Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 12 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #5

Cerita Bersambung

Satu per satu masalah diselesaikan Saqila, termasuk masalah Dina dan suaminya. Sisa uang penjualan toko, mereka gunakan untuk modal tambahan usaha dagang.
Rumah yang dikontrak bu Dewi sangat sempit, Saqila berencana menyewa rumah tetangga yang sudah lama kosong. Untuk pembayaran, pemilik rumah minta uang sewa pertahun. Bu Dewi dan Saqila menyetujui hal itu, karena di rumah mereka sekarang ada Dina dan Aira. Sedangkan rumah yang sekarang mereka tempati, hanya ada dua kamar, mana mungkin cukup untuk tinggal empat orang.

Sebelum mereka pindah ke rumah baru, Saqila membawa Dina dan Aira ke rumah Bu Laras. Keluarga Bu Laras belum tahu kalau Dina ada di kampung ini. Dari dulu, hubungan dua keluarga ini sangat dekat, hingga Bu Laras pindah ke daerah lain, mereka sudah jarang bertemu, mungkin hampir tak pernah.
"Ayo masuk, Nak," sambut Bu Laras ketika melihat Saqila datang.
"MasyaAllah, ini Dina? Ibu hampir nggak kenal, udah lama kita nggak ketemu. Ini siapa?" tanya Bu Laras ketika melihat Dina menuntun anak kecil di belakang Saqila.
"Iya, Bu. Ibu apa kabar? Ini anak Dina, Bu. Namanya Aira. Salam sama Nenek, Sayang," perintah Dina pada anaknya, sambil mencium tangan Bu Laras. Aira pun menghampiri Bu Laras dan meraih tangannya.

"Ya Alloh, cantik sekali kamu, Nak. Saking nggak pernah ketemu, sampai Ibu nggak tau kalau kamu sudah punya anak." Bu Laras mencium kening Aira. Sudah lama Ia merindukan kehadiran anak kecil di rumahnya. Bu Laras selalu berharap Iwan segera menikah dengan Saqila dan menghadirkan cucu untuk nya.

"Eh, Din. Kapan datang?"

Iwan baru keluar dari kamar mandi, lalu mendekati Dina dan Saqila yang baru saja datang. Sebelah mata Iwan mengedip ke arah Saqila. Yang di tatap hanya melempar senyum, membuat Iwan semakin gemas.
Sudah lama dia tak bertemu Saqila, mereka sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hanya bisa berkomunikasi lewat telepon. Mereka duduk bersama di kursi ruang tamu.

"Sudah hampir tiga minggu, Wan. Kamu apa kabar?" tanya Dina balik pada Iwan.

Ditatapnya lama shabatnya itu, Dina pangling melihat Iwan. Kini Iwan menjadi laki-laki yang gagah dan terlihat dewasa.

"Semenjak bersama Saqila kabarku semakin baik," jawab Iwan sengaja mengusik Saqila.
"Sudah tiga minggu tapi baru main ke sini sekarang? Ini anak kamu, Din? Sini Sayang, siapa namanya?" Iwan memangku Aira duduk di sampingnya.
"Aira, Om. Nama Om ganteng siapa?" tanya Aira.
"Om ganteng ini namanya Iwan, kira-kira Om ini gantengnya banget apa kebangetan?" tanya Iwan pada Aira, Iwan tersenyum mendengar Aira menyebutnya 'Om ganteng'.

"Banget, Om," jawab Aira polos.
"Pantesan Ateu Saqila tergila-gila," usik Iwan melirik ke arah Saqila.
"Nggak kebalik tuh," ujar Saqila balik meledek Iwan. Mereka tertawa.
"Kamu jadian sama Saqila, Wan?" tanya Dina, dia belum tahu hubungan Iwan dan Saqila.
"Iya, Din. Sebentar lagi kamu bakal jadi kakak iparkuku," ujar Iwan tersenyum.
"Syukurlah," ucap Dina.

Bu Laras merasa senang melihat anaknya berkumpul seperti dulu, canda dan tawa mulai meramaikan rumah Bu Laras. Ia melenggang ke dapur membuatkan minuman untuk Saqila dan Dina. Sementara ketiga sahabat yang sudah lama tak bertemu itu mengobrol membahas masa kecil mereka.

Di akhir, obrolan mereka tertuju pada Dina, Saqila menceritakan tentang rumah tangga Dina. Bu Laras dan Iwan ikut sedih mendengar cerita Saqila, kedua anak perempuan Bu Dewi harus mengalami nasib yang sama.

"Sabar ya, Dina." Bu Laras menguatkan hati Dina.

Menjelang sore, Saqila dan Dina pamit pulang. Besok mereka harus berkemas untuk pindah ke rumah baru yang sudah mereka sewa.
***

Barang-barang untuk di bawa pindah sudah terbungkus rapi, Iwan dan Bu Laras serta tetangga terdekat Bu Dewi ikut membantu pindahan keluarga Bu Dewi.

Rumah baru mereka tak begitu jauh dari rumah yang lama dan masih di kampung yang sama. Rumahnya lumayan besar, ada tiga kamar yang cukup luas. Saqila menempatkan barang-barangnya di kamar ibunya, mereka tidur se kamar. Dina dan Aira di kamar tengah, sementara Riyan di kamar belakang.
Halaman depan cukup luas, Saqila berencana akan membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Modal utamanya, dia harus bisa mengendarai motor untuk belanja barang dagangannya. Untungnya Dina bisa mengendarai motor, Saqila bisa belajar dari kakaknya.

Subuh-subuh Bu Dewi dan anak-anaknya sudah siap menjajakan dagangan kepasar, dagangannya sengaja diperbanyak karena yang dagang sekarang ada tiga orang. Sementara Aira dititipkan di rumah Bu Laras, beliau sangat senang mengasuh Aira yang pintar sekali bicara dan lincah. Kadang Aira di bawa ke peternakan untuk melihat dan bermain dengan anak ayam, Aira sangat suka.
Harapan Saqila untuk keluarganya bangkit sangat besar, tak lupa Saqila menabung untuk perencanaan pernikahannya dengan Iwan.

Sebelum menikah dengan Iwan, Saqila ingin ibu dan kakaknya punya usaha yang stabil untuk biaya kehidupan mereka, apalagi Riyan masih sekolah. Dia ingin mengantarkan Riyan hingga keperguruan tinggi, agar kelak Riyan bisa membahagiakan ibunya, bukan sepertinya yang tak punya pendidikan.
Kadang Saqila ragu dengan pernikahannya dengan Iwan nanti, setelah menikah pasti Saqila sibuk dengan keluarga barunya hingga tak lagi dapat membantu ibu dan kakaknya. Sekalipun masih bisa membantu, pasti hanya seperlunya saja. Hal itu yang masih ia takutkan.
***

"Qila, Kakak mau jemput Aira dulu, nanti Kakak bantu kamu jualan," ujar Dina sepulang dari pasar.
"Iya, Kak. Nggak apa-apa, salam ya buat Iwan," sahut Saqila tersenyum pada kakaknya. Dina angguk.

Sudah menjadi kebiasaan, sepulang dagang dari pasar, Dina menjemput Aira dari rumah Bu Laras. Sedangkan Saqila langsung membuka warung dan jajanan anak yang di masak di warung Saqila, ada juga warga yang menjadikan warung Saqila ini sebagai warung kopi.

Melihat keluarga Bu Laras sangat sayang pada Aira, Dina merasa terharu. Apalagi ketika melihat Aira  yang sedang bermanja dengan Iwan, seolah Dina sudah menemukan sosok ayah untuk Aira yang selama ini tak pernah Erik berikan.

"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," sahut Bu Laras sambil melenggang berjalan menuju kedepan untuk membuka pintu rumahnya.
"Eh Dina, mau jemput Aira ya?" tanya Bu Laras.
"Iya, Bu."
"Padahal sore aja jemputnya, Aira anteng koq sama Ibu," ujar Bu Laras.
"Takut ngerepotin, Bu."
"Nggak koq, Aira baik, Ibu seneng dia di sini."

Bu Laras yang tengah sibuk memasak di dapur untuk makas siang, sementara Aira anteng nonton tivi.
Dina membantu Bu Laras memasak sebentar, selesai memasak Bu Laras harus mengantar masakannya ke peternakan, hari ini suaminya dan Iwan tak pulang untuk makan siang, jadi Bu laras yang harus mengantarnya.

"Nenek ...  Aira ikut," ucap Aira ketika melihat Bu Laras hendak ke peternakan mengantar masakan.
"Aira kan mau pulang sama mama," ujar Dina yang melihat anaknya merengek minta diajak Bu Laras.
"Nggak apa-apa, Din. Tunggu aja sebentar, Ibu nggak lama koq, ayo Aira ikut," ajak Bu Laras pada Aira. Anak itu terlihat senang.
"Kalau gitu, Dina mau numpang mandi ya, Bu. Pulang dari pasar tadi gerah keringetan," sahut Dina.

Bu Laras mengambilkan handuk untuk Dina, dan memintanya salin di kamar Iwan saja, kerena Iwan juga tak ada di rumah.

Setibanya di peternakan, Bu Laras menghidangkan masakannya. Suaminya dan Iwan menghampiri untuk menyatap makan siang mereka.

"Kepalaku sakit, Bu," adu Iwan pada ibunya. Wajahnya terlihat pucat.
"Makan dulu, Wan. Nanti diminum obatnya yang sudah Bapak beli tadi," ujar Pak Wardi Bapaknya.

Dari pagi Iwan mengadu badannya kurang enak, meskipun bapaknya sudah melarang dia tetap memaksa pergi ke peternakan. Makin siang ternyata kondisinya makin memburuk, kakinya berjalan sempoyongan.

"Habis makan dan minum obat, pulang aja ya, Nak. Biar Ibu di sini bantuain Bapak sebentar," ujar Bu Laras yang melihat anaknya yang kurang sehat.

Iwan hanya mengangguk, meremas rambutnya, kepalanya terasa berat dan sakit.
Pak Wardi mengantar Iwan pulang ke rumahnya dan menyuruh Iwan istrahat, hanya mengantar Iwan sebentar saja sampai depan rumah, lalu Pak Wardi kembali ke peternakan. Sementara Bu Laras masih di peternakan bersama Aira.
Dina yang baru keluar dari kamar mandi tak menyadari kedatangan Iwan di depan yang diantar bapaknya. langsung saja Dina masuk ke kamar Iwan yang masih berkemban handuk.

Dengan sempoyongan, Iwan masuk ke kamarnya, ketika membuka pintu kamar, Iwan melihat sesorang yang selalu dirindukan nya.

"Saqila," lirihnya.

Dia berhambur ke arah perempuan yang di anggapnya Saqila itu.
Dina tersentak melihat Iwan tiba-tiba berhambur ke arahnya.

"Aku rindu, Qila." Tanpa ragu Iwan memeluk Dina yang masih memegang baju yang belum sempat ia kenakan.

Dina merasa ada yang aneh dengan tubuh Iwan, badannya panas, matanya merah. Dina mendorong Iwan yang terlihat mulai kesetanan memeluk dan menciuminya.
Ditariknya Dina ke atas tempat tidur, suaranya lirih mendesah menggumamkan nama Saqila yang sangat Ia rindukan.
Dina tak mampu menolak, dia hanya diam membiarkan Iwan yang berada di alam bawah sadarnya. Entah kenapa, hal itu sangat dirindukan oleh Dina yang sudah lama tak ia dapatkan dari Erik. Segala yang diperbuat Iwan disambut hangat oleh Dina, sejenak Dina lupa pada saqila yang sebentar lagi akan dinikahi Iwan.
***

Bu Laras bergegas pulang, dia lupa kalau Dina menunggu Aira. Pak Wardi mengantar Bu Laras dan Aira, jika mereka jalan kaki pasti lama di jalan, kasihan Dina menunggu lama.

Rumah bu Laras sunyi, matanya mencari-cari keberadaan Dina, hingga dia sampai di dinding kamar anaknya. Bu Laras mendengar suara aneh, suara desahan rengekan seorang perempuan. Hati Bu Laras  mulai tak karuan, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi dalam sana.
Pintu kamar Iwan tak tertutup, malah terbuka sangat lebar.

"Astagfirullah aladzim! Apa yang kalian lakukan!" jerit bu laras histeris, melihat Dina dan Iwan tanpa sehelai benang pun menyelimuti tubuh mereka. 
Bu Laras keluar dari kamar Iwan menghampiri Aira yang sedang berjalan menuju ke kamar Iwan.

"Ada apa, Nek? Kenapa Nenek nangis?" tanya Aira polos yang heran melihat bu Laras menangis.

Bu Laras menuntun tangan Aira menjauh dari kamar Iwan.
Dina terkejut melihat kedatangan Bu Laras yang tiba-tiba ada di kamar Iwan, segera di dorong nya Iwan yang masih dipelukanya, Dina mulai panik dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Selesai berpakaian lengkap, Dina mencari Bu Laras. Didapatinya wanita itu sedang menangis di ruang  tamu.

"Maafkan Dina, Bu." Dina bersimpuh di kaki Bu Laras, dia mulai menyesal dengan apa yang dilakukannya.
"Apa yang salah denganmu, Dina? Kenapa kamu tega melakukah itu, kamu tau Iwan akan menikah dengan adikmu," lirih Bu Laras yang terisak, tangannya mengusap-ngusap kasar pipinya yang dipenuhi air mata.
"Dina hilaf, Bu. Maafkan Dina," sahut Dina yang mulai ikut menangis.
"Bagaimana perasaan Saqila jika dia tau, orang yang di cintainya berkhianat dengan kakaknya sendiri?" ucap bu Laras yang masih menangis . Harapannya hancur ingin bermenantukan saqila.

Iwan bangun dan mendapati dirinya tak berpakaian, dia berpikir sejenak mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.

"Saqila," lirihnya.
Dia baru ingat bahwa tadi sedang bergumul dengan kekasihnya.

Segera Iwan kenakan pakaian yang berserakan di lantai kamarnya, ia berjalan sempoyongan untuk mencari Saqila. Di ruang tamu, Iwan hanya melihat Dina yang sedang bersimpuh dan ibunya menangis pilu.

"Ada apa, Bu. Kenapa Ibu menagis? Mana Saqila?" tanya Iwan dengan tatapan serius.

Plak!
Bu Laras berdiri dan menampar anaknya, tatapan nya marah pada Iwan.

"Bu...."
Iwan memegang pipinya, dia masih belum mengerti  kenapa ibunya melayangkan tamparan padanya.

"Apa kamu sadar, Wan. Apa yang sudah kamu lakukan dengan Dina?"
"Dina? Maksud Ibu? Tadi aku bersama Sa...." Ucapannya terhenti.
"Nggak, nggak mungkin, tadi itu Saqila, bukan Dina. Saqila dimana, Bu?"

Tak ada yang menyahut perkataan Iwan yang sedang panik. Dia berjalan mencari Saqila, tubuhnya masih lemah.

"Jawab, Din! Mana Saqila?" Nada suara Iwan meninggi. Ketika Saqila tak ditemukan dirumahnya.
"Itu Dina, Iwan. Bukan Saqila," raung Bu Laras masih tak terima dengan apa yang di lakukan anaknya.
"Nggak, Bu. Nggak mungkin."

Bruuk!
Iwan tersungkur di lantai, dia pingsan.
***

Iwan dilarikan ke rumah sakit, Dina menunggu di rumah sakit dengan perasaan bersalah. Bu Laras tak henti menangis meratapi nasibnya, dia terus menyalahkan diri sendiri.

"Ibu."

Iwan sudah siuman, memanggil ibunya lirih. Bu Laras yang dari tadi menunggu Iwan, masih berlinangan air mata, sangat sulit bagi Bu Laras menerima kenyataan ini.

"Ibu harus bagaimana, Wan. Apa yang yang harus Ibu katakan pada Saqila dan ibunya?"
"Aku cinta Saqila, Bu. Aku mohon rahasiakan ini dari Saqila," pinta Iwan memohon pada Bu Laras.

Dina yang menunggu di luar, sesak dadanya mendengar ucapan Iwan. Lalu dirinya bagaimana? Apa yang harus dia lakukan jika nanti dirinya hamil?

"Lalu Dina bagaimana?" sahut Bu Laras.
"Aku nggak peduli, itu bukan salahku, Bu. Aku nggak mau pisah sama  Saqila, aku akan segera nikah dengan Saqila," paksa Iwan pada ibunya.
"Bagaimana jika nanti Dina hamil?" Bu Laras menatap tajam pada Iwan.

Iwan tak mampu menjawab pertanyaan yang dilemparkan ibunya.
***

Saqila menghubungi Dina, sudah agak lama kakaknya menjemput Aira ke rumah Bu Laras tapi tak kunjung pulang.

"Kakak dimana?" tanya Saqila ditalian, ketika Dina sudah mengangkat panggilannya.
"A-ku di rumah sakit, Qila," jawab Dina gelagapan, dia sangat takut menghadapi reaksi Saqila jika tahu apa yang sudah dia lakukan bersama Iwan.

"Siapa yang sakit?" Saqila masih di telepon.
"Iwan sakit, tadi dia pingsan," sahut Dina, perasaannya masih berkecamuk.
"Hah! Iwan sakit? Ya sudah, sekarang Qila ke sana."

Mendengar Iwan sakit, Saqila segera pamit pada Bu Dewi dan meminta ibunya itu menjaga warung Saqila yang sedang ramai dikunjungi pembeli. Saqila naik ojek menuju ke rumah sakit.

Sampainya di sana, Saqila melihat Dina yang sedang duduk memeluk Aira, setelah menemui Dina sebentar, Saqila masuk ke ruangan Iwan. Di samping Iwan, Bu Laras duduk menunggu, air mata Bu Laras seperti tak mau kering.

"Bu, kenapa nggak telepon Qila kalau Iwan masuk rumah sakit?"

Saqila mengusap lembut punggung Bu Laras lalu menyalami tangan calon mertuanya itu. Bu Laras tersenyum getir, tak menjawab pertanyaan Saqila, hanya mengusap-ngusap punggung tangan Saqila, hatinya perih.
Saqila duduk di ranjang tempat Iwan di rawat, Iwan menangis memeluk  Saqila yang duduk di sampingnya.

"Sakit apa, Wan? Kenapa nggak bilang aku," ucap Saqila yang  masih dipeluk Iwan.

Ruangan itu hening, tak ada yang menyahuti pertanyaan Saqila, semua membisu menyembunyikan rasa yang tak seharusnya di ketahuai Saqila.
Iwan memeluk Saqila semakin erat, apa Saqila masih akan mencintainya jika kelak Saqila tahu kejadian itu? Apa Saqila akan tetap ada di sampingnya? Apa Saqila mau melanjutkan untuk menikah dengan nya? Lalu apa yang harus dia lakukakn pada Dina? Pertanyaan itu bermain-main dipikiran Iwan.
Dia sangat takut menghadapi kenyataan. Dia takut harus kehilangan Saqila.

==========

Setelah Iwan pulang dari rumah sakit, Saqila sering mampir sepulangnya dari pasar ke rumah Bu Laras untuk menjenguk Iwan. Dia merasa bersalah selama ini terlalu sibuk tanpa mempedulikan Iwan.
Belakangan ini, Iwan sikapnya agak berbeda dari biasanya, tak se ceria dulu. Biasanya Iwan senang bergurau dan mengusik Saqila, kini Iwan lebih banyak diam. Saqila sering bertanya mungkin Iwan sedang ada masalah, tapi Iwan selalu menyembunyikan nya.

"Nggak ada apa-apa, koq." Hanya itu jawaban Iwan setiap kali Saqila bertanya.

Begitupun di rumahnya, sikap Dina juga ikut tak biasa, Dina selalu menghindar dan tak mau berhadapan terlalu lama dengan Saqila. Segala pertanyaan dan kecurigaan coba Saqila tepis. Dia tetap optimis menjalani kesehariannya seperti biasa.
Sementara Dina sudah mulai diliputi rasa takut dan rasa bersalah, dia lebih takut lagi dengan kemungkinan yang bisa saja tejadi nanti. Ya, bisa saja dia hamil. Sebelum itu terjadi, Dina harus memberanikan diri untuk jujur pada Saqila.

Malam itu Saqila dan ibunya baru selesai menutup warung, mereka masuk ke rumah untuk istirahat. Bu Dewi merebahkan diri di kursi ruang tamu; Saqila ke dapur membuatkan teh hangat untuk ibunya.
Dina masih mondar mandir di kamarnya, menimbang-nimbang keputusan yang harus dia lakukan, beberapa kali dia menggigit kuku jarinya, masih ragu dengan keputusan yang akan diambilnya. Akhirnya dia siap dengan keputusan nya dan siap menerima amarah dari ibunya dan Saqila.
Dengan melepas nafas berat, Dina menuju ke ruang tamu, di sana ibunya masih bersembang dengan Saqila.
Dina duduk bersimpuh di lantai memegang kaki Saqila. Bu Dewi dan Saqila ke heranan melihat tingkah Dina.

"Kenapa, Kak?" tanya Saqila memegang tangan Dina dan memintanya untuk duduk di sampingnya.

Dina malah menangis meraung-raung memeluk kaki Saqila.

"Maafkan aku, Saqila. Aku sudah melakukan kesalahan sama kamu, aku khilaf , maafkan aku."
"Maksud kakak apa?" tanya Saqila yang tak mengerti maksud kakaknya.

Dina dengan terisak menceritakan kejadian dengan Iwan waktu itu, dia terus memegang kaki Saqila dan berkali-kali meminta maaf.
Seperti suara petir datang menyambar, darah di tubuh Saqila bergejolak. Entah dia sedang bermimpi atau tidak, perih mendengar cerita Dina, hatinya panas, amarahnya meluap.
Bu Dewi yang juga mendengar perkataan Dina ikut menahan geram, dengan marah Bu Dewi menampar Dina. Dia memekik memaki Dina yang tersungkur terkena tamparan nya.

"Apa kamu sudah gila, Dina? Kenapa kamu melakukan ini pada adikmu sendiri, hah? Kurang apa Saqila padamu, segalanya dia lakukan untuk membantumu, tapi balasan ini yang kamu berikan padanya, hah?" Maki Bu Dewi pada Dina, tubuh Dina yang masih tersungkur diguncang-guncang oleh Bu Dewi.

Saqila hanya mematung, hatinya hancur. Bagaimana mingkin kedua orang yang dia percaya yang dia sayangi tega menghianati kepercayaan nya.

"Aku nggak sengaja, Qila. Waktu mau jemput Aira, aku numpang mandi di rumah Bu Laras, biasa juga aku mandi kalau sudah pulang dari pasar, tapi karena Aira nggak mau diajak pulang dan dia malah ikut kepeternakan. Sementara badanku sudah terasa lengket, selesai mandi aku ganti baju di kamar Iwan, itu juga perintah Bu Laras karena di rumahnya nggak ada orang, semua di peternakan. Iwan tiba-tiba masuk, dia menuju ke arahku dan memeluku, tubuhnya terus menyeretku ketempat tidur, aku tak bisa mengelak, Qila" jelas Dina mengulang ceritanya, tangisnya pecah, kaki Saqila tak dilepaskannya.

"Iwan memintaku menyembunyikan ini darimu, tapi aku takut kalau nanti aku hamil, kamu akan lebih sakit lagi, Saqila," lanjut Dina.

Tak ada yang bisa Saqila ucapkan, dia hanya menangis menutup mulutnya. Pantas saja sikap Iwan terasa lain tiap kali bertemu dengannya, ternyata ini alasannya.
Saqila berlari masuk ke kamar nya dan mengunci diri, dia membiarkan ibunya memaki Dina. Kali ini dia benar-benar kalut, entah keputusan apa yang harus dia buat untuk menyelesaikan masalah ini. Di satu sisi Saqila menyayangi Iwan, di sisi lain Dina adalah kakaknya, salah satu dari mereka harus berkorban.

Hingga menjelang subuh,  Saqila tak dapat memejamkan matanya, dia ingin segera bertemu Iwan.  Saqila ingin tahu dari keduanya, bukan hanya dari pernyataan sepihak. Sampai adzan subuh terdengar, matanya tetap terbuka, hilang sudah rasa ngantuknya.
Dengan keadaan keluarga mereka yang sedang di landa masalah, Bu Dewi memutuskan untuk tak berdagang hari ini.
Dia tidur cukup larut, karena  memarahi Dina semalaman.
***

Matahari pagi sudah mulai bersinar, gelap malam berganti terang. Saqila berdoa semoga hidupnya seperti ini, gelapnya hidup berganti bahagia.
Saqila keluar dari kamarnya dengan wajah kusut, dia melangkah pergi menuju rumah Bu Laras. Dia ingin segera tahu penjelasan yang akan diberikan Iwan.

Di rumah bu laras, Pak Wardi dan Iwan sedang besiap untuk pergi ke peternakan. Sakila langsung masuk menghampiri  mereka.

"Aku minta penjelasan tentang kejadian yang kamu lakukan dengan kakaku," tutur Saqila tanpa basa-basi.

Pak Wardi yang tahu dengan kejadian itu tertegun dan memandang Bu Laras seolah meminta penjelasan.
Iwan terkejut bukan main, tenyata Dina berani memberitahu Saqila. Padahal dia sudah memohon agar hal ini dirahasiakan dulu sampai Iwan menemukan jalan keluar.

"Dengar dulu, Qila. Ini hanya kecelakaan, bukan disengaja kami lakukan," bela Iwan coba meredakan amarah Saqila.
"Beberapa hari yang lalu aku sakit, di peternakan Bapak memberiku obat, entah obat apa katanya untuk meredakan sakit kepala. Aku minum dua tablet sekaligus. Lalu aku pulang di antar Bapak. Ketika sampai di rumah pusingku mulai hilang tapi terasa sangat ngantuk," sambumg Iwan, dia menarik nafas sejenak.
"Aku masuk ke kamar ku, di sana ada perempuan yang hanya berkemban handuk. Aku melihat sosok itu adalah kamu, Qila. Laki-laki mana yang akan tahan melihat perempuan di kamarnya yang hanya menutup diri dengan sehelai handuk? Aku laki-laki normal Saqila, yang sudah sangat lama menginginkan dan merindukanmu. Aku senang melihatmu di sana dan aku langsung berhambur ke arah mu, kamu tak menolak setiap perlakuanku. Bahkan di saat aku mulai benar- benar akan tertidur karena tak tahan dengan rasa kantuk, aku masih merasa kamu mengambil alih permainan itu," jelas Iwan, sudah kadung ketahuaan terpaksa dia jelaskan juga pada Saqila.

Saqila menggeleng, ternyata Dina yang menginginkan semua itu, memanfaatkan kelemahan Iwan. Padahal bisa saja Dina menolak dan berontak, apalagi Dina tahu keadaan Iwan saat itu.

"Tapi kamu sadar kan, kalau itu bukan aku?" tanya Saqila tetap bersikukuh ingin tahu lebih banyak.
"Antara sadar dan nggak, Qila," lirih Iwan tak tahu lagi harus bagaimana membela diri. Dia cemas, hubungan mereka berada diujung tanduk.
"Untung saja kita belum menikah, Wan. Jika sudah, hatiku akan lebih hancur dari ini," ucap Saqila, kini tak ada lagi perlu dia ketahui, semua sudah jelas.

"Qila, aku mohon maafkan aku. Aku cinta kamu, Qila. Aku nggak mau pisah sama kamu, tolong pikirkan baik-baik, semua ini bukan keinginanku," pintanya merayu pada Saqila, dia menangis melihat kekasih hatinya itu bergeming.

Pak Wardi dan Bu Laras hanya diam mematung melihat perdebatan Saqila dan anaknya.

"Asal kamu tahu, Wan. Sekalipun yang di kamarmu waktu itu adalah aku, nggak mungkin aku diam saja membiarkanmu melakukan hal itu. Aku memang tak berpendidikan, aku tak dibesarkan dengan ilmu agama yang sempurna, karena dari kecil aku sibuk membantu ibuku kerja mencari nafkah untuk keluarga kami, tapi aku punya harga diri, aku bukan budak cinta yang akan tunduk pada nafsu laki-laki. Apalagi melakukan hal tersebut beralasankan cinta. Aku masih waras, cinta bisa berubah kapan saja." Saqila menghentikan ucapannya.

Bu Laras memeluk Saqila. Dia sangat mengerti, hati Saqula yang hancur akibat kesalahan anaknya.

"Maafkan Ibu, Qila. Ibu gagal menjaga hubungan kalian, Ibu minta maaf," sahut Bu Laras. Tatapannya nanar, tak sangka hubungan Saqila dengan anaknya harus berakhir begini.

"Ibu nggak salah, lagi pula itu memang kecelakaan yang dibalut sebuah hasrat yang sudah lama terpendam. Qila ngerti perasaan Kak Dina yang sudah lama merindukan sosok lelaki. Qila juga mengerti perasan Iwan, yang sudah lama menunggu pernikahan kami, Qila yang selalu mengulur waktu," lirih Saqila. Dia sudah ikhlas dengan semua yang terjadi, ternyata Iwan bukan yang terbaik untuknya.

"Sekarang, Qila minta sama Ibu, nikahkan Iwan dan Kak Dina. Jangan sampai nunggu Kak Dina hamil, kasihan Ibu kami jika harus menanggung malu," pinta Saqila pada Bu Laras. Dia berharap Bu Laras akan menerima Dina seperti Bu Laras menerimanya.

"Lalu bagaimana dengan  kamu, Qila?" Bu Laras menatap Saqila pahit, pasti Saqila menyimpan luka dengan keputusannya.
"Qila harus terima, Bu. Qila pasti kuat," sahutnya. Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya meluncur juga mengalir di pipinya.
"Aku nggak akan menikahi Dina, Saqila. Itu sama saja kamu menyiksaku," marah Iwan pada Saqila.
"Jika kamu lelaki, bertanggung jawablah atas segala perbuatan mu, disengaja ataupun tidak. Aku akan memaafkan," balasnya. Kini hatinya sudah lega mendengar penjelasan dari Iwan dan keluarganya.
"Bereskan surat-surat cerai kakakku dan suaminya, Kak Dina belum punya kekuatan secara hukum, cerainya hanya sebatas lisan saja, meskipun sudah sah menurut agama, jika suaminya tahu, bisa saja Erik  memanfaatkan hal ini demi uang. Aku mohon, Wan nikahi Kak Dina," ucap Saqila mengakhiri pembicaraan.

Saqila memeluk Bu Laras, dia memohon maaf atas perbuatan kakaknya, lalu Saqila pergi meninggalkan rumah Bu Laras.
Hatinya teramat sakit, dulu ketika dicerai Wahyu, rasanya tak sesakit ini. Apa  karena yang berkhianat ini adalah kakaknya sendiri, sakitnya terasa begitu hebat.
***

Mau tak mau, Bu Laras memaksa Iwan menikahi Dina, Iwan berkali-kali menolak. Dia tak mungkin meninggalkan Saqila, dia tak mencintai Dina. Pak Wardi yang selama ini diam, kini angkat bicara dan memaksa Iwan agar mau menikahi Dina.
Akhirnya Iwan mengalah, mengorbankan perasaannya untuk ke dua kali. Dia berpikir pernikahan nya  dengan Dina hanya sebagai syarat saja, suatu hari nanti dia berniat menceraikan Dina dan kembali merebut hati Saqila.

Tanggal pernikahan mereka sudah ditentukan, tapi sebelum itu mereka menggelar acara lamaran untuk menghidari gunjingan warga. Saqila yang tahu kakaknya akan di lamar, tak sanggup harus menyaksikan kebahagiaan mereka, lebih tepatnya kehancuran hati Saqila.

"Bu, Qila mau pergi ke rumah Kak Muaz aja ya, Qila nggak sanggup di sini," ucap Saqila pada ibunya.
"Muaz? Bukan nya Muaz tinggal di kota? Apa kamu tahu alamatnya?" tanya Bu Dewi, ketika mendengar permintaan saqila. Dia tahu hati anaknya itu pasti sakit jika harus menyaksikan acara sakral kekasihnya dengan kakaknya sendiri.

"Qila akan tanya sama ibunya Kak Muaz, Bu. Qila akan cari kerja di tempat Kak Muaz," sahut Saqila. Dia tahu ibunya sedih, belum lama mereka bersama kini mereka harus berpisah lagi.

"Ya sudah, Nak. Pergilah, maafkan Ibu yang tak bisa mendidik Dina kakakmu, maafkan Ibu yang tak bisa membahagiakan mu Qila," tutur bu Dewi, dia benar-benar sedih harus merelakan Saqila pergi.
"Ibu doakan, semoga nanti kamu dipertemukan dengan orang yang benar menyayangimu tanpa harus membuatmu menderita dan sakit hati, doa Ibu akan selalu bersama mu," sambung Bu Dewi, dadanya sebak melihat derita yang dirasakan anaknya.
"Terima kasih, Bu. Qila akan selalu tanya kabar, Ibu jangan khawatir," sahutnya.

Saqila mengemas baju yang akan dia bawa, tekadnya sudah bulat, dia akan menemui kakaknya, kakak se darah dari ayah kandungnya.

Dina merangkul Saqila, dia terus meminta maaf. Dina sangat menyesal  membuat Saqila tersiksa hatinya hingga tak mampu bertahan di rumah ini.

"Qila, sekali lagi aku minta maaf, kalau perlu aku akan batalkan pernikahan ku dengan Iwan, aku nggak mau hubungan kita terpecah begini. Kalau aku hamil, aku akan gugurkan dan kamu bisa menikah dengan Iwan," tutur dina memelas, dia tak mau berpisah dengan Saqila. Kini penyesalannya tak habis-habis.

"Ketika Kak Dina sudah melakukan satu dosa, maka jangan tambah lagi dengan dosa yang lain. Sekalipun Kak Dina nggak jadi menikah dengan Iwan, Qila nggak akan mau menikah dengan dia," sahut saqila. Bagaimana pun Dina tetap kakaknya, mereka lahir dari rahim yang sama.

"Jadilah istri yang baik buat Iwan dan jadi  menantu  yang baik di  keluarga Bu  Laras, semoga kalian bahagia," lanjut Saqila tersenyum getir.
***

Hari ini, Saqila akan pergi meninggalkan kampung  halamannya menjuju ke rumah ibunya Muaz, dulu Saqila pernah dibawa ke kampung ibunya Muaz dan dia masih ingat tempatnya.

Beberapa jam menempuh perjalanan, Saqila sampai  di kampung ibunya Muaz. Keadaaan kampung itu  sudah berubah, tapi Saqila masih ingat rumah ibunya Muaz jika masih belum pindah rumah.

Sampai di depan rumah yang di cari Saqila, dia segera mengetuk pintu rumah tersebut. Pemilik rumah keluar membuka pintu, tampak wanita sebaya dengan ibunya keluar.

"Cari siapa ya?" tanya wanita itu.
"Ini Qila, Bu. Mau cari Kak Muaz," jawab Saqila tak segan karena dia mengenal wanita yang ada dihadapan nya.
"Kamu Qila? Ya Alloh ... maaf Ibu sampai nggak kenal, masuk Nak," tutur wanita itu mengajaknya masuk.
Setelah di persilakan duduk ibunya Muaz lanjut bertanya. "Ibumu apa kabar?"
"Alhamdulillah, semua baik, Bu."

Tanpa panjang lebar, Saqila menanyakan alamat Muaz, ibunya Muaz langsung memberikan alamatnya.

"Kamu mau nyusul ke Jakarta?"
"Iya, Bu. Qila mau cari kerja di sana," jawab Saqila.
"Kenapa mencari kerja ke Jakarta, lalu suami dan anak mu bagaimana?" Tanyanya lagi.

Ibunya Muaz waktu itu menghadiri pernikahan Saqila, tentang anaknya Saqila pasti dia tahu dari kakaknya, Muaz.
Saqila menceritakan nasib pernikahan nya dan menceritakan tentang Nisa. Ibunya muaz tampak sedih mendengar kisah Saqila.
Ibunya Muaz menelpon anaknya, mengabarkan bahwa Saqila ada di rumahnya dan memberitahu kalau Saqila ingin ikut ke Jakarta. Dengan senang hati Muaz mengijinkan dan dia akan menunggu kedatangan Saqila.

"Besok saja berangkatnya, sekarang menginap saja dulu di rumah Ibu, di sini," tawar ibunya Muaz
" Nggak apa-apa, Bu. Qila langsung berangkat saja, lebih cepat lebih baik," sahut Saqila.

Saqila pun pamit, Ibunya Muaz menyalami Saqila dengan sebuah amplop, itu uang untuk ongkos untuk Saqila, biarpun Saqila menolak, ibunya Muaz tetap memaksa meminta Saqila menerimanya.
***

Bis jurusan Jakarta melaju membawa tubuh Saqila. Ini kali pertama Saqila akan menginjakkan kaki di ibu kota. Sepanjang perjalanan, pandangan nya terkagum melihat sekeliling kota dari dalam bis.
Dulu dia hanya melihat pemandangan kota dari layar televisi, kini dia benar-benar di sini menyaksikan sendiri berjajarnya gedung pencakar langit. Mulutnya menganga tanpa ia sadari saking kagumnya melihat keindahan kota.

Saqila sampai di tempat yang dijanjikan Muaz, dikabarinya kakaknya itu bahwa dia sudah sampai di alamat tersebut. Muaz memesankan Saqila ojek daring dan membawanya ke rumah Muaz.
Jalan ke rumah Muaz melewati gang sempit mirip perkampungan, tak lama Saqila sampai. Muaz dan istrinya Santi sudah menunggu di depan rumah.
Turun dari motor langsung saja Saqila berhambur memeluk kakaknya, tangis nya pecah.
Bukan hanya menagis bahagia bertemu kakaknya, Saqila menangis melepas kesedihan yang ia tinggalkan di kampung  halamannya. Saqila ingin melupakan masa lalunya dan memulai hidup baru di kota ini.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER