Cerita Bersambung
Muaz diminta menjemput Saqila, Elya dan Lena ingin mengajak calon kakak iparnya itu berbincang tentang masalah Adam.
Saqila dibawa ke sebuah cafe, di sana sudah ada adik-adik Adam menunggu. Minuman pun sudah mereka pesankan untuk Saqila, mereka duduk bertiga berhadapan, sementara Muaz menunggu di luar.
"Tinggal beberapa hari lagi kamu sama Bang Adam akan menikah, sebelum itu ... aku ingin menanyakan betul-betul tentang itikad baik kamu menerima kakak kami, apa betul kamu sudah siap menikah dengan Bang Adam?" tanya Elya memulai percakapan.
Saqila mengatur posisi duduk, menenangkan hatinya coba menjawab pertanyaan yang ia dengar, sebenarnya sangat gugup, khawatir mereka tak setuju punya calon kakak ipar sepertinya.
"InsyaAlloh aku siap," jawab Saqila.
"Apa kamu yakin? Alasannya apa?" timbrung Lena.
"Kamu tahu kondisi Bang Adam gimana?"
Saqila menggeleng.
"Aku akan ceritakan segala tentang Bang Adam, kamu bisa memilih mau melanjutkan atau membatalkan," terang Elya.
"Kamu sudah pernah menikah, kan, sebelumnya?"
"Iya," sahut Saqila.
Dia tertunduk, merasa seperti penjahat yang sedang diinterogasi. Bimbang jika statusnya jadi masalah bagi mereka.
"Sama kok, Bang Adam juga sudah pernah menikah, ini juga pernikahan kedua kalinya," timpal Lena.
"Kami nggak masalahkan status sosial, asalkan benar kamu bisa menyayangi kakak kami, bukan menikahinya karena harta lalu nanti meninggalkannya," tegas Elya.
Elya dan Lena mulai bercerita tentang Adam pada Saqila, semua dibeberkan secara gamlang tak ada satu hal pun yang terlewati tentang calon suaminya itu.
"Begitulah cerita tentang Bang Adam, apa kamu masih mau terima?" tanya Lena, ia meraih minuman yang ada didepannya, memandang ke arah Saqila menunggu jawaban.
Saqila tertegun cukup lama, tak ada niat apapun ketika dia ingin menikahi Adam, apa lagi urusan harta, sama sekali tak tertarik tentang harta orang lain. Murni semata hanya ingin menghindari Iwan.
Terenyuh hatinya ketika mendengar kondisi calon suaminya begitu menyedihkan, entah harus ia teruskan atau tidak pernikahan ini.
"Qila?" tegur Elya melihat Saqila tak juga memberi jawaban.
"Jika kamu ragu, kamu bisa batalkan."
Saqila melepas nafas berat, kenapa semua ini harus ia hadapi, apa mampu menjalani hidup bersama Adam kelak, ia mulai bimbang setelah mereka menjelaskan semuanya.
"Baiklah, aku siap. Akan kuterima dia dengan segala kondisinya, aku juga berharap dia akan menerima segala kekuranganku," jawab Saqila. Entah kekuatan dari mana ia sanggup memilih keputusan itu.
"Apa kamu nggak akan meninggalkannya?"
"InsyaAllah, jika sudah terikat pernikahan, aku akan bertahan dan mencoba jadi yang terbaik untuknya," ulas Saqila.
"Panggil Bang Adam aja, sama kayak kita," pinta Lena. Dia mengusap punggung tangan Saqila yang terhulur di meja.
"Iya."
"Syukurlah jika begitu, kita hanya ingin semuanya kamu ketahui tanpa menyembunyikan apapun, hingga nggak ada alasan untukmu meninggalkannya nanti."
"Aku akan tanya sekali lagi, kamu yakin ingin meneruskan pernikahan ini?" tegas Elya.
"Iya, aku siap." Saqila sudah yakin dengan jawabnya.
"Alhamdulillah," jawab Elya dan Lena serentak.
"Kami tinggal beda kota, jadi nggak bisa selalu memantaunya, hanya bertemu seminggu sekali itupun kalau kami nggak sibuk. Jangan jadikan dia beban, jadikan dia orang terkasih, yang membutuhkan cinta dan kasih sayang, meskipun kami menyanginya, tapi tetap beda kasih antara adik dan istri.
Kita sama-sama berusaha, InsyaAllah Bang Adam akan sembuh dengan dukungan dari kita semua, kamu nggak usah khawatir, Bang Adam orangnya baik kok," tutur Lena.
"Dia terlihat dingin, angkuh, egois tapi sesungguhnya lemah, itu hanya cara dia menutupi kekurangan." Elya menambahkan.
Saqila masih termenung, hanya mendengarkan tanpa membuka suara.
"Tenang aja, psikisnya doang yang lemah, fisiknya kuat sama yang lainnya juga normal kok," usik Lena.
"Elah, kayak tahu aja," sahut Elya meninju lengan adiknya.
"Haha tahu lah, aku kan dokternya," ulas Lena.
Saqila makin tertunduk malu, Elya dan Lena ikut mesem-mesem berhasil mengusik calon kakak iparnya.
Sekarang semua sudah jelas, Elya dan Lena cukup lega dengan keputusan Saqila. mereka melanjutkan memesan makanan, setelah selesai makan, mereka langsung pulang ke rumah masing-masing.
***
Acara ijab qobul pun tiba, hari dan tempat yang sudah diatur keluarga Pak Praja. Ruang keluarga dikosongkan dari segala furniture, terbentang luas permaidani membalut seluruh lantai, suasana sengaja diciptakan layaknya ijab qobul di masjid.
Sekeliling dinding ruangan dihiasi dekorasi yang indah, bunga diselipkan disetiap hiasan dan disetiap sudut ruangan. Bagi keluarga Pak Praja ini hal sederhana, tapi bagi Saqila ini cukup mewah.
Saqila berada di kamar tamu, sudah ada perias pengntin yang sengaja dipanggil ke rumah ini. Kebaya putih dengan desain yang elegan nan mewah seganja dipesan di butik kepercayaan keluarga Pak Praja, bagian belakangnya menjuntai hingga ke mata kaki, membuat pemakainya terlihat anggun.
Saqila meminta riasan wajah yang simple dan tak mencolok, lagi pula ini hanya prosesi ijab qobul. Setelah selesai, ia menatap wajahnya di cermin, tak yakin bahwa yang ada dipantulan cermin adalah dirinya.
Dia terlihat cantik, riasan yang sangat rapi, terlihat begitu alami tanpa kesan seperti memakai topeng.
Uang lah yang bicara, ada harga ada kwalitas. Pernikahan Saqila yang sebelumnya, riasan pengantin ketara sangat mencolok dan menor, tapi kali ini Saqila merasa takjub.
Inginya, tak usah ia make-up, biar suaminya tahu wajah aslinya tanpa dempul. Adam belum pernah bertemu dengannya, khawatir hanya terlihat cantik saat berhias, ketika riasan dihapus, nampak lah aslinya. Namun Saqila ikut saja, demi menghormati tuan rumah yang menyediakan segalanya.
Di ruang keluarga sudah hadir tamu undangan, tak banyak yang hadir sengaja di batasi hanya orang-orang terdekat saja. Pak penghulu pun sudah berada di sana.
Meja panjang serta beberapa kursi yang dibalut kain putih terpasang di tengah ruangan. Pak penghulu, Muaz sebagai wali untuk Saqila dan beberapa saksi serta Adam sebagai mempelai lelaki duduk di kursi tersebut.
[Lho? Bukankah ijabnya mau duduk berkumpul seperti di mesjid, kok malah duduk di sana?] Saqila bertanya dalam hati.
Teringat cerita Elya dan Lena, Saqila pun mengerti, itu semua karena kondisi calon suaminya. Saqila duduk agak jauh dari meja tersebut, bersimpuh di dekat Bu Wening dan ibunya serta Santi juga para tamu wanita lainnya.
"Sah."
"Alhamdulillah," ucap semua yang hadir serentak.
Butuh beberapa kali ulang untuk Adam mengucapkan ijabnya, dia gugup dan kaku. Dua dokter cantik sengaja berdiri di dekat Adam mengapit kakaknya, jaga-jaga jika ada sesuatu yang tak terduga.
Saqila dipanggil kehadapan penghulu, duduk di kursi berdampingan dengan suaminya. Ya ... sekarang dia sudah sah bergelar istri dari suami yang tak ia kenal.
Mereka berdua berhadapan, pak penghulu meminta Adam mengucap ikrar pernikahan. Tangan Adam diletakan di atas puncak kepala Saqila, ia tunduk membaca ikrar yang sudah tertulis diselembar kertas. Suaranya lirih nyaris tak terdengar, bahkan beberapa kali terjeda untuk menarik nafas panjang.
Selanjutnya, mereka akan saling bertukar cincin pernikahan. Untuk pertama kali pandangan mereka beradu.
Deg deg deg
Ternyata suaminya lebih tampan dari yang ia lihat dalam gambar, wajahnya halus tersorot lampu ruangan yang sangat terang. Begitupun Adam, tertegun melihat perempuan berparas manis, bertubuh mungil dihadapanya, serasa ia menikahi seorang gadis belia. Menatap Saqila cukup lama dengan perasaan tak karuan.
"Ayo, pasangkan cincinnya," ucap Pak penghulu.
Keduanya dikejutkan dari lamunan masing-masing. Adam mengangkat jari Saqila, tangannya bergetar berusaha memasukan cincin, tangannya terasa lemah.
[Kenapa cincin ini terasa begitu berat?]
Elya dan Lena mendekat dan mengelus pundak Adam.
"Tenang Bang." Lena berbisik di telinga kakaknya, mensugesti agar Adam tenang.
Fiuh...
Adam melepas nafas panjang, ketika cincin berhasil mendarat di jemari istrinya. Saqila yang kini memakaikan cincin di jari Adam, semua tersenyum bahagia, hanya Adam yang raut mukanya terlihat tegang.
Semua prosesi selesai dilakukan, hingga jam sepuluh malam tamu undangan masih ramai. Adam dari tadi sudah berada di kamarnya, dia mengadu pusing, sementara Saqila masih berbaur bersama para tamu.
"Kami pulang ya, Saqila," pamit Muaz.
"Lho bukannya ibu mau nginep bareng Qila di sini, kok pulang, Bu?" rengek Saqila pada Bu Dewi.
"Ibu besok harus pulang subuh-subuh, kasian Dina sudah lama ditinggal," jawab ibunya.
"Besan nggak nginep tho?" tanya Bu Wening yang dari tadi berkumpul bersama ibunya Saqila.
"Nggak, Besan, besok mau brangkat subuh jadi biar dari sana saja," sahut Bu Dewi.
"Kan bisa berangkat dari sini, bisa Muaz antar pake mobil Bapak," tawar Bu Wening dengan logat has jawanya yang kental.
Berkali-kali dibujuk Saqila, ia tetap minta pulang, Bu Dewi merasa segan tinggal di rumah mewah milik mertua Saqila.
Mau tak mau Saqila melepas ibunya, ia menangis memeluk Bu Dewi. Sebelum pulang Bu Dewi memberi sedikit wejangan pada Saqila, mendoakan supaya rumahtangga anaknya langgeng dan bahagia.
Diantarnya Bu Dewi ke luar hingga masuk kedalam mobil yang dibawa Muaz, tatapan Saqila mengikuti mobil yang membawa ibunya melaju meninggalkan rumah ini.
Saqila kembali masuk ke rumah, membayangkan bagaimana sikap keluarga Pak Praja nanti, kegusaran mengganggu hati dan pikirannya.
[Apa aku akan di terima dengan baik di sini? Bagaimana sikap mertuaku nanti?]
"Kami juga mau pulang, nanti kalau nggak sibuk, hari Sabtu sore kami nginep di sini," ujar Elya pada Saqila.
"Oiya, sini sebentar," pinta Lena mengajak Saqila duduk di sampingnya.
"Ini obat Bang Adam, kamu bisa pegang, simpan baik-baik."
Lena memberikan botol obat berwarna putih pada Saqila, ia meminta agar Saqila menyimpannya di tempat aman, biasanya obat Adam dipegang oleh Bu Wening, yang di simpan di kamarnya.
Di kamar Adam hanya disediakan dosis sekali minum yang di simpan dalam laci. Tempat obat harus diperiksa tiap hari dan jangan lupa mengisi ulang jika sudah kosong
Jika Adam yang menyimpan semua obatnya, takut membahayakan, Adam pernah koma gara-gara sengaja meminum semua obat yang ia simpan di kamarnya.
"Aku titip Amih sama kamu, Amih juga kesehatannya kurang baik," pinta Lena
Bu Wening pernah terkena stroke. Ia tak bisa berjalan selama dua tahun, setelah berobat dan menjalankan berbagai terapi, Bu Wening bisa berjalan kembali, hanya saja ia berjalan tak seperti biasa, sangat pelan dan sedikit jingkat.
"Tenang saja, Amih nggak akan merepotkan menantu Amih, masih bisa urus diri sendiri, menjadi istri Adam saja sudah cukup," ujar Bu Wening pada Saqila.
"Nggak apa-apa, Bu. Qila sekarang udah jadi bagian keluarga ini apapun yang Ibu butuhkan, minta tolong aja ke Qila," jawab Saqila, ia cukup senang mertuanya begitu lembut.
"Panggil Amih saja, semua di sini panggil 'Amih' dan 'Apih', dulu waktu Adam kecil dan belum lancar bicara, dia manggil Mami tapi sebutannya amih, panggil Papi sebutnya apih, masih cadel. Eh, malah sampe gede tetep manggilnya amih apih, adik-adiknya lahir semua ikutan manggilnya gitu." Bu Wening terkekeh menceritakan asal usul nama panggilannya.
"Iya Amih," ucap Saqila.
Tenyata keluarga Pak Praja tak seperti yang ada dipikirannya, mereka baik dan menghormatinya.
Bu Wening mengantar Saqila ke kamar Adam, terlihat lelaki itu sedang duduk bersandar di atas ranjang membaca buku.
***
Pandangan Saqila menyapu seluruh kamar Adam, luas dan rapi, hanya ada tempat tidur dan dua meja kecil mengapit ranjangnya. Satu meja sebelah kanan penuh dengan buku dan meja sebelah kiri dibiarkan kosong.
Kamar Adam kosong, tak terlihat lemari pakaian atau apapun di sana, ada dua pintu di dinding yang berbeda.
Saqila mengambil pakaian salin dari kopernya yang sudah di simpan di kamar, ia mengambil baju tidur lengan panjang.
Di karenakan kamar itu ada dua pintu, Saqila tak tahu yang mana pintu kamar mandi.
"Mm ... kamar mandi mana?" Saqila memberanikan diri bertanya pada suaminya yang dari tadi diam saja.
Tanpa bicara Adam hanya menunjuk pintu kamar mandi.
Saqila bergegas salin baju dan wudhu untuk salat isya, setelah selesai ia berjalan perlahan ke arah ranjang. Adam masih tak mengucap satu kata pun, membuat Saqila bingung.
Melihat Saqila masih berdiri, Adam menepuk bantal di sebelahnya, Saqila mengerti itu kode dari suaminya, ia diijinkan tidur seranjang dengannya. Beranjak naik dan berbaring membelakangi Adam, ngantuk mulai menghiasi matanya, Saqila terlelap.
Tak berapa lama ia dikejutkan dengan pelukan dipinggangnya, satu tangan meremas jemarinya terasa kepala suaminya itu menyusup di belakang punggung, hembusan nafas suaminya terasa hangat di tengkuk.
[Ah gimana ini? Apa aku sudah siap?]
Jantung Saqila memacu kencang, Adam memang memiliki hak untuk melakukan apapun pada dirinya. Tapi Saqila bingung bagaimana cara memulainya.
Saqila hanya menunggu kelanjutan malam panjangnya ini, menanti tindakan suaminya. Saqila menunggu sudah cukup lama, bahkan matanya mulai mengantuk kembali, tapi tak ada yang terjadi.
Posisi Adam masih tetap sama, tak bergerak bahkan genggaman tangan Adam mulai mengendur. Saqila memberanikan membalik badan menghadap suaminya, mata Adam tertutup.
[Tidur?]
[Huh. Apa cuma begini aja?]
Seolah ia mengharapkan sesuatu yang lain dari suamimya. Ditatapnya wajah Adam, dengan cahaya lampu kamar yang temaram, wajahnya tetap terlihat tampan, jika dibandingkan Wahyu ia jauh lebih menawan, hanya saja badannya agak kurus beda jauh dari Iwan yang bertubuh kekar, mungkin karena Adam sakit, tapi tinggi badannya lebih tinggi dari Iwan dan Wahyu, ketika Saqila berdiri di dekatnya, tinggi Saqila hanya sebatas dadanya. Suaminya lebih mirip tiang listrik.
Sepertinya malam ini akan ia lewati begitu saja, Saqila cukup lega, karena sekarang dirinya belum begitu siap, ia kembali tertidur.
Setelah istrinya lelap, Adam membuka matanya. Sedari tadi ia hanya memejamkan mata, sama sakali tak bisa terlelap. Awalnya memang dia tak menginginkan Saqila, tapi setelah berhadapan dan tidur di ranjang yang sama dengan perempuan yang sudah mnjadi istrinya ini, perasaannya tak karuan.
Seperti kucing yang disuguhkan ikan, tadi ia memeluk Saqila, berharap istrinya merespon dan memberikan haknya. Ingin malam ini jadi malam indah mereka berdua, tapi setelah Saqila berbalik badan, nyalinya ciut dan pura-pura tidur.
Dadanya makin bergemuruh, menahan getaran, bagaimana pun dia lelaki normal. Seorang perempuan cantik sudah halal memasrahkan diri untuknya, ia hanya menatap wajah Saqila.
Bingung dengan tingkahnya, Adam menggiti bibir. Ibu jarinya menyentuh bibir istrinya yang tipis, gemas ingin saja ia menggigitnya. Saqila tak juga membuka mata, makin menatap Saqila makin pusing kepalanya.
[Ah, aku harus apa?]
Tiba-tiba bayangan masa lalu menghantuinya, ditinggalkan oleh orang terkasih, hatinya kembali sakit. Ia berpikir, Saqila pun akan seperti itu.
Niatnya untuk menjadi singa yang siap menerkam mangsanya malam ini, ia urungkan. Trauma membuatnya meninggikan ego. Meminta dirinya untuk sadar akan kondisinya saat ini.
Perasaannya mulai gundah, dadanya sakit dan sesak. Adam membuka laci samping ranjangnya. Di sana ada obat yang selalu jadi temannya, menghilangkan hati gelisah. Ia bangkit lalu keluar dari kamarnya.
==========
Setelah meminum obatnya, Adam berbaring di sofa untuk menenangkan emosinya. Efek obat perlahan membuatnya mengantuk, ia kembali masuk kamar. Saqila masih dibuai mimpi, hilang sudah rasa penasaran terhadap istrinya itu.
Adam menarik bantal dari tempat tidur, ia baringkan diri di karpet beludru yang tergelar di lantai.
Adzan subuh berkumandang dari masjid komplek perumahan ini. Saqila membuka mata, memalingkan wajah ke kiri tempat suaminya tidur bersamanya malam tadi, tapi Adam sudah tak berada di tempat.
Saqila beringsut menurunkan kaki dari ranjang.
[Lho? Kok tidur di bawah? Apa dia marah?] pikir Saqila.
Saqila mengambil pakaian dan handuk yang ia letakan begitu saja di kopernya, belum tahu harus menempatkan barangnya di mana, suaminya pun belum menerangkan apa-apa. Saqila melenggang menuju kamar mandi.
Kamar Adam memang senantiasa sejuk oleh pengatur suhu ruangan, tetap saja hawa ibu kota membuatnya ingin mandi berlama-lama. Membiarkan tubuhnya dialiri air shower, serasa sedang mandi hujan.
Tok tok tok
Suara pintu kamar mandi diketuk dengan cepat.
"Sebentar," teriak Saqila dari dalam. Segera ia menyelesaikan mandi dan mengenakan handuk, diambil sikat gigi yang ia bawa sendiri.
Tok tok tok!
Ketukan pintu kali ini agak kuat dan berdendang.
[Ih, nggak sabar banget, padahal bisa cari kamar mandi lain.] gerutu Saqila.
Mulutnya masih penuh dengan busa dan sikat gigi di mulut , Saqila membuka sedikit pintu kamar mandi.
"Ada apa?" tanya Saqila dengan kepalanya saja yang menyembul.
Tanpa menjawab Adam langsung masuk, mata Saqila terbelalak, cepat-cepat ia berkumur dan lari ke luar. Meskipun Adam sudah menjadi suaminya, tapi jika harus sekamar mandi bersama ia belum terbiasa.
Baju salin yang dibawa ke kamar mandi tadi tak sempat ia ambil, Saqila mengambil pakaian baru. Bergegas ia kenakan, khawatir suaminya ke luar dari kamar mandi. Pakaian dalam sudah ia kenakan, masih berhanduk meraih rok panjang, dan memakainya ketika baju kaos panjang masih di lehernya, Adam keluar dari kamar mandi.
Arrhh!
Saqila menutup bagian tubuhnya yang belum sempat ia kenakan baju dengan handuk. Adam tertegun menatap istrinya, ia mendekat, berdiri beberapa saat dihadapan Saqila lalu menarik koper menuju pintu yang terletak di ujung kamar.
Adam membuka pintu dan meletakan koper di dalam, lagi-lagi hanya tatapan dan isyarat tangan menunjuk yang berbicara, sama sekali tanpa suara tanpa ekspresi. Saqila mengekor masih dengan mendekap handuk lalu masuk ke ruangan tersebut.
"Waaah."
Pantas saja di kamar Adam tak terdapat lemari, ternyata semua ada di ruangan ini, berjejer lemari-lemari besar, ruangan yang cukup luas. Satu per satu Saqila buka pintu lemari, melihat-lihat apa saja di dalamnya. Baju-baju Adam berjejer rapi di sana, jam tangan, sepatu, dasi, terpampang seperti di toko, hingga Saqila menemukan sesuatu.
Ternyata ini yang membuat suminya terlihat normal. Saqila kembali menutup lemari dan melanjutkan berpakaian. Meskipun Saqila belum melihat sendiri kecacatan suaminya, tapi dengan mendengar cerita dari Elya dan Lena itu sudah cukup mengetahui keadaan Adam.
Ketika ia keluar, ternyata Adam masih berdiri di depan pintu, menunggu Saqila ke luar, ia akan berganti baju untuk salat, tatapannya dingin.
Saqila kembali ke kamar mandi tadi tak sempat berwudhu, ketika ke luar, suaminya sudah memakai baju koko dan sarung dengan kopiah ditangannya, bersiap berangkat ke masjid terdekat.
Saqila tak memungkiri hakikat suaminya memanglah tampan, sepertinya apapun yang di kenakan Adam akan semakin menambah ketampanannya.
Tanpa menoleh ke arah Saqila yang sedang menatapnya, Adam ke luar, wajahnya sedikit kesal, telat ke masjid gara-gara Saqila mandi terlalu lama.
***
Ini pagi pertama Saqila jadi menantu di keluarga Adinegoro, ia masih sangat kaku, apalagi Adam tak dapat di ajak komunikasi, tapi ia harus bersabar.
Saqila menuju dapur, di sana sudah ada asisten rumah tangga yang mulai sibuk dengan pekerjaannya.
"Eh, Non, kok ke sini? Pengantin baru mah biasa jam segini masih di kamar," usik Bi Ijah melihat Saqila menghampirinya.
Saqila tersenyum, mengenalkan diri pada Bi Ijah. Mereka sedikit berbincang, sifat Saqila yang ramah membuatnya mudah berbaur dengan siapapun.
"Ada yang bisa Qila bantu, Bi?"
"Nggak usah, Non masuk aja temenin Den Adam, biar Bibi yang bikin sarapan." Bi Ijah menolak tawaran Saqila.
Saqila bersikeras ingin membantu, ia bingung harus melakukan apa di rumah mertuanya ini.
"Ini untuk apa, Bi?" tanya Saqila sambil menunjuk ke arah air yang dijerang di atas kompor.
"Ini buat bikin bubur Den Adam, tunggu airnya mendidih dulu baru Bibi masukan beras," jawab Bi Ijah.
"Bubur?"
"Iya, Den Adam ada masalah dengan lambungnya, kalau banyak pikiran atau salah makan lambungnya kumat, makanya Non Lena minta Bibi sediakan bubur, jangan kasih makanan keras dulu."
Ternyata banyak sekali sakit yang diderita suaminya, fisik dan psikis, wajar saja ia bersikap dingin seperti itu, pasti karena tekanan. Kini tugasnya harus menjadi penghibur bagi Adam.
"Nggak apa-apa, Bi. Biar Qila yang bikin sarapan untuk Bang Adam," pinta Saqila kukuh.
Saqila membuka kulkas dan mencari bahan untuk campuran bubur. Dia mengambil sepotong daging sapi, direbus hingga lembut, lalu ia blender dan air kaldu digunakan merebus nasi.
"Qila kalau bikin bubur, nggak pake beras, langsung pakai nasi biar cepat mateng," tutur Saqila.
"Oh gitu, Bibi baru tahu," sahut Bi Ijah.
Bubur hampir siap, ia masukan kentang dan wortel yang sudah diparut, diaduk sampai semua matang.
"Beres, tinggal tabur bawang goreng," gumamnya.
Lalu Saqila membuat nasi goreng untuk sarapan mereka, sengaja ia lebihkan, mana tahu mertuanya juga suka.
Bi Ijah sangat senang dan merasa terbantu. Saqila sangat tangkas dan ramah, baru kenal dengan Bi Ijah ia sudah bercanda dan tertawa di dapur sambil memasak.
Sarapan sudah terhidang di meja, tak lupa Bi Ijah memberitahu Saqila dimana biasa Adam duduk, bubur dihidangkan di sana.
"Wah, Saqi masak apa?" Bu Wening menghampiri menyapa Saqila yang sedang menyiapkan makanan di ruang makan, Bu Wening memanggilnya dengan panggilan 'Saqi'.
"Nasi goreng, Mih," jawab Saqila sambil menata beberapa piring.
"Kok, warnanya ijo?"
"Iya, nasi goreng cabe ijo, tapi nggak pedas kok," jawab Saqila lembut.
"Pih! Sini, kita sarapan, ini udah di masakin mantu," teriak Bu Wening pada suaminya yang masih di kamar.
Pak Praja keluar mendengar panggilan istrinya, menuju ruang makan.
"Wah, enak banget ini nasi gorengnya," puji Pak Praja yang sudah meyuapkan nasi ke mulutnya.
Saqila menuju kamar mengajak Adam sarapan, terlihat suaminya sedang membaca buku 'Kisah Rasulullah'.
"Abang, sarapan dulu," ajak Saqila berdiri di dekat Adam.
"Hm."
Saqila membiarkan saja suaminya yang enggan ikut ajakannya, ia kembali ke dapur untuk membantu Bi Ijah membereskan dapur bekas mereka memasak.
Adam ke luar dari kamarnya, buburnya sudah terhidang di meja. Dia mengernyitkan alis melihat warna bubur yang agak aneh. Tak banyak protes ia langsung menyantapnya.
Setelah selesai sarapan, Pak Praja pergi ke kantor dijemput Muaz, Saqila pun sempat bicara sebentar dengan kakaknya. Ia kembali masuk untuk membantu Bi Ijah menyelesaikan tugas rumah hari ini.
"Non, buburnya abis lho," adu Bi Ijah senang.
"Emang biasa nggak habis ya, Bi?"
"Nggak pernah non, kadang sampai nggak di makan, seharian makan buah aja, makan bubur terus mual katanya," sahut Bi Ijah.
"Alhmadulillah Bi, mulai sekarang Qila yang masak untuk Bang Adam."
"Siap, Non, tapi Bibi bantu."
"Iya, Bi, terimakasih."
Adam jarang pergi ke kantor, apalagi jika kondisi kesehatannya sedang menurun ia seringnya bekerja di rumah, menerima laporan dari asisten pribadinya sekaligus sahabatnya sendiri, segala pekerjaan Adam semua diserahkan pada Tiyo, tugas Adam hanya menerima laporan dan memberi arahan.
Menjelang sore Bu Wening mengajak Bi Ijah untuk jalan-jalan sore di sekitar komplek, seharian hanya duduk di rumah tanpa pekerjaan membuat otot kakinya terasa beku, jika sedang ada pengajian, rutin ia pergi mengajak Bi Ijah. Namun hari ini sedang tak ada pengajian, hanya rebahan di rumah. Saqila menawarkan diri untuk ikut menemani mertuanya itu.
"Nggak usah, Saqi di rumah aja temani Adam, Amih cuma jalan santai aja, di taman komplek deket sini ada batu-baru yang biasa diinjak untuk terapi kaki," terang Bu Wening.
"Baiklah, Amih hati-hati ya."
"Iya, Saqi, besok Amih ada pengajian mingguan, ikut ya."
"Iya, Amih boleh, Qila mau." Saqila sangat senang bisa diajak belajar ilmu agama lebih banyak lagi. Selama ini ia sibuk bekerja, ini saat yang tepat untuknya memperbanyak pengetahuan tentang agama.
Menjelang malam suami dan mertuanya berkumpul di ruang keluarga, menonton acara televisi, bagi Pak Praja bisa ngobrol bersama dengan anak istrinya cukup menghilangkan penat.
Saqila masih di kamar baru saja menyelesaikan salat isya, Adam masuk menghampirinya, ia duduk di tepi tempat tidur.
"Hari ini tidur di atas," kata Adam. Baru kali ini Saqila diajaknya berbicara setelah seharian membisu.
"Siapa? Kita?"
"Kamu."
Hah?
Saqila terperangah. Kenapa dia harus tidur atas? Apa karena suaminya marah semalam ia tak memberikan haknya. Saqila duduk di samping suaminya.
"Maafin Qila soal semalam, malam ini ... Qila nggak bakal nolak, Qila udah siap," lirih Saqila, ia tertunduk.
Meskipun malu ia berusaha membuang ego, meluruhkan gengsi, bagaimanapun sudah jadi kewajibannya sebagai seorang istri untuk taat pada suami. Adam punya hak ke atasnya, Saqila berpikir bahwa gara-gara kejadian semalam yang gagal, ia sampai diminta tidur di kamar atas.
"Bukan itu," jawab Adam singkat.
"Lalu?"
Hening.
Tak ada jawaban, Saqila pun akur, mau bagaimana lagi, hati Adam belum bisa diluluhkan, ia hanya perlu bersabar. Bukan berarti Saqila sudah ngebet pada suaminya, ia sendiri belum memiliki rasa, hanya sebatas tanggung jawab dan janji yang sudah ia pegang, selagi Adam masih menerima, Saqila akan perjuangkan rumah tangganya.
"Jangan bilang siapa-siapa," pinta Adam. Dia tak ingin mengecewakan orang tuanya.
Saqila mengerti lalu ke luar ikut berkumpul di ruang keluarga bersama mertuanya yang sedang bercengkerama membahas acara tivi.
***
Ding dong!
Bi Ijah membukakan pintu, tamu yang datang sudah ia kenal dan langsung saja dipersilakan masuk menuju ruang keluarga.
"Assalamu alaikum."
"Walaikum salam, eh Thea, kok baru datang? Kenapa nggak kemarin pas acara?" Pak Praja bertanya dan menyambut tamunya.
"Maura demam, Pih, ini juga aku datang sebentar aja, nggak bisa tinggal dia lama-lama," ujar perempuan itu.
"Moga Maura cepat sembuh, padahal Amih kangen lho sama dia," tutur Bu Wening.
"Nah, kenalkan ini istrinya Adam," lanjut Bu Wening menunjuk Saqila.
Saqila menghulurkan tangan.
"Saqila."
"Theana." Tangan Saqila disambut perempuan itu.
"Qila mau ambilin minum dulu ya, Mih."
Mertuanya angguk.
Saqila sempat memandang lekat ke arah perempuan itu, parasnya begitu cantik, sampai-sampai matanya tak berkedip, meskipun ia sama-sama perempuan, tapi melihat Theana, dia begitu kagum dengan kecantikannya.
"Itu sipa, Bi? Cantik banget," tanya Saqila pada Bi Ijah sesaat setelah ia berada di dapur.
Perempuan bertubuh tinggi, langsing dan pipi agak berisi. Dengan gaya yang modis, semakin menunjang kecantikannya.
"Itu mantan istrinya Den Adam," jawab Bi Ijah.
Deg!
Jelas jauh berbeda jika di bandingkan dirinya dengan mantan istrinya Adam, ada rasa kurang percaya diri melihat perempuan yang pernah mendampingi Adam secantik itu.
"Dia sering kesini, semenjak suaminya meninggal kena serangan jantung. Dia masih ada ikatan kekerabatan dengan keluarga Bu Wening. Makanya biarpun sudah bercerai, Non Thea sering ke sini. Dulu Non Thea ini menantu kesayangannya Ibu. Sebenarnya dia ingin balikan lagi sama Den Adam, tapi Den Adam menolak," bisik Bi Ijah. Ternyata Bi Ijah cukup banyak mengetahui tentang keluarga mertuanya.
"Kok menolak, Bi? Padahal dia cantik banget lho." Entah mengapa mendengar perempuan itu ingin balikan lagi, cukup membuat hati Saqila resah.
"Nggak tahu juga, Non. Yang jelas dulu Den Adam sampai mengamuk nggak mau bertemu Non Thea lagi," terang Bi Ijah.
"Oh, ya sudah Qila antar minuman dulu ya."
Saqila menyuguhkan minuman untuk perempuan itu, pandangannya masih saja tertuju pada Theana. Adam pun sudah ada di sana berkumpul bersama.
[Kenapa Bang Adam menolak balikan, padahal dia bgitu cantik.] batin Saqila.
"Selamat Adam, semoga sakinah, mawadah, warahmah," ucap Theana dengan senyum mengembang.
"Makasih," jawab Adam singkat, sama sekali tak menoleh ke arah Theana.
Theana, Bu Wening dan Pak Praja bercerita tentang keluarga mereka dan tertawa bersama, sesekali Saqila hanya ikut tersenyum, ia tak tahu arah pembicaraan keluarga ini. Sedangkan Adam sudah lebih dulu meninggalkan ruangan itu.
Theana pun pamit, Bu Wening dan Pak Praja masuk ke kamar untuk beristirahat. Saqila masih termenung sendiri di ruangan itu, malam ini ia harus tidur di kamar atas, tak berdosa baginya tidur jauh dari suami karena ini bukan keinginannya.
Dia bergegas melangkahkan kaki menuju lantai atas, melewati kamar Adam. Saqila mendengar suara raungan dari dalam, segera ia masuk kamar.
Adam sedang meringkuk meremas kepala, menangis meraung-raung.
"Abang kenapa?" Saqila berhambur ke arah suaminya.
Adam menggigil, keringat dingin bercucuran, buku-buku di meja sudah berserakan di lantai. Dibukanya laci untuk mengambil obat, ternyata botol obat itu kosong.
[Astagfirullah, aku lupa isi ulang obatnya.]
Obat masih dalam koper sengaja ia sembunyikan, Saqila mengambilnya cepat. Rasanya cemas sekali melihat suaminya seperti itu, ia berlari mengambil air ke dapur, setelah itu obat diminumkan pada suaminya.
"Tenang, Bang, di sini ada Qila, apapun yang terjadi Qila nggak akan ninggalin Abang." Terdengar seperti kata-kata bodoh yang tak seharusnya ia ucapkan, tapi Saqila tak peduli, asalkan suaminya tenang apapun akan ia lakukan.
Dipeluknya Adam yang masih meraung, Saqila mengusap-ngusap punggungnya dan memeluk semakin erat. Ternyata seperti ini kalau suaminya sedang terserang panik.
Pantas saja kamarnya kosong, memang sengaja, agar tak dijadikan pelampiasan oleh Adam. Kata Lena penyakit Adam kambuh selalu ada pemicunya, tapi apa? Dari pagi tadi dia tak ke luar rumah, apa yang dia cemaskan. Apakah sebab Theana?
Saqila bingung, ia membuang nafas lemah , mungkin suaminya belum melupakan Theana, mantan istrinya atau dia marah pada perempuan itu? Entahlah. Pikiran Saqila resah.
Nafas Adam mulai teratur, tak terasa pelukan Adam sangat erat pada Saqila, Saqila tak peduli apapun, hanya ingin suaminya tenang, diusap-usapnya rambut Adam lembut, seperti membelai anak kecil yang merengek minta disayang.
Perlahan Adam melepas pelukan Saqila.
"Aku sudah nggak apa-apa, kamu boleh pergi."
"Qila di sini aja nemenin Abang."
"Nggak usah," sahutnya tegas.
Saqila tak bisa memaksa, ia nurut saja. Saqila minta Adam menyimpan nomornya, jika ada apa-apa gampang menghubungi. Saqila pergi meninggalkan Adam.
Adam memejamkan mata, dia merasa Saqila cukup sabar menghadapinya. Semakin Saqila baik padanya, dia semakin takut.
Takut ditinggalkan.
Dia lebih baik ditinggal Saqila sekarang juga, mumpung ia belum mencintainya, hatinya masih rapuh dan lemah menerima setiap kenyataan yang menimpanya. Ingatanya kembali ke masa lalu, masa-masa menyakitkan hingga ia merasa tak ingin hidup.
***
Enam tahun yang lalu.
Muhammad Adam Dienzy Adinegoro, genap usianya 24 tahun. Di usianya yang masih terbilang muda, ia menjadi pengusaha sukses di segala bidang di perusahan milik ayahnya. Seorang yang perfeksionis dalam segala hal, ramah, humoris dan rendah hati, mengikuti sikap ayahnya Praja Sukma Adinegoro.
Kesuksesan yang ia raih serta ketampanan menjadi penunjang, tak pelat ia ramai diincar gadis-gadis sosialita nan matre, sering jadi bahan perbincangan hangat para sekretaris cantik di kantornya.
Kecintaannya pada pekerjaan dan perusahaan, tak pernah terbesit ingin menikah di usia muda. Adam menjadi harapan utama bagi ayahnya untuk meneruskan bisnis perusahaan keluarganya.
Suatu ketika, ayahnya menjalin hubungan bisnis dengan kerabat jauhnya. Dalam sebuah pertemuan, Adam dikenalkan dengan seorang gadis, anak dari kerabat ayahnya itu, tak disangka pertemuan mereka berujung cinta. Kedua pihak keluarga sangat bergembira menyambut hubungan mereka, yang pasti akan semakin menguatkan hubungan bisnis dua keluarga ini.
Hanya dua bulan perkenalan, mereka memutuskan untuk menikah. Pesta pernikahan digelar luar biasa mewah, dihadiri para memilik perusahan terkemuka beserta rekan-rekan bisnis mereka. Mendapatkan istri yang cantik nan cerdas, sukses dalam bisnis, semakin bertambahlah kebahagian Adam.
Namun kebahagian mereka tak berlangsung lama, badai kencang menerpa, menjadi awal kehancuran hidup Adam. Tiga bulan usia pernikahan Adam dengan Theana, sedang indahnya menikmati madu cinta mereka, ia harus terlibat kecelakaan.
Kaki kiri Adam remuk nyaris terputus, kaki Adam tak mungkin bisa diselamatkan. Jalan satu-satunya adalah amputasi, bagian kaki dibuang hingga batas lutut.
Adam siuman dari koma beberapa hari, mendapati dirinya tanpa kaki kirinya, bukan main ia marah, meraung, menjerit kecewa yang luar biasa. Tak terima atas kecelakaan yang menimpa dirinya.
Sangat sulit bagi Adam harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya, meskipun ayahnya berjanji nanti Adam masih tetap bisa berjalan layaknya orang normal, ia masih tak terima.
Jaman yang serba canggih, dengan kekayaan yang melimpah, kecacatan bisa mereka tutupi, dibuatkan untuk Adam kaki palsu yang di disain sesuai ukuran dan kenyamanan kakinya.
Dibuat oleh seorang ahli diluar negri, dengan bentuk yang hampir menyerupai kaki aslinya dan bisa dengan mudah ia bongkar pasang.
Setahun pasca kecelakaan, ia terkena PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) gangguan psikis yang mengubah hidupnya.
Adam menjadi pribadi yang pendiam, temperamental, kesulitan untuk tidur, sering ingin bunuh diri dan melukai orang lain. Hal ini pula yang membuat Theana istrinya ketakutan dan menggugat cerai Adam.
"Maafin aku, Pih. Aku nggak sanggup hidup dengan Adam jika keadaannya begitu terus, dia bukan hanya mencelakai diri sendiri, tapi sering ingin mencelakai aku juga," keluh Theana pada Pak Praja mertuanya.
Pak Praja pun menyadari hal itu, Adam sudah tak seperti dulu. Dengan kecewa dan berat hati ia ijinkan menantunya menggugat cerai.
Makin menjadilah tekanan dalam hidup Adam, kepercayaan dirinya kian hilang. Ia yang cacat fisik dan psikis membuat orang yang dicintai tega meninggalkannya dalam kondisi terburuk dan terpuruk.
Beberapa tahun Adam menjalani hidup dengan berbagai terapi dan obat-obatan, keluarganya selalu berusaha untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.
Bukan mudah untuknya menerima cobaan hidup yang begitu pahit. Kesabaran dan kasih sayang keluarga yang selalu menguatkanya, sabar menghadapi ulahnya yang kadang tak masuk akal.
Perlahan Adam mulai sembuh dari gangguan psikisnya, setelah menjalani serangkaian pengobatan dan berbagai terapi termasuk rukiyyah.
Tetap saja kesembuhannya belum 100 persen, malah mendatangkan pula penyakit lain, ia mengidap Psikosomatis, penyakit ganguan kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit psikis yang ia detita sebelumnya, juga Anxiety Disorder (gangguan kecemasan/serangan panik).
Jika dulu PTSD ia sering ingin bunuh diri, tapi Anxiety ini menyebabkannya takut akan sebuah kejadian yang akan menimpanya, su'udzon pada sesuatu yang belum terjadi.
Ketika ia berada di keramaian, ia akan merasa bahwa akan mati sesak di tengah kermaian. Ketika mendengar hujan deras, ia merasa akan ada banjir bandang dan mnenggelamkannya lalu mati, bahkan ketika ia duduk di bawah pohon dekat rumahnya, ia merasa pohon itu akan tumbang menimpa dirinya lalu mati.
Ya ... perasaan takut mati. Orang yang tak mengenal penyakitnya akan menganggap ia lebay, tipis iman, dan terlalu berlebihan. Namun memang begilulah hakikatny riwayat penyakit yang menyerang kadang secara tiba-tiba.
Darah seolah mengalir deras di tubuhnya dan terasa mendidih, sensasi tubuh seperti terbakar, pusing, mual, muntah, sesak nafas dan jantung yang berdetak hebat. Jika kambuh, Anxiety membuat penderitanya merasa akan mati hari itu juga, serasa malaikat maut akan segera menjemputnya.
Obat penenanglah yang menjadi teman ketika hal itu kambuh. Sebenarnya Anxiety bisa disembuhkan tanpa obat, dukungan moril dan kasih sayang orang-orang terdekat yang sangat dibutuhkan ketika penyakit itu datang.
Adam harus menjauhi hal-hal yang memicu Anxietynya kambuh, jangan mendengar kabar mengejutkan, jauhi hal-hal berbau menakutkan dan horror serta hal-hal lainnya yang ditakuti Adam. Ketika marahpun kadang penyakitnya bisa menyerang.
Segala anjuran Lena, adiknya selalu Adam ikuti dan rutin memeriksakan kesehatanya. Meskipun penyakitnya belum hilang sepenuhnya, setidaknya ia masih bisa menjalani kehidupan normal lainnya.
Adam dipertemukan dengan seorang gadis oleh asisten pribadinya, konon gadis itu akan sangat menerima segala kekurangan Adam. Pak Praja melamarkan gadis itu untuk anaknya.
Adam selalu menolak, ia ingin penyakitnya benar-benar sembuh. Sedangkan Pak Praja ingin anaknya bahagia seperti dulu, Adam hanya mengiyakan saja rencana ayahnya. Satu tahun mereka tunangan, Pak Praja meminta kepastian hubungan anaknya pada gadis itu, tapi selalu saja ada alasan dan dengan terpaksa gadis itu setuju untuk menikah.
Adam mulai menyadari penolakan itu karena kecacatannya, lama hal itu jadi pikirannya, hingga ia drop dan mulai di serang kembali penyakitnya.
Tanpa alasan yang jelas, tiga bulan menjelang pernikahan mereka, gadis itu memutuskan pertunangan lewat pesan, tanpa ia tahu salahnya di mana.
[Dam, gue nggak bisa lanjutin hubungan kita, gue minta maaf. Hubungan kita sampai di sini saja.]
Rasa hidupnya kembali terhempas, kepercayaan diri yang susah payah ia bangun, kembali runtuh, traumanya kembali menyerang. Lagi dan lagi terjerembab di jurang yang sama.
Sekarang keyakinan dan kepercayaannya sudah hilang, dua kali ia terbuang, tiada lagi harapan baginya. Bahkan hidup terasa mati, kata peribahasa hidup segan mati enggan.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel