Cerita Bersambung
[Saqila, Saya datang rumah You sekarang]
Saqila membuka kotak pesan di gawainya yang berbunyi, ternyata dari Daniel. Ia sedang menyiapkan bahan-bahan kue untuk pesanan besok, jam di dinding rumah menunjukkan jam delapan malam.
[Boleh.] balas Saqila, ragu-ragu membalas pesan itu.
Meskipun Daniel perhatian padanya, tak sekalipun sengaja mencari-cari peluang untuk semakin rapat menjalin hubungan, dengan anak Madam Lee .
Sudah sekitar sebulan lebih semenjak ia berhenti bekerja, Daniel selalu menghubunginya, sekedar bertanya kabar. Namun karena kesibukan, Saqila jarang melayani, kadang hanya sesekali membalas pesan darinya.
Setelah mengirim alamat rumahnya, tak lama kemudian Daniel sudah ada di depan rumah kakak iparnya. Saqila mempersilakan masuk, tapi Daniel menolak, dia meminta ijin untuk mengajak Saqila makan di luar saja agar lebih leluasa, ada yang ingin Daniel sampaikan.
"Pergi aja, Qila. Nggak apa-apa, biar ini Mbak bereskan, semua udah siap kok, tinggal eksekusi besok," ujar Santi melihat adik iparnya itu diajak keluar oleh seorang laki-laki bermata sipit dan tampan, Santi bahagia jika Saqila dekat dengan seseorang.
"Baiklah, Mbak San. Terimakasih ya," sahut Saqila. Segera bersiap mengganti bajunya, biarpun Saqila tak memiliki banyak setelan bagus, yang penting masih layak pakai, tapi ia tak masalah, biarpun diajak jalan oleh Daniel, tak malu dengan cara berpakaian yang seadanya.
Mereka pun bertolak, Daniel mengajaknya ke sebuah restoran steak, tempatnya mewah dan tak terlalu ramai orang. Saqila ternganga, pertama kalinya dibawa ke restoran mahal di ibu kota, nama-nama makanan yang ada di buku menu sangat asing baginya, bahkan sulit untuk ia sebutkan.
"You pesan apa?" tanya Daniel.
"Mm ... apa saja," sahutnya asal, dia sendiri bingung tak tahu cara menyebut nama makanan yang tertera di sana.
"This one, beef steak. You Mau?" Daniel menununjukan salah satu makanan dalam buku menu yang ia maksud pada Saqila.
"Boleh," jawab Saqila singkat.
Danile memesan menu yang sama dengan Saqila, untuk minuman, dia memesan jus untuk mereka berdua.
Pramusaji datang menghidangkan pesanan mereka.
"Nggak ada sendok? Nggak ada nasi?" Saqila menatap Daniel pelik, di piring mereka hanya ada pisau dan garpu.
Daniel terkekeh lucu, Saqila sangat polos, betul-betul tak tahu tentang kemewahan dan gaya hidup di ibu kota . Ia mengerti, mungkin ini baru pertama kali bagi Saqila datang ke tempat seperti ini. Sebelum datang pesanan tadi, Daniel memperhatikan Saqila yang tatapannya memutar ke segala arah, ke setiap sudut ruangan dengan wajah takjub.
Daniel mengambil piring Saqila, lalu memotongkan steak itu untuknya.
"Nanti You makan macam ini," tunjuk Daniel memberi contoh. "Tak perlu pakai nasi."
Danile kembali menyodorkan piring Saqila, setelah steak terpotong menjadi beberapa bagian.
"Nggak kenyang dong," ucap Saqila. "Kalau di rumah, apa-apa pasti pake nasi, biar kenyang" lanjutnya terkekeh.
"Kalau You tak kenyang, boleh pesan lagi berapa banyak you suka," sahut Daniel.
Saqila mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, mengunyah perlahan dan menikmatinya.
[Harganya mahal, tapi rasanya biasa saja, lebih enak rendang buatanku. Apa mungkin karena kurang banyak ya?] Gumamnya.
Daniel terus saja tersenyum dan geleng-geleng melihat gelagat Saqila.
"Saya akan pergi besok, mungkin ini pertemuan terakhir kita," tutur Daniel menghela nafas panjang dan mencoba mengatur perasaannya.
"Mau kemana memang?"
Saqila meletakan sendoknya dan fokus ke arah Daniel.
"Saya harus ke Malaysia, myGrandpa, minta Saya balik sana, urus dia punya perusahaaan."
"You sedia ikut tak?" tanya Daniel.
"Ikut? Kenapa Qila harus ikut?"
Memang tak ada alasan Saqila untuk ikut ke Malaysia bersama Daniel yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Apalagi sekarang, ia dan kakak iparnya sedang menjalankan usaha, mana mungkin meninggalkan begitu saja tanpa tujuan yang jelas.
"You boleh jadikan saya sebagai alasan," cetus Daniel.
"Saya sayangkan You, Saqila," lanjutnya, berharap gadis dihadapanya memberikan jawaban yang ia inginkan.
Uhuk!
Saqila yang baru saja meminum minumanya, tiba-tiba tersedak mendengar pengakuan lelaki berwajah tampan di depannya itu .
"Ta-tapi... mmm... Qila ... mmm."
"Its okey, if you tak boleh, saya tak akan paksa," sela Daniel melihat Saqila gelagapan, raut wajahnya berubah sendu. Melihat tak ada binar bahagia di mata Saqila, harapannya terkikis pelan.
Perubahan emosi Saqila sangat ketara ketika Daniel menyatakan perasaannya, sebelumnya terlihat riang, kini dia begitu terlihat canggung dan tak nyaman. Bukan maksud dirinya membuat Saqila salah tingkah, ia hanya ingin gadis itu tahu sesuatu yang sudah lama ia pendam.
"Tapi, bolehkah You janji satu hal?"
"Apa?"
"You akan tunggu Saya balek dekat You," pinta Daniel.
"Menunggu? Untuk apa?"
"Nanti ... Saya akan pinang you." Daniel berusaha meyakinkan Saqila.
Glek!
[Meminang? Aku? Daniel?]
Saqila termenung, entah jawaban apa yang harus ia berikan. Bukan pula tak ingin menunggu, ada hal lain yang menghalanginya. Mereka bagaikan bumi dan langit, ibarat minyak dan air yang akan sulit dipersatukan.
"Barapa lama?" Saqila coba memastikan, bukan berarti sanggup menunggu.
"Tak tahu pasti," jawab Daniel lesu.
Sangat tak mungkin baginya menerima cinta tanpa kepastian, apalagi harus menunggu sampai kurun waktu yang tak tentu. Sadar bahwa Daniel begitu sempurna untuknya, pasti pihak keluarganya akan sangat menolak kehadirannya di sisi Daniel.
Meskipun Madam Lee sangat baik, Saqila sangat sadar diri, tak mungkin juga baginya merusak kepercayaan orang yang sudah sangat baik padanya. Ketika Daniel memaksakan cinta padanya tanpa restu orang tua, itu akan sangat sulit baginya bertahan. Saqila sudah tak ingin menjadi orang yang tak diinginkan dikehidupan orang lain.
Saqila cukup bijak memahami ajakan Daniel, pasti hal itu disebabkan adanya tentangan dari keluarga, hingga membuatnya meminta Saqila ikut bersamanys.
Jika Saqila harus menunggu hal yang tak pasti, itu akan sangat menyedihkan, belum tentu mereka berjodoh. Ujungnya ... dia hanya menanti cinta tanpa kepastian.
Saqila ingin bebas dengan hidupnya untuk sementara waktu, tanpa mencari dan berharap pada siapapun, biarlah waktu yang menjawab siapa jodohnya kelak.
Daniel pun tak dapat memaksa Saqila, melihat tak ada jawaban maupun penolakan dari gadis yang disukainya, ia masih sangat berharap Saqila akan menunggu sampai kapanpun itu, setidaknya sampai ia mendapat jalan keluar untuk hubungan mereka.
Saqila mengajak Daniel pulang, alasan badannya penat ingin segera istirahat. Tadinya Daniel mau mengajak nonton film, dia mengalah dan akur dengan permintaan Saqila.
Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir keduanya, hanya membisu, dengan perasaan yang sama-sama bergemuruh.
Daniel teringat lagi pada kata-kata ibunya, ketika dia mengungkapkan bahwa ia memiliki perasaan cinta pada Saqila. Madam Lee sangat terkejut, tak percaya dan tak terima dengan pernyataan anaknya.
"Daniel, Momy memang menyukai Saqila, tapi bukan berarti Momy akan mengijinkan kamu berhubungan dengannya. Jika sekadar suka mungkin tak mengapa, tapi sampai harus melamar, jelas Momy menolak."
Momy menyukai dia sebagai pekerja yang rajin, tapi untuk jadi menantu, Momy tak berpikir sejauh itu.
Saqila memang gadis yang baik dan ramah, dia jujur dan cerdas. Tapi, Dan, Momy ingin calon istri kamu lebih dari itu, bukan hanya sekadar cantik dan lugu. Momy ingin seorang yang berpendidikan dan berilmu agama yang mumpuni.
"Kamu akan jadi pewaris utama perusahan, harus ada wanita hebat yang membantu bisnis mu, sedangkan Saqila? Dia tak mungkin tau hal-hal macam itu. Ilmu agamanya sangat kurang, nanti tanggung jawabmu makin besar, menikah bukan saja soal cinta, Daniel. Bisa saja apa yang kamu rasa itu bukan cinta, hanya kagum, perasaan sesaat."
Ucapan ibunya cukup memukul perasaan Daniel. Apakah benar bahwa rasa cintanya adalah semu? Cinta sesaat? Yang jelas, dia yakin bahwa Saqila bisa menjadi istri yang baik untuknya kelak, Saqila sangat berbeda dari gadis-gadis lain yang dikenalnya. Saqila akan menjaga komitmen, bukan mencintai hanya karena berharta.
Kepanikan dan ketakutan Madam Lee, membuatnya segera mengambil keputusan. Menghubungi orang tuanya yang ada di negri jiran, agar meminta Daniel untuk kembali kesana, khawatir anak satu-satunya itu tak menyerah dengan keputusannya.
Selama ini Daniel bekerja di rumah, sebab kantor pusat milik kakeknya berada di Malaysia, dia ikut ke Indonesia hanya karena tak ingin jauh dari ibunya. Namun tetap membantu memantau perusahaan kakeknya.
Ketika kakeknya meminta Daniel kembali kesana, dia pun tak bisa menolak, pasti ini rencana ibunya agar ia tak bisa dekat dengan Saqila.
Tin!
Suara klakson bersahutan panjang.
Daniel membanting kemudi ke sebelah kiri dan menginjak rem mendadak. Ia tak melihat ada mobil yang menyalip mobil lain dari arah berlawanan tepat berhadapan dengan mobilnya, lamunan nyaris membuatnya bertabrakan.
"You oke?" tanya Daniel, melihat Saqila yang ikut tersentak dak ketakutan.
Saqila angguk, "Iya nggak apa-apa," jawabnya sambil mencengkeram sabuk pengaman dengan erat, jantungnya berdegup kencang, Saqila tak tahu apa yang dipikirkan Daniel, membuatnya hampir terlibat kecelakaan.
***
Dua lamaran menghampiri Saqila berturut-turut, tapi lamaran dari ke duanya sama-sama tak jelas, tak ada ujung pangkalnya. Kini ia lebih tertuju pada usahanya, sudah tak ingin lagi memikirkan lamaran dan rumah tangga. Andai sudah waktunya berjodoh, dengan siapapun nanti, dia akan terima.
Usahanya dan Santi perlahan ada kemajuan, pesanan tiap hari selalu bertambah, Santi ingin mencari pekerja untuk membantu mereka, tapi Saqila melarang. Untuk sekarang ini, pesanan bisa mereka atasi, yang Saqila pikirkan adalah mencari kediaman baru yang lebih luas dari rumah sewa mereka saat ini.
Santi dan Muaz pun setuju, mereka akan mencari rumah sewa yang tempatnya lebih strategis, bukan seperti sekarang yang letaknya jauh ke dalam gang sempit.
Saqila tengah beristirahat menemani anak-anak Santi belajar di ruang tamu. Sudah beberapa hari tak menelpon ibunya di kampung. Selalunya Saqila menelpon tiap hari jika tak terlalu sibuk. Belakangan pesanan cukup banyak, membuatnya tak sempat berkabar seperti biasa.
Saqila bangkit mengambil gawai yang ia letakkan di kamar, lalu mencari nomor Bu Dewi dan memanggil nomor ibunya.
"Assalmualaikum, Bu."
"Wa'alaikum salam, Qila."
Seperti biasa mereka bercengkerama di telpon, Saqila berbincang dengan ibunya sambil rebahan.
"Itu kok, kayak ada suara Aira, Bu? Dia nginep ya?" tanya Saqila mendengar suara anak kecil di rumah ibunya.
Bu Dewi terdiam beberapa saat, terdengar oleh Saqila ibunya menarik nafas berat.
"I-iya."
"Kenapa, Bu?"
Saqila menerka suara ibunya yang gagap, mungkin ibunya masih segan untuk menyebut nama Dina.
"Nggak apa-apa kok, Bu. Syukurlah mereka nginep, nemenin ibu," ulasnya mencoba menenangkan hati ibunya. Hatinya kini tak terlalu perih mendengar nama kakaknya, ia sudah memaafkan.
"Bukan itu, Qila."
"Terus?"
"Dina sudah seminggu di sini," jawab Bu Dewi.
Saqila masih mendengarkan suara ibunya yang mulai bergetar.
"Iwan sudah dua bulan pergi ke kota, katanya mau mencari pekerjaan ke tempat Uwanya yang ada di Bekasi, tapi hingga sekarang nggak ngasih kabar. Dina merasa nggak enak tinggal di rumah Bu Laras. Dia pulang ke rumah ibu menunggu sampai Iwan datang."
"Hah? Kok bisa, Bu?" tanya Saqila terperangah.
"Kasihan kakakmu, Qila. Dia sangat tersiksa dengan sikap Iwan, Dina sedang hamil besar, sebentar lagi lahiran, tapi iwan malah nggak ada kabar, meninggalkannya begitu saja."
Bu Dewi terisak. Sebelumnya ia merahasiakan dan tak ingin menceritakan hal ini pada Saqila, tapi tak ada lagi tempat untuknya berkeluh kesah selain pada Saqila.
"Astagfirullah, kenapa Iwan jadi begitu, Bu?" tanya Saqila geram.
"Dia masih belum bisa melupakanmu, Saqila. Dina sering jadi pelampiasan amarah Iwan dan selalu menyalahkan atas kehancuran hubungannya denganmu."
"Ya Alloh ... kasihan sekali Kak Dina," ucap saqila lirih.
Saqila tak menduga, Iwan yang ia kenal baik dan bertanggung jawab, sanggup memperlakukan Dina sebegitu. Kendati Iwan tak mudah ia lupakan, kali ini sikapnya benar-benar keterlaluan.
Perlahan benci dan marah mulai bersarang di hati Saqila. Bukannya bertaubat dan memperbaiki hidup, malah semakin menjadi.
***
Di rumah Pak Praja.
Tentang lamaran yang diajukannya pada Saqila, belum diketahui anak-anaknya. Seperti biasa, jika anaknya tak sibuk, mereka akan berkumpul setiap hujung minggu.
Pak Praja menunjukkan foto Saqila yang diminta dari Muaz pada anak-anaknya. Foto lama yang sedikit buram, Saqila tak memiliki telepon pintar merek ternama. Hanya telepon genggam yang harganya murah dan kualitasnya yang kurang baik, sebab itu sangat jarang berfoto.
Mereka makan malam sambil membincangkan masalah perjodohan tesebut. Meja makan panjang dikelilingi anak dan istri Pak Praja. Elya dan Lena anak perempuannya duduk berdampingan, serta si sulung Adam yang nampak tenang menyantap buburnya. Sementara Bu Wening duduk di tengah antara Adam dan suaminya.
"Lumayan sih cantik, tapi apa nggak ada pilihan lain, Pih?" tanya Elya.
"Emang dia kenapa, El?" Lena berbalik tanya pada kakaknya.
"Setidaknya harus yang berpendidikan minimal tamat belajar dua belas tahun lah, ini cuma sampai SD, jangan kampungan banget juga, apalagi sampai jadi benalu di keluarga kita," tutur Elya.
"Elya, nggak boleh ngomong gitu," lirih Bu Wening melirik Adam yang menghentikan makan seketika.
"Kalau nggak setuju dengan pilihan Apih, silakan ajukan pihan kalian, nanti bisa kita bincangkan," sahut Pak Praja.
Prak!
Sendok digebrakan Adam ke atas meja, dia berdiri menuju kamar, membanting pintu kamarnya sekuat tenaga.
Bu wening terperanjat, mengelus dada pelan. Elya dan Lena saling lirik.
"Kamu sih, harusnya nggak usah ngomong gitu dulu, belum tahu juga orangnya gimana," tegur Lena.
Elya terdiam, menyuap makanannya malas.
"Apih tak mungkin sembarangan cari calon, yang pasti Saqila ini orang yang baik dan sabar, semoga bisa nanti cocok dan sabar mengahadapi Adam."
"Bukan gitu, Pih. Elya kan cuma pengen yang terbaik buat Bang Adam, nanti kalau putus lagi ditengah jalan gimana, makin trauma nanti," sanggah Elya
"Belakangan ini obat penenang sering dikonsumsi lagi, padahalkan kemaren-kemaren udah berkurang, cuma sesekali aja, nggak bagus juga efeknya kalau terus ketergantungan," timpal Lena.
"Gantilah sama antidepresan yang Sertraline aja katanya cukup aman untuk serangan panik, jangan jenis Aprazolam, menyebabkan ketergantungan," sahut Elya.
Lena memang dokter umum bukan khusus Psikolog, tapi dia membantu memantau perkembangan penyakit kakaknya, setiap kali datang ke rumah ayahnya ia akan memeriksa dan menanyakan kondisi Adam. Sementara Elya seorang dokter spesialis Obgyn.
Mereka terdiam, karena memang tak mudah mencarikan istri untuk Adam, siapapun perempuan yang pasti akan berpikir bekali-kali, bahkan Adam sendiri yang sering menolak. Namun ketika Pak Paraja mencoba lagi mengajukan akan melamar seseorang untuknya, Adam mengatakan 'terserah'.
"Anak-anak sudah dikasih makan belum?" Pak Praja menayakan cucu-cucunya.
"Udah tadi, disuapin Bi Ijah," sahut Lena.
***
Sore hari Saqila mengantar pesanan kue ke rumah pelanggan, untuk acara tahlilan. Ketika sampai di rumah, ia mendengar suara tertawa terbahak, riuh dan seru bercengkerama.
Deg!
Gagang pintu masih ia pegang, mendengar pemilik suara itu jantungnya berdegup kencang. Setelah masuk, ternyata benar dugaannya.
"Saqila, ni masih inget nggak ini siapa?" tanya Muaz dengan senyum lebar.
[Iwan? Kenapa dia di sini?]
Saqila menelan ludah, debaran di dadanya semakin membuncah.
"I-iya, masih. Apa kabar, Wan?" Saqila pura-pura baru kali ini bertemu, menahan rasa yang campur aduk dengan getar tak karuan.
"Baik, kamu apa kabar, Qila?" tanyanya.
Tatapan Iwan tajam pada Saqila, tatapan rindu yang ia tahan berbulan lamanya. Iwan cukup bersyukur Saqila tak menceritakan tentangnya pada Muaz, kakaknya itu tak tahu hubungan antara mereka. Senyumnya semakin merekah, ia akan berusaha mengambil hati Saqila kembali, sekalipun tak mudah.
"Alhamdulillah baik, aku masuk dulu," jawab Saqila tergesa, ia tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Iwan dan segera berlalu ke kamar.
Deg deg deg
[Ya Alloh, kenapa Iwan harus ke sini? Sementara Kak Dina dia tinggalkan.]
Kala itu Saqila belum sanggup mnceritakan pada kakaknya, risau membuka luka lama. Namun kali ini benar-benar lukanya menganga kembali dan seperti ditaburi garam. Air matanya menetes begitu saja, tak sanggup menghadapi Iwan, hatinya perih.
Saqila mencuri dengar percakapan Iwan dan Muaz, ternyata dia mendapatkan alamat ini dari ibunya Muaz, sama seperti Saqila dulu. Itupun tak dapat langsung ke rumah Muaz karena harus bekerja dulu untuk biaya hidupnya selama berada di kota ini.
Mereka terdengar begitu bising diiringi tawa mengulas kenangan masa lalu, sedangkan Saqila sangat gusar, mereka berdua bersembang hingga larut malam.
"Nginep aja, besok baru pulang, bukan tiap hari bisa begini. Ya ... keadaan rumahku sempit, maaf jika kurang nyaman," ujar Muaz.
"Aku sih mau aja, takutnya tuan rumah yang keberatan," tandasnya.
"Ya nggak lah, justru aku seneng bisa ketemu temen lama," ungkap Muaz, ada kesenangan tersendiri ketika bertemu sahabat lamanya.
Saqila makin gelisah tahu Iwan akan menginap, sampai ia sulit memejamkan mata.
[Apa yang harus aku lakukan?]
Pagi hari Saqila kehilangan semangatnya, apalagi melihat Iwan yang seolah tanpa bersalah melempar senyum padanya.
Santi pamit mengantar anaknya sekolah, sedangkan Muaz sudah berangkat dari jam enam tadi.
Saqila sibuk di dapur membuat kue pesanan untuk hari ini, pikirannya berantakan, semangatnya hilang, masih dengan rasa ngantuk pula karena tidur agak larut.
Tiba-tiba tangannya ditarik Iwan, diseret ke ruang tamu
Saqila terhenyak.
"Apa-apan kamu?"
"Aku kangen kamu, Qila."
Saqila duduk lesu.
"Kamu sudah gila, Wan. Lancang banget, gimana dengan Kak Dina, kenapa kamu ninggalin dia yang sedang hamil anak kamu!"
"Aku sudah bilang, pernikahan dengan Dina itu cuma formalitas, menutupi aib yang nggak aku inginkan, aku nggak bisa lupain kamu Saqila. Aku sudah janji nggak akan lepasin kamu," sanggah Iwan.
"Kamu jahat wan!"
"Semua demi kamu!" bentak Iwan, giginya bercakup mengeluarkan bunyi, menahan amarah.
"Sekarang kamu pergi, Wan, sebelum aku bilang sama Kak Muaz semua tentang kamu!"ancam Saqila.
Mata iwan merah, hatinya panas, kenapa Saqila tak juga mengerti perasaannya?
Iwan mendorong tubuh Sakila hingga terjengkang, dua tangan Saqila dicengkramnya, tubuhnya menindih Saqila.
"Tatap aku, Qila. Apa kamu nggak bisa lihat cinta aku ke kamu hah!"
Baru kali ini Saqila melihat Iwan semarah itu.
"Lepaskan, Wan!" pekik Saqila.
Iwan semakin kuat mencengkram tangan Saqila yang coba berontak. Wajahnya semakin didekatkan ke wajah Saqila.
"Apa kamu masih nggak lihat? Hah!"
"Lepaskan, Wan. Aku mohon," isak Saqila lirih, tubuhmya yang kecil tak mampu berontak melawan Iwan yang bertubuh kekar, dia hanya menangis lirih.
Tak tega Iwan melihat kekasih hatinya menangis, dilepaskan cengkramannya dan terduduk kesal.
Saqila mengelap air matannya kasar, tak menyangka Iwan senekad ini.
"Maafkan aku, Qila. Aku pulang sekarang, aku janji akan selalu datang ke sini, menemui kamu," ucap Iwan lembut, tangannya hendak mengusap air mata Saqila.
Ditepisnya tangan Iwan kasar, wajah Saqila berpaling.
Iwan memandangi Saqila yang semakin terlihat cantik, kulitnya semakin bersih, kasih sayangnya sangat besar untuk gadisnya ini. Akhirnya Iwan pamit undur diri, dia semakin yakin untuk mendapatkan hati Saqila kembali.
Ketika Muaz pulang, segera Saqila ceritakan segala yang terjadi antara mereka di kampung.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Saqila? Jika tahu dari awal, sudah kuusir dia!" Amarah Muaz memuncak, tak sangka Iwan menyakiti kedua adiknya
Saqila menggeleng memeluk Santi, menagis tersedu dia sangat takut.
"Kak ... Qila pengen menjauhi Iwan, takut dia semakin nekad, kasihan Kak Dina dan ibu," kata Saqila.
"Qila mau terima lamaran dari Pak Praja," sambungnya.
"Hah? Kamu yakin?"
Saqila angguk.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel