Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 11 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #4

Cerita Bersambung

Hari demi hari  berlalu begitu saja, penderitaan tiga tahun lalu seolah pamit dari hidup Saqila. Tak henti ia mengucap syukur pada yang maha kuasa, bahagia terlepas dari belenggu ikatan Wahyu dan bu Asih.

Enam bulan sudah berlalu, semenjak perceraian Saqila dengan Wahyu, Saqila tak pernah lagi mendengar kabar dari keluarga bu Asih. Bu Asih dan Wahyu yang dulu memaksa untuk segera membayar hutang, sepertinya kini mereka sudah melupakan hal itu. Kendati demikian, Saqila tetap bertekad suatu saat nanti ia akan menebus toko milik ibunya.
Saqila kini sibuk berdagang, membuka usaha sendiri, dia membuat jajanan pasar, kue-kue dan nasi uduk. Jam tiga pagi, Saqila dan bu Dewi sudah bangun untuk membuat kue-kue dan nasi uduk yang akan mereka jajakan, setelah semua selesai dibuat dan dikemas dalam keranjang, pagi-pagi sekali mereka pergi menuju pasar.

Dagangan mereka laris manis, selalu jadi langganan para pedagang dan pembeli di pasar. Jam sepuluh pagi dagangan mereka sudah habis tak tersisa. Saqila sengaja menyisakan sedikit jajanan untuk Iwan, pulang dari pasar dia akan mampir ke rumah bu Laras.
Sudah beberapa minggu dia tak bertemu dengan orang yang sudah mulai mengisi hatinya itu.

"Qila!"

Saqila menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Senyum Saqila mengembang melihat Iwan yang berjalan menuju ke arahnya.

"Iwan? Koq ke sini? Baru aja aku mau pulang terus mampir ke rumah," ujar Saqila.
"Aku kangen," bisik Iwan, tangannya di miringkan di pinggir bibir yang didekatkan ke telinga Saqila.
"Sama," balas Saqila berbisik juga menirukan gaya Iwan.

Mereka terkekeh, saling tatap. Tersisip rasa bahagia antara dua jiwa yang sedang dilanda asmara.

"Ikut nggak?" ajak Iwan.
"Kemana?" tanya Saqila.
"Hari ini bapak panen ayam lho, kita masak-masak, Ibu yang suruh aku jemput kamu, Ibu bilang kangen masakan calon mantunya yang cantik juga ngangenin," goda Iwan lagi.

Saqila terlihat malu-malu, dua pipinya merah merona mendengar rayuan kekasihnya itu, bibirnya seolah tak bisa berhenti tersungging. Kepalanya mengangguk menerima ajakan Iwan.

"Bu, Saqila ikut Iwan, ya?" ijin Saqila pada ibunya yang tengah membereskan keranjang dan bersiap untuk pulang.
Bu Dewi angguk seraya tersenyum. "Iya, sana. Hati-hati, ibu mau belanja bahan-bahan dulu buat dagangan besok."
Saqila dan Iwan pamit.

Sesampainya di rumah bu Laras, Saqila disuruh Iwan langsung ke dapur menemui ibunya. Di sana bu Laras terlihat sibuk menyiapkan bumbu untuk di masak.

"Assalmualaikum, Bu." Saqila berhambur menghapiri bu Laras lalu mencium tangan wanita itu.
"Waalaikum salam," sahut bu Laras tersenyum menyambut Saqila.
"Qila bantu ya, Bu. Hari ini ayamnya mau masak apa?" tanya Saqila.
"Bapak mau makan rendang katanya, waktu itu Qila masak, Bapak ketagihan," sahut bu Laras sambil tertawa kecil. Tangannya sigap merajang bawang untuk dijadikan bumbu halus.

Mereka berdua bercengkrama sambil memasak di dapur, hanya mereka berdua tapi dapur terdengar riuh, sesekali mereka tertawa lepas menertawakan hal-hal yang mereka anggap lucu.
Sesekali mata bu Laras menatap Saqila, doanya tertulis dalam hati, semoga Saqila segera menjadi  menantunya.
Iwan berdiri di pintu dapur, memerhati dua wanita yang dia sayanginya itu sedang bercanda ria. Senyumnya terukir menyiratkan rasa bahagia yang tak terhingga.

Selesai memasak mereka makan bersama, tak henti-henti bapak Iwan memuji masakan Saqila. Membuat Saqila tersipu malu, Iwan dan bu Laras pun ikut menggoda Saqila, membuatnya semakin salah tingkah.

Setelah selesai makan dan beres-beres di dapur bu Laras, Saqila pamit pulang, tak lupa bu Laras membungkus masakan yang tadi mereka masak untuk bu Dewi.

"Salam sama ibu ya, Qila."
"Iya, Bu. InsyaAllah."

Saqila pulang diantar Iwan. Motor Iwan melaju meninggalkan  rumah bu Laras, rumah yang menjadi harapan Saqila, semoga  suatu  hari dia menjadi anggota keluarga bu Laras dan hidup bahagia di sana.
***

Ketika Iwan kembali, bu Laras menyerbu anaknya dengan pertanyaan. Ingin segera ada kepastian dari hubungan anaknya itu. Baginya, Saqila sudah menjadi anaknya sejak dulu.

"Wan, kapan kamu mau melamar Saqila?" tanya bu Laras. "ibu udah pengen gendong cucu."
"Bukan aku nggak mau nikah sama Saqila, Bu. Untuk sekarang ini aku harus jaga nama baik Saqila dulu, biar nggak jadi gunjingan tetangga, Saqila baru bercerai enam bulan, nanti apa pula kata tetangga, belum lama bercerai sudah nyosor pengen nikah lagi," sahut Iwan menjelaskan.
"Saqila juga pernah bilang, untuk saat ini nggak mau mikirin untuk menikah cepat-cepat, dia ingin menebus toko yang bu Dewi gadaikan, aku juga niat dikit-dikit bantu Saqila biar segera bisa mengambil alih toko bu Dewi," lanjutnya.
"Hmmm,"  gumam bu Laras kecewa. Padahal dia sudah berkali-kali memujuk anaknya itu.

Sebelumnya, Iwan pernah mendengar tetangga sedang membicarakan Saqila, waktu itu dia sedang mengantar pesanan ayam ke salah satu pemilik warung di kampungnya.

"Eh, tau nggak, Jeng? Itu anaknya bu Dewi kan udah cerai ya?" ujar salah seorang ibu-ibu yang sedang memilih-milih sayuran.
"Anaknya bu Dewi yang namanya Saqila itu bukan?" tanya salah satu ibu-ibu.
"Iya, baru beberapa bulan aja cerainya, udah berani jalan sama lelaki lain, koq berani ya?" sahut salah satu dari mereka.
"Masa sih, Jeng? Emang pernah lihat ya dia pernah jalan bareng sama lelaki?" Ibu-ibu yang lain penasaran.
"Pernah, waktu saya disawah, lihat mereka mesra banget, jalan aja mepet-mepet."
"Iya, ya. Anak jaman sekarang itu kayak udah nggak tau malu, jaman kita muda dulu, kalau ada yang cerai itu, boro-boro mau deketin lelaki, keluar aja nggak berani," timpal yang lain

Iwan yang tak sengaja mendengar obrolan mereka merasa tak nyaman, kata-kata mereka sedikit dilebih-lebihkan.
Sebenarnya ingin sekali dia menyampuk perkataan mereka, tapi itu bukan hal yang baik. Iwan memilih segera pergi setelah selesai dengan tugasnya, tak menghiraukan perkataan mereka. Kini Iwan yang harus bisa menjaga jarak demi menjaga nama baik Saqila.

Dia yakin yang namanya jodoh itu tak akan kemana.
Tak akan lari gunung dikejar. ( pepatah melayu)
***

Keluarga bu Asih.
Satu bulan sesudah perceraian Wahyu, bu Asih berencana menjodohkan Wahyu dengan anak kenalannya. Sudah sejak lama bu Asih ingin menjodohkan Wahyu dengan gadis pilihannya, tapi Wahyu malah memilih menikahi Saqila. Bu Asih merasa sekaranglah saat yang tepat untuk menjodohkan mereka kembali.
Kali ini Wahyu tak menolak, apa saja kata ibunya, Wahyu yakin itu yang terbaik untuk dirinya.

"Untung saja dulu ibu nggak ngasih kamu tempat tinggal sendiri, coba kalau kamu punya rumah sendiri, sesudah cerai pasti Saqila minta hak harta gono-gini."
"Pokoknya sekarang, kamu harus mau nikah sama anaknya temen Ibu, anaknya cantik, bukan itu saja, temen Ibu ini orang sukses, orang kaya. Kapan lagi kita dapat kesempatan seperti ini? Ibu kemarin sudah tanya tentang anaknya temen ibu itu, dia sekarang masih belum menikah juga. Mereka juga setuju menikahkan anaknya sama kamu," lanjut bu Asih.
"Iya, Bu terserah. sekarang aku ikut aja apa yang baik menurut ibu," sahut Wahyu datar.

Hati Wahyu sebenarnya masih belum bisa melupakan Saqila. Meskipun Saqila sudah memiliki lelaki lain seperti yang dituduhkan ibunya, Wahyu tetap berharap Saqila mau kembali. Bagaimanapun, Saqila adalah perempuan pertama yang dia cintai.

Perjodohan Wahyu berjalan lancar, dia dijodohkan dengan wanita yang umurnya berapa tahun lebih tua darinya. Gadis berbadan langsing, lebih tinggi dari Saqila, berkulit putih bersih, penampilannya rapi dan modis. Tetap saja menurut Wahyu, Saqila lebih cantik dari gadis yang akan dijodohkan dengannya itu.
Gadis itu bernama Nunik, seorang gadis berambut pendek, dengan gaya bicara yang terkesan halus dan lembut. Nunik bekerja di salon miliknya, dia juga memiliki butik yang dikelola bersama kakak-kakaknya.

Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, keluarga Nunik meminta beberapa syarat. Nunik anak bungsu dikeluarganya, keluarga Nunik meminta pernikahan anak mereka harus diadakan pesta besar-besaran. Mengingat mereka menikahkan anak terakhir, pasti akan sangat ramai sanak saudara dan rekan bisnis yang datang dipesta pernikahan anaknya.

"Ibu punya uang dari mana? syarat mereka itu terlalu berat untuk kita, Bu." Pak Hilman tampak kurang setuju dengan pernikahan ini, mengingat syarat yang mereka berikan terlalu berlebihan.
"Aduh, Pak. Anggap saja ini umpan, Bapak tau kan mereka itu kaya raya, nanti kalau Nunik sudah menikah sama Wahyu, kita pasti hidup senang," jawab bu Asih merasa bangga akan memiliki menantu kaya.
"Lalu kita punya uang dari mana untuk pesta semewah itu, Bu?" tanya pak Hilman yang tampak kecewa dengan pilihan istrinya.
"Kita punya dua toko beras, Pak. Kita bisa gadaikan dulu, nanti kita tebus lagi kalau Wahyu sudah menikah, kalau masih kurang kita bisa gadaikan pabrik, Pak. Ibu yakin, kalau Wahyu sudah menikah dengan Nunik, kita bisa dapatkan apa yang kita inginkan, bapak kemarin lihat sendiri kan? Mobil mereka banyak, rumahnya mewah," timpal bu Asih santai, dia senyam-senyum sendiri mengingat akan hidup senang.
"Kalau harus menggadaikan pabrik, Bapak nggak setuju, Bu," sahut pak Hilman, dia kesal dan berlalu meninggalkan istrinya yang masih sibuk mengoceh.

"Gimana si Nunik itu menurut mu, Nak?" tanya bu Asih pada Wahyu yang sebentar tadi menghampirinya.
"Cantikan Saqila lah, Bu," jawab Wahyu datar.
"Jangan dilihat cantiknya, dia itu kaya, berkelas. Bukan kayak si Saqila, udah miskin, kumel, cantik apanya," kesal bu Asih mendengar jawaban Wahyu.

Hari pernikahan Wahyu dan Nunik sudah tiba, bu Asih sudah menguras habis tabungannya dan tabungan Wahyu, untuk biaya pesta pernikahan, bahkan dua tokonya sudah di gadaikan juga. Mereka tampak bahagia menyambut hari bersejarah itu, tapi berbeda dengan pak Hilman, dia tampak murung dan kurang senang.

Selesai sah menikah dan menggelar resepsi pernikahan secara serentak. Nunik diboyong ke rumah bu Asih. Tak tanggung-tanggung, lagi-lagi keluarga Nunik meminta diadakan pesta ngunduh mantu di rumah bu Asih, dan Nunik meminta ingin berbulan madu di Bali.
Bu Asih kebingungan darimana lagi dia harus mencari uang untuk menuruti permintaan menantunya. Demi untuk melaksanakan keinginan menantunya, bu Asih menjual salah satu mobil pick'upnya, mobil yang biasa digunakan mengangkut beras untuk diantar ke pelanggan dan ke tokonya.
Kalau untuk mengangkut beras ke pelanggan saja, satu mobil pickup juga cukup, karena sekarang tak perlu lagi mengantar beras ke tokonya, tokonya sudah digadaikan. Lagi pula para pelanggan berskala besar biasanya membawa angkutan sendiri. Bagaimanapun caranya, yang penting menantunya senang.
***

Hidup bu Asih sekarang bagaikan ratu, dia hanya bersantai dan bersenang-senang di rumah, aktif bersosial di luar walapun hanya sekedar untuk arisan dan bergosip dengan tetangga.
Di rumah bu Asih, Nunik menyediakan asisten rumah tangga untuk mengurus segala urusan rumah tangga di rumah bu Asih. Semua keperluan rumah tangga di tanggung Nunik. Bu Asih merasa pengorbanannya  tak sia-sia.
Toko beras bu Asih pun sudah ditebus oleh keluarga Nunik, tapi tak dikelola lagi oleh bu Asih, kini saudara ayah Nunik yang mengelola toko tersebut. Bu Asih tak keberatan, toh hidupnya sekarang sudah terjamin.

Lain lagi dengan pak hilman, semenjak pernikahan Wahyu, kondisi kesehatannya menurun, seperti ada beban di pikiran pak Hilman. Dia sudah jarang bekerja ke pabrik, semua urusan pabrik diserahkan kepada Wahyu. Hanya sesekali saja pak Hilman ke pabrik jika ada urusan mendadak.

Beberapa bulan pabrik dikelola Wahyu, penghasilan pabriknya agak menurun. Bukan hanya itu, Wahyu yang kurang teliti dan kurang berpengalaman dalam mengelola pabrik, Wahyu mengalami kerugian besar akibat penipuan. Pabriknya terancam bangkrut, karena kerugian yang ia sebabkan. Untunglah keluarga Nunik turun tangan membantu memulihkan pabrik ayahnya itu.

Pak Hilma yang terkejut ketika mendengar pabriknya akan bangkrut akibat ulah Wahyu, dia syok dan pingsan pak Hilman terkena serangan jantung. Beberapa hari sempat dirawat di rumah sakit  karena koma dan akhirnya pak Hilman berpulang ke Rahmatullah.

Kabar kepergian pak Hilman sempat terdengar oleh Saqila dan bu Dewi, mereka memutuskan untuk melayat mengucapkan takziyah, tapi kedatangan Saqila dan bu Dewi tak disambut oleh keluarga bu Asih. Jika bukan karena kebaikan pak Hilman pada Saqila, tak ingin Saqila menginjakkan  kaki lagi di rumah bu Asih.
Anak-anak pak Hilman, Nadia dan Naila menagis cukup histeris dengan kepergian ayahya, bu Asih pun cukup terpukul dengan kepergian suaminya yang tiba-tiba, sempat terbesit di hatinya, bagaimana nasih anak-anaknya tanpa seorang ayah.

Wahyu sangat bersedih dan merasa bersalah, akibat kelalaiannya yang menjadi sebab kepergian ayahnya. Wahyu menangis tersedu di pembaringan terakhir ayahnya.

Kini hidup bu Asih dan anak-anaknya yang masih sekolah hanya bergantung pada Wahyu dan Nunik.
***

Setelah kepergian pak Hilman, Nunik yang baik hati tiba-tiba saja sikapnya berubah. Pabrik yang dikelola Wahyu, kini diambil alih oleh keluarga Nunik, dengan alasan semua biaya pemulihan pabrik dari keluarganya. Wahyu hanya bisa bekerja dipabrik jadi buruh biasa dengan gaji perbulan.

"Nik, kamu nggak bisa gitu dong, biar bagaimana juga pabrik itu masih milik keluargaku," protes Wahyu tak terima dengan keputusan keluarga Nunik.
"Silakan Mas ambil saja, Mas kelola kembali pabrik itu, dengan syarat Mas harus mengembalikan uang papa yang dipakai untuk pemulihan pabrik yang hampir tutup itu," jawab Nunik, suaranya lembut tapi menusuk.

Asisten rumah tangga di rumah bu Asih mendadak diberhentikan oleh Nunik, mau tak mau sekarang bu Asih sendiri yang harus mengurus pekerjaan rumah.

"Ibu sekarang nggak kerja, lagian mas Wahyu juga kerja hanya kuli dipabrik, jadi gajinya nggak bakalan cukup buat bayar asisten rumah tangga, ngga apa-apa kan kalau sekarang Ibu yang ngurus rumah ini?" Nunik tersenyum pada bu Asih, suaranya yang terkesan lembut, sulit bagi bu Asih menolak.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ikut saja." Hati bu Asih sebenarnya kecewa dengan perubahan sikap Nunik itu.

Nunik yang sibuk bekerja, tak pernah sekalipun membantu pekerjaan rumah, sekalipun hari libur Nunik tetap tak ingin membantu bu Asih.

"Bu, tolong beresin kamar Nunik, ya?"
"Bu, tolong setrika baju Nunik."
"Bu, tolong masakin mie instan, ya?"
"Bu, kalau nyuci baju kerja Nunik jangan pake mesin, nanti cepet rusak, itu kain mahal."

Tiap hari nada perintah Nunik itu yang didengar bu Asih. Disuruh ini itu, diminta ke sana kemari. Lama-lama hatinya dongkol juga, kesal dengan kelakuan Nunik.

"Nunik, Ibu ini sudah tua, Ibu lelah mengurus segala pekarjaan rumah sendiri, semua Ibu yang  urus, sekali-kali kamu bantu Ibu, biar ibu nggak terlalu capek," pinta bu Asih pada Nunik, tubuhnya cukup lelah mengurus semua pekerjaan rumah setiap  hari.

"Ya sudah, Bu. Nggak apa-apa, kalau ibu nggak mau ngurus rumah, inikan rumah ibu sendiri, Nunik dan mas Wahyu bisa pindah ke rumah mami dan papi, tapi kalau Nunik pindah mungkin ibu harus biayai sekolah Nadia dan Naila sendiri," ujar Nunik pada bu Asih. Suaranya tetap lembut disertai senyuman.

Kata-kata Nunik yang lembut sekalipun, rasanya bagai menusuk hati bu Asih, biarpun diucapkan dengan begitu halus, tetap terasa menyakitkan. Hanya untuk beristirahat ketika tak enak badan pun, Nunik malah sengaja tak memberinya uang belanja. Tak tahan dengan semua itu, bu Asih mengadukannya pada Wahyu.

"Wahyu, ibu harus gimana?  Ibu sudah nggak kerja, toko kita sudah diambil alih oleh keluarga Nunik. Ibu nggak punya penghasilan tapi jika begini terus, Ibu nggak tahan dengan sikap Nunik," isak bu Asih mengadukan perlakuan Nunik pada anaknya.
Tangannya mengusap air mata yang menetes menjalar di pipi tuanya.

"Aku juga sudah nggak tahan, Bu dengan sikap Nunik. Dia memperlakukan aku seenaknya, nggak pernah menghormati aku sebagai suami," jawab Wahyu.
"Ini juga semua salah Ibu, yang terlalu memaksakan kehendak menikahkan aku dengan Nunik. Sikap dia jauh beda dengan Saqila."

Kata unek-unek yang selama ini Wahyu pendam akhirnya keluar juga dari mulutnya.
Bu Asih terus menangis, kebingungan melanda hatinya tak pernah sekalipun ia menyangka hal ini akan terjadi pada hidupnya. Jika meminta Wahyu menceraikan Nunik, bagaimana dengan biaya sekolah anak-anaknya?
Ibarat pepatah, pergi sulit, bertahan pun menyakitkan.

"Aku akan ceraikan Nunik nanti, Bu. Setelah terkumpul uang untuk modal, kita masih punya toko bu Dewi. Kita kelola saja untuk biaya hidup kita nanti, lagi pula aku yakin, Saqila nggak akan punya uang untuk menebus toko bu Dewi," ujar Wahyu.
"Untuk sementara, kita bertahan saja dulu demi Nadia dan Naila," lanjutnya lagi.

Bu Asih akur dengan keputusan Wahyu.
Hakikatnya seorang manusia, tak pernah sadar atas  perbuatannya. Seperti  bu Asih yang merasa terdzolimi oleh perbuatan Nunik, dia tak sadar dulu perbuatannya pada Saqila lebih kejam dari Nunik.
***

Sepulang dagang Saqila berjalan menuju rumahnya, dari jauh Saqila melihat seorang perempuan duduk di depan teras rumahnya. Setelah Saqila sampai di depan rumah, Saqila terkejut.

"Kak Dina?"

Dina menoleh, tak kalah terkejutnya melihat adiknya ada dihadapannya.

"Saqila!"

Mereka berhambur saling berpelukan, sudah sangat lama mereka tak bertemu. Air mata keduanya luruh, lama dan erat mereka berpelukan hingga bu Dewi datang.
Bu Dewi pun tak kalah terkejutnya melihat kedatangan Dina. Anaknya yang sudah sangat lama ia rindukan, karena jarak yang memisahkan mereka, menyulitkan mereka untuk bertemu, terakhir mereka bertemu di pernikahan Saqila berapa tahun lalu. Sejak saat itu tak pernah lagi terdengar kabar Dina, Saqila sering menghubungi nomor ponsel Dina, tapi sudah lama tak aktif.

"Ibuuuu!"

Pelukan Saqila dilepasnya, berganti tergopoh kepelukan bu Dewi, tangis mereka pecah melepas kerinduan yang selama ini terpendam.

"Kapan sampai, Nak? Kamu kesini sama siapa? Mana Aira, kenapa nggak dibawa?" Bu Dewi mengelus rambut Dina. Aira adalah anak Dina.

Mendengar pertanyaan ibunya, tangis Dina malah makin tersedu. Rasa pilu, sedih dan kecewa berkecamuk di hatinya. Entah apa yang harus dikatakan pada ibunya.

==========

Bu Dewi dan Saqila mengajak Dina masuk, Dina pasti lelah. Bu Dewi beranjak ke dapur untuk membuatkan Dina makanan; Saqila mengajak Dina ke kamar untuk beristirahat. Saqila memandang wajah kakaknya yang teduh dan sayu.

"Kak Dina, istirahat dulu ya. Aku beresin baju-baju kakak," ucap Saqila.
Dina mengangguk, "terima kasih ya, Qila," balas Dina.
"Sebenarnya Kakak ada masalah apa? Kenapa Aira nggak dibawa sekalian? Kasian Aira, pasti dia sedih jauh dari mama nya." Saqila menatap Dina.

Tangan Saqila masih memegang baju Dina yang sedang Ia keluarkan dari koper untuk disimpan di dalam lemari ibunya dibagian yang masih kosong.
Dina hanya menggeleng lemah, air matanya yang menjawab pertanyaan Saqila. Melihat Kakak nya begitu, Saqila tak melanjutkan lagi pertanyaan nya. Selesai semua baju Dina dirapikan, Saqila kembali menghampiri Dina yang masih terisak di tepi ranjang.

"Maafkan Qila, Kak. Qila nggak akan tanya lagi masalah Kakak, sampai Kakak yang menceritakan nya sendiri sama Qila dan Ibu," ujar Saqila sambil memeluk hangat kakaknya, Saqila tak mau memaksa.

Dina mengangguk dan mengusap air matanya yang dari tadi terus mengalir. Dina menumpahkan tangisnya dipelukan adiknya itu.
Bu Dewi memanggil anak-anaknya untuk makan, masakannya sudah siap.

"Dina pengen istirahat dulu barang sebentar aja ya, Bu,"  pintanya pada bu Dewi.

Bu Dewi angguk, dia mengerti  anaknya pasti lelah, setelah melewati perjalanan yang sangat jauh, apalagi Dina sempat cerita dia datang ke sini bukan naik pesawat terbang, Dina naik kapal air, sehingga butuh waktu beberapa hari untuk sampai ke sini.
Bu Dewi kembali ke dapur untuk merapikan bahan-bahan dagangannya yang Ia beli dari pasar tadi untuk berjualan besok.
***

Satu minggu sudah Dina tinggal di rumah ibunya, tapi dia masih tak ingin bercerita tentang kedatangan nya. Dina yang selama seminggu hanya di rumah, kini dia mulai keluar melihat-lihat kampung halaman nya yang sudah lama Ia tinggalkan.
Saqila mengajak nya ikut kepasar, Dina pun ikut membantu Saqila dan ibunya berjualan. Setelah dagangan habis, mereka pulang dengan rasa syukur hari ini masih bisa mengais rejeki, cukup untuk mereka berempat, sisanya ditabung untuk bayar kontrakan.
Ketika  sampai di rumah, Dina tercengang, ternyata sang suami menyusulnya yang sekarang ada di depan rumah bu Dewi.

"Mama...! huk huk." Suara anak kecil memanggil Dina dan berlari ke arahnya sambil menangis.
"Airaaa...." Dina berhambur ke arah anaknya, dia ikut menagis tak kuasa menahan rindu. Dipeluk dan diciumnya Aira
"Maafkan Mama, Sayang."

Saqila dan bu Dewi ikut berlari menghampiri Aira. Mereka memeluknya, bu Dewi terus saja memeluk dan menciumi pipi cucunya itu.
Erik menatap Dina dengan wajah marah, dia kesal pada sikap Dina yang meninggalkannya dan Aira.

"Kenapa kamu kabur dari rumah, Dina? Tega kamu tinggakan aku dan Aira." Erik menatap Dina tajam.
"Kabur? Harusnya kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan padaku," jawab Dina menatap Erik tajam.
"Ayo kita bicarakan di dalam, ini di luar, Nak. Malu jika tetangga lihat," ujar bu Dewi mengajak mereka masuk.

Erik dan Dina duduk di ruang tamu; bu Dewi dan Saqila membawa Aira ke kamar, lalu membawakannya makanan. Pasti cucunya itu  lapar, wajah cucunya lusuh sekali sepertinya sangat lelah.

Saqila menuju ruang tamu untuk jadi penengah masalah antara Dina dan Erik suaminya.

"Aku datang ke sini untuk minta pertanggung jawabanmu, Dina. Tentang hutang yang sudah kamu pinjam ke saudara-saudaraku, aku nggak tau jumlahnya sampai empat puluh juta, itu belum termasuk hutang ke tetangga lain, dari mana aku bisa membayar hutangmu sebanyak itu? Kenapa bisa sampai sebanyak itu?" tanya Erik mulai meradang.
"Harusnya kamu sadar, kenapa aku bisa pinjam uang sebanyak itu. Dua tahun lalu ibumu stroke, dari mana aku bisa bayar biaya rumah sakit ibu? sedangkan kamu ngasih uang untuk makan saja nggak cukup. Dari mana biaya hidup untuk kami? Sedangkan kamu menafkahi kami seenak hati." Suara Dina bergetar menahan marah.

Dina tinggal serumah dengan mertuanya, dua tahun lalu mertuanya terkena stroke. Dina meminjam uang pada sanak keluarga Erik, untuk biaya pengobatan. Bahkan Dina sampai menjual telepon genggam nya yang ia beli dulu sewaktu masih belum menikah dengan Erik, itulah sebabnya Dina tak pernah menghubungi ibunya.
Saudara Erik cukup baik dan selalu membantu ketika Dina mengahadapi masalah. Apapun yang Dina butuhkan, mereka salalu memberi pinjaman. Namun Erik malah lepas tanggung jawab, memberi uang belanja hanya seinginnya, dia merasa bahwa Dina selalu punya uang.
Padahal untuk biaya hidup sehari-hari Dina harus banting tulang menjadi buruh cuci, uang yang Dina pinjam hanya untuk biaya berobat mertuanya. Sedikit demi sedikit, lama-lama hutang Dina menumpuk juga.
Saudara-saudara Erik yang selama ini baik pun gerah juga, karena sudah beberapa tahun Dina tak kunjung membayar hutangnya. Setiap Dina minta pada Erik, tak pernah diindahkan nya.
Uang hasil kerjanya kebanyakan untuk judi daring, bahkan untuk main perempuan juga yang belakangan diketahui Dina. Sudah jauh-jauh hari Dina minta pulang dan minta cerai, tapi Erik tak pernah peduli. Pikirnya, Dina tak mungkin bisa pulang ke pulau Jawa, uang ongkos saja dia tak punya. Tak akan cukup uang sedikit jika dia ingin pulang.
Ketika Dina sudah memutuskan untuk tetap pergi dari rumah mertuanya. Erik malah membawa Aira kabur, lagi-lagi Erik menjadikan Aira sebagai tameng, Erik tau kalau Dina tak mungkin bisa meninggalkan Aira. Ternyata dugaan Erik salah, Dina tetap pergi tanpa Aira.

"Harusnya kamu yang bayar hutang-hutang Kak Dina, kamu yang harusnya tanggung jawab, kamu itu kepala keluarga. Sekarang, kamu malah datang ke sini minta Kak Dina yang bayar, kamu gila hah?" Saqila marah mendengar cerita Dina, tak sangka Erik berbuat begitu pada kakaknya. Rasa hormat Saqila hilang sudah, tak sudi Saqila memanggil lelaki yang menyakiti kakaknya dengan sebutan kakak.

"Maafkan aku, aku tau aku salah, tapi sekarang aku dalam masalah gara-gara hutang itu, semua saudaraku menagih padaku, kalau nggak di bayar juga, rumahku akan dijual paksa. Lalu ibuku yang sakit mau tinggal di mana? Cuma aku anak satu-satunya, bukan itu saja Dina, waktu kamu pulang, kamu pinjam uang ongkos dari tetangga kan? Aku yang kena imbasnya, tetangga marah menagih padaku ." Suara Erik melunak, dia mulai mengiba.

Tak ada jawaban dari Dina, dia hanya mematung tak tau harus bagaimana. Memang benar dia yang meminjam uang ke sana ke mari, tapi itu bukan salahnya, harusnya Erik yang menanggung segala kebutuhan mereka, bukan Dina.

"Untuk sementara aku akan bawa Aira ke jakarta, aku akan tinggal di rumah saudara di sana. Kalau kamu pengen Aira ikut kamu, aku kasih waktu satu minggu, kamu harus bisa cari uang atau pinjaman. Aku akan ke sini lagi bawa Aira setelah kamu punya uang, aku janji," ujar Erik dengan seenaknya membebankan masalah hutang pada Dina.
"Enak saja kamu, aku nggak bakal ngasih Aira, nggak! Nggak mau!" teriak Dina pada Erik.

Erik berjalan menuju kamar bu Dewi, Aira yang sedang disuapi, diambil paksa dan dibawa keluar. Saqila dan Dina menahan Erik, tapi Erik menerjang memaksa keluar. Bu Dewi meraung melihat Aira dibawa Erik. Saqila menghadang, Erik tak bisa berkutik.

"Airaa jangan pergi, Nak." Dina memegang tangan Aira.
"Mama, Aira ikut ayah dulu, Mama jangan nangis, nanti Aira ikut Mama," ucap Aira.
"Kata ayah, Mama harus cari uang untuk bayar hutang, ayah udah janji sama Aira kalau Mama udah punya uang, Aira bisa tinggal sama Mama sama Nenek," lanjutnya lagi.

Tega sekali Erik menghasut anak kecil untuk memuluskan rencananya. Aira baru enam tahun, kenapa harus Aira yang dimanfaatkan. Saqila geram.

"Aku janji akan bawa Aira kembali ke sini setelah seminggu, tolong  bantu aku dapatkan pinjaman," ujar Erik, dia beralalu meninggalakan Dina yang masih menangisi putrinya.
***

"Nggak ada jalan lain, Bu. Kita harus menjual toko untuk melunasi hutang Kak Dina," kata Saqila pada ibunya, berharap ibunya setuju.

Bu Dewi terdiam, dia berpikir sejenak; Dina masih bersedih mengingat Aira, sesekali dia mengusap pipinya yang dibasahi air mata.

"Kalau itu memang jalan yang terbaik, Ibu ikut saja. Nggak ada yang akan bisa bantu Dina kalau bukan kita," sahut bu Dewi, air bening luruh dari sudut matanya.

Saqila bergegas ke rumah bu Asih, tekadnya sudah bulat untuk menjual saja tokonya pada keluarga Wahyu.
Saqila menekan bel rumah bu Asih. Pintu dibuka oleh seseorang, seorang wanita paruh baya yang berpakaian lusuh dengan lap di pundaknya. [Bu Asih? Kenapa penampilannya jadi seperti itu?]

"Saqila ... ?  Ngapain kamu ke sini?" tanya bu Asih ketika membuka pintu gerbang rumah nya. Tatapanya sinis pada Saqila, rasa tak sukanya masih ada pada perempuan yang pernah jadi menantunya.

"Aku mau ketemu Wahyu, Bu. Ada yang harus dibicarakan soal toko," jawab Saqila lembut. Tak ada dendam di hati Saqila. Saqila sudah melupakan semua yang sudah berlalu.

Mendengar kata toko, bu Asih terlihat bimbang. Dia takut Saqila akan menebus toko itu. Untuk saat ini hanya toko itu yang jadi harapan bu Asih untuk lepas dari Nunik.

"Saqila? Ada apa ke sini, ayo masuk." Wahyu keluar dari kamar ketika mendengar ada suara bel. Dia senang melihat Saqila yang datang.

Saqila masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya menyapu sekeliling rumah bu Asih, mulai dari-- warna cat, tata letak furniture, dan dekorasi--semua sudah diubah.

"Aku ke sini  mau menjual toko, aku butuh uang," ucap Saqila langsung pada inti tujuan nya.

Wahyu terperangah mendengar apa yang dikatakan Saqila.

"Ta-tapi, Qila. Aku tak punya uang untuk membelinya," sahut Wahyu.
"Kalau gitu, aku jual ke orang lain saja," tegas Saqila.
"Jangan Qila, aku mohon. Toko itu satu-satunya harapan aku dan Ibu," pinta Wahyu memelas.

Wahyu menceritakan segala yang terjadi selama mereka berpisah, sementara bu Asih diam mendengarkan tak mengucapkan sepatah katapun.

"Aku nggak mau tau, keluargaku juga punya masalah, sekali lagi aku tegaskan. Jika kamu tak sanggup membayar, aku akan jual pada orang lain," ujar Saqila lantang.
"Qila aku mohon, kalau kamu benci padaku dan pada Ibuku, setidaknya kasihani Naila yang masih kecil, bagaimana nanti aku akan membiayai sekolah Nadia dan Naila?" lirih Wahyu memelas. Matanya mulai bening mengkilat mengumpulkan butiran air yang mulai membendung diujung matanya.

Kali ini bu Asih tak sanggup bicara apa-apa di depan Saqila, dia hanya menunduk lesu. Melihat hal itu, Saqila terenyuh. Di mana orang yang dulu sombong dengan hartanya itu? Di mana kata-kata tajamnya yang sering Ia hujamkan ke hati Saqila? Ketika harta hilang, 'kemuliaan'pun seolah ikut hilang.

"Aku minta maaf, bukan aku tak ingin membantu, sekarang ini keluargaku lebih membutuhkan uang tersebut," sambung Saqila. Dia tetap yakin dengan pendiriannya.

Wahyu memegang kening seraya meremas rambutnya, kecewa dengan keputusan mantan istrinya itu. Kini harapannya untuk lepas dari Nunik harus dia lupakan, Wahyu harus memikirkan cara lain.

"Eh ada tamu. Siapa ya?"

Nunik yang baru saja pulang kerja, langsung masuk ketika melihat pintu terbuka.
Wahyu hanya menghela nafas berat melihat kedatangan Nunik. Bu Asih segera berlalu menuju kamar meninggalkan Wahyu, malas bu Asih jika berhadapan dengan menantunya itu.

"Aku Saqila, mantan istrinya Kak Wahyu," sahut Saqila menyodorkan tangan. Nunik menyambut tangan Saqila sambil tersenyum ramah.
"Mantan istri? Kira-kira ada apa ya datang ke sini?" tanya Nunik penasaran.
"Oiya, saya istrinya Wahyu," sambungnya. Masih dengan senyum ramah nya.

Saqila menjelaskan maksud kedatangan nya pada Nunik. Nunik mengangguk-anggukan kepalanya menyimak cerita Saqila.

"Mmm, baiklah. Biar saya bayar saja tokonya sesuai harga pasaran sekarang ya, bagaimana?" tanya Nunik tertarik mendengar Saqila ingin menjual toko yang digadaikan nya. Nunik baru tau kalau Wahyu dan ibunya masih punya gadaian toko, Nunik makin senang Wahyu tak akan bisa lepas darinya.
Wahyu tersentak mendengar ucapan Nunik, dia benar-benar tak bisa berkutik, makin benci saja dia pada Nunik.

"Baiklah, aku setuju," jawab Saqila, dia cukup senang karena tak sulit untuk menjual tokonya, dia tak harus susah-susah menawarkan tokonya pada orang lain.

"Ok, deal. Tunggu ya, saya keluar sebentar mengambil uang cash." Nunik berjalan keluar menaiki mobilnya yang masih terparkir di luar.
"Tega kamu Saqila," tukas Wahyu, kini air matanya luruh menjalar di pipinya.

Saqila tak menjawab, baru kali ini melihar raut kesedihan di wajah mantan suaminya.
***

Selesai berjual beli sesuai dengan harga yang sudah di sepakati, Nunik bersalaman dengan Saqila. Harga yang Nunik tawarkan lumayan tinggi, Saqila sangat puas.
Tak lupa Saqila membayar uang Wahyu yang dulu dipakai untuk menggadai tokonya. Setelah nanti selesai membayar hutang Dina, sisa uang yang masih banyak akan Saqila gunakan untuk modal mengembangkan usaha dagangnya.

"Alhamdulillah, Bu. Kita bisa bayar hutang Kak Dina," ucap Saqila gembira ketika sampai kerumahnya.
"Syukurlah, Ibu ikut senang," sahut bu Dewi.
Meski sebenarnya hati bu Dewi perih harus melepas tokonya, dia tak punya pilihan.

"Terima kasih, Qila," timpah Dina ikut senang. Mereka bertiga terisak bahagia.

Sesuai yang sudah dijanjikan, seminggu kemudian Erik datang membawa Aira. Kini Dina semakin yakin dengan keputusannya untuk bercerai, Erik hanya mementingkan dirinya sendiri, seolah rasa cintanya sudah hilang untuk Dina. Erik yang seharusnya bertanggung jawab, malah menimpakan beban di pundak Dina.

"Ini uang empat puluh juta yang kamu minta, pulanglah dan bayar semua hutang pada saudaramu, tapi...." Dina menghentikan perkataannya, dia mencoba mengatur nafas.

"Tapi apa?" tanya Erik penasaran.
"Ceraikan aku," sahut Dina, dia sudah mantap. Rumah tangganya sudah tak bisa diperjuangkan.
"Apa? Cerai?" Erik tersentak kaget mendengar syarat yang diajukan Dina.
"Iya cerai. jika tidak ... aku nggak akan ngasih uang ini," tegas Dina.

Erik menghela nafas lesu.

"Baiklah, sekarang aku ceraikan kamu Dina, mulai detik ini kamu bukan lagi istriku."

Air mata Dina luruh juga, antara sedih dan bahagia. Dina sedih ternyata benar di hati Erik sudah tak ada dirinya, cintanya sudah hilang tergantikan oleh wanita lain yang sempat ia lihat sedang bermesraan dengan Erik.
Sebelum Dina mengasongkan uang dalam amplop, dia berkata pada Erik. "Aira ikut denganku, sesuai perjanjian."
Erik sepakat, dia meraih amplop lalu pamit pada seisi rumah, dia akan pulang ke Kalimantan untuk menjaga dan mengurus ibunya.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER