Santi istrinya Muaz,
hanya baru beberapa kali saja bertemu Saqila. Ketika Santi menikah, Saqila hadir diacara pesta pernikahan kakak iparnya itu, begitu juga sebaliknya, Santi dan Muaz hadir di acara pernikahan Saqila dulu.
Hanya itu saja pertemuan mereka, tapi kini mereka bertemu kembali hubungan mereka sudah layaknya adik dan kakak, tak canggung dan tak kikuk. Mengobrol bercanda ria seperti sudah lama berteman.
Saqila dibawa masuk ke rumah yang disewa Muaz, rumah yang tak begitu besar, dengan dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur sekaligus ruang makan dan kamar mandi. Cukup untuk tinggal keluarga Muaz dan Santi dengan dua anak mereka, Sella dan Mikha.
Tak banyak perabotan di rumah Muaz, di ruang tamu hanya ada meja televisi dan lemari untuk mainan anak-anaknya. Tak ada kursi, hanya ada karpet permaidani yang sudah kumal sebagai alas duduk.
"Nanti kamu tidur di kamar Sella dan Mikha aja ya."
Santi menunjukan kamar anaknya yang tak begitu luas. Satu kasur ukuran Qween size yang tak memakai sprai dibentang di atas lantai, mainan dan buku-buku berserakan.
"Iya Mbak San, Qila bisa tidur di mana aja," sahut Saqila, dia tak pernah mempermasalahkan tempat untuk tidur, sekalipun tidur di ruamg tamu, Saqila tak masalah.
Selanjutnya mereka bercengkarama melepas rindu, bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing selama mereka tak bertemu, menceritakan tentang masa kecil sebelum ayah mereka meninggal.
Muaz pun bertanya kabar Bu dewi dan adiknya Riyan. Muaz belum tahu kalau Dina sudah kemali kekampung halaman, semenjak Dina ke Kalimanatan, Muaz putus kontak dengan Dina.
"Nggak sangka ya Qila, rumah tangga kamu hanya bertahan tiga tahun dan harus ditinggal Nisa," ujar Santi turut berduka atas kehilangan anak Saqila.
"Sudah takdir Mbak San, Qila nggak bisa menolak, Qila ikhlas," jawab Saqila tersenyum.
"Sekarang kamu istirahat saja dulu agak lama di sini, tenangkan hati dan fikiran, jangan mikir cari kerja cepat-cepat, nanti kalau sudah ada kerjaan yang bagus, Mbak pasti kasih tahu kamu. Santai saja dulu, nggak mungkin kelaparan kok," tutur Santi terkekeh.
Tak Saqila ceritakan tentang Dina pada Muaz dan santi, hatinya masih seperti diiris-iris jika mengingat kejadian itu, apa lagi jika menyebut nama Dina. Untuk saat ini, Saqila ingin melupakan mereka sejenak.
Kedatangan Saqila di rumah Muaz begitu membantu, Santi bekerja sebagai asisten rumah tangga harian, jam kerjanya hanya setengah hari dikarenakan harus pulang lebih awal untuk mengurus anaknya yang pulang dari sekolah.
Namun kini, Santi bisa kerja sehari penuh, anak-anak Santi sudah dijaga Saqila. Mulai dari mengantar sekolah, menjaga mereka di rumah dan memasak makanan untuk mereka. Rumah kecil Santi selalu rapi dibersihkan Saqila, sikapnya yang ramah, rajin dan cekatan, membuat Santi menyayanginya dan menganggap Saqila layaknya adik sendiri.
"Mbak San, kapan Qila dicarikan kerja? Udah dua minggu Qila di sini, masa numpang terus? Makan tidur, makan tidur," ujar Saqila nyerocos ketika melihat kakak iparnya itu pulang dari tempat kerja.
"Kenapa? Bosan ya dirumah? Iya deh, nanti Mbak carikan kerja buat kamu, kira-kira kamu mau kerja apa?" tanya Santi.
"Apa aja, yang penting halal, Qila nggak punya ijazah, jadi nggak bisa pilih-pilih, kerja kayak Mbak Santi juga Qila mau," ucap Saqila semangat.
"Baiklah, nanti Mbak tanyakan ke majikan, mana tahu mereka ada teman yang butuh pekerja," jawab Santi. Saqila mengangguk dan bersiap kapan saja jika diperlukan.
"Asalamualaikum."
"Walaikum salam," sahut Saqila dan Santi.
Muaz pulang dari kantor, dia kerja sebagai supir pribadi. Biasanya dia pulang agak larut, harus mengantar bossnya ke berbagai tempat untuk bertemu kolega atau rapat di luar kota. Namun kali ini Muaz pulang lebih awal.
"Ayo silakan masuk, Pak." ajak Muaz pada tamunya.
Muaz menghampiri Santi dan Saqila berkumpul di ruang tamu.
"Qila, tolong bikin air untuk Pak Boss," pinta Muas pada adiknya.
Santi mengekori Saqila ke dapur, mengajarkan Saqila membuat minuman yang biasa dibuat untuk bossnya Muaz.
"Bikin teh sama kopi hitam, tapi nggak usah pake gula, Boss Kak Muas jarang minum minuman manis," ajar Santi pada Saqila.
"Itu siapa, Mbak?" tanya Saqila.
"Itu bos Kak Muaz, beliau sering mampir ke sini," jawab santi.
"Oh."
Saqila melenggang ke ruang tamu dan menyuguhkan minuman yang tadi di ajarkan Santi pada tamunya Muaz.
"Ini siapa Muaz?" tanya bossnya.
"Ini adik saya, Pak. Dia dari kampung baru dua minggu di sini, mau cari kerja katanya," jawab Muaz.
"Lho kamu punya adik? Tapi waktu itu kamu bilang kamu anak satu-satunya?"
"Iya, Pak. Anak satu-satunya dari ibu, Saqila ini beda ibu satu ayah," jelas Muaz pada bossnya.
"Oh begitu ... tapi kalian agak mirip lho,"
"Kenalkan Saqila, ini bossnya Kakak, namanya Pak Praja," kata Muas mengenalkan bossnya pada Saqila.
"Saya Saqila, Pak," ucap Saqila seraya mengangguk dan tersenyum.
"Kalau kamu mau cari kerja, nanti saya bantu carikan, istirahat saja dulu," kata Pak Praja yang mendengar Saqila baru datang dari kampung.
"Adik saya nggak punya ijazah, Pak. Jadi agak susah cari kerja yang layak, paling kerja biasa-biasa saja," jawab Muaz.
"Nggak apa-apa, asalkan tekun dan telaten, nggak punya ijazah juga banyak yang bisa sukses," Pak Praja memberi semangat.
Pak Praja selalu mampir ke rumah Muaz ketika sedang suntuk dan ada masalah pekerjaan atau jenuh berada di rumah. Kadang Muaz jadi tempatnya mencurahkan masalah yang sedang ia hadapai, Muaz cuma mengangguk saja ketika bossnya bercerita.
Muaz kurang mengerti jika Pak Praja bercerita tentang masalah pekerjaan dan bisnisnya, dia hanya sopir pribadi yang ikut saja kemana bossnya perintahkan.
"Itu bossnya Kak Muaz, Mbak? Koq tampilanya nggak mirip Boss?" tanya Saqila, baju yang dikenakan Pak Praja biasa saja tak seperti orang kaya kebanyakan yang selalu memakai pakaian formal.
"Dia itu sangat kaya raya tapi nggak sombong, pakaian nya memang terlihat sederhana, tapi harganya sangat wow. Kalau lagi suntuk di kantor atau ada masalah beliau sering datang ke sini, katanya ketika melihat orang-orang di luar, yang hidup nya lebih susah, beliau merasa malu, ternyata masalah yang beliau hadapi tak seberapa dibandingkan orang lain yang hidup serba pas-pasan dan harus bekerja keras untuk sekadar mendapat sesuap nasi. Beliau juga punya yayasan, panti asuhan anak yatim, kalau nggak ke sini, ya ... beliau berkunjung ke panti," jelas Santi panjang lebar.
Saqila kagum, ternyata masih ada orang berhati mulia seperti Pak Praja, yang Saqila tahu, orang kaya itu biasa membusungkan dadanya ketika bertemu orang miskin, pasti rumah Pak Praja pun nyaman dan besar, tapi beliau mau datang ke rumah kakaknya yang sempit dan duduk di lantai hanya beralaskan karpet lusuh.
"Mbak San, Qila kangen pengen makan seblak, kita bikin yuk? Tadi Qila ke pasar beli tulang ayam, Qila mau bikin seblak tulang," ajak sakila.
"Ayo, super pedas ya bikinya," pinta Santi.
"Oke."
Di kampung, saqila jualan seblak dan jajanan lain yang dia masak dadakan di warungnya, ketika di sini, dia merasa rindu dengan jajanan yang sering ia buat di kampung.
Bumbu-bumbu sudah Saqila rajang, semua bahan di cuci dan di masukan ke dalam wadah untuk di-blender. Tulang ayam dipotong sesuai selera dan di tambah bahan- bahan lain.
Tumis bumbu dengan banyak cabai menyeruak ke seluruh ruangan rumah Muaz yang sempit, Pak Praja yang sedang bercengkrama dengan Muaz sampai terbatuk-batuk dan bersin menghirup bau bumbu cabai yang super pedas.
"Nggak kebanyakan tu cabainya?" ucap santi sambil mengipas-ngipas hidung dengan tangan nya.
"Nggak apa-apa, paling nanti kita lomba masuk WC," jawab Saqila, mereka tertawa.
"Maaf, Pak. Itu adik sama istri saya memang suka pedas, kalau masak cabenya nggak kira-kira," kata Muaz pada Pak Praja yang melihat Bossnya itu bersin-bersin.
"Nggak apa-apa, masak apa memangnya?"
"Seblak tulang katanya," sahut Muaz.
"Wah... saya pernah dulu makan seblak, waktu itu anak panti yang bikinkan," ucap Pak Praja.
"Kalau Bapak mau, saya ambilkan," ujar Muas.
"Boleh, kita makan rame-rame di sini," ajak Pak Praja.
Tak lama seblak tulang buatan Saqila sudah jadi.
Muaz menghampiri Saqila dan Santi yang masih di dapur.
"Ini masak seblak apa masak cabe? nusuk banget di hidung baunya. Mmm tapi kayaknya enak," ujar Muaz.
"Ayo kita makan, Kak. Qila masak banyak kok."
"Itu Pak Praja tadi Kakak tawarin, dia mau coba seblak buatan kamu, kita makan rame-rame di depan," tutur Muaz
"Hah? Orang kaya mau makan tulang, Kak? Ini tulang lho, bukan daging," ujar Saqila kaget mendengar bossnya Muaz mau makan masakan nya.
"Iya, nggak apa-apa, bawa aja semua ke depan."
Saqila dan santi mengambil piring dan mangkuk yang layak, lalu berjalan ke ruang tamu dan menyuguhkan seblak yang di masak Saqila.
"Mmm...enak banget ini, keringat saya sampai keluar lho ini, saking pedasnya," kata Pak Praja.
Mereka tertawa, Pak Praja menyisir daging ayam yang hanya menempel sedikit di tulang ayam yang berbumbu pedas itu, rasanya yang nikmat dan pedas membuatnya rela mengunyah tulang ayam yang sebelumnya belum pernah ia makan.
"Saqila pinter masak ya? Ini enak banget lho... yakin," puji Pak Praja, sambil masih berjibaku dengan tulang ayamnya.
"Qila jualan jajanan pasar dan masakan di kampungnya, jual jajanan seperti ini juga," turur Muaz.
"Wah, sudah lama saya nggak coba jajanan tradisional, kangen sama klepon, sama adas maniz, dan onde-onde," ucap Pak Praja.
"Nanti kalau saya pesen jajanan tradisionalnya, bisa nggak Saqila buatkan?" sambumg Pak Praja mananyai Saqila.
"Bisa pak," jawab sakila senang.
***
Kebersamaan dan canda tawa di rumah Muaz, membuat Pak Praja terkesan, moment yang sangat langka yang jarang ia jumpai di rumahnya kini. Hanya sekadar menikmati tulang ayam, tapi dapat membuatnya merindukan kebahagiaan dan canda tawa di masa lalunya ketika beliau masih berkumpul dengan orang tua di kampung.
Pak Praja lahir di kampung, dari keluarga yang sederhana. Kegigihan dan kecerdasan nya, membuat beliau mampu mencapai pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Lalu beliau hijrah ke ibu kota memulai dan mencari peluang usaha.
Di tengah-tengah perjuangannya, beliau dipertemukan dengan seorang wanita cantik dan kaya, yang hingga kini menjadi istrinya dan selalu mendukung setiap usahanya.
Meskipun begitu, Pak Praja berjuang dengan usahanya sendiri tanpa mengemis bantuan dari keluarga istrinya, hingga dia menjadi orang yang sukses dan kaya raya. Memiliki perusahaan dengan nama besar dan pemegang saham tertinggi di perusahaanya, hal itu membuatnya sangat mudah memberi kemewahan untuk istrinya dan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.
Hidup yang bergelimang harta, tak membuatnya sombong dan angkuh, sadar bahwa dirinya dulu terlahir dari orang tua yang kurang mampu, membuatnya menjalani kehidupan sederhana dan selalu membantu orang lain yang lebih membutuhkan. Beliau tak pernah membedakan harkat dan derajat, baginya semua manusia punya posisi yang sama di Mata Allah.
Dari pernikahanya dengan Bu Wening istrinya, Pak Praja dikaruniai empat orang anak, si sulung dan si bungsu laki-laki, serta dua anaknya perempuan.
Masa muda Pak Praja dihabiskan untuk bekerja keras ingin mencapai kesuksesan, membuatnya sibuk dan jarang berkumpul dengan anak dan istrinya.
Kedua anak perempuannya kini sudah menikah dan diboyong oleh suaminya, mereka tinggal beda kota dengan Pak Praja, membuat mereka jarang bertemu disebabkan kesibukan masing-masing. Mereka bertemu hanya di hujung minggu, itupun jika anak-anaknya sedang tak terlalu sibuk dengan urusan mereka.
Anak bungsu Pak Praja masih kuliah di luar negri, bahkan sempat berencana tak akan pulang ke tanah air sebelum bergelar 'Master'.
Hanya tiga orang dari keluarganya yang tinggal di rumah besar miliknya, istrinya dan si sulung serta asisten rumah tangga dan sopir pribadi anak sulungnya.
Di usianya yang mulai menua, beliau sangat ingin istirahat dari pekerjaannya dan menemani istri tercinta menikmati hari tua. Namun beliau harus tetap bekerja karena tak ada yang ingin meneruskan jejak beliau. Semua anak beliau memilih bekerja dengan profesinya masing-masing, tanpa ikut serta di bidang yang digeluti Pak Praja.
Harapanya tertumpu pada anak sulungnya, tapi kini beliaulah yang menjadi penguat untuk anak sulungnya itu, mengingat keadaan anaknya kini, tak ada yang bisa di harapkan dari anak sulungnya itu. Beliau harus tetap berusaha tegar dan menjadi penguat untuk anak sulung dan istrinya.
***
Di rumah Muaz sudah sepi, se isi rumah sudah lelap di kamar masing-masing. Hanya Saqila yang masih membuka matanya, di ibu kota cuaca sangat panas, meskipun kipas angin berputar siang dan malam, tetap saja sulit untuk Saqila tidur dengan lelap.
Di sampingnya, Sella anak sulung Muaz yang berusia delapan tahun sedang tidur pulas, sementara Mikha tidur dengan Santi dan Muaz karena usianya masih lima tahun, belum mau tidur terpisah dari ibunya.
Diusapnya rambut gadis kecil itu, mata Saqila berembun mengingat Nisa. Saqila ikhlas, Allah lebih sayang pada Nisa melebihi kasih sayangnya.
Saqila merentangkan tubuhnya, matanya menerawang jauh menembus langit-langit, pikirannya berkeliaran ke masa lalu, mengingat perjalanan hidupnya bersama Wahyu, mengenang perjalanan kasihnya bersama Iwan yang kini sudah jauh ia tinggalkan.
Tring!
Gawainya berbunyi, Saqila meraih gawainya yang sengaja diletakan di lantai pinggir kasur, kasur tempatnya tidur tak menggunakan ranjang, hanya digelar begitu saja di atas lantai.
[Qila, kamu di mana? Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Pulanglah Saqila, aku nggak bisa hidup tanpa kamu.] Diiringi emoticon berderai air mata.
Deg deg deg!
Jantung Saqila berdegup kencang membaca pesan itu, pesan dari orang yang dulu pernah ia kagumi, yang dari dulu ia cintai diam-diam. Hingga saat ini, Saqila masih sangat mencintainya, tapi harus Saqila lepaskan, ia harus lupakan.
Air matanya mengalir deras, hancur kembali hatinya mengingat kejadian itu. Terkoyak jiwanya, sangat sulit ia terima sebuah kenyataan yang diam-diam menyiksa batinya.
Tanpa Saqila balas pesan dari Iwan, diblokirnya nomor mantan kekasih hatinya, lalu menghapusnya dari barisan kontak.
Saqila akan berusaha memblokir cintanya untuk Iwan dan menghapus Iwan dari hatinya, biarlah Iwan hanya menjadi masa lalunya yang kelam.
==========
Setiap santi pulang dari tempat kerja, selalu ditanyai Saqila tentang pekerjaan untuknya.
"Gimana Mbak San, ada belum kerjaan buat Qila?" tanya Saqila, dia menatap Santi seperti anak kecil yang menunggu dikasih uang jajan.
"Belum ada, Mbak udah tanyain, kalau ada pasti Mbak kasih tau," jawab Santi yang masih lelah.
Jawaban Santi membuat senyum Saqila melorot, semangatnya mulai luntur, ternyata mencari kerja di ibu kota tak semudah yang ia bayangkan.
"Satu bulan yang lalu, majikan Mbak yang dulu ada nelpon, nawarin kerja lagi di tempatnya, tapi Mbak udah kerja yang lain, orangnya baiiiiik benget. Cuman itu kerjanya di laundry, harus sehari penuh, Mbak nggak bisa, harus ngurus anak-anak di rumah, kira-kira kamu minat nggak?" tanya Santi serius.
"Laundry? Yang kerjanya cuci-cuci gitu ya? Mm boleh deh, Qila coba dulu, daripada nganggur, malu nyusahin Mbak San dan Kak Muaz terus," sungut saqila, dia juga mulai bosan hanya duduk-duduk di rumah, Saqila sudah biasa bekerja.
"Nyusahin apa, justru Mbak senang ada kamu, bisa kerja sehari penuh nambah penghasilan. Kalau kamu mau, Mbak telpon dulu yang punya laundry, mana tau masih belum dapat pekerja lain," tutur Santi.
Saqila angguk.
Santi mengambil gawainya di dalam tas yang masih ia kaitkan di pundaknya, belum sempat istirahat, Saqila sudah tak sabar bertanya tentang pekerjaan.
Dicarinya nomor majikan nya yang dulu, hampir satu tahun santi kerja di laundry tersebut. Namun terpaksa berhenti karena Sella harus masuk sekolah dasar dan Mikha harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, Santi hanya bisa bekerja setengah hari saja, sebelum Santi pulang, anak-anaknya menunggu di rumah tetangganya.
Majikanya itu seorang Etnis Tionghoa, berkebangsaan Malaysia, dia tinggal di negara ini semenjak suaminya sakit hingga meninggal dunia. Dulu mereka tinggal di negri jiran, kini beliau sudah menjadi warga tetap di Indonesia, melanjutkan bisnis suamimya dan membuka laundry di pinggir rumahnya.
"Halo... assalamuaikum, Mam. Ini saya santi."
"Waalaikum salam, iya San, ada apa?"
"Mam, gimana tawaran kerja di laundry yang sebulan lalu Mam tawarkan itu masih ada kah?" tanya Santi tanpa basa-basi.
"Masih San, kamu mau kerja lagi?"
"Bukan saya Mam, Adik saya yang baru datang dari kampung," jawab Santi.
"Boleh ... boleh, bawa saja besok ke sini, bisa perkenalan dulu," jawab majikannya.
"Iya Mam, besok kami ke sana."
"Terima kasih Santi," ucap majikannya.
"Sama-sama, Mam."
Obrolan di akhiri dengan ucapan salam.
"Katanya orang Cina, tapi kok ucap salam?" tanya saqila heran.
"Dia dan almarhum suaminya mualaf, sudah sejak jaman kuliah di Malaysia dulu mereka berdua masuk islam, namanya Madam Sarah Lee, sebut aja Mam (mem)," jelas Santi.
"Oh begitu," sahut Saqila sambil manggut-manggut.
"Besok kita ke sana, jadi mulai besok Mbak kerja setengah hari lagi deh," ucapnya, nada suara Santi agak sedikit kecewa melepas Saqila.
"Biasa Madam Lee pulang ke rumahnya dulu kalau jam istirahat kantor, orang nya baik, kamu nggak usah khawatir," lanjut Santi.
Saqila mengangguk, senyum di bibirnya mulai tersungging, ia senang akan segera dapat pekerjaan. Hingga malam, Saqila membayangkan akan seperti apa pekerjaannya nanti, ia sudah tak sabar menunggu besok.
***
Siang hari setelah Santi pulang kerja, mereka berangkat ke rumah Madam Lee, anak-anak santi di titipkan sementara di rumah tetangga.
Santi dan Saqila naik bis ibu kota, tempatnya lumayan jauh dari rumah Santi. Setelah turun dari bis mereka harus berjalan masuk ke perumahan melewati pos security untuk pemeriksaan.
Sesampainya di rumah Madam Lee, Santi menekan bell, tak lama keluar seorang perempuan berbadan mungil, dengan balutan gamis dan hijab senada. Madam Lee menghampiri Santi dan Saqila, lalu membukakan pintu gerbang dan mempersilakan mereka berdua masuk.
"Apa kabar, San?" sambut Madam Lee seraya tersenyum ramah.
"Alhamdulillah baik, Mam," jawab santi sambil menyodorkan kedua tangan untuk bersalaman.
Disusul Saqila ikut menyodorkan tangan. Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu, sementara Madam Lee berjalan ke dapur untuk membuatkan tamu nya minuman.
Pandangan Saqila menyapu seluruh ruangan rumah Madam Lee, bagi Saqila rumah ini cukup besar dibandingkan rumah-rumah di kampungnya. Rumah Madam Lee tak terlalu banyak perabotan ataupun hiasan dinding, hanya ada beberapa foto keluarga yang digantung di sana.
"Silakan diminum," tawar Madam Lee.
Saqila dan Santi mengangguk dan berterima kasih.
"Di sini mulai kerja pagi- pagi, jam tujuh laundry sudah harus buka, bisa pilih waktu kerja, mau pulang jam empat sore atau jam delapan malam, tentu gajinya pun berbeda. untuk libur, satu minggu sekali, pilih hari yang berbeda dari pekerja yang lain, asal jangan sabtu dan minggu," tutur madam Lee menjelaskan panjang lebar.
Madam lee mengajak saqila ke laundry untuk melihat- lihat, letaknya masih berdekatan dengan rumah Madam Lee, hanya berbeda bangunan tapi masih dalam satu pagar yang sama.
Di sana sudah ada tiga pekerja dan dan satu khusus untuk kasir yang masih saudara suami Madam Lee. Segala urusan laundry akan di urus oleh saudaranya, pekerja menyebutnya Aunty Ann.
"Gimana Saqila, berminat?" tanya Santi pada Saqila yang sedari tadi memerhati penjelasan Aunty Ann tentang pekerjaan yang akan Saqila kerjakan.
"Iya boleh, Qila mau," jawabnya.
"Baiklah, besok sudah bisa mulai kerja, mau pulang pergi silakan, mau menginap di mess yang sudah disediakan, silakan," ujar Madam Lee menjelaskan.
Saqila lebih memilih menetap di tempat kerja, daripada bolak balik, pasti dia lelah, ia juga memilih bekerja hingga jam delapan malam, agar gaji yang ia dapat cukup besar dan memilih hari kamis untuk hari liburnya satu minggu sekali.
Setelah semua sepakat, Santi dan Saqila pamit pulang dari rumah Madam Lee. Sampainya di rumah, Saqila saqila mengemas pakaianya dan memasukanya ke dalam koper, besok dia harus mulai bekerja.
Tadinya Muaz akan mencarikan nya kerja lewat Pak Praja, tapi Saqila sudah memilih kerja di laundry, Muaz mendukung saja yang penting Saqila suka dengan pekerjaannya.
***
Di minggu pertama Saqila kerja di laundry, cukup melelahkan dan masih belajar memahami cara kerja. Lama-kelamaan Saqila terbiasa juga dan setiap hari kamis, Saqila pulang ke rumah Muaz untuk berkumpul.
Saqila yang cepat tanggap dan tak malu untuk bertanya, membuatnya di sukai oleh teman-teman seperjuangan. Bahkan tak mudah bersedih jika ditegur tentang kesalahan dalam pekerjaannya.
"Qila, nanti bakal giliran kamu bikin sarapan untuk anak Madam Lee," ujar Windi teman seperjuangan nya, mereka selalu mengobrol sebelum menjelang todur.
"Sarapan? Maksudnya?" tanya Saqila.
"Nanti juga tahu, lumayan lah tambah-tambah uang jajan," ucap Yeni menimpali.
Pagi-pagi sebelum madam Lee berangkat kerja, dia selalu meminta pekerja laundrya untuk membuatkan sarapan. Kali ini giliran Saqila harus belajar, Saqila diminta untuk ikut ke rumahnya Madam Lee.
"Tiap hari, Saya harus berangkat kerja pagi sekali, jadi ... sudah biasa sebelum buka laundry, saya minta salah satu dari kalian buatkan sarapan untuk anak saya, dia kerjanya dari rumah, saya nggak sempat bikin sarapan."
"Yang masak tiap hari giliran, jangan khwatir, ini gajinya lain lagi," tutur Madam Lee menjelaskan pada Saqila.
Saqila mengganguk faham, pantas saja tiap hari salah satu dari temannya selalu ada yang keluar lebih pagi sebelum buka laundry. Ternyata ini alasannya. Pikir Saqila.
Saqila mengekori Madam Lee masuk ke rumah dan berjalan menuju dapur.
"Di sini sudah ada semua menu untuk tiap hari sarapan dan menu untuk makan siang, kamu tinggal lihat aja harinya, lalu cari bahanya, semua sudah ada di dapur ini," ujar Madam Lee menunjukan buku menu yang sudah di susun majikannya itu.
"Nanti untuk makan siang, saya selalu pulang untuk masak, kamu bantu saya," sambung Madam Lee.
"Saya selalu masak di rumah, nggak pernah beli masakan di luar." Madam Lee melanjutkan.
"Kalau sudah mengerti, saya berangkat dulu, sesudah buatkan sarapan, kamu bisa langsung ke laundy," sambung Madam Lee.
Setelah Madam Lee berangkat, Saqila mulai melihat buku menu dan mengumpulkan bahan yang akan dia masak pagi ini, di buku itu juga ditulis cara-cara memasaknya. Ketika Saqila sedang sibuk membuat sarapan, seseorang menghampirinya.
"Hai, morning."
Saqila menoleh ke arah suara, seorang laki-laki bermata sipit dan berkaca mata, kulitnya putih, hidung agak sedikit mancung menghampirinya, saqila tak tahu siapa dia.
"You anak baru, ya?"
Saqila mengangguk. Biarpun agak sedikit aneh dengan gaya bicara lelaki ini.
"Saya Daniel, anak Madam Lee, kalau nanti sarapannya sudah selesai, you simpan di meja makan," pinta Daniel sambil tersenyum. Dia mengambil gelas yang ada di laci kitchen set dan berlalu pergi. Saqila hanya mengangguk tak sempat bicara apapun.
Daniel kembali ke dapur. "Nama you siapa?"
"Saqila," jawab Saqila singkat sambil menganggukan kepalanya.
"Oh, ok."
Setelah sarapan selesai, Saqila menatanya di meja makan, lalu dia beranjak untuk kembali ke laundry.
Jam sebelas siang Madam Lee pulang untuk makan siang, sesuai arahan, Saqila sudah ada di dapur untuk menyiapkan bahan yang tertulis di buku menu.
"Wah sudah ada Saqila ternyata, sudah siap untuk masak?"
"Iya sudah."
"Kamu tahu kita masak apa hari ini?"
Saqila membaca buku menu. "Ikan kembung, masak lemak cili api."
Tadi waktu Saqila menyiapkan bahan-bahan, saqila bertanya-tanya apa yang akan dia masak itu, nama masakannya sangat asing, mungkin masakn Cina, pikirnya.
"Ini masakan favorit anak saya, Daniel. Masak lemak cili api itu masakan has Melayu. Lemak itu masak menggunakan santan, cili api itu cabe rawit," jelas Madam Lee. Tangannya mulai memotong bumbu yang akan ia haluskan.
Oh ternyata masakan has Malaysia, saqila angguk mengerti. Madam Lee sangat ramah, selama proses memasak ia mengajak Saqila bicara dan bercerita, hingga tak terasa masakan mereka sudah siap.
Madam Lee menata masakannya di meja makan.
"Saqila! Ambilkan sudu, pinggan dan mangkuk," perintah Madam Lee dari ruang makan. Madam Lee melenggang untuk memanggil anaknya yang berada di ruang kerja.
Hah, sudu? Pinggan? Apa itu? Kalu manguk dia tahu.
Daniel keluar dari ruang kerja yang ada di rumahnya, sesaat setelah dipanggil oleh ibunya, ia menuju ke dapur untuk mencuci tangan. Melihat Saqila seperti sedang kebingungan.
"What wrong?" tanya Daniel sambil memutar kran air dan mengosok tangannya menggunakan sabun.
Saqila hanya bengong tak mengerti yang diucapkan anak majikan nya itu.
"Ada apa?" tanya Daniel ulang, melihat expresi Saqila, ia tahu kalau Saqila tak mengerti ucapannya tadi.
"Mam suruh ambil sudu dan pinggan, apa itu?" tanya Saqila, wajah nya polos mengharap jawaban Daniel.
Daniel tertawa.
"MyMom memang begitu, bahasanya masih suka campur-campur, sudu itu sendok, pinggan itu piring," jawab Daniel.
"Oooooh."
Bibir Saqila membulat, Daniel kembali tersenyum melihat mimik muka Saqila.
"Cute sekali you, you umur berapa tahun? tanya Daniel.
"Dua puluh empat tahun," jawab Saqila.
"What? Are you serious?"
Saqila lagi-lagi ternganga mendengar kata yang diucapkan Daniel, sama sekali tak dimengerti olehnya.
"Mungkin karen postur tubuh you mini, jadi mirip gadis usia delapan belas tahun," sambung Daniel sambil tersenyum, ia berlalu meninggalkan Saqila yang masih bengong.
***
Saqila kembali ke tempatnya bekerja, Madam Lee membungkuskan masakan yang sengaja di masak berlebih untuk pekerjanya, nasi sudah Saqila masak di mess. Saqila dan teman-temanya pergi ke mess untuk istirahat makan siang.
"Saqila, tadi ketemu Oppa Korea nggak di dalam," seloroh Windi.
"Oppa korea? Apaan itu?" sahut Saqila.
"Udik banget ni anak, Oppa itu sebutan untuk abang-abang Korea, kalau di kita mah, disebut nya Mas atau Aa, gitu...." jelas Windi.
"Lho, bukannya orang Cina? Kenapa jadi Korea?" tanya Saqila heran.
"Iya...Itu neneknya orang cina, kakeknya orang Korea, jadi ... wajahnya itu mirip-mirip Oppa Lee Min Ho," timpal Yeni.
"Tau ah ... nggak ngerti," sahut saqila.
Mereka tertawa lucu.
"Kamu itu dari dunia belahan mana Saqila, sampai Oppa Korea aja nggak ngerti," ucap Liya yang masih menertawakan Saqila.
Saqila tak menghiraukan ledekan mereka, ia menyuapkan nasi ke mulutnya, mencoba menu masakan baru yang dibuatnya tadi. Setelah di rasa-rasa.
"Mm... lumayan enak," gumamnya.
"Nah, nanti kamu bakalan masak menu lain lagi, mungkin saja makanan yang belum pernah kamu makan sebelumya," ujar Liya.
Mereka melanjutkan makan, sambil cekikikan sesekali menertawakan tingkah Saqila.
Ternyata ... bahagia itu tak hanya didapat dari pasangan saja, Saqila bisa rasakan kebahagiaan dari canda tawa bersama teman-temannya dan dari orang-orang baik di sekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel