janji akan kerja keras, biar secepatnya kita bisa membayar hutang," pujuk Saqila agar ibunya itu tak terlalu bersedih.

Saqila merebahkan diri di pangkuan ibunya, matanya terpejam. Lelah hatinya cukup terobati oleh belaian ibunya, Saqila tertidur.

Pagi.
Matahari pagi menerobos ke celah kaca ruang tamu, kehangatannya menenangkan. Saqila asik mengerjakan pekerjaan rumah, bu Dewi dan Riyan sudah berangkat.
Saqila teringat belut yang didapatnya kemarin, hari ini dia akan memasaknya. Di rumah ini tak ada yang suka belut kecuali Saqila dan ayahnya. [Ah... Ayah Saqila rindu.]

Selesai memasak, Saqila pergi ke rumah Iwan untuk mengantar belut yang sudah matang. Iwan juga sngat suka belut, lagi pula belutnya cukup banyak, tak ada salahnya Iwan juga menikmati hasil tangkapan mereka.

"Assalamu'alaikum!" Saqila uluk salam.
"Walaikumsalam." Bu Laras membuka pintu. Bu Laras ibunya Iwan.
"Saqila? MasyaAllah, lama sekali kita nggak ketemu, Qila. Apa kabar, Nak? " sapa bu Laras. Dia gembira melihat siapa yang datang.

Saqila meraih tangan bu Laras dan mencium punggung tangannya.

"Alhamdulillah, Bu. Qila sehat, ibu sehat?" tanya Saqila yang juga senang bertemu bu Laras.
"Sehat, alhamdulillah. Ayo masuk, Nak. Baru kemarin Iwan cerita mau ketemu kamu, ibu juga bilang ke Iwan kalau ibu kangen sama kamu, udah lama nggak ketemu," jawab bu Laras panjang lebar. Bu Laras memeluk Saqila, seolah bertemu anaknya sendiri yang sudah lama dia rindukan.
Ditatapnya lekat wajah Saqila.

"Kamu sekarang kurusan, Qila," ucap bu Laras lagi.
Saqila hanya tersenyum.

"Ini, Bu. Qila bawa belut masak bumbu kuning." Saqila menyodorkan rantang berisi masakannya pada bu Laras.
"Ini tangkapan kemarin ya? Koq dikasih ke Ibu, padahal nggak apa-apa dimakan aja buat orang rumah," ucap bu Laras. Bibirnya terus mengukir senyum, dia sangat senang bertemu Saqila.
"Kebanyakan, Bu. Orang rumah nggak ada yang makan belut, makanya Saqila bawa ke sini," tutur Saqila.
"Oh begitu, ibu terima ya. Terima kasih."
Saqila mengangguk. "Sama-sama, Bu."

Bu Laras ke dapur menyimpan masakan pemberian Saqila, lalu kembali ke ruang tamu membawa secangkir teh, di suguhkanya pada Saqila.

"Iwan jam segini udah pergi ke peternakan, nanti siang baru pulang untuk salat dan makan siang," tutur bu Laras.
"Oiya, Qila. Ibu tinggal dulu kedepan mau jemur baju," ijin bu Laras.
"Iya, Bu. Nggak apa-apa, Qila tunggu  di sini," jawab Saqila.

Bu laras ke belakang mengambil cuciannya yang baru tadi selesai dicucinya, dia ke luar lewat samping rumahnya menuju kedepan, jemuran berada di depan rumah bagian samping.

"Lagi jemur, Jeng?"

Tetangga bu Laras yang kebetulan lewat menyapanya.

"Iya, Jeng. Mau kemana tuh? sahut bu Laras pada tetangganya.
"Mau ke warung, Jeng. Tadi ada perempuan yang masuk, siapa, Jeng?" Tetangganya bertanya lagi.
"Oh itu, calon mantu saya itu, sayang nggak jadi," sahut bu Laras sambil tertawa kecil.
"Oalah, kirain bener ceweknya Iwan, cepetan carikan istri, Jeng! Nanti Iwan keburu tua."

Tetangganya cekikikan.

"Saya pamit, Jeng. Mau kewarung," lanjut tetangganya, lalu pergi meninggalkan bu Laras yang masih menjemur pakaian.

Bu Laras menjawab dengan anggukan, hatinya agak terusik mendengar kata-kata tetangganya itu.

Selesai menjemur, bu Laras dan Saqila melanjutkan ngobrol di ruang tamu, mereka asik mengobrol. Saqila sudah dianggapnya seperti anak sendiri, bahkan hatinya dulu berharap Saqila jadi menantunya.

"Bu, bukannya dulu Iwan sudah mau melamar Kiki ya, tapi koq sampai sekarang Iwan masih sendiri?"
"Nggak jadi, Nak. Iwan nggak suka sama nak Kiki, katanya hatinya sudah ada orang lain," jawab bu Laras.

Akhirnya bu Laras menceritakan kalau dulu Iwan suka pada Saqila, tapi Iwan tak berani mengungkapkan. Iwan takut Saqila menolak dan malah menjauhinya.

Setelah lulus SMA, Iwan dan orang tuanya pindah ke kampung adiknya bu Laras. Mereka diajak buka bisnis ternak ayam dengan modal patungan. Biarpun Iwan dan Saqila sudah tak tinggal sekampung, tapi Iwan selalu menyempatkan untuk bertemu Saqila dan saudara-saudara Saqila di kampung asalnya.
Iwan pernah bercerita pada bu Laras kalau dia suka pada Saqila dan berniat suatu hari akan melamarnya. Bu Laras sangat setuju, bagi bu Laras, Saqila adalah gadis yang baik dan rajin.
Sampai terdengar kabar Saqila akan menikah, Iwan cukup terpukul mendengar hal itu. Setelah saqila menikah, Iwan memilih pergi ke ibu kota untuk melupakan Saqila. Di kota Iwan tinggal dengan Uwa nya, kakak bu laras. Dia bekerja jadi pengawas proyek.

Sampai tiga bulan yang lalu, ayah Iwan memintanya pulang untuk membantu membuka peternakan ayam yang baru di kampung ini, kali ini mereka menggunakan modal sendiri.
Iwan cerita juga waktu itu bertemu Saqila, Iwan cukup senang.

Mendengar cerita bu Laras, Saqila tertegun. Hatinya gundah, terenyuh mendengar Iwan yang mencintainya dan mengorbankan perasaannya. Kenapa dia tak mengungkapkannya saja? mungkin semua ini tak akan terjadi. Hati Saqila pedih.
Saqila menceritakan kisah hidupnya pada bu Laras, hingga kejadian hari kemarin Saqila diceraikan. Bu Laras menitikan air mata mendengar cerita Saqila.

"Sabar, Qila. Ibu yakin kamu pasti kuat."

Bu Laras menenangkan hati Saqila, mengusap rambut gadis yang dicintai anaknya itu, dipeluknya Saqila erat.
***

Dua bulan sudah semenjak perceraiannya dengan Wahyu, Saqila menerima surat cerai yang dikirim Wahyu mantan suaminya.
Ada harapan baru di hati Iwan ketika mengetahui Saqila sudah bercerai. Kali ini dia akan berusaha menjaga Saqila, menjadikan Saqila miliknya.
Iwan memain-mainkan telepon genggamnya, dia ingin menghubungi Saqila, tapi masih ragu. Akhirnya dia memberanikan diri juga.

"Hallo, Wan." Suara Saqila di ujung telepon.
"Qila, hari ini aku nggak ke peternakan, kamu mau ikut nggak ke suatu tempat?" Tanya Iwan.
"Kemana?" Saqila balik bertanya.
"Ada deh," jawab Iwan "aku jemput sekarang."
"Hmm baiklah."

Iwan membawa Saqila ke satu tempat, tempat yang dulu tak asing bagi mereka.
Tempat mereka 'berlibur' bersama.
Jauh di ujung kampung, ada sungai yang tak begitu dalam, airnya mengalir tenang. Tempatnya indah dengan rimbunan pepohonan, di tepi sungai terdapat pondok kecil yang dibuat ayah Saqila dulu, karena ayah Saqila tau sungai itu tempat bermain anak-anaknya.

"Waah... aku kangen banget tempat ini," ucap Saqila senang ketika sampai tepi sungai.

Pondok kecil yang dibangun ayahnya dulu masih ada, meskipun terlihat agak usang, air sungai masih terlihat jernih, berhubung letaknya jauh dari kampung, airnya belum tercemar.

"Ingat nggak, Wan. Kejadian waktu itu, kamu dikerjain?" tanya Saqila mengingatkan Iwan.
"Mana bisa lupa," jawab Iwan.
"Sekarang masih nggak bisa berenang?"
"Iya."

Iwan tertawa jika mengingat kejadian itu, baginyaa hal itu kejadian  yang tak terlupakan.
Waktu itu Iwan masih kelas satu SMA, kebetulan hari libur. Dina dan Muas, berkunjung ke rumah bu Dewi. Mereka mengajak mandi sungai untuk menghabiskan hari libur mereka di kampung, berlibur ke tempat kegemaran mereka, yaitu sungai di ujung kampung ini.
Dina, Muaz, Kiki, Saqila dan Iwan, mereka pergi bersama untuk masak-masak di pondok tepi sungai.

Sambil menunggu nasi liwet matang, mereka mandi sungai. Hanya Iwan saja yang tak pernah ikut mandi, Iwan takut kedalaman, dia takut tenggelam. Iwan lebih memilih memasak sambil melihat yang lain berenang.
Dina mengedipkan sebelah matanya ke arah Saqila, bibirnya dimonyongkan ke arah Iwan yang sedang sibuk meniup-niup api untuk mematangkan nasi liwet. Saqila mengangguk mengerti kode dari kakaknya itu.

"Iwaaan! Sini bentar," panggil Saqila sedikit berteriak.
Iwan berjalan menuju menghampiri Saqila, "apa?" tanya Iwan.

Saqila naik ke tepi sungai mendekati Iwan yang sudah berdiri di bibir sungai.

Byuuur!
Saqila mendorong Iwan ke dalam sungai, Dina, Muaz, Kiki dan Saqila tertawa, mereka berhasil menceburkan Iwan.

Iwan yang takut ke dalaman tak bisa berenang, kepalanya tenggelam timbul, tangannya mengepak-ngepakan air. Melihat Iwan seperti itu segera Muaz meraihnya dan mengangkatnya ke bibir sungai. Iwan tergeletak dengan mata terpejam, nafasnya tersengal.

"Giman ini?" ujar Saqila panik.
"Kamu sih Saqila, pake ngerjain segala. Iwan kan nggak bisa berenang," marah Muaz pada Saqila.

Muaz menekan-nekan dada Iwan, sebenarnya Iwan tak pingsan, dia masih sadar hanya malu untuk membuka mata, takut diejek.

"Saqila, kamu tanggung jawab, kamu yang dorong Iwan," ujar Kiki menyalahkan.
"Aku harus gimana?" tanya Saqila.

Saqila yang kala itu berusia lima belas tahun terlihat begitu polos dan ketakutan, sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

"Bikin nafas buatan aja, Qila, kayak di tivi kalau ada yang tenggelam dikasih nafas buatan biar cepat sadar," jelas Dina.
"Giman caranya?" tanya Saqila, dia tak tau caranya.
"Ditiup mulutnya," jawab Dina.

Fuh! Saqila meniup bibir Iwan.

"Bukan gitu, Qila..."

Dina menjelaskan apa yang harus dilakukan Saqila, begini dan begitu Dina menjelaskan panjang lebar. Setelah mengerti dengan penjelasan Dina, Saqila mengangguk.
Saqila memencet hidung Iwan, mulut Iwan dibuka lebar, didekapkannya bibir Saqila, lalu meniupnya beberapa kali.

Uhuk! Uhuk!
Iwan bangun, Saqila yang masih memegang Iwan terhenyak kebelakang terdorong oleh Iwan yang duduk mendadak. Iwan bangun bukan karena nafas buatan Saqila, melainkan karena sulit bernafas hidungnya dipencet, mulutnya dibekam mulut Saqila.

"Wan, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Saqila yang masih terlihat ketakutan.

Iwan hanya menatap Saqila, lalu bangkit berjalan menuju pondok meninggalkan mereka yang saling tatap kebingungan.
Ketika sudah jauh dari mereka, Iwan tersenyum. Merasa lucu dan terkesan dengan tingkah Saqila tadi. Semenjak saat itu cintanya tumbuh untuk Saqila.

"Hey... malah melamun." Saqila membuyarkan lamunan Iwan.
"Eh. Iya." Iwan tersenyum menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Turun ke sungai, yuk?" ajak Saqila.
"Nggak ah, aku takut," sahut Iwan.
"Jangan berenang, turun aja pelan-pelan," pujuk Saqila yang berjalan menuju sungai. Iwan mengekori dari belakang.

Mereka masuk kedalam air perlahan, saqila menuntun tangan Iwan. Sampainya di dasar sungai, tangan Iwan dilepaskan.

"Takut nggak?" tanya Saqila yang melihat Iwan lumayan tenang.
"Dikit." Iwan terkekeh.

Tangan Saqila jahil menciprat-cipratkan air ke wajah Iwan. Iwan hanya tersenyum membiarkan Saqila dengan keusilannya, sekuat tenaga Iwan menahan keseimbangannya agar tak terjatuh. Meskipun badannya mulai menggigil, dia bahagia melihat tawa Saqila.

Kali ini aku tak akan melepaskanmu, Saqila. Batinnya.
Iwan tersenyum.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER