Cerita Bersambung
Tiga bulan sudah Saqila bekerja di laundry milik Madam Lee. Selama bekerja di sana, Saqila tiap hari ditugaskan untuk masak di rumah majikannya itu.
Tentu hal itu menuai kecemburuan teman-temannya, Saqila dianggap mematikan rezeki mereka.
Akhirnya Madam Lee turun tangan menjelaskan pada teman-temanya, hal itu bukan hanya keinginannya tapi atas permintaan Daniel juga.
Teman-temannya pun kembali bersikap seperti biasa, mungkin itu sudah menjadi rezeki Saqila, mereka ikhlas.
Madam Lee sangat suka memasak ditemani Saqila, rasa masakan menjadi begitu nikmat ketika diolah oleh perempuan berbadan mungil itu.
Padahal, menunya sama saja dengan yang tertera di buku menu. Bukan hanya masakannya saja yang enak, tapi Saqila juga bisa menjadi pendengar yang baik untuk setiap cerita Madam Lee yang selalu diselipkan nasehat dan dakwah.
Madam Lee ingin mencurahkan pengetahuannya dan pemahamannya tentang Islam pada orang lain, tentu itu bukanlah hal yang mudah, karena beliau bukan seorang Ustazah dan merasa masih minim ilmu agamanya.
Saqila pun turut senang mendengar setiap wejangan tentang agama yang dituturkan majikannya, selama ini dia tak tau banyak tentang agamanya sendiri. Jadilah mereka berdua pasangn duet yang cocok, yang satu ingin berbagi ilmu dan seorang lagi ingin menerima ilmu.
"Menurut kamu, apa tujuan sebuah rumah rangga?" tanya Madam Lee pada Saqila yang sedang mencuci udang untuk mereka masak hari ini.
"Mm ... untuk bahagia dan dibahagiakan, dapat menikah dengan orang yang mencintai serta punya keturunan untuk penerus masa depan," jawab Saqila, sebenarnya dia sendiri tak tahu dulu tujuannya menikah dengan Wahyu itu apa, dia sama sekali tak mencintai Wahyu. Rumah tangganya terjadi tak sesuai harapan.
"Pernikahan adalah ibadah terlama dan terpanjang, bukan mudah untuk menjalaninya. Mencari pasangan bukan hanya yang saling cinta, tapi juga harus punya tujuan yang sama. Namun, jika ternyata jodoh kita tak seirama dengan harapan kita, bukan berarti kita harus bercerai. Rumah tangga adalah perjuangan untuk mendapat ridho dan kasih sayang Alloh.
Entah itu dari pasangan yang saling mencintai atau pun dijodohkan, ketika sudah terjadi akad, disitulah perjuangan dimulai.
Mana mungkin sesuatu yang terkandung banyak pahala didalamnya, tak ada ujian sama sekali. Justru ... disanalah paling banyak ujiannya," tutur Madam Lee, tangannya lincah mengupas dan memotong sayuran.
"Ujian yang paling sering dijumpai dalam rumah tangga adalah hal materi. Banyak rumah tangga kacau dan porak-poranda gara-gara hal ini.
Ujian lain juga biasanya datang dari pasangan masing-masing, kadang dari mertua dan ipar, masalah itu sangat sering kita temui di dunia nyata maupun di dunia fiksi," sambungnya lagi.
"Alloh memberikan kita akal untuk menyelesaikan setiap masalah dalam kehidupan, begitupun dengan masalah rumahtangga, karena itu adalah ujian-NYA. Alloh ingin melihat usaha kita, mampukah kita, kuatkah kita atau kita menyerah mencari jalan pintas, semua itu adalah pilihan yang pasti ada konsekwensinya."
Saqila masih memerhatikan dan setia mendengarkan setiap tutur yang di ucapkan majikannya, tangan mereka masih sibuk dengan bahan yang akan mereka masak.
"Begitupun saya, Saqila. Hidup saya tak semulus yang orang lain bayangkan. Saya sama-sama menjadi mualaf dengan suami yang kala itu masih menjadi pasangan kekasih. Kami berdua tertarik dengan Islam dan ingin menjelajahi lebih banyak tentang agama Alloh ini.
Setelah hidayah itu datang, dengan suka rela kami memeluk Islam, bukan tanpa tentangan tentunya. Bayangkan saja bagaimana reaksi keluarga kami mendengar hal ini, jelas mereka tak setuju melihat anak yang mereka cintai yang mereka besarkan tiba-tiba 'berkhianat'.
Ya ... bagi mereka ini suatu penghianatan, hal sama pun terjadi pada suami saya, dia diusir dan tak diakui anak oleh keluarganya.
Saya ikut di caci oleh kelurga suami, dianggap sebagai penghasut anak mereka."
Suara Madam Lee mulai bergetar, sebelumnya dia hanya bercerita kalau dia mualaf saja, tak pernah diceritakan pada siapapun tentang perjuangannya, tapi pada Saqila dia curahkan isi hatinya.
"Keluarga saya pun menolak habis-habisan, cacian hinaan bertubi-tubi mereka lemparkan. Hanya ayah yang mau menerima keputusan saya, itupun karena beliau seorang Atheis.
Beliau tak percaya adanya Tuhan, maka tak masalah bagi beliau jika anak dan istri menganut sebuah agama dan kepercayaaan. Baginya, agama hanya sebuah pegangan untuk mengontrol sifat baik dan buruk.
Beliau merasa bisa melakukan hal itu sekalipun tanpa memiliki agama. Saya dan suami memutuskan tinggal di Malaysia, setelah lahir Daniel, kami memutuskan berkunjung ke rumah keluarga suami di Indonesia, bagaimanapun keluarga tetaplah keluarga, sayangnya mereka tetap menolak kami.
Saya tetap membesarkan hati suami untuk selalu bersabar, bagaimanapun syurga anak tetap berada 'di kaki ibunya'.
Hingga bertahun-tahun kami diasingkan dari keluarga, bertanya kabar pun mereka tak ingin. Suatu hari, suami jatuh sakit, saya memilih membawanya pulang ke negara ini dan merawatnya hingga beliau meningalkan saya dan Daneil untuk selamanya.
Melihat perjuangan saya yang selau setia di samping suami hingga ajalnya, orang tuanya luluh juga, mereka menerima dan memeluk saya menjadi bagian dari kelurga mereka. Alhamdulillah hubungan kami baik hingga saat ini, perbedaan tak lagi menjadi masalah," tuturnya, binar kebahagian terpancar dari wajah Madam Lee
"Itulah, Saqila. Jika kita ditimpa ujian dalam rumah tangga, berjuanglah, pertahankanlah, minta pertolongan Alloh. Jangan lemah hanya kerena sipat mertua dan ipar, jangan goyah hanya karena materi.
Jangan jadikan perceraian sebagai kemudahan, perceraian hanya untuk pilihan akhir jika sudah tak ditemukan pilihan lain.
Sekalipun perceraian itu di halalkan, Allah tak menyukai hal itu. Tak akan mencium bau syurga bagi seorang wanita yang selalu meminta cerai tanpa dasar yang jelas.
Kita bisa minta cerai dengan sarat yang sudah ditentuka agama, misal : suami melakukan tindak kekerasan, itupun masih bisa kita tolelir jika hanya kekerasan ringan yang tujuannya mendidik, karena suami juga manusia tempat salah dan dosa. Sama-sama lah kita memperbaiki diri, tapi... kita tetap berhak menggugatnya jika tak terima dengan kedzolimanya.
Dua: ketika suami selingkuh atau ingin poligami, sekalipun poligami dihalalkan agama, kita sebagai istri diberikan hak, sama ada ingin menolak atau menerima, itu pilihan kita, tergantung keimanan kita.
Setau saya seperti itu, Saqila. Bersabarlah jika kita diuji dalam rumah tangga selain dari alasan-alasan yang sudah sisebutkan, setiap ujian ada hadiahnya, ada hikmahnya.
Rumah tangga saya juga bukan tanpa masalah, kami pernah bertengkar hebat gara-gara suami ketahuan selingkuh, apalagi dia seorang mualaf yang imanya masih goyah.
Hal itu tak lantas membuat saya menggugat cerai, saya juga pernah mengalami tindak kekerasan, disebabkan wanita selingkuhannya.
Yang membuat saya sabar dan brtahan adalah Daniel dan kesabaran saya akhirnya membuat suami sadar dan menyesali perbuatannya," pungkas madam Lee.
Dia menceritakan tentang pengalaman rumah tangganya, hingga kini Madam Lee lebih memilih untuk sendiri, meskipun wajahnya masih terlihat cantik. Diusianya yang sudah 53 tahun dia terlihat gesit, singset dan anggun,masih tampak seperti perempuan berusia tigapuluhan.
Saqila berdecak takjub mendengar penuturan majikanya, semakin bertambah kagum saja ia pada wanita cantik yang ada dihadapanya ini.
Kembali Saqila teringat pada rumah tangganya dengan Wahyu, apa Allah marah dengan tindakananya meminta cerai?
Apa dia termasuk wanita yang tak disukai Allah karena menuntut perceraian hanya dengan alasan mertua yang membencinya?
Kendati Wahyu sering berkata kasar, tapi sama sekali tak pernah melakukan kekerasan fisik, tak pula selingkuh dan masih menafkahainya lahir batin meskipun nafkahnya dibatasi ibu mertua.
Air mata Saqila luruh, hatinya bimbang, takut ketika keputusannya itu juga tak di sukai Alloh.
Tangisnya pecah, dia menyesal tak bisa bersabar, tak bisa mengajak Wahyu ke arah kebaikan, karena dia sendiripun fakir ilmu. Keputusannya hanya dari hatinya yang tak terima dengan perlakuan suami dan mertuanya.
Madam Lee mengusap lembut punggung Saqila, dia tak tahu apa yang terlintas dipikiran gadis ini hingga menangis sesenggukan setelah mendengar ucapannya.
"Apa kata-kata saya menyakiti hatimu, Saqila?" tanya Madam Lee lembut.
"Nggak, Mam. Saqila orang yang tak berpendidikan, fakir ilmu agama, Saqila nggak sabar mengahdapi ujian rumah tangga sebelumnya. Saqila takut Allah melaknat keputusan waktu itu."
Saqila makin meraung, dia jongkok mendekap muka. Air mata keluar dari celah tangannya. Getar di hatinya melahirkan sebuah ketakutan yang luar biasa, dibenci sesama manusia saja rasanya tak nyaman dan menyakitkan, inikan pula di benci Alloh.
Andai dirinya bersabar, bisa saja Wahyu lembut hatinya, tapi itu sudah terjadi dan perceraian pun keinginan Wahyu sendiri bukan keinginananya.
[Semoga Allah mengampuniku,] batinya.
"Sudahlah, yang sudah tu biarlah berlalu, jadikan itu pelajaran dan pengalaman. Perbanyak lagi ilmu agama, agar setiap keputusan yang kita ambil ada pada ridho Alloh," ujar Madam Lee.
Daniel yang sedang di ruang kerja, keluar berjalan menuju ke dapur mendengar suara tangis.
"Ada apa, Mom?" tanya Daniel, dia melihat saqila mendekap wajah dan masih terisak.
Saqila bangkit dan menoleh ke arah Daniel, dia mengusap kasar pipinya yang berlinangan air mata.
"Tak ada apa," jawab Madam Lee.
"Hanya percakapan sesama perempuan," sambungnya sambil tersenyum. Tangannya masih mengusap lembut punggung saqila.
***
Selama tiga bulan, hanya beberapa kamis saja Saqila pulang ke rumah Muaz. Bukan tanpa alasan, setiap hari kamis Saqila diminta kerja sampingan membersihkan rumah Madam Lee.
Bukan hanya ilmu agama saja yang didapat Saqila dari majikannya, bahkan ilmu bersih-bersih juga diajarkan beliau termasuk mengunakan alat-alat rumah tangga elektronik canggih yang sebelumya tak pernah ditemui Saqila di kampungnya.
Hari ini, dia memutuskan untuk libur dari membersihkan rumah Madam Lee, Saqila sudah rindu pada keluarga Muaz.
Pagi-pagi Saqila sudah sampai di rumah Muaz, sebelumnya dia sudah memberi kabar akan datang hari ini, Santi sangat senang dan menunggu kedatangan adik iparnya.
"Yey! Ada Ateu Saqila. Mah Ateu datang Mah," teriak Sella ketika membukakan pintu, melompat-lompat kegirangan melihat tantenya datang.
Saqila masuk menemui Santi yang masih sibuk di dapur.
"Syukurlah kamu jadi datang, Mbak mau nitip anak-anak, soalnya Mbak udah janji sama majikan kalau hari ini mau kerja full," ucap Santi senang melihat Saqila.
"Iya, Mbak. Saqila juga udah kangen pengen main sama anak-anak, nanti kalau mereka pulang sekolah Qila mau ajak mereka jalan-jalan," sahut Saqila.
Santi pamit untuk kerja sekalian mengantar anak-anaknya sekolah, sementara Saqila membantu beres-beres di rumah kakak iparnya itu. Muaz sudah berangkat dari subuh tadi sebelum Saqila datang.
"Kak Muaz? Kok jam segini dah pulang?" tanya saqila yang melihat kakanya masuk, Muaz dan Santi selalu membawa kunci rumahnya sendiri-sendiri.
"Mau ngambil baju buat salin, malam ini mungkin Kakak harus nginap di rumah sakit menemani pak Praja," sahut Muaz, dia berjalan menuju kamar dan mengemas sendiri baju yang akan dia bawa.
"Pak Praja sakit?" tanya Saqila lagi.
"Bukan, anaknya yang sakit," jawab Muaz yang masih sibuk memilih-milih tas yang akan dimasukan bajunya, dia mencari tas yang ukurannya lebih kecil.
"Kamu masih inget nggak, tiga bulan yang lalu waktu Pak Praja datang ke rumah ini?"
"Iya ingat, waktu makan seblak tulang," jawab Saqila, karena memang sekali itu saja Saqila bertemu dengan boss kakaknya itu.
"Ternyata...dia ke sini sedang ada masalah di rumahnya, calon menantunya memutuskan hubungan, membatalkan pernikahan dengan anak Pak Praja, padahal tiga bulan lagi menuju acara pernikahanya.
Seharusnya hari ini mereka menikah, waktu itu anaknya juga sempat drop hingga dilarikan ke rumah sakit, sekarang juga dia drop lagi, harus dirawat," jelas Muas.
"Oh, begitu. semoga anaknya Pak Praja cepat sembuh," jawab Saqila, dia tak ingin terlalu sibuk dengan masalah orang lain, hanya mendoakan saja supaya lekas sembuh.
Selesai mengemas baju, Muaz buru-buru keluar untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumya dia sudah mengabari Santi, hari ini dia akan menginap. Setelah Muaz pergi, Saqila kembali melanjutkan pekerjaannya.
Seharian Saqila menghabiskan waktu liburnya bersama anak-ank Muaz. Tadinya, dia ingin mengajak Sella dan Mikha jalan-jalan ke zona permainan, tapi dia pun belum tau di mana tempatnya. Akhirnya mereka bermain-main di rumah saja. Saqila pun bisa beristirahat sejenak dari penat bekerja.
Selama tiga bulan dia di kota, tak lupa berkabar dengan ibunya. Separuh dari gajinya selalu dikirimkan untuk ibunya.
Hanya kabar Dina saja yang tak ingin dia tahu, bahkan Saqila meminta pada ibunya, untuk sementara waktu jangan bercerita tentang Dina padanya, akan semakin menyulitkannya untuk melupakan Iwan. Bu Dewi faham, anaknya masih belum melupakan kejadian itu.
Menjelang subuh, Saqila bersiap untuk kembali ke tempat Madam Lee, semangatnya semakin berkobar, dia harus mengumpulkan uang untuk modal, tadi malam dia dan Santi sudah berencana akan membuka usaha baru, membuat jajanan tradisional.
***
Di rumah bu laras.
Semenjak kejadian Iwan dan Dina, pernikahannya pun harus dilaksanakan. Waktu lamaran, Iwan tak melihat Saqila di rumah Bu Dewi, kesediaan dan luka di hatinya semakin membaur.
Dua minggu setelah pertunangan, digelar acara pernikahan, Iwan masih tak melihat Saqila di sana. Malam pertama yang selalu didambakan para pengantin baru, sama sekali tak diinginkan Iwan.
Dia dan Dina tidur di tempat terpisah, Dina di kamarnya; Iwan tidur di kursi ruang tamu. Sehari setelah menikah, Dina dan Aira diboyong ke rumah Bu Laras, Iwan masih saja tak mau bertegur sapa dengan Dina yang sudah bergelar istrinya. Bicara hanya sesekali saja jika ada hal yang dia butuhkan.
Malam itu dia sangat merindukan Saqila, tidurnya tak lelap. Diambil gawai dari nakas, ingin menghubungi kekasih hatinya, tapi ragu Saqila makin kecewa, sekarang dia sudah menikah.
Iwan memberanikan diri mengirim pesan, lama sakali pesan darinya tak berbalas. Dihubunginya nomor Saqila, ternyata sudah diblokir, makin gelagapan saja Iwan. Harapanya sudah benar- benar hilang dan kebenciannya pada Dina semakin menjadi, Dina tak pernah diinginkannya.
***
Hari ini tiga bulan sudah pernikahannya dengan Dina, tak sekalipun Iwan berbaik dengan istrinya apalagi menyentuhnya, hanya perasaan jijik saja ketika melihat perempuan yang menjadi penghancur hubungannya dengan Saqila.
"Kalau hubungan kita begini terus, ceraikan saja aku, Wan. Aku capek," ujar Dina, dia tak sanggup tiap hari melihat sikap dingin Iwan. Meskipun begitu, Iwan tetap berlaku baik pada Aira.
Iwan tak menjawab kata-kara Dina, untuk saat ini tak mungkin dia menceraikan perempuan yang sudah ia nikahi. kini sedang mengadung anaknya akibat kejadian waktu itu.
Makin sakit perasaannya, harus terikat tanggung jawab.
"Aku berangkat dulu," ucap Iwan, dia akan berangkat menuju peternakan tanpa menghiraukan istrinya yang terisak.
Sekalipun Iwan ingin menceraikan Dina, Bu Laras pasti menghadang, bagaimanapun Bu Laras tetap menerima Dina. Apa lagi sekarang menatunya itu sedang mengandung cucunya.
***
"Kamis nanti, myMom minta you kerja di rumah Bu Riska," ucap Daniel mendekat ke arah Saqila yang berdiri di dapur untuk membuat sarapan.
"Bu Riska? Siapa itu?" tanya Saqila, tangannya membuka kulkas mencari bahan yang hendak ia eksekusi hari ini.
"Kawan myMom, dia punya maid sudah lama balek kampung, minta Mom carikan maid sementara, kalau dia cocok dengan kerja you, nanti you boleh kerja tiap hari kamis," jelas Daniel.
"Baiklah, nanti Qila coba," jawabnya, kepalanya masih clingak clinguk di dalam kulkas.
"Pagi ini buat roti bakar saja." Daniel menyimpan kembali bahan yang sudah Saqila keluarkan.
Diambilnya roti dari meja makan, satu kaleng ikan sardine dan keju ceddar. Daniel sendiri yang membuat sarapan hari ini, Saqila hanya memerhati sambil belajar, sarapan yang diolah Daniel tak ada di buku menu.
"You masak ini ikan, so... nanti you letak dalam roti," perintah Daniel sambil menunjukkan bahan yang dia sebutkan.
"Roti yang lain you isi keju, ada paham?" tukas Daniel.
Saqila garuk-garuk kepala, bahasa Daniel berusaha ia cerna.
Setelah mengerjakan sesuai arahan, roti dimasukan ke dalam alat pemanggang, tak lupa mengatur waktu sesuai tingkat kematangan yang diinginkan.
"Dah ready, tunggu dia matang," ucap Daniel.
"Hah? Dia?" Saqila terperangah memandang ke arah Daniel.
"Macam ni, di Malaysia, kata 'DIA' tak hanya digunakan untuk orang sahaja, boleh untuk benda atau pengganti kata 'NYA'.
Contoh: you cuci pakaian guna mesin cuci, you set semua, lepas tu biar dia bekerja sendiri. 'DIA' di sini dituju untuk mesin cuci.
Lagi: di warung itu masakanya enak, dalam bahasa melayu: di kedai itu masakan DIA sedap."
"Paham tak?" tanya Daniel.
Saqila hanya bengong sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Mbuh lah, njelimet, pabeulit," jawab Saqila, kali ini Daniel yang tertawa karena tak mengerti bahasa Saqila.
"You mau belajar bahasa inggris tak? Kalau mau saya boleh ajar, asal you tahu basic, you boleh guna simple english," tawar Daniel masih nyengir.
"Bolehlah," sahut Saqila singkat.
"English apa saja yang you tahu?"
"I love u, i miss you, i need you, yes dan no. Dah itu saja," jawab Saqila terkeleh.
"Apa arti 'i love you'?"
"Aku cinta kamu," jawab Saqila ringan.
"Benarkah?"
"Maksud?"
Saqila memicingkan mata.
"Tadi you cakap apa?" seloroh Daniel.
"Iya, i love you, aku cinta kamu." Saqila mengulang ucapanya.
Daneil memiringkan kepalanya.
Saqila baru mengerti maksud ucapan Daniel.
"Ih nggak, bukan gitu maksudnya, bukan...bukan." sakila mengibas-ngibas tangannya, menjelaskan maksud ucapanya.
Daniel tertawa terbahak.
"Just kiding, Saqila. Saya bergurau saja," tukas Daniel, ia menutup mulutnya yang tak henti tertawa.
Sering sekali Daniel mengganggu Saqila dengan candaannya, hal ini membuatnya selalu tertawa lepas dengan kepolosan dan tingkah perempuan berwajah imut itu.
==========
Setiap hari kamis seharusnya Saqila menikmati hari liburnya, sayangnya apa yang jadi keinginannya tak pernah sesuai rencana.
Dia selalu membayangkan nikmatnya tidur kembali setelah salat subuh, bangun ketika matahari sudah menegakkan bayangan. Sehari saja ia ingin beristirahat mengendurkan otot-otot yang menegang selama enam hari penuh ia bekerja.
Semua itu hanyalah angan-angan, 'kamis manisnya' malah lebih sibuk dan melelahkan. Ia sudah janji hari ini akan bekerja membersihkan rumah teman Madam Lee.
Hari-hari biasa pekerjaannya di laundry hanya berjibaku dengan pakaian saja, berbeda dengan membersihkan rumah, semua isinya harus ia bersihkan hanya dalam satu hari.
Saqila sudah membayangkan, nanti malam pasti seluruh tubuhnya lelah remuk redam seperti habis digebuki.
[Semangat Saqila, demi tambahan modal usaha baru.]
Saqila menyemangati diri sendiri, dia juga sudah mengabarkan pada ibunya, mulai bulan ini gajinya tak ia kirimkan, akan disimpan untuk modal.
Bu Dewi setuju saja dengan rencana anaknya, dia selalu mendoakan yang terbaik dan kesuksesan Saqila. Dia sadar tak mampu membahagiakan anaknya, hanya doa untuk Saqila yang selalu ia sertakan dalam setiap sujudnya.
Selesai mandi, Saqila bergegas menuju rumah Madam Lee untuk membuat sarapan.
Majikannya itu sudah tak terlihat di rumahnya, hanya ada Daniel yang memang selalu bekerja di rumah.
"You berangkat pukul berapa ke rumah Bu Riska?" tanya Daniel sesudah berhadapan dengan Saqila.
"Beres bikin sarapan aja, lebih pagi lebih baik, biar cepet beres," jawab Saqila.
Biasanya di rumah Madam Lee, dia membersihkan rumah dimulai jam sembilan pagi, kadang jam sepuluh, kapan saja sesuka hatinya.
Sebelum membersihkan rumah majikannya ia membereskan mess dan mencuci pakaiannya terlebih dulu, tapi hari ini dia ingin berangkat pagi, berharap pulang lebih awal dan bisa mencuci pakaiannya sore nanti.
***
Setelah mereka sarapan sama-sama, Daniel bersiap mengganti baju, lalu menghidupkan mesin mobilnya, dia kembali ke dalam rumah berjalan ke ruangan kerjanya mengambil berkas-berkas yang akan ia bawa. Sekalian mengantar Saqila, dia juga akan pergi ke suatu tempat untuk urusan pekerjaan.
Saqila sudah siap untuk berangkat, menenteng tas di pundaknya. Isinya hanya telepon genggamnya, mukena kecil dan pakaian ganti.
Mobil sudah Daniel keluarkan dari garasi, diparkirkan di depan gerbang rumahnya. Ia turun dari mobil untuk mengunci pintu gerbang. Daneil dan Saqila masuk kedalam mobil.
"Saqila, im not your driver, come duduk depan sini," tegur Daniel yang duduk di kursi kemudi, ia melihat Saqila sudah duduk manis di kursi penumpang.
Saqila membuka pintu mobil lalu keluar dan duduk di sebelah Daniel. Bagi Saqila ini kali pertama dia duduk di dalam mobil sejajar dengan anak majikanya itu, hal ini membuatnya sedikit canggung.
"Nggak apa gitu, Qila duduk di sini?" tanya Saqila.
Daniel hanya menjawab dengan senyuman. Mobilnya mulai melaju menembus jalanan yang ramai dan padat merayap menuju ke arah rumah Bu Riska.
Saqila mulai merasa tak nyaman dengan bau penyejuk (AC), bau yang membuatnya mual. Ujung kerudung segitiganya ia lilitkan ke hidung, tak biasa dengan bau yang ada di dalam mobil ini.
Tanpa bertanya, Daniel menurunkan kaca mobil samping Saqila, dia tahu Saqila merasa tak nyaman. Berkali-kali Daniel menoleh ke arah Saqila, yang ditolehnya pura-pura tak melihat dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela yang terbuka.
Setengah jam perjalanan meredah kemacetan, mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Perumahan elit yang sangat luas dan besar, yang terbesit di pikiran Saqila hanya remuknya sendi-sendi tubuhnya ketika nanti ia selesai bekerja di rumah mewah itu.
Daniel menekan klakson mobilnya beberapa kali, lalu mengajak Saqila turun dari mobilnya. Seorang laki-laki paruh baya berseragam hitam membukakan pintu gerbang.
Dari dalam rumah, keluar seorang perempuan menyambut mereka.
[Mungkin itu yang namanya Bu Riska.] pikir Saqila.
"Terima kasih, Nak Daniel sudah mengantar yang mau kerja ke sini, maaf ya, sudah merepotkan," ucap Bu Riska. "Ayo masuk dulu," lanjutnya.
"No, thanks, Aunty. Saya harus pergi, ada pekerjaan di luar," jawab Daniel ramah.
"Hai, Dan. How are you?" Seorang gadis menghampiri Daniel yang sudah hendak beranjak.
"Hai Aline," jawab Daniel.
Dia pun sama, bertanya kabar dengan bahasa mereka yang tak dipahami Saqila. Pemandangan yang pelik untuk Saqila ketika melihat mereka saling mengadukan pipi kanan dan kiri. (cipika cipiki.)
[Apa perempuan ini pacarnya Daniel?] tanya Saqila dalam hati, tapi dia pun tak peduli, tujuannya datang ke sini untuk bekerja.
Daniel pamit pada Bu Riska dan Aline. Dia juga sempat berpesan pada Saqila, jika pekerjaannya sudah selesai Saqila harus menghubunginya, Daniel akan kembali menjemputnya.
Saqila dipersilakan masuk, setelah ganti baju di kamar belakang, Saqila kembali kehadapan Bu Riska.
"Kamu sudah tau kan, cara-cara membersihkan rumah?" tanya Bu Riska.
"Iya." Saqila mengangguk.
"Pembantu saya sudah lama pulang kampung, masih cari pengganti tapi belum dapat, untuk sementara saya pakai jasa pekerja harian."
Bu Riska menunjukan tempat alat-alat dan cairan pembersih yang harus Saqila gunakan.
"Saya ada urusan di luar, kamu bisa bekerja dengan leluasa, di sini ada anak saya, kalau ada yang kamu nggak tau tanyakan saja" jelas Bu Riska.
"Baik, Bu. Terima kasih."
Saqila memulai pekerjaannya, dimulai dari mengelap semua perabotan rumah bertingkat dua ini, megelap jendela kaca dan kipas angin duduk maupun siling fan yang ada di sana.
Menjelang dzuhur, rumah belum seluruhnya di bersihkan, masih banyak yang harus ia kerjakan. Rumah yang begitu luas dan sedikit kotor berdebu, agak melelahkan mengerjakannya sendiri. Saqila berhenti sejenak untuk salat dzuhur.
"Saya keluar dulu beliin kamu makan siang, sekalin ada yang mau saya beli," ujar Aline anaknya Bu Riska.
"Iya, Bu. terimakasih," jawab Saqila.
"Ibu? Saya masih gadis, belum ibu-ibu, kita juga seumuran kayaknya," sahut Alin sedikit ketus.
"Maaf, Non," jawab Saqila, tadinya itu bahasa formal saja, tanda ia menghormati majikannya.
Aline tersenyum lalu berjalan ke arah mobilnya.
Selesai salat dzuhur, Saqila menyantap makan siangnya yang sudah dibeli Aline, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Menjelang ashar, pekerjaanya hampir selesai hanya tinggal satu kamar mandi yang ada di kamar Aline.
Saqila ijin untuk membersihkanya, Aline yang sedang asik memainkan gawainya di atas kasur yang sudah rapi dibersihkan Saqila, mengangguk dan beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamarnya.
Ding! dong!
Suara bell terdengar oleh Saqila sebelum masuk ke kamar mandi dengan membawa alat tempurnya. Dia tak peduli siapa yang datang karena tugasnya hanya bersih-bersih dan tak sabar ingin segera membereskan pekerjaannya yang hampir selesai. Perkiraannya jam empat sore dia sudah bisa pulang.
Kamar mandi agak sedikit kotor dengan kerak yang menguning, ia memulai menyiram dan menggosoknya, setiap bagian ia kerjakan dengan teliti, selesai disiram, sentuhan terakhirnya mengeringkan kamar mandi dengan kanebo dan lap kering. Pekerjaan Saqila selesai, dia tersenyum puas.
Saqila hendak keluar membuka pintu kamar mandi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat adegan hot jeletot di atas ranjang kamar majikannya itu. Kembali ia menutup pintu kamar mandi dengan perasaannya yang bercelaru.
[Aduh gimana ini?]
Saqila kebingungan, gawainya tak ia bawa, disimpan di dalam tasnya di kamar belakang. Padahal tadi dia yakin Aline juga tahu bahwa dia sedang membersihkan kamar mandi.
[Mbok ya kalau mau ahem-ahem, tunggu aku keluar dulu, kalau begini kan aku jadi dilema, terjebak di kamar mandi.] gerutu Saqila.
Saqila menunggu dan bersandar di dinding kamar mandi yang sudah ia bersihkan. Bajunya yang agak basah membuatnya tak nyaman ingin segera ganti pakaian.
Saqila berpikir sejenak, apa yang harus ia lakukan, jika memaksa keluar itu tak mungkin, pasti dia akan sangat malu, bisa saja majikannya itu marah.
Akhirnya Saqila menunggu saja, mungkin tak akan lama. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit belum juga ada yang ke kamar mandi.
[Apa intip aja ya?]
[Nggak ah.]
Saqila mengeleng-geleng kepala mengurungkan niatnya, dia bersabar menunggu.
[Kok lama amat sih, ngapain aja mereka, aku dulu sama suami kalau gituan nggak pernah lama-lama.] gerutunya lagi.
Matanya mulai mengantuk, dia menyenderkan kepala di dinding, sesekali menguap menahan kantuk. Perlahan matanya tertutup, terbuka lagi, sambil geleng-geleng kepala menolak ngantuk, matanya mengatup lagi.
"Ngapain kamu di situ?" tanya Aline ketika membuka pintu kamar mandi melihat Saqila tertidur.
Saqila terbangun kaget.
"Tadi kan, aku udah ijin mau nyuci kamar mandi, udah selesai dari tadi, pas mau ke luar, lihat...."
Saqila tak berani melanjutkan ucapannya.
Aline tertawa terbahak.
"Oiya maaf, aku lupa tadi, kamu tunggu sebentar di situ," perintah Aline.
"Siapa, Beib?" tanya laki-laki yang masih terlentang di atas ranjangnya.
"Cepetan pakai bajunya, itu pembokat gue mau pulang, gue lupa tadi dia nyuci kamar mandi. Loe sih, main sambar aja," gerutu Aline mengasongkan baju lelaki itu yang berserakan di lantai.
"Gue kangen banget, Beib," jawab laki-laki itu. Dia keluar dari kamar Aline.
Saqila keluar dari kamar mandi setelah dapat arahan dari Aline, ia bergegas ke kamar belakang untuk salin bajunya yang basah. Aline memberikan gaji harian Saqila dalam amplop.
"Ini bayaran kamu." Aline menyodorkan amplop yang sudah disiapkan oleh Bu Riska untuk diserahkan pada Saqila.
"Iya, terimakasih." Saqila menerima bayarannya, lalu pamit menunggu dijemput Daniel.
Diambilnya gawai dari dalam tas, tertera beberapa pesan di layar benda pipih itu.
Ternyata dari Daniel yang menayakan selesai atau belum tugas Saqila, ada lima pesan yang Daniel kirimkan ke padanya dan tiga panggilan tak terjawab.
Mobil Daniel sudah terparkir di depan rumah Aline, tadi Saqila sudah mengabarkan pekerjaannya telah selesai.
Setelah Daniel sedikit berbincang dengan Aline, dia hengkang mengajak Saqila pulang.
Mereka kembali ke kediaman Madam Lee.
***
Bu Riska adalah teman Madam Lee, dia sangat puas dengan kerja Saqila, rumah besarnya tampak begitu rapi dan bersih. Dia menelpon Madam Lee dan meminta Saqila untuk datang tiap hari kamis untuk membersihkan rumahnya.
Saqila setuju, rutin tiap hari kamis ia diantar Daniel ke rumah Bu Riska. Ada bibit-bibit cinta yang tumbuh di hati Daniel, baginya Saqila bukan hanya cantik, ia juga jujur, rajin dan memiliki prinsip.
Kepolosan dan senyum di bibir mungil Saqila membuat Daniel tak bosan tiap hari bertemu dengannya, dia malah semakin gemas.
Tak pernah Saqila memanfaatkan kebaikan Daniel atapun kecentilan, menye-menye di depan anak bossnya itu, Saqila sangat menghormati Daniel sebagai majikannya.
Enam bulan sudah Saqila bekerja di laundry Madam Lee, Santi memintanya pulang untuk membahas soal usaha baru mereka, Muas dan Santi sudah mengumpulkan beberapa uang gaji mereka, untuk membuka usaha bersama Saqila.
Mau tak mau Saqila harus berhenti dari laundry Madam Lee, awalnya majikannya itu tak mengijinkan. Madam Lee merasa sudah sangat nyaman dengan Saqila, ketangkasan dan keuletan Saqila membuat Madam Lee menyukai perempuan yang sering menemaninya memasak itu.
Namun Saqila tetap memohon, dia ingin membuka usaha baru bersama kakak iparnya, dengan kecewa, Madam Lee akhirnya mengiyakan juga.
Daniel pun sama tak setuju dengan pengunduran diri Saqila, dia sempat melarang. Apalagi setelah ada sesuatu dalam hatinya yang belum sempat ia ungkapkan, Daniel tak ingin gadis yang disukainya itu pergi.
Niat Saqila tetap sudah bulat, ia ingin mencoba nasibnya dalam usaha dagang kembali seperti di kampungnya dulu. Namun dengan cara yang berbeda, di kota besar begini ia optimis dapat mengembangkan usahanya.
"Baiklah, saya tak boleh halang you, tapi ...
nanti boleh saya main ke rumah you?" tanya Daneil dia sedikit kecewa dengan Saqila yang memutuskan untuk berhenti.
"Boleh, boleh banget," jawab Saqila, dia tersenyum senang.
Madam Lee dan Daniel tak bisa memaksa Saqila untuk terus bekerja di tempat mereka, bagaimanapun Saqila punya hak menentukan jalan hidupnya, mereka tak bisa mengatur Saqila harus kerja apa dan dimana.
Selama enam bulan bekerja di tempat ini, banyak pengalaman dan ilmu yang ia dapat dari Madam Lee dan Daniel, juga canda tawa bersama teman-temannya. Saqila pamit pada teman-temannya, ia janji jika ada waktu akan berkunjung ke laundry menemui mereka.
***
Santi dan Saqila memulai usaha barunya, awalnya hanya kecil-kecilan menawarkan pada tetangga terdekat dan menitipkan di pasar. Sudah ada beberapa pelanggan di pasar yang menampung kue-kue mereka.
Pak Praja juga ikut memesan dan mempromosikan kue buatan Saqila pada kolega dan kerabatnya yang sering menghadiri seminar. Kadang ia memesan untuk anak-anak panti. Semenjak mengetahui adiknya Muaz itu brjualan kue tradisional, beliau sering berkunjung ke rumah Muaz sepulang kerja.
Banyak juga mantan majikan Santi beserta teman-temannya memesan kue tradisionalnya untuk acara pengajian.
Saqila juga mengikuti perkembangan jaman, mempromosikan dagangannya lewat media daring. Ada juga pelanggannya yang memesan lewat jejaring sosialnya.
"Alhamdulillah, Mbak San. Ada tambahan pesanan buat besok, Bu Afni pesen 150 kotak untuk acara syukuran cukur rambut cucunya," ungkap Saqila pada kakak iparnya yang sedang menghitung pemasukan hari ini.
"Iya syukurlah, harus kerja ekstra nanti," guyon Santi.
"Nanti kalau modal kita sudah cukup kuat, kita cari pekerja buat bantu-bantu, moga usaha kita berjalan lancar" lanjut Santi.
"Iya Aamiin," sahut Saqila.
***
Malam itu, Saqila sedang berbincang-bincang di kamar Sella bertukar pikiran dengan kakak iparnya.
Agak larut malam Muaz baru pulang, dia membawa Pak Praja.
Muaz menuju kekamar menghampiri adik dan istrinya yang sedang bercakap-cakap.
"Belum pada tidur?" tanya Muaz.
"Sini sebentar, ada yang mau dibicarakan Pak Praja sama kamu, Qila."
Saqila menatap kakak iparnya, mereka bergegas menemui Pak Praja yang sudah duduk di ruang tamu.
Santi ke dapur untuk membuatkan minuman, sedangkan Saqila dan Muaz duduk berhadapan dengan Pak Praja.
"Silakan, Pak." Muaz memberi aba-aba.
"Bismillah, begini Saqila, saya sengaja datang kesini, ada yang dibicarakan," ucap Pak Praja, berhenti sejenak menyambut kopi yang disuguhkan Santi.
Saqila, Muaz dan Santi, setia menyimak menunggu lanjutan pembicaraan bossnya Muaz itu.
"Sudah lama saya memperhatikan kamu dan menanyakan tentang kamu pada Muaz dan Santi, saya yakin kamu perempuan yang baik, niat saya ingin melamar kamu," kata Pak Praja, ia meraih cangkir kopi dihadapanya, lalu menyeruputnya yang terlihat masih mengepulkan asap.
"Melamar? Bukankan Bapak sudah punya istri?" tanya Saqila yang cukup tersentak mendengar kata lamaran.
Muaz dan Santi ikut terkejut dan saling tatap mendengar penuturan bossnya itu, pasalnya Pak Praja tak pernah membicarakan hal ini dengan Muaz sebelumnya.
Pak Praja terkekeh. "Bukan untuk saya, untuk anak sulung saya. Tapi...." Pak Praja menjeda ucapannya.
"Tapi apa?" Saqila masih menunggu lanjutan ucapan Pak Praja.
"Anak saya nggak seperti orang lain, dia pernah mengalami kecelakaan dan punya cacat fisik."
Pak Praja sedikit muram ketika menjelaskan hal tersebut, ia melepas nafas panjang dan menghembuskannya berat.
"Ini bukan lamaran resmi, hanya baru bertanya, niat murni dari saya. Saya juga nggak akan memaksa, jika tak berkenan, kamu bisa menolak.
Nggak perlu memberikan jawaban sekarang, kamu bisa pikirkan hal ini baik-baik."
[Hah, cacat?]
"Qila cuma orang kampung tak berpendidikan, juga banyak kekurangan," jawab Saqila. "kenapa Bapak memilih Saqila?"
"Itu nggak jadi masalah, soal pendidikan bisa melanjutkan sekolah kapanpun jika mau, yang penting itu ahlak. Dan saya cukup yakin kamu adalah perempuan baik-baik dan bisa menjadi istri yang baik untuk anak saya," tandas Pak Praja.
Saqila diam membisu tak lagi bisa berkata, tak juga bisa memberi jawaban.
Pak Praja menunjukan foto anaknya, ia tak terlihat seperti orang yang cacat, sedang memeluk seorang perempuan cantik paruh baya.
[Mungkin ini istri Pak Praja.] pikir Saqila.
Saqila juga tak berani menanyakan tentang cacatnya anak Pak Praja.
Setelah selesai dengan maksud kedatanganya, Pak Praja undur diri. Dia menegaskan pada Saqila apapun jawabannya nanti dia akan terima, ia juga meminta Saqila tak buru-buru mengambil keputusan.
Setelah mengantar bossnya, Muaz kembali menghampiri Saqila yang masih termenung di ruang tamu.
"Gimana menurut kamu, Qila?"
Tak lekas menjawab pertanyaan Muaz, Saqila masih membisu memikirkan lamran yang datang secara tiba-tiba, pikirannya terpaku pada kata 'cacat'.
"Anaknya cacat kerena kecelakaan, Kakak tahu cacatnya gimana?" tanya Saqila ketika Muaz sudah duduk dihadapannya.
Bagaimana pun Saqila tak ingin gegabah mengambil keputusan, apa lagi pernikahan bukanlah main-main, dia tak ingin gagal untuk kedua kalinya.
"Aku sih kurang tahu jelasnya seperti apa, tapi anaknya Pak Praja seperti normal-normal saja, bahkan dia juga kerja di kantor yang sama dengan ayahnya, tapi kerjanya jarang-jarang," jawab Muaz.
Dia memang kurang tahu tentang kehidupan pribadi bossnya, tugasnya hanya mengantar pulang pergi bossnya ke kantor, terkadang dia diajak ke rumah Pak Praja, tapi ia hanya berkumpul di pos bersama satpam dan sopir lainnya.
"Kenapa juga harus, Qila? Misal kalau dia nggak cacat, apa mungkin anak orang kaya nikah sama orang kampung nan miskin ini, apa Saqila ini pilihan terakhir karena tak ada pilihan lain?"
"Kamu jangan berpikir begitu, Pak Praja itu bukan orang sembarangan, pasti dia sudah mempertimbangkannya sebelum memilih kamu jadi menatunya, bukan berarti karena anaknya yang cacat bisa seenaknya dinikahkan dengan siapa saja, pasti beliau memilih kamu dengan penuh pertimbangan dan menilai kamu dari sisi yang baik, bisa menjadi partner hidup untuk anaknya kelak.
Aku nggak bisa maksa juga, semua keputusan terserah kamu. Pikirkan dulu baik-baik, kalau memang nggak mau, kamu bisa menolak baik-baik," pungkas Muaz.
"Baiklah, nanti Saqila pikirkan."
Malam ini Saqila tak bisa tidur, pikirannya melayang-layang, tak mungkin menerima lamaran Pak Praja begitu saja.
Menikah dengan Wahyu yang mencintainya saja, sama sekali tak menjamin kebahagian, inikan pula dengan orang yang sama sekali tak ia kenal. Akan dibawa kemana pernikahan mereka nanti?
[Sekarang aku harus fokus mengurus jualan dulu, soal menikah itu terserah nanti jika sudah sukses.] pikirnya.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel